Cari Blog Ini

Ibnu Majah

Qazwin, sebuah daerah di Iran pernah menjadi saksi bisu lahirnya seorang ulama dan imam dalam ilmu hadits. Secara geografis, wilayah Qazwin berjarak seratus mil di sebelah barat laut kota Teheran yang merupakan ibu kota Iran. Saat itu, wilayah Qazwin merupakan salah satu daerah perbatasan kaum muslimin yang sangat vital. Adapun di sebelah utaranya terdapat sebuah laut yang bernama Laut Qazwin.

Para pembaca, apabila kita membicarakan Qazwin, kita teringat kepada beberapa ulama besar dalam berbagai cabang ilmu yang muncul dari wilayah itu. Sebut saja Abu Ya'la Al-Khalil pemilik kitab Al-Irsyad dan juga di antaranya adalah Imam Faqih Abdul Karim bin Muhammad Ar-Rafi'i sang pemilik kitab At-Tadwin fi Akhbari Qazwin. Di sana pula terlahir Muhammad bin Yazid Majah pada tahun 209 H yang lebih familiar dengan sebutan Ibnu Majah atau kuniah Abu Abdillah. Beliau menegaskan tahun kelahirannya tersebut sebagaimana dinukilkan oleh Abul Fadhl Muhammad bin Thahir Al Maqdisi. Beliau adalah seorang Hafizh (penghafal hadits) dari Qazwin, Hujjah (hafalannya kuat), Mufassir (ahli tafsir) dan sederet gelar mulia yang beliau miliki. Adapun Majah dengan disukunnya huruf ha di akhir kata adalah gelar untuk ayahnya yang bernama Yazid yang juga dikenal dengan Majah Maula Rab'at. Sebagaimana hal ini diungkapkan oleh Abdul Karim Ar-Rafi'i dalam kitab Akhbar Qazwin dengan tulisan Abul Hasan Al Qaththan yang merupakan perawi Sunan Ibnu Majah. Hal senada juga disampaikan oleh Abu Ya'la Al-Khalaly dan untuk lebih jelasnya bisa merujuk kepada Siyar A'lamin Nubala.

Rupanya Abu Abdillah Ibnu Majah dilahirkan di tengah-tengah keluarga yang cinta ilmu agama. Keluarga Yazid yang populer dengan keluarga Majah ini adalah sebuah keluarga ulama. Perhatian besar Ibnu Majah terhadap ilmu agama ini diikuti pula oleh saudara-saudara beliau. Di antara saudara-saudara beliau yang dikenal keilmuan dan kefaqihannya adalah Abu Bakr, Abu Abdillah, Abu Muhammad Al-Hasan bin Yazid. Bahkan nama yang terakhir ini direkomendasikan oleh sebagian ulama sebagai seorang syaikh yang tsiqah. Ia memiliki seorang anak yang bernama Abul Hasan Ahmad dan punya pula cucu yang bernama Muhammad bin Hamzah. Sebagian ulama menyatakan bahwa mereka berasal dari keluarga ilmu dan hadits. Subhanallah, sebuah keutamaan dan karunia yang sangat agung dari Allah subhanahu wa ta'ala. Namun yang paling menonjol keilmuan dan ketenarannya di antara keluarga tersebut adalah tokoh kita kali ini yaitu Abu Abdillah Muhammad bin Yazid.

Ibnu Majah mulai menekuni dunia pendidikan agama semenjak usia belasan tahun. Dalam usia yang masih relatif muda, beliau telah menimba ilmu dari seorang ulama terkenal saat itu yang bernama Ali bin Muhammad At-Thanafisi. Potensi dan antusias yang besar membuatnya berkelana ke berbagai penjuru negeri untuk menuntut ilmu agama. Tak ayal, beliau pun memiliki keistimewaan dalam berbagai cabang ilmu. Ya, Ibnu Majah adalah seorang ulama multi talenta yang sulit dicari tandingannya pada masa itu. Statusnya sebagai imam dalam ilmu hadits telah menggelegar di seantero dunia. Bukan pujian yang berlebihan, mengingat beliau mempunyai karya yang sangat monumental dalam ilmu hadits, yaitu Sunan Ibnu Majah. Di samping itu, predikat sebagai seorang Hafizh Naqid (penghafal hadits sekaligus pakar pengkritisi) juga beliau sandang dari para ulama. Tidak ketinggalan, ilmu tafsir juga beliau kuasai dengan sangat baik dan bahkan ilmu tarikh (sejarah) juga tidak luput dari jangkauan ilmunya. Oleh karena itu, muncullah berbagai karya tulis beliau yang begitu dikenal dan diambil manfaatnya oleh para ulama.

Apa yang tersebut di atas bukanlah suatu hal yang asing bagi seorang imam sekaliber Ibnu Majah. Bagaimana tidak, ulama yang satu ini mempunyai kecerdasan yang luar biasa, kekuatan hafalan yang sangat kuat, kesabaran yang membaja dalam menuntut ilmu dan antusias besar dalam melakukan rihlah untuk menuntut ilmu. Beliau tidak puas dengan hanya menimba ilmu dari para ulama di wilayah Qozwin semisal Ali bin Muhammad Ath-Thanafisi Al-Kufi, Amr bin Rafi' Al-Bajali, Ismail bin Taubah Ats-Tsaqafi atau yang lainnya. Beliau memilih safar untuk menuntut ilmu agama dan meninggalkan tempat tinggal menuju ke berbagai negeri. Tercatat dalam sejarah, beliau pernah rihlah ke negeri Rayy dan meriwayatkan hadits dari Al-Hafizh Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli. Iraq menjadi tujuan rihlah berikutnya dan di sana meriwayatkan hadits dari dua putra Abu Syaibah, yaitu Abu Bakr dan Utsman, Ahmad bin Abdah dan Zuhair bin Harb. Tidak berhenti sampai di situ, beliau lantas melanjutkan penjelajahannya ke negeri Syam untuk belajar kepada Hisyam bin Ammar dan Muhammad bin Al-Mushaffa. Bahkan Mesir juga tidak luput dari sasaran beliau sehingga bisa bertemu dengan Abu Thahir bin As-Sarj, Muhammad bin Rumh dan Yunus bin Abdil A'la. Selanjutnya Hijaz menjadi tempat persinggahan beliau sehingga bisa meriwayatkan hadits dari Ibnu Abi Umar. Dan beliau pun tiba di kota suci Makkah dan mendengar hadits dari Abu Marwan Al-Utsmani. Kemudian berakhir rihlah beliau di kota Madinah untuk mendengar hadits dari Ibrahim bin Al-Mundzir Al-Hizami dan Abu Mush'ab Az-Zuhri. Rihlah menuntut ilmu ini beliau lakukan dalam usia yang masih muda dan kuat fisiknya. Terbukti beberapa guru beliau meninggal terlebih dahulu seperti Zuhair bin Harb dan Abdullah bin Numair yang tinggal di Irak. Keduanya meninggal pada tahun 234 H sehingga kita bisa berkesimpulan bahwa saat rihlah tersebut beliau masih berumur dua puluh lima tahun. Dalam rihlahnya ini, Ibnu Majah juga bertemu dengan beberapa ulama ahli fiqih. Sebut saja seperti Harmalah bin Yahya At-Tujaibi, Ar Rabi' bin Sulaiman Al-Muradi (keduanya adalah murid Imam Asy Syafi'i), Yunus bin Abdul A'la Al Faqih Al Maliki dan Hamzah bin Habib Az-Zayyat yang keduanya merupakan guru untuk bidang qiraah sab'ah-nya.

Tidak diragukan lagi bahwa pertemuan Ibnu Majah dengan sekian banyak ulama tersebut bisa membuahkan faedah yang sangat banyak. Karena beliau berguru kepada ulama tersebut dalam waktu yang cukup lama. Demikianlah keadaan para penuntut ilmu secara global di zaman dahulu. Jauhnya jarak bukanlah penghalang bagi mereka untuk menempuh perjalanan jauh demi tujuan yang mulia, yaitu menuntut ilmu syar'i. Mereka benar-benar memanfaatkan kesempatan bermajelis ulama dengan sangat baik, menghabiskan seluruh waktunya untuk menuntut ilmu di hadapan para ulama dan menulis faedah yang disampaikan. Oleh karena itu, Ibnu Majah mempunyai guru yang sangat banyak dan hal itu selaras dengan rihlah beliau yang juga sangat banyak. Al-Hafizh Al-Mizzi mengatakan dalam Tahdzibul Kamal, “Ibnu Majah telah berguru kepada para ulama di Khurasan, Irak, Hijaz, Mesir, Syam, dan negeri yang lainnya. Perincian tentang guru-gurunya akan memakan banyak waktu. Namun kami telah menyebutkan sebagian dari mereka sesuai dengan pengetahuan kami.”

Sebagian ulama kontemporer telah menyebutkan bahwa guru beliau, baik dalam periwayatan hadits atau tafsir mencapai tiga ratus sepuluh ulama. Seluruh biografi ulama-ulama tersebut tercantum dalam kitab Tahdzibul Kamal karya Al-Mizzi atau kitab biografi yang lainnya. Yang lebih istimewa lagi, begitu banyak guru beliau yang juga merupakan gurunya Al-Bukhari dan Muslim seperti Muhammad bin Basyar Bundar, Abu Bakr bin Abi Syaibah, Abu Kuraib Muhammad bin Al-A'la, Muhammad bin Abdullah bin Numair, dan yang lainnya. Adapun di antara murid-murid Ibnu Majah yang meriwayatkan sebagian hadits darinya adalah Ali bin Sa'id bin Abdillah Al Ghudani Al-Askari, Ibrahim bin Dinar Al-Hausyabi, Al Hamadzani, Abu Thayyib Ahmad bin Rauh Asy-Sya'rani, Ishaq bin Muhammad Al Qazwaini, Ja'far bin Idris, Al Husain bin Ali, Muhammad bin Isa Ash Shaffar, Abu Amr Ahmad bin Muhammad Al-Madini Al-Ashbahani dan yang lainnya.

Sesungguhnya jika ilmu yang mulia ini tidak diikat, niscaya akan mudah terlupakan dan sirna dengan meninggalnya para ulama. Atas dasar ini, para ulama dari kalangan pendahulu kita sangat semangat untuk menuangkan ilmu mereka dalam bentuk karya tulis. Hal ini bertujuan supaya ilmu agama semakin tersebar ke berbagai penjuru dunia melalui media ini, bisa dirasakan manfaatnya oleh generasi yang akan datang dan keberadaan ilmu tersebut tetap eksis meskipun pemiliknya telah meninggal dunia. Maka Ibnu Majah termasuk salah satu di antara sekian banyak ulama yang memberi perhatian lebih terhadap dakwah dengan melalui karya tulis. Tidak mengherankan tulisan beliau cukup banyak dalam berbagai disiplin ilmu, di antaranya: 
  1. Kitab Tafsir. Sejatinya Ibnu Majah merupakan salah seorang ulama ahli tafsir. Tidak sedikit ulama yang memuji dan mengakui ketangguhan beliau dalam ilmu tafsir. Ibnu Taimiyah pernah menyebut Tafsir Ibnu Majah ini di antara serangkaian kitab tafsir yang memuat tafsir para shahabat, tabi'in, atau tabiut tabi'in. Namun sangat disayangkan, keberadaan kitab ini sama sekali tidak bisa kita jumpai. Sebagian ulama memprediksi bahwa kitab ini telah punah dan hilang dalam sebuah peristiwa di Damaskus pada tahun 853 H. Sebagaimana hal ini dijelaskan oleh Ibnu Katsir dan Adz-Dzahabi
  2. Sunan Ibnu Majah. Para ulama berpendapat bahwa Sunan Ibnu Majah adalah kitab keenam dari rangkaian Kutubus Sittah (kitab induk hadits yang enam) bersama Shahih Al Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Jami' At Tirmidzi dan Sunan An Nasai. Salah satu keistimewaan kitab ini terletak pada susunannya yang tidak ada pengulangan yang serupa melainkan hanya sedikit. Hingga Shiddiq Hasan Khan rahimahullah mengatakan, “Tidak ada Kutubus Sittah yang semisal dengan Sunan Ibnu Majah, karena penulisnya sangat menjaga adanya pengulangan hadits. Meskipun itu terjadi pada sebagian kecilnya saja.” Kitab ini memuat lebih dari empat ribu hadits namun masih terdapat hadits-hadits yang lemah. 
  3. Kitab Tarikh (kitab sejarah), Ibnu Katsir memuji kitab ini dengan komentarnya, “Ibnu Majah mempunyai sebuah kitab Tarikh yang sempurna dari zaman shahabat sampai zamannya.” 
Satu hal yang telah kita maklumi bahwa keikhlasan seorang hamba dalam menuntut ilmu agama dan memberikan manfaat kepada para penuntut ilmu merupakan salah satu hal yang akan menyebarkan keutamaannya, mengharumkan perjalanan hidupnya, dan membuat namanya tetap disebut dalam kebaikan, meskipun telah meninggal dunia. Sungguh Ibnu Majah termasuk seorang ulama yang menuai banyak pujian dari para ulama, baik yang sezaman dengan beliau maupun dari generasi setelahnya. Berikut ini segelintir pujian para ulama terhadap beliau, Abu Ya'la Al Khalili berkata, “Ibnu Majah adalah seorang ulama besar lagi tsiqah (terpercaya agama dan hafalannya). Para ulama telah bersepakat bahwa beliau adalah hujjah dan membidangi ilmu hadits.”

Abdul Karim Ar-Rafi'i berkata, “Beliau adalah seorang imam kaum muslimin, ulama besar yang kuat hafalannya dan diterima oleh seluruh ulama.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang madzhab Ibnu Majah, maka beliau pun menjawab bahwa Ibnu Majah berada di atas madzhab para ulama hadits. Ibnul Atsir berkata, “Beliau adalah seorang yang cerdas, imam, dan ulama.”

Ibnu Abdil Hadi berkata, “(Dia adalah) seorang hafizh besar dan mufassir.”

Adz-Dzahabi menyatakan, “Ibnu Majah adalah seorang hafizh, kritikus yang jujur dan luas ilmunya.”

