Cari Blog Ini

Syarh Al-Qawa'idul Arba' - Muqaddimah (3)

قَالَ: (وَإِذَا ابۡتُلِيَ صَبَرَ) اللهُ -جَلَّ وَعَلَا- يَبۡتَلِي الۡعِبَادَ، يَبۡتَلِيهِمۡ بِالۡمَصَائِبِ، يَبۡتَلِيهِمۡ بِالۡمَكَارِهِ، يَبۡتَلِيهِمۡ بِالۡأَعۡدَاءِ مِنَ الۡكُفَّارِ وَالۡمُنَافِقِينَ، فَيَحۡتَاجُّونَ إِلَى الصَّبۡرِ وَعَدَمِ الۡيَأۡسِ وَعَدَمِ الۡقُنُوطِ مِنۡ رَحۡمَةِ اللهِ، وَيَثۡبُتُونَ عَلَى دِينِهِمۡ، وَلَا يَتَزَحۡزَحُونَ مَعَ الۡفِتَنِ، أَوۡ يَسۡتَسۡلِمُونَ لِلۡفِتَنِ، بَلۡ يَثۡبُتُونَ عَلَى دِينِهِمۡ، وَيَصۡبِرُونَ عَلَى مَا يُقَاسُونَ مِنَ الۡأَتۡعَابِ فِي سَبِيلِهَا، بِخِلَافِ الَّذِي إِذَا ابۡتُلِيَ جَزِعَ وَتَسَخَّطَ وَقَنِطَ مِنۡ رَحۡمَةِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ فَهَٰذَا يُزَادُ ابۡتِلَاءٌ إِلَى إِبۡتِلَاءٍ وَمَصَائِبُ إِلَى مَصَائِبَ، قَالَ ﷺ: (إِنَّ اللهَ إِذَا أَحَبَّ قَوۡمًا ابۡتَلَاهُمۡ، فَمَنۡ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنۡ سَخِطَ فَعَلَيۡهِ السُّخۡطُ).
(وَأَعۡظَمُ النَّاسِ بَلَاءً: الۡأَنۡبِيَاءُ، ثُمَّ الۡأَمۡثَلُ فَالۡأَمۡثَلُ)، ابۡتُلِيَ الرُّسُلُ، وَابۡتُلِيَ الصِّدِّيقُونَ، وَابۡتُلِيَ الشُّهَدَاءُ، وَابۡتُلِيَ عِبَادُ اللهِ الۡمُؤۡمِنُونَ، لَٰكِنَّهُمۡ صَبَرُوا، أَمَّا الۡمُنَافِقُ فَقَدۡ قَالَ اللهُ فِيهِ: ﴿وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَعۡبُدُ ٱللَّهَ عَلَىٰ حَرۡفٍ﴾ يَعۡنِي: طَرۡفٍ ﴿فَإِنۡ أَصَابَهُۥ خَيۡرٌ ٱطۡمَأَنَّ بِهِۦ ۖ وَإِنۡ أَصَابَتۡهُ فِتۡنَةٌ ٱنقَلَبَ عَلَىٰ وَجۡهِهِۦ خَسِرَ ٱلدُّنۡيَا وَٱلۡءَاخِرَةَ ۚ ذٰلِكَ هُوَ ٱلۡخُسۡرَانُ ٱلۡمُبِينُ﴾ [الحج: ١١].
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah berkata: Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahullah berkata, “Dan bila ia diberi cobaan, maka ia sabar.” Allah jalla wa ‘ala memberi cobaan kepada para hamba. Dia menguji mereka dengan musibah-musibah, dengan perkara yang tidak disukai, dengan musuh-musuh dari kalangan orang kafir dan munafik. Sehingga mereka butuh untuk bersabar, tidak pesimis, dan tidak putus asa dari rahmat Allah. Dan mereka tetap kokoh di atas agama mereka. Mereka tidak menjauh dari agama bersama fitnah-fitnah atau pasrah terhadap ujian-ujian. Bahkan mereka tetap kokoh di atas agama mereka dan sabar terhadap penderitaan berupa keletihan-keletihan di jalan agama itu. Beda dengan orang yang jika diberi cobaan, dia tidak sabar, marah, dan putus asa dari rahmat Allah ‘azza wa jalla. Justru ini adalah cobaan yang ditambah di atas cobaan dan musibah di atas musibah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Sesungguhnya jika Allah mencintai suatu kaum, maka ia akan memberi cobaan kepada mereka. Barangsiapa ridha, maka ridha Allah baginya dan barangsiapa marah, maka kemurkaan Allah untuknya.”