Setelah kontribusi besar yang beliau berikan kepada Islam dan kaum muslimin, akhirnya Abu Abdillah Muhammad bin Yazid bin Majah meninggal dunia. Beliau wafat pada hari senin 22 Ramadhan tahun 273 H. Beliau wafat pada usia enam puluh empat tahun dan dimakamkan pada hari Selasa di Qazwin. Saudara beliau yang bernama Abu Bakr dan Abu Abdillah beserta sang putra Abdullah turut menshalati jenazah beliau. Semoga Allah membalas seluruh kebaikan beliau dan melimpahkan rahmat-Nya kepada beliau. Amin, Ya Mujibas sailin.

Sumber: Majalah Qudwah edisi 16 volume 2 1435 H/ 2014 M rubrik Biografi. Pemateri: Ustadz Abu Hafy Abdullah.

Shahih Al-Bukhari hadits nomor 274

١٦ – بَابُ مَنۡ تَوَضَّأَ فِي الۡجَنَابَةِ ثُمَّ غَسَلَ سَائِرَ جَسَدِهِ وَلَمۡ يُعِدۡ غَسۡلَ مَوَاضِعَ الۡوُضُوءِ مَرَّةً أُخۡرَى

16. Bab siapa yang berwudhu` ketika mandi junub kemudian membasuh seluruh tubuh dan tidak mengulangi mencuci anggota tubuh wudhu` sekali lagi

٢٧٤ – حَدَّثَنَا يُوسُفُ بۡنُ عِيسَى قَالَ: أَخۡبَرَنَا الۡفَضۡلُ بۡنُ مُوسَى قَالَ: أَخۡبَرَنَا الۡأَعۡمَشُ، عَنۡ سَالِمٍ، عَنۡ كُرَيۡبٍ مَوۡلَى ابۡنِ عَبَّاسٍ، عَنِ ابۡنِ عَبَّاسٍ، عَنۡ مَيۡمُونَةَ قَالَتۡ: وَضَعَ رَسُولُ اللهِ ﷺ وَضُوءًا لِلۡجَنَابَةِ، فَأَكۡفَأَ بِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ مَرَّتَيۡنِ أَوۡ ثَلَاثًا، ثُمَّ غَسَلَ فَرۡجَهُ، ثُمَّ ضَرَبَ يَدَهُ بِالۡأَرۡضِ أَوِ الۡحَائِطِ، مَرَّتَيۡنِ أَوۡ ثَلَاثًا، ثُمَّ مَضۡمَضَ وَاسۡتَنۡشَقَ، وَغَسَلَ وَجۡهَهُ وَذِرَاعَيۡهِ، ثُمَّ أَفَاضَ عَلَى رَأۡسِهِ الۡمَاءَ، ثُمَّ غَسَلَ جَسَدَهُ، ثُمَّ تَنَحَّى فَغَسَلَ رِجۡلَيۡهِ، قَالَتۡ: فَأَتَيۡتُهُ بِخِرۡقَةٍ فَلَمۡ يُرِدۡهَا، فَجَعَلَ يَنۡفُضُ بِيَدِهِ.
274. Yusuf bin 'Isa telah menceritakan kepada kami, beliau berkata: Al-Fadhl bin Musa mengabarkan kepada kami, beliau berkata: Al-A'masy mengabarkan kepada kami, dari Salim, dari Kuraib maula Ibnu 'Abbas, dari Ibnu 'Abbas, dari Maimunah, beliau berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam meletakkan air untuk mandi junub, menuangkan dengan tangan kanannya ke tangan kirinya dua atau tiga kali, kemudian beliau mencuci kemaluan. Setelah itu, beliau menepuk tangan beliau ke tanah atau tembok sebanyak dua atau tiga kali. Lalu beliau berkumur-kumur dan memasukkan air ke hidung. Lalu beliau mencuci wajah dan kedua lengannya. Kemudian beliau menuangkan air ke kepala, lalu membasuh tubuh. Setelah itu, beliau menjauh dan mencuci kedua kaki. Maimunah berkata: Aku membawakan handuk untuk beliau, namun beliau tidak menginginkannya. Beliau memilih menghilangkan air dengan tangan beliau.

Ar Rabi’ Bin Khutsaim

Murid Kesayangan Ibnu Mas’ud


Ulama besar tabi’in ini merupakan salah seorang muridnya shahabat yang mulia, Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Bahkan beliau disebut-sebut sebagai murid Abdullah bin Mas’ud yang paling banyak meneladani sifat dan akhlaknya. Beliau termasuk murid kesayangan Abdullah bin Mas’ud karena nampak adanya kekuatan ibadah dan kezuhudan yang sangat tinggi pada muridnya tersebut.

Abu Ubaidah bin Abdullah bin Mas’ud berkata, “Apabila Ar-Rabi’ bin Khutsaim masuk menemui Ibnu Mas’ud, maka tidak seorang pun diizinkan untuk masuk, sebelum Ar-Rabi’ menyelesaikan keperluannya.” Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan, “Wahai Abu Yazid, seandainya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatmu, tentulah beliau mencintaimu. Setiap kali melihatmu, aku selalu teringat kepada mukhbitin (orang-orang yang senantiasa taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala).”

Adz-Dzahabi mengomentari ucapan ini, “Sungguh pengakuan dari Abdullah bin Mas’ud ini merupakan sebuah keutamaan tersendiri bagi Ar-Rabi’.”

Ar-Rabi’ juga memiliki ketakwaan dan kesederhanaan yang jarang bisa dilakukan oleh ulama di masanya. Bahkan, ia terkenal sebagai salah satu dari delapan ulama yang sangat zuhud di masanya. Ulama yang bernama lengkap Ar-Rabi’ bin Khutsaim bin ‘Aidz ini berasal dari kabilah Mudhar dan kuniahnya adalah Abu Yazid. Secara silsilah, nasabnya bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada kakeknya, yaitu Ilyas bin Mudhar. Memang sejak kecil beliau tumbuh dan terkondisi dalam ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala Sebuah keutamaan yang jarang dijumpai. Beliau pun menjadi seorang imam dan suri teladan dalam ketekunan ibadah dan kezuhudan. Kisah berikut ini menjadi salah satu bukti besarnya semangat Ar-Rabi’ bin Khutsaim dalam beribadah.

Pernah suatu ketika Ar-Rabi’ mendengar azan Zhuhur dikumandangkan. Waktu itu beliau dalam keadaan sakit cukup parah. Maka ia mengatakan kepada putranya, “Mari kita sambut panggilan Allah.” Maka putranya meminta bantuan tamu yang berkunjung saat itu untuk memapahnya ke masjid. Melihat hal itu, maka murid-murid Abdullah bin Mas’ud berkata, “Sesungguhnya Anda memiliki keringanan untuk melaksanakan shalat wajib di rumah.” Ia pun menjawab, “Memang benar, namun aku mendengar seruan hayya ‘alas shalah (marilah menuju shalat). Barang siapa mendengar seruan tersebut maka hendaknya mendatanginya jika mampu meski harus dengan merangkak.”

Ar-Rabi’ bin Khutsaim menjumpai zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam namun belum pernah berjumpa secara langsung. Beliau pernah meriwayatkan hadits dari Abdullah bin Mas’ud, Abu Ayyub Al-Anshari, dan Amr bin Maimun. Beliau termasuk perawi yang sedikit meriwayatkan hadits, namun memiliki kedudukan yang mulia dalam pandangan para ulama. Banyak para ulama besar yang meriwayatkan dari beliau semisal Asy-Sya’bi, Ibrahim An-Nakha’i, Hilal bin Yasaf dan yang lainnya.

Nasihat dan petuah dari Ar-Rabi’ sangat dinanti-nanti oleh siapa saja yang berkunjung ke rumahnya. Mundzir Ats-Tsauri menuturkan bahwa setiap kali ada seseorang bertanya kepada Ar-Rabi’, maka di antara nasihat yang ia sampaikan adalah, “Kalian tidak mengikuti kebenaran dengan sebenar-benarnya. Kalian tidak pula lari dari keburukan dengan sebenar-benarnya. Tidak semua yang diturunkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam kalian ketahui. Tidak juga kalian mengetahui semua (ayat Al-Qur’an) yang kalian baca. Semua rahasia kalian yang tersembunyi di mata manusia adalah sesuatu yang nampak bagi Allah. Maka carilah obat penyembuh untuk rahasia-rahasia tersebut, dan tidak ada obat penyembuhnya melainkan bertaubat dan tidak mengulanginya.”

Hilal bin Yasaf pernah menuturkan bahwa ia kedatangan seorang tamu yang bernama Mundzir Ats-Tsauri, “Maukah aku antar engkau kepada seorang syaikh untuk bisa menambah keimanan meskipun hanya sesaat?” Ia pun menjawab, “Baiklah kalau begitu. Demi Allah, tidak ada yang mendorongku untuk datang ke Kufah melainkan karena ingin bertemu dengan gurumu. Namun aku dengar beliau sedang sakit sehingga tidak bisa keluar rumah dan menerima tamu.” Hilal menjawab, “Memang demikianlah orang-orang Kufah mengenalnya, meskipun sedang sakit maka hal itu tidak mengubahnya sedikit pun.” Mundzir kembali bertanya, “Kita tahu bahwa syaikh itu mempunyai perasaan yang halus, apakah kita mendahului pembicaraan atau kita diam saja menunggunya bicara?” Hilal berkata, “Andaikan engkau duduk bersama Rabi’ bin Khutsaim selama setahun, niscaya ia tidak akan berbicara sepatah kata pun kecuali jika engkau memulai pembicaraan. Karena ia menjadikan ucapannya sebagai dzikir dan diamnya untuk berpikir.” Mundzir berkata, “Jika demikian, marilah kita mendatanginya dengan barakah Allah.” Maka pergilah keduanya menemuinya Ar-Rabi’ bin Khutsaim. Setibanya di hadapannya, keduanya mengucapkan salam dan bertanya tentang keadaannya. Ia pun menjawab, “Dalam keadaan lemah, bergelimang dosa, memakan rejeki-Nya, dan menanti ajalnya.” Tatkala mereka tengah berbincang-bincang, Ar-Rabi’ berkata kepada keluarganya, “Buatkanlah roti untukku.” Selama ini beliau hampir-hampir tidak pernah meminta sesuatu kepada keluarganya. Maka dibuatlah roti untuk beliau dan setelah selesai roti pun siap dihidangkan. Saat putranya membawa roti tersebut kepada Ar-Rabi’, tiba-tiba terdengar ada seseorang mengetuk pintu rumah. Setelah dibukakan, ternyata dia adalah seorang budak yang gila. Ar-Rabi’ pun mengisyaratkan supaya roti itu diberikan kepada peminta-minta tersebut. Orang itu langsung memakannya dengan lahap dan air liur pun mengalir dari mulutnya. Nampak adanya kekecewaan pada raut muka wajah putranya. Dia berkata, “Semoga Allah merahmati ayah, ibu telah bersusah payah membuat roti itu untuk ayah. Namun roti itu justru diberikan kepada orang yang tidak tahu apa yang dia makan.” Ar-Rabi’ menjawab, “Wahai putraku, jika dia tidak tahu apa yang dimakan, maka sesungguhnya Allah Maha mengetahui.” Kemudian beliau membaca ayat
لَن تَنَالُوا۟ ٱلۡبِرَّ حَتَّىٰ تُنفِقُوا۟ مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ وَمَا تُنفِقُوا۟ مِن شَىۡءٍ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيمٌ
“Kalian tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kalian nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” [Q.S. Ali Imran: 92]

Ibrahim At-Taimi berkisah bahwa salah seorang teman Ar-Rabi’ menyatakan, “Selama dua puluh tahun aku belum pernah melihat Ar-Rabi’ mengucapkan suatu perkataan melainkan perkataan yang naik (ke atas langit).” Maksudnya adalah beliau tidak membicarakan kecuali perkataan yang baik karena itulah yang akan naik ke atas langit dan diberi balasan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Sebagaimana dalam firman-Nya yang artinya, “Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal-amal shalih dinaikkannya.” [Q.S. Fathir: 10]. Ibrahim At-Taimi rahimahullah juga mengatakan, “Sahabat Ar-Rabi’ yang pernah menemaninya selama satu tahun belum pernah mendengar kata-kata tercela yang keluar dari lisannya.”

Khauf (rasa takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala) yang ada pada diri beliau sangat tinggi, Abu Wa`il berkisah, “Kami pernah keluar dalam sebuah perjalanan bersama Abdullah bin Mas’ud dan termasuk di antaranya Ar-Rabi’ bin Khutsaim. Saat itu kami melewati seorang pandai besi, maka Abdullah bin Mas’ud bangkit dan memandang besinya yang berada dalam kobaran api. Tatkala Ar-Rabi’ mengarahkan pandangannya kepada kobaran api tersebut, tiba-tiba ia sempoyongan dan terjatuh. Kemudian Abdullah terus melanjutkan perjalanannya sampai akhirnya kami melewati sebuah dapur api di tepi sungai Eufrat. Melihat api berkobar dengan sangat dahsyat, Abdullah pun membaca firman Allah:
إِذَا رَأَتۡهُم مِّن مَّكَانٍۭ بَعِيدٍ سَمِعُوا۟ لَهَا تَغَيُّظًا وَزَفِيرًا ۝١٢ وَإِذَآ أُلۡقُوا۟ مِنۡهَا مَكَانًا ضَيِّقًا مُّقَرَّنِينَ دَعَوۡا۟ هُنَالِكَ ثُبُورًا
“Apabila neraka itu melihat mereka dari tempat yang jauh, mereka mendengar kegeramannya dan suara nyalanya. Dan apabila mereka dilemparkan ke tempat yang sempit di neraka itu dengan dibelenggu, mereka di sana mengharapkan kebinasaan.” [Q.S. Al-Furqan: 12-13].

Mendengar ayat tersebut, Ar-Rabi’ pun pingsan sehingga kami terpaksa membawanya pulang ke keluarganya. Maka Abdullah bin Mas’ud senantiasa menjaganya sampai tiba waktu Zhuhur namun belum juga sadar. Beliau tetap menunggu sampai tiba waktu Ashar namun Ar-Rabi’ masih tak sadarkan diri. Setelah masuk waktu Maghrib, baru ia sadar dan Abdullah pun segera kembali pulang ke rumah.”

Di masa beliau terjadi suatu ujian yang besar dengan terbunuhnya Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhuma. Hubairah bin Khuzaimah berkisah, “Aku adalah orang yang pertama kali menemui Ar-Rabi’ bin Khutsaim dengan membawa berita tentang terbunuhnya Husain bin Ali. ‘Wahai Abu Yazid, Ibnu Fathimah terbunuh, semoga keselamatan tercurah atasnya dan ibunya.’ Maka beliau bertanya, ‘Apakah orang-orang itu membunuhnya? Apakah mereka membunuhnya?’ Lantas beliau membaca firman Allah:
قُلِ ٱللَّهُمَّ فَاطِرَ ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ عَـٰلِمَ ٱلۡغَيۡبِ وَٱلشَّهَـٰدَةِ أَنتَ تَحۡكُمُ بَيۡنَ عِبَادِكَ فِى مَا كَانُوا۟ فِيهِ يَخۡتَلِفُونَ
“Katakanlah, ‘Wahai Allah, Pencipta langit dan bumi, yang mengetahui hal gaib dan yang tampak, Engkaulah yang memutuskan antara hamba-hamba-Mu tentang apa yang selalu mereka memperselisihkannya.’” [Q.S. Az-Zumar: 46].

Tatkala Ar-Rabi’ sakit, beberapa shahabatnya menyarankan supaya berobat ke tabib, namun ia menolak. Alqamah bin Martsad bercerita, “Puncak kezuhudan ada pada delapan orang tabi’in. Adapun Ar-Rabi’ bin Khutsaim maka ketika terserang penyakit yang membuatnya lumpuh lalu dikatakan kepadanya, ‘Seandainya engkau mau berobat niscaya sembuh penyakitmu.’ Ar-Rabi’ berkata, ‘Sungguh aku menyadari bahwa obat itu berkhasiat untuk menyembuhkan. Namun aku teringat kaum ‘Ad, Tsamud, penduduk Rass dan banyak lagi generasi-generasi di antara kaum-kaum tersebut. Di tengah-tengah mereka terdapat berbagai penyakit dan mereka pun punya tabib-tabib. Namun demikian tidak ada orang yang mengobati maupun yang diobati bisa bertahan (dari siksa Allah subhanahu wa ta’ala).’”

Sungguh dalam kondisi sakit pun Ar-Rabi’ bin Khutsaim menghabiskan waktu-waktunya dalam ketaatan sebagai bekal untuk kehidupan akhirat kelak. Semoga Allah membalas kebaikan-kebaikannya yang telah menjadi suri teladan ibadah dan sikap zuhud terhadap dunia. Amin, ya mujibas sa`ilin.

Sumber: Majalah Qudwah edisi 16 volume 2 1435 H/ 2014 M rubrik Ulama. Pemateri: Ustadz Abu Hafy Abdullah.

Al-Qawa'idul Arba' (Matan & Terjemahan)

اَلۡقَوَاعِدُ الۡأَرۡبَعُ

لِلۡإِمَامِ مُحَمَّدِ بۡنِ عَبۡدِ الۡوَهَّابِ ١١١٥-١٢٠٦ھ

Empat Kaidah

(Terjemahan Al-Qawa’idul Arba’)
karya Al-Imam Muhammad bin ‘Abdul Wahhab (1115 - 1206 H)


أَسۡأَلُ اللهَ الۡكَرِيمَ رَبَّ الۡعَرۡشِ الۡعَظِيمِ أَنۡ يَتَوَلَّاكَ فِي الدُّنۡيَا وَالۡآخِرَةِ، وَأَنۡ يَجۡعَلَكَ مُبَارَكًا أَيۡنَمَا كُنۡتَ، وَأَنۡ يَجۡعَلَكَ إِذَا أُعۡطِيَ شَكَرَ، وَإِذَا ابۡتُلِيَ صَبَرَ، وَإِذَا أَذۡنَبَ اسۡتَغۡفَرَ، فَإِنَّ هَؤُلَاءِ الثَّلَاثَ عُنۡوَانُ السَّعَادَةِ.
Aku meminta kepada Allah yang Maha Mulia, Rabb ‘arsy yang agung, agar Dia melindungi engkau di dunia dan akhirat. Dan agar Dia menjadikan engkau diberkahi di manapun engkau berada, dan agar menjadikan engkau menjadi seseorang yang jika diberi lalu dia bersyukur, jika diberi cobaan lalu dia bersabar, dan jika dia berbuat dosa maka dia memohon ampun. Karena ketiga hal ini adalah tanda kebahagiaan seorang hamba.
إِعۡلَمۡ - أَرۡشَدَكَ اللهُ لِطَاعَتِهِ -:
أَنَّ الۡحَنِيفِيَّةَ مِلَّةُ إِبۡرَاهِيمَ أَنۡ تَعۡبُدَ اللهَ وَحۡدَهُ مُخۡلِصًا لَهُ الدِّينَ.
كَمَا قَالَ تَعَالَى: ﴿وَمَا خَلَقۡتُ الۡجِنَّ وَالۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ﴾ [الذاريات: ٥٦].
Ketahuilah, semoga Allah membimbingmu untuk mentaatiNya, bahwa agama yang lurus -agama Ibrahim- adalah bahwa engkau menyembah Allah saja dengan mengikhlaskan agama ini untukNya. Sebagaimana Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, kecuali agar mereka beribadah kepadaKu.” (QS. Adz-Dzariyat: 56).
فَإِذَا عَرَفۡتَ أَنَّ اللهَ خَلَقَكَ لِعِبَادَتِهِ فَاعۡلَمۡ أَنَّ الۡعِبَادَةَ لَا تُسَمَّى عِبَادَةً إِلَّا مَعَ التَّوۡحِيدِ.
كَمَا أَنَّ الصَّلَاةَ لَا تُسَمَّى صَلَاةً إِلَّا مَعَ الطَّهَارَةِ.
فَإِذَا دَخَلَ الشِّرۡكُ فِي الۡعِبَادَةِ فَسَدَتۡ، كَالۡحَدَثِ إِذَا دَخَلَ فِي الطَّهَارَةِ.
Sehingga, jika engkau telah mengetahui bahwa Allah menciptakan engkau untuk beribadah kepadaNya, maka ketahuilah, bahwa ibadah itu tidak dinamakan ibadah kecuali bersama tauhid. Sebagaimana bahwa shalat tidak dinamakan shalat kecuali bersama thaharah. Jika syirik masuk ke dalam ibadah, ia akan merusaknya. Seperti halnya hadats apabila masuk ke dalam thaharah.
فَإِذَا عَرَفۡتَ أَنَّ الشِّرۡكَ إِذَا خَالَطَ الۡعِبَادَةَ أَفۡسَدَهَا وَأَحۡبَطَ الۡعَمَلَ وَصَارَ صَاحِبُهُ مِنَ الۡخَالِدِينَ فِي النَّارِ عَرَفۡتَ أَنَّ أَهَمَّ مَا عَلَيۡكَ مَعۡرِفَةُ ذَلِكَ، لَعَلَّ اللهَ أَنۡ يُخۡلِصَكَ مِنۡ هَذِهِ الشَّبَكَةِ وَهِيَ الشِّرۡكُ بِاللهِ.
الَّذِي قَالَ اللهُ تَعَالَى فِيهِ: ﴿إِنَّ اللَّهَ لَا يَغۡفِرُ أَن يُشۡرَكَ بِهِ وَيَغۡفِرُ مَا دُونَ ذ‌ٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ﴾ [النساء: ٤٨]. وَذَلِكَ بِمَعۡرِفَةِ أَرۡبَعِ قَوَاعِدَ ذَكَرَهَا اللهُ تَعَالَى فِي كِتَابِهِ:
Jika engkau telah mengetahui bahwa syirik apabila mencampuri ibadah akan merusaknya dan menghapus amal ibadah serta pelakunya akan menjadi orang-orang yang kekal di dalam neraka, maka engkau mengetahui bahwa perkara terpenting yang wajib atasmu adalah mengenali hal itu. Semoga Allah menyelamatkanmu dari jerat ini, yaitu menyekutukan Allah. Yaitu, yang Allah ta’ala berfirman tentangnya, yang artinya, “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan Allah dan Dia mengampuni dosa di bawah itu bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. An-Nisa`: 48). Dan perkara tauhid dan syirik itu dikenali dengan cara mengenali empat kaidah yang telah Allah ta’ala sebutkan di dalam KitabNya:
الۡقَاعِدَةُ الأُولَى: أَنۡ تَعۡلَمَ أَنَّ الۡكُفَّارَ الَّذِينَ قَاتَلَهُمۡ رَسُولُ اللهِ ﷺ مُقِرُّونَ بِأَنَّ اللهَ تَعَالَى هُوَ الۡخَالِقُ الۡمُدَبِّرُ، وَأَنَّ ذٰلِكَ لَمۡ يُدۡخِلۡهُمۡ فِي الۡإِسۡلاَمِ، وَالدَّلِيلُ قَوۡلُهُ تَعَالَى: ﴿قُلۡ مَن يَرۡزُقُكُم مِّنَ السَّمَاءِ وَالۡأَرۡضِ أَمَّن يَمۡلِكُ السَّمۡعَ وَالۡأَبۡصَارَ وَمَن يُخۡرِجُ الۡحَيَّ مِنَ الۡمَيِّتِ وَيُخۡرِجُ الۡمَيِّتَ مِنَ الۡحَيِّ وَمَن يُدَبِّرُ الۡأَمۡرَ ۚ فَسَيَقُولُونَ اللهُ ۚ فَقُلۡ أَفَلَا تَتَّقُونَ﴾ [يونس: ٣١].
Kaidah pertama: hendaknya engkau mengetahui bahwa orang-orang kafir yang dahulu diperangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakui bahwa Allah ta’ala adalah yang menciptakan dan mengatur. Namun hal itu tidak membuat mereka masuk ke dalam Islam. Dan dalilnya adalah firman Allah ta’ala yang artinya, “Katakanlah, siapa yang memberi rezeki kepada kalian dari langit dan bumi? Atau siapakah yang memiliki pendengaran dan penglihatan? Dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup? Dan siapakah yang mengatur segala urusan? Niscaya mereka akan mengatakan, Allah. Lalu katakanlah, mengapa kalian tidak bertakwa?” (QS. Yunus: 31).
الۡقَاعِدَةُ الثَّانِيَةُ: أَنَّهُمۡ يَقُولُونَ: مَا دَعَوۡنَاهُمۡ وَتَوَجَّهۡنَا إِلَيۡهِمۡ إِلاَّ لِطَلَبِ الۡقُرۡبَةِ وَالشَّفَاعَةِ.
فَدَلِيلُ الۡقُرۡبَةِ: قَوۡلُهُ تَعَالَى: ﴿وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِن دُونِهِ أَوۡلِيَاءَ مَا نَعۡبُدُهُمۡ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلۡفَىٰ إِنَّ اللَّهَ يَحۡكُمُ بَيۡنَهُمۡ فِي مَا هُمۡ فِيهِ يَخۡتَلِفُونَ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهۡدِي مَنۡ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ﴾ [الزمر: ٣].
Kaidah kedua: bahwa mereka mengatakan: Tidaklah kami berdoa kepada mereka dan menghadapkan wajah kepada mereka kecuali untuk mendapatkan kedekatan dan syafa’at.
Dalil bahwa tujuan mereka untuk mendekatkan adalah firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan orang-orang yang menjadikan selain Dia sebagai wali-wali (mengatakan): Kami tidak menyembah mereka kecuali agar mereka mendekatkan kami kepada Allah sedekat-dekatnya. Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka apa yang mereka perselisihkan. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk orang-orang yang pendusta lagi sangat ingkar.” (QS. Az-Zumar: 3).
وَدَلِيلُ الشَّفَاعَةِ: قَوۡلُهُ تَعَالَى: ﴿وَيَعۡبُدُونَ مِن دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمۡ وَلَا يَنفَعُهُمۡ وَيَقُولُونَ هَـٰؤُلَاءِ شُفَعَاؤُنَا عِندَ اللَّهِ﴾ [يونس: ١٨].
وَالشَّفَاعَةُ شَفَاعَتَانِ: شَفَاعَةٌ مَنۡفِيَّةٌ وَشَفَاعَةٌ مُثۡبَتَةٌ.
فَالشَّفَاعَةُ الۡمَنۡفِيَّةُ: مَا كَانَتۡ تُطۡلَبُ مِنۡ غَيۡرِ اللهِ فِيمَا لاَ يَقۡدِرُ عَلَيۡهِ إِلاَّ اللهُ، وَالدَّلِيلُ قَوۡلُهُ تَعَالَى: ﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنفِقُوا مِمَّا رَزَقۡنَاكُم مِّن قَبۡلِ أَن يَأۡتِيَ يَوۡمٌ لَّا بَيۡعٌ فِيهِ وَلَا خُلَّةٌ وَلَا شَفَاعَةٌ ۗ وَالۡكَافِرُونَ هُمُ الظَّالِمُونَ﴾ [البقرة: ٢٥٤].
Dalil bahwa tujuan mereka untuk mendapatkan syafaat adalah firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan mereka menyembah dari selain Allah sesembahan yang tidak dapat mendatangkan madharat dan tidak dapat memberi manfaat. Dan mereka mengatakan bahwa sesembahan itu pemberi syafaat kami di sisi Allah.” (QS. Yunus: 18).
Syafaat itu ada dua macam: syafaat yang ditiadakan dan syafaat yang ditetapkan syariat.
Adapun syafaat yang ditiadakan adalah syafaat yang diminta dari selain Allah pada perkara yang hanya Allah yang bisa melakukannya. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, berinfaqlah kalian dari sebagian apa yang telah Kami rezekikan kepada kalian sebelum datang suatu hari yang saat itu tidak ada jual beli, tidak ada lagi persahabatan yang akrab, dan tidak ada pula syafaat. Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zhalim.” (QS. Al-Baqarah: 254).
وَالشَّفَاعَةُ الۡمُثۡبَتَةُ هِيَ الَّتِي تُطۡلَبُ مِنَ اللهِ.
وَالشَّافِعُ مُكۡرَمٌ بِالشَّفَاعَةِ، وَالۡمَشۡفُوعُ لَهُ هُوَ مَنۡ رَضِيَ اللهُ قَوۡلَهُ وَعَمَلَهُ بَعۡدَ الۡإِذۡنِ، كَمَا قَالَ تَعَالَى: ﴿مَن ذَا الَّذِي يَشۡفَعُ عِندَهُ إِلَّا بِإِذۡنِهِ﴾ [البقرة: ٢٥٥].
Syafaat yang ditetapkan adalah syafaat yang diminta dari Allah.
Yang memberi syafaat adalah orang yang dimuliakan dengan syafaat. Sedangkan orang yang disyafaati adalah orang yang Allah ridhai ucapan dan amalannya setelah izin Allah. Sebagaimana Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Tidak ada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah kecuali dengan izinNya.” (QS. Al-Baqarah: 255).
وَالۡقَاعِدَةُ الثَّالِثَةُ: أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ ظَهَرَ عَلَى أُنَاسٍ مُتَفَرِّقِينَ فِي عِبَادَاتِهِمۡ: مِنۡهُمۡ مَنۡ يَعۡبُدُ الۡمَلاَئِكَةَ وَمِنۡهُمۡ مَنۡ يَعۡبُدُ الأَنۡبِيَاءَ وَالصَّالِحِينَ وَمِنۡهُمۡ مَنۡ يَعۡبُدُ الأَحۡجَارَ وَالأَشۡجَارَ وَمِنۡهُمۡ مَنۡ يَعۡبُدُ الشَّمۡسَ وَالۡقَمَرَ، وَقَاتَلَهُمۡ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيۡهِ وَسَلَّمَ جَمِيعًا وَلَمۡ يُفَرِّقۡ بَيۡنَهُمۡ.
Kaidah ketiga: bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus kepada manusia yang berbeda-beda peribadahannya. Sebagian mereka ada yang beribadah kepada malaikat, ada yang beribadah kepada para nabi dan orang-orang shalih, ada yang beribadah kepada bebatuan dan pepohonan, dan ada pula yang beribadah kepada matahari dan bulan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerangi mereka semuanya dan tidak membeda-bedakan mereka.
وَالدَّلِيلُ قَوۡلُهُ تَعَالَى: ﴿وَقَاتِلُوهُمۡ حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتۡنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلهِ﴾ [البقرة: ١٩٤].
Dalilnya adalah firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan perangilah mereka sampai tidak ada fitnah sedikit pun dan sampai agama ini hanya untuk Allah.” (QS. Al-Baqarah: 194).
وَدَلِيلُ الشَّمۡسِ وَالۡقَمَرِ قَوۡلُهُ تَعَالَى: ﴿وَمِنۡ آيَاتِهِ اللَّيۡلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمۡسُ وَالۡقَمَرُ ۚ لَا تَسۡجُدُوا لِلشَّمۡسِ وَلَا لِلۡقَمَرِ﴾ [فصلت: ٣٧].
Dalil bahwa ada yang menyembah matahari dan bulan dan itu adalah kesyirikan adalah firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan termasuk tanda-tandaNya adanya malam, siang, matahari, dan bulan. Janganlah kalian sujud kepada matahari dan jangan pula kepada bulan.” (QS. Fushshilat: 37).
وَدَلِيلُ الۡمَلاَئِكَةِ قَوۡلُهُ تَعَالَى: ﴿وَلَا يَأۡمُرَكُمۡ أَن تَتَّخِذُوا الۡمَلَائِكَةَ وَالنَّبِيِّينَ أَرۡبَابًا﴾ [آل عمران: ٨٠].
Dalil bahwa ada yang menyembah malaikat dan hal tersebut merupakan kesyirikan adalah firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan Dia tidak memerintahkan kalian untuk menjadikan para malaikat dan nabi sebagai rabb-rabb.” (QS. Ali ‘Imran: 80).
وَدَلِيلُ الأَنۡبِيَاءِ قَوۡلُهُ تَعَالَى: ﴿وَإِذۡ قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَى ابۡنَ مَرۡيَمَ أَأَنتَ قُلۡتَ لِلنَّاسِ اتَّخِذُونِي وَأُمِّيَ إِلَـٰهَيۡنِ مِن دُونِ اللَّهِ ۖ قَالَ سُبۡحَانَكَ مَا يَكُونُ لِي أَنۡ أَقُولَ مَا لَيۡسَ لِي بِحَقٍّ ۚ إِن كُنتُ قُلۡتُهُ فَقَدۡ عَلِمۡتَهُ ۚ تَعۡلَمُ مَا فِي نَفۡسِي وَلَا أَعۡلَمُ مَا فِي نَفۡسِكَ ۚ إِنَّكَ أَنتَ عَلَّامُ الۡغُيُوبِ﴾ [المائدة: ١١٦].
Dalil bahwa ada orang yang menyembah para nabi dan itu merupakan kesyirikan adalah firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan ingatlah, ketika Allah mengatakan, Wahai ‘Isa bin Maryam apakah engkau mengatakan kepada manusia: Jadikanlah aku dan ibuku dua sesembahan selain Allah? ‘Isa menjawab: Maha suci Engkau, tidak pantas bagiku untuk mengatakan perkataan yang tidak benar. Jika aku telah mengatakannya, maka sungguh Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku sedangkan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diriMu. Sesungguhnya Engkau adalah maha mengetahui hal-hal yang ghaib.” (QS. Al-Maidah: 13).
وَدَلِيلُ الصَّالِحِينَ قَوۡلُهُ تَعَالَى: ﴿أُولَـٰئِكَ الَّذِينَ يَدۡعُونَ يَبۡتَغُونَ إِلَىٰ رَبِّهِمُ الۡوَسِيلَةَ أَيُّهُمۡ أَقۡرَبُ وَيَرۡجُونَ رَحۡمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ﴾ الآية [الإسراء: ٥٧].
Dalil bahwa ada orang yang menyembah orang-orang shalih dan perbuatan itu merupakan kesyirikan adalah firman Allah ta’ala yang artinya, “Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Rabb mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmatNya dan takut akan azabNya.” (QS. Al-Isra`: 57).
وَدَلِيلُ الأَحۡجَارِ وَالأَشۡجَارِ قَوۡلُهُ تَعَالَى: ﴿أَفَرَأَيۡتُمُ اللَّاتَ وَالۡعُزَّىٰ ۝١٩ وَمَنَاةَ الثَّالِثَةَ الۡأُخۡرَىٰ﴾ [النجم: ١٩-٢٠].
Dalil bahwa ada orang yang menyembah bebatuan dan pepohonan dan itu merupakan kesyirikan adalah firman Allah ta’ala yang artinya, “Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap Lata dan Uzza, dan Manat yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)?” (QS. An-Najm: 19-20).
وَحَدِيثُ أَبِي وَاقِدِ اللَّيۡثِي رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ قَالَ: (خَرَجۡنَا مَعَ النَّبِيِّ ﷺ إِلَى حُنَيۡنٍ وَنَحۡنُ حُدَثَاءُ عَهۡدٍ بِكُفۡرٍ، وَلِلۡمُشۡرِكِينَ سِدۡرَةٌ يَعۡكُفُونَ عِنۡدَهَا وَيَنُوطُونَ بِهَا أَسۡلِحَتَهُمۡ يُقَالُ لَهَا ذَاتَ أَنۡوَاطٍ، فَمَرَرۡنَا بِسِدۡرَةٍ فَقُلۡنَا: يَا رَسُولَ اللهِ اجۡعَلۡ لَنَا ذَاتَ أَنۡوَاطٍ كَمَا لَهُمۡ ذَاتُ أَنۡوَاطٍ...) الۡحَدِيث.
Dan hadits Abu Waqid Al-Laitsi radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: Kami pernah keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Hunain. Waktu itu kami masih baru masuk Islam. Orang-orang musyrik memiliki sebuah pohon yang mereka i’tikaf di situ dan mereka gantungkan senjata-senjata mereka di situ. Pohon itu dinamakan Dzatu Anwath. Ketika kami melewati pohon itu, kami mengatakan, “Wahai Rasulullah, jadikan untuk kami Dzatu Anwath sebagaimana mereka memiliki Dzatu Anwath…” Al-Hadits.
الۡقَاعِدَةُ الرَّابِعَةُ: أَنَّ مُشۡرِكِي زَمَانِنَا أَغۡلَظُ شِرۡكًا مِنَ الۡأَوَّلِينَ لِأَنَّ الۡأَوَّلِينَ يُشۡرِكُونَ فِي الرَّخَاءِ وَيُخۡلِصُونَ فِي الشَّدَّةِ، وَمُشۡرِكُو زَمَانِنَا شِرۡكُهُمۡ دَائِمٌ فِي الرَّخَاءِ وَالشِّدَّةِ، وَالدَّلِيلُ قَوۡلُهُ تَعَالَى: ﴿فَإِذَا رَكِبُوا فِي الۡفُلۡكِ دَعَوُا اللهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمۡ إِلَى الۡبَرِّ إِذَا هُمۡ يُشۡرِكُونَ﴾ [العنكبوت: ٦٥].
Kaidah keempat: Bahwa orang-orang musyrik pada zaman kita ini kesyirikannya lebih parah daripada orang-orang musyrik zaman dahulu. Karena orang-orang musyrik pada zaman dahulu mereka melakukan perbuatan kesyirikan hanya pada saat lapang. Adapun ketika saat kesulitan mereka mengikhlaskan ibadah hanya untuk Allah. Sedangkan orang-orang musyrik di zaman kita ini, mereka kesyirikannya senantiasa dilakukan baik di saat lapang maupun susah. Dan dalilnya adalah firman Allah ta’ala yang artinya, “Ketika mereka menaiki kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan agama hanya untukNya. Namun apabila Allah telah menyelamatkan mereka ke daratan, setelah itu mereka kembali melakukan kesyirikan.” (QS. Al-‘Ankabut: 65).