“Manusia yang paling berat cobaannya adalah para nabi kemudian yang semisal mereka, lalu yang semisal mereka.” Para rasul diberi cobaan, para shiddiqun diberi cobaan, para syuhada diberi cobaan, dan orang-orang mukmin pun diberi cobaan. Namun mereka bersabar. Adapun orang munafik, maka sungguh Allah telah berfirman mengenai mereka yang artinya, “Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi;” Yakni di pinggiran. “maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” (QS. Al-Hajj: 11).
فَالدُّنۡيَا لَيۡسَتۡ دَائِمًا نَعِيمًا وَتَرَفًا وَمَلَذَّاتٍ وَسُرُورًا وَنَصۡرًا، لَيۡسَتۡ دَائِمًا هَٰكَذَا، اللهُ يُدَاوِلُهَا بَيۡنَ الۡعِبَادِ، الصَّحَابَةُ أَفۡضَلُ الۡأُمَّةِ مَاذَا جَرَى عَلَيۡهِمۡ مِنَ الۡإِبۡتِلَاءِ وَالۡإِمۡتِحَانِ؟، قَالَ تَعَالَى: ﴿وَتِلۡكَ ٱلۡأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيۡنَ ٱلنَّاسِ﴾ [آل عمران: ١٤٠]، فَلۡيُوَطِّنِ الۡعَبۡدُ نَفۡسَهُ أَنَّهُ إِذَا ابۡتُلِيَ فَإِنَّ هَٰذَا لَيۡسَ خَاصًّا بِهِ، فَهَٰذَا سَبَقٌ لِأَوۡلِيَاءِ اللهِ، فَيُوَطِّنُ نَفۡسَهُ وَيَصۡبِرُ وَيَنۡتَظِرُ الۡفَرۡجَ مِنَ اللهِ تَعَالَى، وَالۡعَاقِبَةُ لِلۡمُتَّقِينَ.
Jadi, dunia itu tidak selamanya nikmat, mewah, lezat, bahagia, dan ditolong. Tidak selamanya seperti itu. Allah menggilirnya di antara para hamba. Para sahabat itu adalah seutama-utama umat. Ternyata terjadi pada mereka cobaan-cobaan dan ujian-ujian. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Itulah hari-hari yang Kami pergilirkan di antara manusia.” (QS. Ali ‘Imran: 140). Sehingga, hendaklah seorang hamba menenangkan jiwanya. Bahwa apabila dia diberi cobaan, sesungguhnya itu tidak hanya terjadi pada dirinya saja. Bahkan cobaan itu dahulu sudah menimpa para wali Allah. Maka hendaknya dia tenangkan jiwanya, sabar, dan menunggu kelapangan dari Allah ta’ala. Dan akibat yang baik itu bagi orang-orang yang bertakwa.
قَالَ: (وَإِذَا أَذۡنَبَ اسۡتَغۡفَرَ) أَمَّا الَّذِي إِذَا أَذۡنَبَ لَا يَسۡتَغۡفِرُ وَيَسۡتَزِيدُ مِنَ الذُّنُوبِ فَهَٰذَا شَقِيٌّ -وَالۡعِيَاذُ بِاللهِ-، لَٰكِنۡ الۡعَبۡدُ الۡمُؤۡمِنُ كُلَّمَا صَدَرَ مِنۡهُ ذَنۡبٌ بَادَرَ بِالتَّوۡبَةِ ﴿وَٱلَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا۟ فَـٰحِشَةً أَوۡ ظَلَمُوٓا۟ أَنفُسَهُمۡ ذَكَرُوا۟ ٱللَّهَ فَٱسۡتَغۡفَرُوا۟ لِذُنُوبِهِمۡ وَمَن يَغۡفِرُ ٱلذُّنُوبَ إِلَّا ٱللَّهُ﴾ [آل عمران: ١٣٥]، ﴿إِنَّمَا ٱلتَّوۡبَةُ عَلَى ٱللَّهِ لِلَّذِينَ يَعۡمَلُونَ ٱلسُّوٓءَ بِجَهَـٰلَةٍ ثُمَّ يَتُوبُونَ مِن قَرِيبٍ﴾ [النساء: ١٧]، وَالۡجَهَالَةُ لَيۡسَ مَعۡنَاهَا عَدَمُ الۡعِلۡمِ، لِأَنَّ الۡجَاهِلَ لَا يُؤَاخَذُ، لَٰكِنۡ الۡجَهَالَةُ هُنَا هِيَ ضِدُّ الۡحِلۡمِ، فَكُلُّ مَنۡ عَصَى اللهَ فَهُوَ جَاهِلٌ بِمَعۡنَى نَاقِصِ الۡحِلۡمِ، وَنَاقِصِ الۡعَقۡلِيَّةِ، وَنَاقِصِ الۡإِنۡسَانِيَّةِ، وَقَدۡ يَكُونُ عَالِمًا