Shahih Muslim hadits nomor 321

٤٣ – (٣٢١) – حَدَّثَنَا هَارُونُ بۡنُ سَعِيدٍ الۡأَيۡلِيُّ: حَدَّثَنَا ابۡنُ وَهۡبٍ: أَخۡبَرَنِي مَخۡرَمَةُ بۡنُ بُكَيۡرٍ، عَنۡ أَبِيهِ، عَنۡ أَبِي سَلَمَةَ بۡنِ عَبۡدِ الرَّحۡمٰنِ، قَالَ: قَالَتۡ عَائِشَةُ: كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ إِذَا اغۡتَسَلَ بَدَأَ بِيَمِينِهِ، فَصَبَّ عَلَيۡهَا مِنَ الۡمَاءِ فَغَسَلَهَا، ثُمَّ صَبَّ الۡمَاءَ عَلَى الۡأَذَى الَّذِي بِهِ، بِيَمِينِهِ. وَغَسَلَ عَنۡهُ بِشِمَالِهِ، حَتَّى إِذَا فَرَغَ مِنۡ ذَلِكَ صَبَّ عَلَى رَأۡسِهِ.
قَالَتۡ عَائِشَةُ: كُنۡتُ أَغۡتَسِلُ أَنَا وَرَسُولُ اللهِ ﷺ مِنۡ إِنَاءٍ وَاحِدٍ وَنَحۡنُ جُنُبَانِ.
43. (321). Harun bin Sa'id Al-Aili telah menceritakan kepada kami: Ibnu Wahb menceritakan kepada kami: Makhramah bin Bukair mengabarkan kepadaku, dari ayahku, dari Abu Salamah bin 'Abdurrahman, beliau berkata: 'Aisyah berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam apabila mandi, beliau mulai dengan tangan kanan. Beliau menuangkan air kepadanya lalu beliau cuci, kemudian beliau tuangkan air pada kemaluan menggunakan tangan kanan dan mencucinya dengan tangan kiri. Sampai ketika telah selesai dari itu, maka beliau tuangkan air ke atas kepala.
'Aisyah berkata: Aku pernah mandi bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dari satu bejana dalam keadaan kami berdua sedang junub.
٤٤ - (…) - وَحَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بۡنُ رَافِعٍ: حَدَّثَنَا شَبَابَةُ: حَدَّثَنَا لَيۡثٌ عَنۡ يَزِيدَ، عَنۡ عِرَاكٍ، عَنۡ حَفۡصَةَ بِنۡتِ عَبۡدِ الرَّحۡمٰنِ بۡنِ أَبِي بَكۡرٍ، وَكَانَتۡ تَحۡتَ الۡمُنۡذِرِ بۡنِ الزُّبَيۡرِ - أَنَّ عَائِشَةَ أَخۡبَرَتۡهَا -: أَنَّهَا كَانَتۡ تَغۡتَسِلُ هِيَ وَالنَّبِيُّ ﷺ فِي إِنَاءٍ وَاحِدٍ. يَسَعُ ثَلَاثَةَ أَمۡدَادٍ، أَوۡ قَرِيبًا مِنۡ ذَلِكَ.
44. Muhammad bin Rafi' telah menceritakan kepadaku: Syababah menceritakan kepada kami: Laits menceritakan kepada kami dari Yazid, dari 'Irak, dari Hafshah binti 'Abdurrahman bin Abu Bakr, beliau waktu itu istri Al-Mundzir bin Az-Zubair – bahwa 'Aisyah mengabarkan kepada Hafshah: Bahwa 'Aisyah pernah mandi bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di dalam satu bejana yang bisa muat tiga mudd atau mendekati itu.
٤٥ - (…) - حَدَّثَنَا عَبۡدُ اللهِ بۡنُ مَسۡلَمَةَ بۡنِ قَعۡنَبٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَفۡلَحُ بۡنُ حُمَيۡدٍ، عَنِ الۡقَاسِمِ بۡنِ مُحَمَّدٍ، عَنۡ عَائِشَةَ، قَالَتۡ: كُنۡتُ أَغۡتَسِلُ أَنَا وَرَسُولُ اللهِ ﷺ مِنۡ إِنَاءٍ وَاحِدٍ. تَخۡتَلِفُ أَيۡدِينَا فِيهِ مِنَ الۡجَنَابَةِ.
[البخاري: كتاب الغسل، باب هل يدخل الجنب يده في الإناء قبل أن يغسلها...، رقم: ٢٦١].
45. 'Abdullah bin Maslamah bin Qa'nab telah menceritakan kepada kami, beliau berkata: Aflah bin Humaid menceritakan kepada kami, dari Al-Qasim bin Muhammad, dari 'Aisyah, beliau berkata: Aku pernah mandi junub bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dari satu bejana. Tangan-tangan kami bersentuhan di dalamnya.
٤٦ - (…) - وَحَدَّثَنَا يَحۡيَىٰ بۡنُ يَحۡيَىٰ: أَخۡبَرَنَا أَبُو خَيۡثَمَةَ، عَنۡ عَاصِمٍ الۡأَحۡوَلِ، عَنۡ مُعَاذَةَ، عَنۡ عَائِشَةَ، قَالَتۡ: كُنۡتُ أَغۡتَسِلُ أَنَا وَرَسُولُ اللهِ ﷺ مِنۡ إِنَاءٍ، بَيۡنِي وَبَيۡنَهُ، وَاحِدٍ، فَيُبَادِرُنِي حَتَّى أَقُولَ: دَعۡ لِي، دَعۡ لِي. قَالَتۡ: وَهُمَا جُنُبَانِ.
46. Yahya bin Yahya telah menceritakan kepada kami: Abu Khaitsamah mengabarkan kepada kami, dari 'Ashim Al-Ahwal, dari Mu'adzah, dari 'Aisyah, beliau berkata: Aku pernah mandi bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dari satu bejana di antara aku dengan beliau. Maka beliau mendahuluiku sampai-sampai aku mengatakan: Sisakan untukku, sisakan untukku. Mu'adzah berkata: Mereka berdua sedang junub.

Shahih Al-Bukhari hadits nomor 273

٢٧٣ – وَقَالَتۡ: كُنۡتُ أَغۡتَسِلُ أَنَا وَرَسُولُ اللهِ ﷺ مِنۡ إِنَاءٍ وَاحِدٍ، نَغۡرِفُ مِنۡهُ جَمِيعًا. [طرفه في: ٢٥٠].
273. 'Aisyah berkata: Aku pernah mandi bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dari satu bejana. Kami sama-sama menciduk darinya.

Syarh Al-Qawa'idul Arba' - Kaidah Keempat

الۡقَاعِدَةُ الرَّابِعَةُ: أَنَّ مُشۡرِكِي زَمَانِنَا أَغۡلَظُ شِرۡكًا مِنَ الۡأَوَّلِينَ لِأَنَّ الۡأَوَّلِينَ يُشۡرِكُونَ فِي الرَّخَاءِ وَيُخۡلِصُونَ فِي الشَّدَّةِ، وَمُشۡرِكُو زَمَانِنَا شِرۡكُهُمۡ دَائِمٌ فِي الرَّخَاءِ وَالشِّدَّةِ، وَالدَّلِيلُ قَوۡلُهُ تَعَالَى: ﴿فَإِذَا رَكِبُوا فِي الۡفُلۡكِ دَعَوُا اللهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمۡ إِلَى الۡبَرِّ إِذَا هُمۡ يُشۡرِكُونَ﴾ [العنكبوت: ٦٥].
Kaidah keempat: Bahwa orang-orang musyrik pada zaman kita ini kesyirikannya lebih parah daripada orang-orang musyrik zaman dahulu. Karena orang-orang musyrik pada zaman dahulu mereka melakukan perbuatan kesyirikan hanya pada saat lapang. Adapun ketika saat kesulitan mereka mengikhlaskan ibadah hanya untuk Allah. Sedangkan orang-orang musyrik di zaman kita ini, mereka kesyirikannya senantiasa dilakukan baik di saat lapang maupun susah. Dan dalilnya adalah firman Allah ta’ala yang artinya, “Ketika mereka menaiki kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan agama hanya untukNya. Namun apabila Allah telah menyelamatkan mereka ke daratan, setelah itu mereka kembali melakukan kesyirikan.” (QS. Al-‘Ankabut: 65). 

الۡقَاعِدَةُ الرَّابِعَةُ -وَهِيَ الۡأَخِيرَةِ-: أَنَّ مُشۡرِكِي زَمَانِنَا أَعۡظَمُ شِرۡكًا مِنَ الۡأَوَّلِينَ الَّذِينَ بُعِثَ إِلَيۡهِمۡ رَسُولُ اللهِ ﷺ. 
Kaidah keempat yang terakhir: Bahwa orang-orang musyrik pada zaman kita ini lebih besar kesyirikannya daripada orang-orang dahulu. Yaitu orang-orang yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus kepada mereka. 
وَالسَّبَبُ فِي ذٰلِكَ وَاضِحٌ: أَنَّ اللهَ -جَلَّ وَعَلَا- أَخۡبَرَ أَنَّ الۡمُشۡرِكِينَ الۡأَوَّلِينَ يُخۡلِصُونَ لِلهِ إِذَا اشۡتَدَّ بِهِمۡ الۡأَمۡرُ، فَلَا يَدۡعُونَ غَيۡرَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ لِعِلۡمِهِمۡ أَنَّهُ لَا يُنۡقِذُ مِنَ الشَّدَائِدِ إِلَّا اللهُ كَمَا قَالَ تَعَالَى: ﴿وَإِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فِي الۡبَحۡرِ ضَلَّ مَنۡ تَدۡعُونَ إِلَّآ إِيَّاهُ فَلَمَّا نَجَّٰكُمۡ إِلَى الۡبَرِّ أَعۡرَضۡتُمۡ وَكَانَ الۡإِنسَٰنُ كَفُورًا ۝٦٧﴾ [الإسراء: ٦٧]، وَفِي الۡآيَةِ الۡأُخۡرَى: ﴿وَإِذَا غَشِيَهُم مَوۡجٌ كَالظُّلَلِ دَعَوُا اللهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ الدِّينَ﴾. يَعۡنِي: مُخۡلِصِينَ لَهُ الدُّعَاءَ، ﴿فَلَمَّا نَجَّٰهُمۡ إِلَى الۡبَرِّ فَمِنۡهُم مُّقۡتَصِدٌ﴾ [لقمان: ٣٢]، وَفِي الۡآيَةِ الۡأُخۡرَى: ﴿فَلَمَّا نَجَّٰهُمۡ إِلَى الۡبَرِّ إِذَا هُمۡ يُشۡرِكُونَ﴾ [العنكبوت: ٦٥]، فَالۡأَوَّلُونَ يُشۡرِكُونَ فِي الرَّخَاءِ، يَدۡعُونَ الۡأَصۡنَامَ وَالۡأَحۡجَارَ وَالۡأَشۡجَارَ. 
Sebabnya jelas. Allah jalla wa ‘ala telah mengabarkan bahwa orang-orang musyrik dahulu mengikhlaskan doa kepada Allah apabila mereka dalam kesulitan. Mereka tidak menyeru selain Allah ‘azza wa jalla karena mereka tahu bahwa tidak ada yang mampu menyelamatkan mereka dari kesulitan kecuali Allah. Sebagaimana Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan apabila bahaya di lautan menimpa mereka, hilanglah sesembahan yang mereka seru kecuali Dia. Lalu ketika Allah telah menyelamatkan kalian ke daratan, serta merta kalian berpaling. Dan manusia itu sangat ingkar.” (QS. Al-Isra`: 67). Di dalam ayat yang lain, “Dan apabila ombak meliputi mereka seperti gunung, mereka menyeru kepada Allah dengan mengikhlaskan agama untukNya.” Yakni: mengikhlaskan doa untukNya. “Lalu ketika Dia telah menyelamatkan mereka ke daratan, lalu sebagian mereka kembali kafir.” (QS. Luqman: 32). Di dalam ayat yang lain pula, “Tatkala Allah telah menyelamatkan mereka ke daratan, mereka kemudian menyekutukanNya.” (QS. Al-‘Ankabut: 65). Jadi, orang-orang dahulu menyekutukan ketika kondisi lapang. Mereka berdoa kepada berhala-berhala, bebatuan, dan pepohonan. 
أَمَّا إِذَا وَقَعُوا فِي شِدَّةٍ وَأَشۡرَفُوا عَلَى الۡهَلَاكِ فَإِنَّهُمۡ لَا يَدۡعُونَ صَنَمًا وَلَا شَجَرًا وَلَا حَجَرًا وَلَا أَيَّ مَخۡلُوقٍ، وَإِنَّمَا يَدۡعُونَ اللهَ وَحۡدَهُ سُبۡحَانَهُ وَتَعَالَى، فَإِذَا كَانَ لَا يُخَلِّصُ مِنَ الشَّدَائِدِ إِلَّا اللهُ -جَلَّ وَعَلَا- فَكَيۡفَ يُدۡعَى غَيۡرُهُ فِي الرَّخَاءِ. 
Adapun apabila mereka berada dalam kesulitan dan mendekati kepada kebinasaan, maka mereka tidak berdoa kepada satu berhala pun, tidak pula pohon, batu, atau makhluk apapun. Mereka hanya berdoa kepada Allah saja subhanahu wa ta’ala. Maka jika tidak ada yang menyelamatkan dari kesulitan-kesulitan kecuali Allah jalla wa ‘ala, lalu bagaimana yang selain Dia malah diseru ketika lapang. 
أَمَّا مُشۡرِكُو هٰذَا الزَّمَانِ -يَعۡنِي: الۡمُتَأَخِّرِينَ- الَّذِينَ حَدَثَ فِيهِمۡ الشِّرۡكُ مِنۡ هٰذِهِ الۡأُمَّةِ الۡمُحَمَّدِيَّةِ فَإِنَّ شِرۡكَهُمۡ دَائِمٌ فِي الرَّخَاءِ وَالشِّدَّةِ، لَا يُخۡلِصُونَ لِلهِ وَلَا فِي حَالَةِ الشِّدَّةِ، بَلۡ كُلَّمَا اشۡتَدَّ بِهِمۡ الۡأَمۡرُ اشۡتَدَّ شِرۡكُهُمۡ وَنِدَاؤُهُمۡ لِلۡحَسَنِ وَالۡحُسَيۡنِ وَعَبۡدُ الۡقَادِرِ وَالرِّفَاعِيِّ وَغَيۡرِ ذٰلِكَ، هٰذَا شَيۡءٌ مَعۡرُوفٌ، وَيُذۡكَرُ عَنۡهُمُ الۡعَجَائِبُ فِي الۡبِحَارِ، أَنَّهُمۡ إِذَا اشۡتَدَّ بِهِمُ الۡأَمۡرُ صَارُوا يَهۡتِفُونَ بِأَسۡمَاءِ الۡأَوۡلِيَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَيَسۡتَغِيثُونَ بِهِمۡ مِنۡ دُونِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، لِأَنَّ دُعَاةَ الۡبَاطِلِ وَالصَّلَالِ يَقُولُونَ لَهُمۡ: نَحۡنُ نُنۡقِذُكُمۡ مِنَ الۡبِحَارِ، فَإِذَا أَصَابَكُمۡ شَيۡءٌ اهۡتَفُوا بِأَسۡمَائِنَا وَنَحۡنُ نُنۡقِذُكُمۡ. 
Adapun orang-orang musyrik zaman ini -yakni belakangan ini- yaitu orang-orang yang kesyirikan terjadi pada mereka dari kalangan umat Muhammad, sesungguhnya kesyirikan mereka senantiasa berlangsung baik pada saat lapang maupun susah. Mereka tidak mengikhlaskan doa kepada Allah meski pada keadaan sulit. Bahkan, ketika keadaan semakin sulit, semakin parah pula kesyirikan mereka dan semakin keras panggilan mereka kepada Al-Hasan, Al-Husain, ‘Abdul Qadir, Ar-Rifa’i, dan selain mereka. Ini adalah perkara yang sudah dikenal. Dan disebutkan dari mereka keanehan-keanehan di lautan. Yaitu bahwa mereka apabila berada dalam keadaan sulit, mereka meneriakkan nama-nama para wali dan orang-orang shalih, serta beristighatsah kepada mereka dari selain Allah ‘azza wa jalla. Karena para dai yang menyeru kepada kebatilan dan kesesatan berkata kepada mereka: Kami akan menyelamatkan kalian dari lautan, sehingga apabila ada sesuatu yang menimpa kalian, panggillah nama-nama kami, maka kami akan selamatkan kalian. 
كَمَا يُرۡوَى هٰذَا عَنۡ مَشَايِخِ الطُّرُقِ الصُّوفِيَّةِ، وَاقۡرَءُوا -إِنۡ شِئۡتُمۡ- (طَبَقَاتِ الشَّعۡرَانِيِّ) فَفِيهَا مَا تَقۡشَعِرُّ مِنۡهُ الۡجُلُودُ مِمَّا يُسَمِّيهِ كَرَمَاتِ الۡأَوۡلِيَاءِ، وَأَنَّهُمۡ يُنۡقِذُونَ مِنَ الۡبِحَارِ، وَأَنَّهُ يَمُدُّ يَدَهُ إِلَى الۡبَحۡرِ وَيَحۡمِلُ الۡمَرۡكَبَ كُلَّهُ وَيُخۡرِجُهُ إِلَى الۡبَرِّ وَلَا تَتَنَدَّى أَكۡمَامُهُ، إِلَى غَيۡرِ ذٰلِكَ مِنۡ تُرَّهَاتِهِمۡ وَخُرَافَاتِهِمۡ، فَشِرۡكُهُمۡ دَائِمٌ فِي الرَّخَاءِ وَالشِّدَّةِ، فَهُمۡ أَغۡلَظُ مِنَ الۡمُشۡرِكِينَ الۡأَوَّلِينَ. 
Sebagaimana hal ini diriwayatkan dari syaikh-syaikh tarekat sufi. Bacalah -kalau engkau mau- “Thabaqat Asy-Sya’rani”. Di dalamnya ada sesuatu yang kulit-kulit dapat bergetar karenanya dari hal-hal yang mereka namakan karamah-karamah para wali. Bahwa mereka dapat menyelamatkan dari lautan, bahwa ia membentangkan tangannya ke lautan, ia membawa perahu seluruhnya, dan ia mengeluarkannya ke daratan dalam keadaan lengan bajunya tidak basah. Dan selain itu dari omongan kosong dan khurafat mereka. Jadi kesyirikan orang-orang musyrik zaman ini senantiasa terjadi baik di saat lapang maupun sulit. Makanya, mereka lebih parah daripada orang-orang syirik dahulu. 
وَأَيۡضًا -كَمَا قَالَ الشَّيۡخُ فِي (كَشۡفِ الشُّبُهَاتِ)-: مِنۡ وَجۡهٍ آخَرَ: (أَنَّ الۡأَوَّلِينَ يَعۡبُدُونَ أُنَاسًا صَالِحِينَ مِنَ الۡمَلَائِكَةِ وَالۡأَنۡبِيَاءِ وَالۡأَوۡلِيَاءِ، أَمَّا هٰؤُلَاءِ فَيَعۡبُدُونَ أُنَاسًا مِنۡ أَفۡجَرِ النَّاسِ، وَهُمۡ يَعۡتَرِفُونَ بِذٰلِكَ، فَالَّذِينَ يُسَمُّونَهُمۡ الۡأَقۡطَابَ وَالۡأَغۡوَاثَ لَا يُصَلُّونَ، وَلَا يَصُومُونَ، وَلَا يَتَنَزَّهُونَ عَنِ الزِّنَا وَاللِّوَاطِ وَالۡفَاحِشَةِ، لِأَنَّهُمۡ يَزۡعُمُونَ لَيۡسَ عَلَيۡهِمۡ تَكَالِيفُ، فَلَيۡسَ عَلَيۡهِمۡ حَرَامٌ وَلَا حَلَالٌ، إِنَّمَا هٰذَا لِلۡعَوَامِّ فَقَطۡ. 
وَهُمۡ يَعۡتَرِفُونَ أَنَّ سَادَتَهُمۡ لَا يُصَلُّونَ وَلَا يَصُومُونَ، وَأَنَّهُمۡ لَا يَتَوَرَّعُونَ عَنۡ فَاحِشَةٍ، وَمَعَ هٰذَا يَعۡبُدُونَهُمۡ، بَلۡ يَعۡبُدُونَ أُنَاسًا مِنۡ أَفۡجَرِ النَّاسِ: كَالۡحَلَّاجِ، وَابۡنِ عَرَبِيٍّ، وَالرِّفَاعِيِّ، وَالۡبَدَوِيِّ، وَغَيۡرِهِمۡ). 
Selain itu -sebagaimana Syaikh katakan di Kasyfusy Syubuhat- dari sisi yang lain: “Bahwa orang-orang musyrik dahulu menyembah sesembahan yang shalih dari kalangan malaikat, nabi-nabi, dan wali-wali. Adapun mereka sekarang menyembah orang-orang yang paling jahat. Dan mereka mengakuinya. Orang-orang yang mereka namakan aqthab dan aghwats adalah orang yang tidak shalat, tidak puasa, dan tidak menjaga diri dari zina, homoseks, dan perbuatan keji. Karena mereka menyangka tidak ada beban syariat pada mereka. Sehingga tidak ada bagi mereka perkara halal dan haram karena hal itu hanya untuk orang awam saja. 
Orang-orang musyrik zaman ini mengakui bahwa tokoh-tokoh mereka itu tidak shalat, tidak puasa, dan tidak menjaga diri dari perbuatan keji. Meskipun demikian, mereka tetap menyembahnya. Bahkan mereka menyembah orang-orang yang paling jahat seperti Al-Hallaj, Ibnu ‘Arabi, Ar-Rifa’i, Al-Badawi, dan selain mereka.
وَقَدۡ سَاقَ الشَّيۡخُ الدَّلِيلَ عَلَى أَنَّ الۡمُشۡرِكِينَ الۡمُتَأَخِّرِينَ أَعۡظَمُ وَأَغۡلَظُ شِرۡكًا مِنَ الۡأَوَّلِينَ، لِأَنَّ الۡأَوَّلِينَ يُخۡلِصُونَ فِي الشِّدَّةِ وَيُشۡرِكُونَ فِي الرَّخَاءِ، فَاسۡتَدَلَّ بِقَوۡلِهِ تَعَالَى: ﴿فَإِذَا رَكِبُوا فِي الۡفُلۡكِ دَعَوُا اللهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ الدِّينَ﴾ [العنكبوت: ٦٥]. 
Syaikh telah membawakan dalil bahwa orang-orang musyrik belakangan lebih besar dan lebih parah kesyirikan daripada orang-orang musyrik dahulu. Yaitu karena orang-orang musyrik dahulu memurnikan ibadah dalam keadaan sulit namun berbuat syirik ketika lapang. Beliau mengambil dalil dengan firman Allah ta’ala, “Jika mereka naik kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan agama untukNya.” (QS. Al-‘Ankabut: 65). 
وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحۡبِهِ أَجۡمَعِينَ. 
Semoga Allah senantiasa curahkan shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, dan shahabatnya seluruhnya.