لَٰكِنَّهُ جَاهِلٌ مِنۡ نَاحِيَةٍ أُخۡرَى، مِنۡ نَاحِيَةِ أَنَّهُ لَيۡسَ عِنۡدَهُ حِلۡمٌ وَلَا ثَبَاتٌ فِي الۡأُمُورِ: ﴿ثُمَّ يَتُوبُونُ مِنۡ قَرِيبٍ﴾ يَعۡنِي: كُلَّمَا أَذۡنَبُوا اسۡتَغۡفَرُوا، مَا هُنَاكَ أَحَدٌ مَعۡصُومٌ مِنَ الذُّنُوبِ، وَلَٰكِنۡ الۡحَمۡدُ لِلهِ أَنَّ اللهَ فَتَحَ بَابَ التَّوۡبَةِ، فَعَلَى الۡعَبۡدِ إِذَا أَذۡنَبَ أَنۡ يُبَادِرَ بِالتَّوۡبَةِ، لَٰكِنۡ إِذَا لَمۡ يَتُبۡ وَلَمۡ يَسۡتَغۡفِرۡ فَهَٰذِهِ عَلَامَةُ الشَّقَاءِ.
وَقَدۡ يَقۡنَطُ مِنۡ رَحۡمَةِ اللهِ وَيَأۡتِيهِ الشَّيۡطَانُ وَيَقُولُ لَهُ: لَيۡسَ لَكَ تَوۡبَةٌ.
Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahullah berkata, “Dan apabila ia berbuat dosa, maka ia pun memohon ampun kepada Allah.” Adapun orang yang berbuat dosa lalu tidak meminta ampun, malah menambah dosa-dosa, maka ia celaka –wal ‘iyadzu billah-. Akan tetapi seorang yang beriman itu apabila muncul dosa dari dirinya, ia segera bertaubat. “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah?” (QS. Ali ‘Imran: 135). “Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera.” (QS. An-Nisa`: 17). Makna kejahilan bukanlah tidak adanya ilmu, karena orang yang tidak mengetahui ilmu itu tidak disiksa. Akan tetapi kejahilan di sini adalah tidak adanya penguasaan diri. Setiap orang yang bermakisat kepada Allah maka ia jahil yang bermakna kurang penguasaan diri, kurang akal, dan kurang peri kemanusiaannya. Terkadang seorang itu berilmu, akan tetapi ia jahil dari sisi yang lain. Dari sisi bahwa ia tidak memiliki penguasaan diri dan kekokohan di dalam beberapa perkara. “Kemudian mereka bertaubat dengan segera” yakni setiap mereka berbuat dosa, lantas mereka memohon ampun. Tidak ada seorang pun yang ma’shum (terjaga) dari perbatan dosa. Akan tetapi, segala puji bagi Allah, bahwa Allah membuka pintu taubat. Maka, wajib bagi hamba jika ia berbuat dosa untuk segera bertaubat. Namun, apabila hamba itu tidak bertaubat dan tidak memohon ampun, maka ini adalah tanda kecelakaan baginya. Kemudian terkadang ia berputus asa dari rahmat Allah, lalu setan mendatanginya seraya mengatakan padanya: Tidak ada taubat untukmu.
هَٰذِهِ الۡأُمُورُ الثَّلَاثُ: إِذَا أُعۡطِيَ شَكَرَ، وَإِذَا ابۡتُلِيَ صَبَرَ، وَإِذَا أَذۡنَبَ اسۡتَغۡفَرَ هِيَ عُنۡوَانُ السَّعَادَةِ، مَنۡ وُفِّقَ لَهَا نَالَ السَّعَادَةَ، وَمَنۡ حُرِمَ مِنۡهَا -أَوۡ مِنۡ بَعۡضِهَا- فَإِنَّهُ شَقِيٌّ.
Inilah ketiga perkara itu, yaitu: Jika ia diberi, ia bersyukur. Jika ia diberi cobaan, ia bersabar. Dan apabila ia berbuat dosa, lantas ia meminta ampun. Inilah tanda kebahagian. Barangsiapa yang diberi taufik oleh Allah di dalam tiga perkara ini, niscaya ia akan meraih kebahagiaan. Adapun orang yang dihalangi dari perkara tersebut atau sebagiannya, maka ia celaka.