Sunan At-Tirmidzi hadits nomor 104

١٠٤ – (صحيح) حَدَّثَنَا ابۡنُ أَبِي عُمَرَ، قَالَ: حَدَّثَنَا سُفۡيَانُ، عَنۡ هِشَامِ بۡنِ عُرۡوَةَ، عَنۡ أَبِيهِ، عَنۡ عَائِشَةَ، قَالَتۡ: كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ إِذَا أَرَادَ أَنۡ يَغۡتَسِلَ مِنَ الۡجَنَابَةِ بَدَأَ فَغَسَلَ يَدَيۡهِ قَبۡلَ أَنۡ يُدۡخِلَهُمَا الۡإِنَاءَ، ثُمَّ غَسَلَ فَرۡجَهُ، وَيَتَوَضَّأُ وُضُوءَهُ لِلصَّلَاةِ، ثُمَّ يُشَرِّبُ شَعۡرَهُ الۡمَاءَ، ثُمَّ يَحۡثِي عَلَى رَأۡسِهِ ثَلَاثَ حَثَيَاتٍ. هٰذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ. وَهُوَ الَّذِي اخۡتَارَهُ أَهۡلُ الۡعِلۡمِ فِي الۡغُسۡلِ مِنَ الۡجَنَابَةِ: أَنَّهُ يَتَوَضَّأُ وُضُوءَهُ لِلصَّلَاةِ، ثُمَّ يُفۡرِغُ عَلَى رَأۡسِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ يُفِيضُ الۡمَاءَ عَلَى سَائِرِ جَسَدِهِ، ثُمَّ يُغۡسِلُ قَدَمَيۡهِ. وَالۡعَمَلُ عَلَى هٰذَا عِنۡدَ أَهۡلِ الۡعِلۡمِ، وَقَالُوا: إِنِ انۡغَمَسَ الۡجُنُبُ فِي الۡمَاءِ وَلَمۡ يَتَوَضَّأۡ أَجۡزَأَهُ، وَهُوَ قَوۡلُ الشَّافِعِيِّ، وَأَحۡمَدَ، وَإِسۡحَاقَ. [(الإرواء)(١٣٢): ق].
104. Ibnu Abu 'Umar telah menceritakan kepada kami, beliau berkata: Sufyan menceritakan kepada kami, dari Hisyam bin 'Urwah, dari ayahnya, dari 'Aisyah, beliau berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam jika hendak mandi junub, beliau mulai mencuci kedua telapak tangan sebelum memasukkan keduanya ke dalam bejana. Kemudian beliau mencuci kemaluan, lalu wudhu` seperti wudhu` untuk shalat. Kemudian beliau membasahi rambutnya, lalu menuangkan air ke kepala sebanyak tiga kali cidukan. Ini adalah hadits hasan shahih. Dan inilah yang dipilih ulama dalam masalah mandi junub yaitu berwudhu` seperti wudhu` untuk shalat, lalu menuangkan air ke kepala sebanyak tiga kali, kemudian menuangkan air ke seluruh tubuh, setelah itu mencuci kedua kaki. Dan ulama mengamalkan ini. Dan para ulama berkata: Jika seseorang menyelam di dalam air dan tidak wudhu`, maka ini sudah mencukupinya. Ini adalah pendapat Asy-Syafi'i, Ahmad, dan Ishaq.

Sunan Abu Dawud hadits nomor 242

٢٤٢ – (صحيح) حَدَّثَنَا سُلَيۡمَانُ بۡنُ حَرۡبٍ الۡوَاشِحِيُّ (ح) وَثَنَا مُسَدَّدٌ، قَالَا: نَا حَمَّادٌ، عَنۡ هِشَامِ بۡنِ عُرۡوَةَ، عَنۡ أَبِيهِ، عَنۡ عَائِشَةَ قَالَتۡ: كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ إِذَا اغۡتَسَلَ مِنَ الۡجَنَابَةِ - قَالَ سُلَيۡمَانُ: يَبۡدَأُ فَيُفۡرِغُ بِيَمِينِهِ1 عَلَى، وَقَالَ مُسَدَّدٌ: - غَسَلَ يَدَيۡهِ، يَصُبُّ الۡإِنَاءَ عَلَى يَدِهِ الۡيُمۡنَى – ثُمَّ اتَّفَقَا: فَيَغۡسِلُ فَرَجَهُ، - وَقَالَ مُسَدَّدٌ: - يُفۡرِغُ عَلَى شِمَالِهِ، وَرُبَّمَا كَنَتۡ عَنِ الۡفَرۡجِ - ثُمَّ يَتَوَضَّأُ وُضُوءَهُ لِلصَّلَاةِ، ثُمَّ يُدۡخِلُ يَدَيۡهِ2 فِي الۡإِنَاءِ فَيُخَلِّلُ شَعۡرَهُ، حَتَّى إِذَا رَأَى أَنَّهُ قَدۡ أَصَابَ الۡبَشَرَةَ - أَوۡ: أَنۡقَى الۡبَشَرَةَ - أَفۡرَغَ عَلَى رَأۡسِهِ ثَلَاثًا، فَإِذَا فَضَلَ فُضۡلَةٌ صَبَّهَا عَلَيۡهِ. [ق].
242. Sulaiman bin Harb Al-Wasyihi telah menceritakan kepada kami. (Dalam riwayat lain) Musaddad telah menceritakan kepada kami. Mereka berdua berkata: Hammad menceritakan kepada kami, dari Hisyam bin 'Urwah, dari ayahnya, dari 'Aisyah, beliau berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bila mandi junub – Sulaiman berkata: beliau mulai menuangkan air dengan tangan kanannya ke, Musaddad berkata: - mencuci kedua tangannya, beliau menuangkan bejana ke tangan kanannya – kemudian Sulaiman dan Musaddad bersepakat: Beliau mencuci kemaluan, - Musaddad berkata: - beliau menuangkan air ke tangan kirinya, barangkali beliau mengisyaratkan (kinayah) kepada kemaluan – kemudian beliau wudhu` seperti wudhu` untuk shalat, kemudian beliau masukkan tangan ke dalam bejana. Lalu beliau memasukkan jari-jemari ke rambut, sampai ketika beliau menganggap bahwa air sudah mengenai kulit – atau: air telah membasahi kulit -, beliau menuangkan air ke kepala beliau tiga kali. Jika ada kelebihan air, beliau guyur ke atasnya.

1فِي (نُسۡخَةٍ): (بِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ). (منه). 
2فِي (نُسۡخَةٍ): (يَدِهِ). (منه).

Syarh Al-Qawa'idul Arba' - Kaidah Ketiga (5)

وَحَدِيثُ أَبِي وَاقِدٍ اللَّيۡثِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ قَالَ: (خَرَجۡنَا مَعَ النَّبِيِّ ﷺ إِلَى حُنَيۡنٍ وَنَحۡنُ حُدَثَاءُ عَهۡدٍ بِكُفۡرٍ، وَلِلۡمُشۡرِكِينَ سِدۡرَةٌ يَعۡكُفُونَ عِنۡدَهَا وَيَنُوطُونَ بِهَا أَسۡلِحَتَهُمۡ يُقَالُ لَهَا ذَاتُ أَنۡوَاطٍ، فَمَرَرۡنَا بِسِدۡرَةٍ فَقُلۡنَا: يَا رَسُولَ اللهِ اجۡعَلۡ لَنَا ذَاتَ أَنۡوَاطٍ كَمَا لَهُمۡ ذَاتُ أَنۡوَاطٍ...) الۡحَدِيث.
Dan hadits Abu Waqid Al-Laitsi radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: Kami pernah keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Hunain. Waktu itu kami masih baru masuk Islam. Orang-orang musyrik memiliki sebuah pohon yang mereka i’tikaf di situ dan mereka gantungkan senjata-senjata mereka di situ. Pohon itu dinamakan Dzatu Anwath. Ketika kami melewati pohon itu, kami mengatakan, “Wahai Rasulullah, jadikan untuk kami Dzatu Anwath sebagaimana mereka memiliki Dzatu Anwath…” Al-Hadits.

عَنۡ أَبِي وَاقِدٍ اللَّيۡثِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ - وَكَانَ مِمَّنۡ أَسۡلَمَ عَامَ الۡفَتۡحِ عَلَى الۡمَشۡهُورِ سَنَةَ ثَمَانٍ مِنَ الۡهِجۡرَةِ-. 
Dari Abu Waqid Al-Laitsi radhiyallahu ‘anhu. Beliau termasuk shahabat yang masuk Islam pada tahun Fathu Makkah tahun 8 hijriyyah menurut pendapat yang masyhur. 
يُقَالُ لَهَا: (ذَاتُ أَنۡوَاطٍ)، وَالۡأَنۡوَاطُ جَمۡعُ نَوۡطٍ وَهُوَ: التَّعۡلِيقُ، أَيۡ: ذَاتُ تَعَالِيقَ، يُعَلِّقُونَ بِهَا أَسۡلِحَتَهُمۡ لِلتَّبَرُّكِ بِهَا، فَقَالَ بَعۡضُ الصَّحَابَةِ الَّذِينَ أَسۡلَمُوا قَرِيبًا وَلَمۡ يَعۡرِفُوا التَّوۡحِيدَ تَمَامًا: (اجۡعَلۡ لَنَا ذَاتَ أَنۡوَاطٍ كَمَا لَهُمۡ ذَاتُ أَنۡوَاطٍ) وَهٰذِهِ بَلِيَّةُ التَّقۡلِيدِ وَالتَّشَبُّهِ، وَهِيَ مِنۡ أَعۡظَمِ الۡبَلَايَا، فَعِنۡدَ ذٰلِكَ تَعَجَّبَ النَّبِيُّ ﷺ وَقَالَ: (اللهُ أَكۡبَرُ! اللهُ أَكۡبَرُ! اللهُ أَكۡبَرُ!)، وَكَانَ ﷺ إِذَا أَعۡجَبَهُ شَيۡءٌ أَوۡ اسۡتَنۡكَرَ شَيۡئًا فَإِنَّهُ يُكَبِّرُ، أَوۡ يَقُولُ: (سُبۡحَانَ اللهِ) وَيُكَرِّرُ ذٰلِكَ. 
Dinamakan dzatu anwath. Al-anwath adalah bentuk jamak dari nauth yang artinya gantungan. Jadi artinya pohon yang mempunyai gantungan-gantungan yang digunakan untuk menggantung senjata-senjata mereka untuk mencari berkah dengannya. Sebagian shahabat yang baru saja memeluk agama Islam dan belum mengenal tauhid secara sempurna mengatakan, “Buatkanlah dzatu anwath untuk kami sebagaimana mereka memiliki dzatu anwath.” Ini adalah bencana akibat taklid dan tasyabbuh. Bahkan ini adalah bencana yang paling besar. Seketika itu pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkejut seraya mengatakan, “Allahu akbar! Allahu akbar! Allahu akbar!” Beliau apabila terkejut oleh sesuatu atau mengingkari sesuatu biasa mengucapkan takbir atau mengatakan, “Subhanallah” dan beliau ulang-ulang. 
(إِنَّهَا السُّنَنُ) أَيۡ: الطُّرُقُ الَّتِي يَسۡلُكُهَا النَّاسُ وَيَقۡتَدِي بَعۡضُهُمۡ بِبَعۡضٍ، فَالسَّبَبُ الَّذِي حَمَلَكُمۡ عَلَى هٰذَا هُوَ اتِّبَاعُ سُنَنِ الۡأَوَّلِينَ وَالتَّشَبُّهُ بِالۡمُشۡرِكِينَ. 
Innaha sunan yaitu jalan-jalan yang manusia tempuh dan sebagian mereka mencontoh sebagian yang lain. Jadi sebab yang mengantarkan mereka mengatakan ucapan tersebut adalah mengikuti jalan-jalan hidup orang-orang dahulu dan menyerupai orang-orang musyrik. 
(قُلۡتُمۡ -وَالَّذِي نَفۡسِي بِيَدِهِ- كَمَا قَالَتۡ بَنُو إِسۡرَائِيلَ لِمُوسَى: ﴿اجۡعَل لَّنَآ إِلَٰهًا كَمَا لَهُمۡ ءَالِهَةٌ قَالَ إِنَّكُمۡ قَوۡمٌ تَجۡهَلُونَ﴾ [الأعراف: ١٣٨])، مُوسَى عَلَيۡهِ السَّلَامُ لَمَّا تَجَاوَزَ الۡبَحۡرَ بِبَنِي إِسۡرَائِيلَ وَأَغۡرَقَ اللهُ عَدُوَّهُمۡ فِيهِ وَهُمۡ يَنۡظُرُونَ، مَرَّوۡا عَلَى أُنَاسٍ يَعۡكُفُونَ عَلَى أَصۡنَامٍ لَهُمۡ مِنَ الۡمُشۡرِكِينَ، فَقَالَ هٰؤُلَاءِ لِمُوسَى عَلَيۡهِ السَّلَامُ: ﴿اجۡعَل لَّنَآ إِلَٰهًا كَمَا لَهُمۡ ءَالِهَةٌ قَالَ إِنَّكُمۡ قَوۡمٌ تَجۡهَلُونَ﴾ أَنۡكَرَ عَلَيۡهِمۡ وَقَالَ: ﴿إِنَّ هَٰٓؤُلَآءِ مُتَبَّرٌ مَّا هُمۡ فِيهِ﴾ يَعۡنِي: بَاطِلٌ، ﴿وَبَٰطِلٌ مَّا كَانُوا يَعۡمَلُونَ﴾ لِأَنَّهُ شِرۡكٌ، ﴿قَالَ أَغَيۡرَ اللهِ أَبۡغِيكُمۡ إِلَٰهًا وَهُوَ فَضَّلَكُمۡ عَلَى الۡعَٰلَمِينَ ۝١٤٠﴾ [الأعراف: ١٣٩، ١٤٠]، أَنۡكَرَ عَلَيۡهِمۡ -عَلَيۡهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ- كَمَا أَنَّ نَبِيَّنَا مُحَمَّدًا ﷺ أَنۡكَرَ عَلَى هٰؤُلَاءِ، وَلَكِنۡ هٰؤُلَاءِ، وَهٰؤُلَاءِ لَمۡ يُشۡرِكُوا، فَبَنُوا إِسۡرَائِيلَ لَمَّا قَالُوا هٰذِهِ الۡمَقَالَةَ لَمۡ يُشۡرِكُوا لِأَنَّهُمۡ لَمۡ يَفۡعَلُوا، وَكَذٰلِكَ هٰؤُلَاءِ الصَّحَابَةُ لَوۡ اتَّخَذُوا ذَاتَ أَنۡوَاطٍ لَأَشۡرَكُوا، وَلٰكِنَّ اللهَ حَمَاهُمۡ، لَمَّا نَهَاهُمۡ نَبِيُّهُمۡ انۡتَهَوۡا، وَقَالُوا هٰذِهِ الۡمَقَالَةَ عَنۡ جَهۡلٍ، مَا قَالُوهَا عَنۡ تَعَمُّدٍ، فَلَمَّا عَلِمُوا أَنَّهَا شِرۡكٌ انۡتَهَوۡا وَلَمۡ يُنَفِّذُوا، وَلَوۡ نَفَّذُوا لَأَشۡرَكُوا بِاللهِ عَزَّ وَجَلَّ. 
Demi Zat yang jiwaku ada di tanganNya, kalian telah mengatakan seperti perkataan Bani Israil kepada Musa: “Buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala).” Musa menjawab: “Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui.” (QS. Al-A’raf: 138). Musa ‘alaihis salam ketika telah melewati laut bersama Bani Israil dan ketika Allah telah menenggelamkan musuh mereka di dalam laut dalam keadaan mereka melihatnya; Musa dan Bani Israil melewati orang-orang musyrik yang sedang beri’tikaf di tempat berhala mereka. Lalu Bani Israil berkata kepada Musa ‘alaihis salam, “Buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala).” Musa menjawab: “Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui.” Musa mengingkari mereka dan berkata, “Sesungguhnya mereka itu akan dihancurkan kepercayaan yang dianutnya” yakni batal. “Dan akan batal apa yang seIalu mereka kerjakan” karena perbuatan mereka adalah kesyirikan. “Musa menjawab: Patutkah aku mencari sesembahan untuk kalian selain Allah, padahal Dialah yang telah melebihkan kalian atas segala umat.” (QS. Al-A’raf: 139-140). Musa ‘alaihish shalatu was salam mengingkari mereka sebagaimana Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingkari para shahabat itu. Namun Bani Israil dan para shahabat belum sampai melakukan kesyirikan. Bani Israil ketika mengucapkan ucapan tersebut, mereka tidak sampai syirik karena mereka tidak sampai melakukannya. Demikian pula para shahabat. Seandainya mereka membuat dzatu anwath niscaya mereka jatuh dalam kesyirikan. Akan tetapi Allah menjaga mereka, yaitu ketika Nabi mereka melarang mereka lantas mereka pun berhenti. Di samping itu, mereka mengucapkan ucapan tersebut karena kebodohan. Mereka tidak mengucapkannya dengan tujuan syirik. Sehingga ketika mereka telah mengetahui bahwa ucapan tersebut adalah kesyirikan, mereka berhenti dan tidak melakukannya. Sekiranya mereka melakukannya niscaya mereka terjatuh dalam perbuatan menyekutukan Allah ‘azza wa jalla
فَالشَّاهِدُ مِنَ الۡآيَةِ: أَنَّ هُنَاكَ مَنۡ يَعۡبُدُ الۡأَشۡجَارَ، لِأَنَّ هٰؤُلَاءِ الۡمُشۡرِكِينَ اتَّخَذُوا ذَاتَ أَنۡوَاطٍ، وَحَاوَلَ هٰؤُلَاءِ الصَّحَابَةُ الَّذِينَ لَمۡ يَتَمَكَّنۡ الۡعِلۡمُ مِنۡ قُلُوبِهِمۡ حَاوَلُوا أَنۡ يَتَشَبَّهُوا بِهِمۡ لَوۡ لَا أَنَّ اللهَ حَمَاهُمۡ بِرَسُولِهِ ﷺ. 
الشَّاهِدُ: أَنَّ هُنَاكَ مَنۡ يَتَبَرَّكَ بِالۡأَشۡجَارِ وَيَعۡكُفُ عِنۡدَهَا، وَالۡعُكُوفُ مَعۡنَاهُ: الۡبَقَاءُ عِنۡدَهَا مُدَّةً تَقَرُّبًا إِلَيۡهَا. فَالۡعُكُوفُ هُوَ: الۡبَقَاءُ فِي الۡمَكَانِ. 
Yang menjadi dalil dari ayat tersebut adalah bahwa di sana ada orang yang menyembah pepohonan. Karena orang-orang musyrik itu telah membuat dzatu anwath. Dan orang-orang yang belum mapan ilmunya di dalam hatinya dari kalangan shahabat berusaha untuk menyerupai mereka sekiranya Allah tidak menjaga mereka melalui RasulNya shallallahu ‘alaihi wa sallam
Yang menjadi dalil adalah bahwa di sana ada orang yang mencari berkah kepada pepohonan dan beri’tikaf di situ. I’tikaf artinya menetap di tempat itu beberapa saat dalam rangka mendekatkan diri kepadanya. Jadi arti i’tikaf adalah menetap di sebuah tempat. 
فَدَلَّ هٰذَا عَلَى مَسَائِلَ عَظِيمَةٍ: 
الۡمَسۡأَلَةُ الۡأُولَى: خَطَرُ الۡجَهۡلِ بِالتَّوۡحِيدِ، فَإِنَّ مَنۡ كَانَ يَجۡهَلُ التَّوۡحِيدَ حَرِيٌّ أَنۡ يَقَعَ فِي الشِّرۡكِ وَهُوَ لَا يَدۡرِي، وَمِنۡ هُنَا يَجِبُ تَعَلُّمُ التَّوۡحِيدِ، وَتَعَلُّمُ مَا يُضَادُّهُ مِنَ الشِّرۡكِ حَتَّى يَكُونَ الۡإِنۡسَانُ عَلَى بَصِيرَةٍ لِئَلَّا يُؤۡتِيَ مِنۡ جَهۡلِهِ، لَا سِيَّمَا إِذَا رَأَى مَنۡ يَفۡعَلُ ذٰلِكَ فَيَحۡسِبُ حَقًّا بِسَبَبِ جَهۡلِهِ، فَفِيهِ: خَطَرُ الۡجَهۡلِ، لَا سِيَّمَا فِي أُمُورِ الۡعَقِيدَةِ. 
Hadits ini menunjukkan beberapa masalah yang agung: 
1. Bahaya kebodohan terhadap tauhid. Karena barangsiapa yang bodoh terhadap tauhid sangat mungkin jatuh ke dalam kesyirikan dalam keadaan tidak menyadari. Atas dasar itu, wajib untuk mempelajari tauhid dan lawannya yaitu syirik sehingga sampai manusia itu berada di atas ilmu supaya tidak melakukan kesyirikan akibat ketidaktahuannya. Terlebih lagi apabila ia melihat seseorang yang melakukan kesyirikan, lalu ia menganggapnya sebagai kebenaran akibat ketidaktahuannya. Jadi pada hadits tersebut mengandung faidah bahayanya kebodohan terlebih di dalam perkara akidah. 
ثَانِيًا: فِي الۡحَدِيثِ خَطَرُ التَّشَبُّهِ بِالۡمُشۡرِكِينَ، وَأَنَّهُ قَدۡ يُؤَدِّي إِلَى الشِّرۡكِ، قَالَ ﷺ: (مَنۡ تَشَبَّهَ بِقَوۡمٍ فَهُوَ مِنۡهُمۡ)، فَلَا يَجُوزُ التَّشَبُّهُ بِالۡمُشۡرِكِينَ. 
2. Di dalam hadits ini ada faidah bahayanya menyerupai orang-orang musyrik. Hal ini sering mengantarkan kepada kesyirikan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” Sehingga, tidak boleh menyerupai orang-orang musyrik. 
الۡمَسۡأَلَةُ الثَّالِثَةُ: أَنَّ التَّبَرُّكَ بِالۡأَحۡجَارِ وَالۡأَشۡجَارِ وَالۡأَبۡنِيَةِ شِرۡكٌ وَإِنۡ سُمِّيَ بِغَيۡرِ اسۡمِهِ، لِأَنَّهُ طَلَبَ الۡبَرَكَةَ مِنۡ غَيۡرِ اللهِ مِنَ الۡأَحۡجَارِ وَالۡأَشۡجَارِ وَالۡقُبُورِ وَالۡأَضۡرِحَةِ، وَهٰذَا شِرۡكٌ وَإِنۡ سَمُّوهُ بِغَيۡرِ اسۡمِ الشِّرۡكِ. 
3. Bahwa mencari berkah kepada bebatuan, pepohonan, dan bangunan-bangunan adalah syirik, walaupun perbuatan ini mereka tidak namakan syirik. Karena ia telah mencari berkah dari selain Allah dari bebatuan, pepohonan, dan pekuburan. Dan ini adalah syirik, meskipun mereka menamakannya dengan selain nama syirik.

Shahih Muslim hadits nomor 316

٩ – بَابُ صِفَةِ غُسۡلِ الۡجَنَابَةِ

9. Bab sifat mandi junub

٣٥ – (٣١٦) – حَدَّثَنَا يَحۡيَىٰ بۡنُ يَحۡيَىٰ التَّمِيمِيُّ: حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنۡ هِشَامِ بۡنِ عُرۡوَةَ، عَنۡ أَبِيهِ، عَنۡ عَائِشَةَ، قَالَتۡ: كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ، إِذَا اغۡتَسَلَ مِنَ الۡجَنَابَةِ، يَبۡدَأُ فَيَغۡسِلُ يَدَيۡهِ، ثُمَّ يُفۡرِغُ بِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ، فَيَغۡسِلُ فَرۡجَهُ، ثُمَّ يَتَوَضَّأُ وُضُوءَهُ لِلصَّلَاةِ، ثُمَّ يَأۡخُذُ الۡمَاءَ، فَيُدۡخِلُ أَصَابِعَهُ فِي أُصُولِ الشَّعۡرِ، حَتَّى إِذَا رَأَى أَنۡ قَدِ اسۡتَبۡرَأَ، حَفَنَ عَلَى رَأۡسِهِ ثَلَاثَ حَفَنَاتٍ، ثُمَّ أَفَاضَ عَلَى سَائِرِ جَسَدِهِ، ثُمَّ غَسَلَ رِجۡلَيۡهِ.
35. (316). Yahya bin Yahya At-Tamimi telah menceritakan kepada kami: Abu Mu'awiyah menceritakan kepada kami, dari Hisyam bin 'Urwah, dari ayahnya, dari 'Aisyah, beliau berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam apabila mandi junub beliau mulai dengan mencuci kedua tangannya, kemudian beliau tuangkan air dengan tangan kanannya ke tangan kirinya lalu beliau cuci kemaluan. Kemudian beliau berwudhu` seperti wudhu` untuk shalat. Kemudian beliau ambil air, lalu beliau masukkan jari-jari ke pangkal-pangkal rambut. Sampai ketika beliau anggap sudah membasahi seluruh kepala, beliau mengguyur air dengan cidukan kedua telapak tangan ke kepala sebanyak tiga kali. Kemudian beliau mengguyur seluruh tubuh. Kemudian mencuci kedua kaki.
(…) - وَحَدَّثَنَاهُ قُتَيۡبَةُ بۡنُ سَعِيدٍ وَزُهَيۡرُ بۡنُ حَرۡبٍ قَالَا: حَدَّثَنَا جَرِيرٌ. (ح) وَحَدَّثَنَا عَلِيُّ بۡنُ حُجۡرٍ: حَدَّثَنَا عَلِيُّ بۡنُ مُسۡهِرٍ. (ح) وَحَدَّثَنَا أَبُو كُرَيۡبٍ: حَدَّثَنَا ابۡنُ نُمَيۡرٍ، كُلُّهُمۡ عَنۡ هِشَامٍ، فِي هَٰذَا الۡإِسۡنَادِ. وَلَيۡسَ فِي حَدِيثِهِمۡ غَسۡلُ الرِّجۡلَيۡنِ.
Qutaibah bin Sa'id dan Zuhair bin Harb telah menceritakan hadits ini kepada kami, mereka berdua berkata: Jarir menceritakan kepada kami. (Dalam riwayat lain) 'Ali bin Hujr telah menceritakan kepada kami: 'Ali bin Mushir menceritakan kepada kami. (Dalam riwayat lain) Abu Kuraib telah menceritakan kepada kami: Ibnu Numair menceritakan kepada kami. Mereka seluruhnya dari Hisyam dengan sanad ini. Dan tidak ada penyebutan mencuci kedua kaki dalam hadits mereka.
٣٦ - (…) - وَحَدَّثَنَا أَبُو بَكۡرِ بۡنُ أَبِي شَيۡبَةَ: حَدَّثَنَا وَكِيعٌ: حَدَّثَنَا هِشَامٌ عَنۡ أَبِيهِ، عَنۡ عَائِشَةَ: أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ اغۡتَسَلَ مِنَ الۡجَنَابَةِ، فَبَدَأَ فَغَسَلَ كَفَّيۡهِ ثَلَاثًا ثُمَّ ذَكَرَ نَحۡوَ حَدِيثِ أَبِي مُعَاوِيَةَ. وَلَمۡ يَذۡكُرۡ غَسۡلَ الرِّجۡلَيۡنِ.
36. Abu Bakr bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami: Waki' menceritakan kepada kami: Hisyam menceritakan kepada kami dari ayahnya, dari 'Aisyah: Bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mandi junub. Beliau mulai dengan mencuci kedua telapak tangannya tiga kali. Kemudian beliau menyebutkan seperti hadits Abu Mu'awiyah namun tidak menyebutkan mencuci kedua kaki.
(…) - وَحَدَّثَنَاهُ عَمۡرٌو النَّاقِدُ: حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ بۡنُ عَمۡرٍو: حَدَّثَنَا زَائِدَةُ عَنۡ هِشَامٍ. قَالَ: أَخۡبَرَنِي عُرۡوَةُ عَنۡ عَائِشَةَ: أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ كَانَ، إِذَا اغۡتَسَلَ مِنَ الۡجَنَابَةِ، بَدَأَ فَغَسَلَ يَدَيۡهِ قَبۡلَ أَنۡ يُدۡخِلَ يَدَهُ فِي الۡإِنَاءِ، ثُمَّ تَوَضَّأَ مِثۡلَ وُضُوئِهِ لِلصَّلَاةِ.
'Amr An-Naqid telah menceritakan hadits ini kepada kami: Mu'awiyah bin 'Amr menceritakan kepada kami: Zaidah menceritakan kepada kami dari Hisyam. Beliau berkata: 'Urwah mengabarkan kepadaku dari 'Aisyah: Bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam apabila mandi junub, beliau mulai mencuci kedua telapak tangannya sebelum memasukkan tangan ke dalam bejana. Kemudian beliau wudhu` seperti wudhu` beliau untuk shalat.

Pelajaran Berharga dari 'Iedul Qurban

Meski baru saja 'Iedul Adha atau 'Iedul Qurban meninggalkan kita, dan walau setahun kemudian kita akan bertemu dengannya lagi -insya Allah-, 'Iedul Qurban telah menyimpan pelajaran yang sangat berharga bagi kita dan kaum muslimin di manapun berada yang takkan pernah hilang dan lepas dari diri kita sekalipun dimakan rentang waktu.

Berqurban tidaklah semata-mata menyembelih hewan pada waktu 'Iedul Adha, walaupun kata qurban secara bahasa ialah hewan yang disembelih waktu adha -sedangkan menurut istilah, qurban ialah hewan yang dikhususkan pada waktu yang dikhususkan dan syarat-syarat yang dikhususkan pula dengan niatan qurbah (mendekatkan diri kepada Allah)- tetapi di balik itu semua tersimpan sesuatu yang berharga yang keabsahan qurbanpun tergantung padanya, bahkan ia sebagai syarat bagi ibadah-ibadah lainnya. Pelajaran berharga itu adalah tauhid, ikhlas semata untuk Allah.

Ketahuilah bahwa kedudukan tauhid dalam ibadah ibarat kedudukan wudlu dalam sholat, yang tidak sah sholat seseorang jika tidak memiliki wudlu demikian pula tidak sah ibadah seseorang kecuali dengan tauhid. Perhatikanlah ketika Allah berfirman,
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَٱنۡحَرۡ
"Maka dirikanlah sholat karena Tuhanmu dan berkorbanlah." (QS Al Kautsar: 2).
Allah memerintahkan rasul-Nya Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam agar menjadikan sholatnya dan sembelihannya ikhlas untuk Allah saja tidak ada serikat baginya (lihat Tafsir Ibnu Katsir 2/600). Allah juga berfirman,
قُلۡ إِنَّ صَلَاتِى وَنُسُكِى وَمَحۡيَاىَ وَمَمَاتِى لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَـٰلَمِينَ ۝١٦٢ لَا شَرِيكَ لَهُۥ ۖ وَبِذَ‌ٰلِكَ أُمِرۡتُ وَأَنَا۠ أَوَّلُ ٱلۡمُسۡلِمِينَ
"Katakanlah sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan semesta alam tiada sekutu bagi-Nya. Dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)." (QS Al An'am: 162-163).
Menyembelih hewan qurban adalah salah satu syiar Islam terbesar, dimana pada hari itu adalah hari kemenangannya ahli tauhid yang Allah perintahkan mereka agar menyelisihi kaum musyrikin dalam peribadahannya dan penyembelihannya. Allah berfirman,
وَمَنۡ أَضَلُّ مِمَّن يَدۡعُوا۟ مِن دُونِ ٱللَّهِ مَن لَّا يَسۡتَجِيبُ لَهُۥٓ إِلَىٰ يَوۡمِ ٱلۡقِيَـٰمَةِ وَهُمۡ عَن دُعَآئِهِمۡ غَـٰفِلُونَ ۝٥ وَإِذَا حُشِرَ ٱلنَّاسُ كَانُوا۟ لَهُمۡ أَعۡدَآءً وَكَانُوا۟ بِعِبَادَتِهِمۡ كَـٰفِرِينَ
"Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyembah sembahan-sembahan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan doanya sampai hari kiamat dan mereka lalai dari memperhatikan doa mereka? Dan apabila manusia dikumpulkan (pada hari kiamat) niscaya sembahan-sembahan itu menjadi musuh mereka dan mengingkari pemujaan-pemujaan mereka." (QS Al Ahqaaf: 5-6).
Dan Allah juga berfirman,
وَيَوۡمَ يُنَادِيهِمۡ فَيَقُولُ أَيۡنَ شُرَكَآءِىَ ٱلَّذِينَ كُنتُمۡ تَزۡعُمُونَ ۝٦٢ قَالَ ٱلَّذِينَ حَقَّ عَلَيۡهِمُ ٱلۡقَوۡلُ رَبَّنَا هَـٰٓؤُلَآءِ ٱلَّذِينَ أَغۡوَيۡنَآ أَغۡوَيۡنَـٰهُمۡ كَمَا غَوَيۡنَا ۖ تَبَرَّأۡنَآ إِلَيۡكَ ۖ مَا كَانُوٓا۟ إِيَّانَا يَعۡبُدُونَ ۝٦٣ وَقِيلَ ٱدۡعُوا۟ شُرَكَآءَكُمۡ فَدَعَوۡهُمۡ فَلَمۡ يَسۡتَجِيبُوا۟ لَهُمۡ وَرَأَوُا۟ ٱلۡعَذَابَ ۚ لَوۡ أَنَّهُمۡ كَانُوا۟ يَهۡتَدُونَ
"Dan (ingatlah) hari di waktu Allah menyeru mereka seraya berkata: Di manakah sekutu-sekutu-Ku yang dahulu kamu katakan? Berkatalah orang-orang yang telah tetap hukuman atas mereka: Ya Tuhan kami, mereka inilah orang-orang yang kami sesatkan itu, kami telah menyesatkan mereka sebagaimana kami (sendiri) sesat, kami menyatakan berlepas diri (dari mereka) kepada Engkau, mereka sekali-kali tidak menyembah kami. Dikatakan (kepada mereka): Serulah olehmu sekutu-sekutu kamu. Lalu mereka menyerunya, maka sekutu-sekutu itu tidak memperkenankan (seruan) mereka dan mereka melihat adzab (mereka ketika itu berkeinginan) kiranya mereka dahulu menerima petunjuk." (QS Al Qashash: 62-64).
Perintah berqurban adalah perintah yang disyariatkan oleh Allah. Allah berfirman,
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلۡنَا مَنسَكًا لِّيَذۡكُرُوا۟ ٱسۡمَ ٱللَّهِ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُم مِّنۢ بَهِيمَةِ ٱلۡأَنۡعَـٰمِ ۗ فَإِلَـٰهُكُمۡ إِلَـٰهٌ وَ‌ٰحِدٌ فَلَهُۥٓ أَسۡلِمُوا۟ ۗ وَبَشِّرِ ٱلۡمُخۡبِتِينَ
"Dan bagi tiap-tiap umat telah kami syariatkan penyembelihan (kurban) supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah dirizkikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah)." (QS Al Hajj: 34).
Ia juga sebagai sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang sangat ditekankan. Cukuplah yang demikian itu ditunjukkan dengan firman Allah,
مَّن يُطِعِ ٱلرَّسُولَ فَقَدۡ أَطَاعَ ٱللَّهَ
"Barangsiapa yang mentaati Rasul itu sesungguhnya ia telah mentaati Allah." (QS An Nisaa: 80).
وَأَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلذِّكۡرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيۡهِمۡ
"Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka." (QS An Nahl: 44).
Kemudian dalam berqurban, syiar yang paling besar terkandung di dalamnya ialah bahwa ia sebagai millah (ajaran / agama) Ibrohim yang kita diperintahkan untuk mengikutinya. Allah berfirman,
إِنَّ إِبۡرَ‌ٰهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِّلَّهِ حَنِيفًا وَلَمۡ يَكُ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِينَ ۝١٢٠ شَاكِرًا لِّأَنۡعُمِهِ ۚ ٱجۡتَبَىٰهُ وَهَدَىٰهُ إِلَىٰ صِرَ‌ٰطٍ مُّسۡتَقِيمٍ ۝١٢١ وَءَاتَيۡنَـٰهُ فِى ٱلدُّنۡيَا حَسَنَةً ۖ وَإِنَّهُۥ فِى ٱلۡءَاخِرَةِ لَمِنَ ٱلصَّـٰلِحِينَ ۝١٢٢ ثُمَّ أَوۡحَيۡنَآ إِلَيۡكَ أَنِ ٱتَّبِعۡ مِلَّةَ إِبۡرَ‌ٰهِيمَ حَنِيفًا ۖ وَمَا كَانَ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِينَ
"Sesungguhnya Ibrohim adalah seorang Imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan). (Lagi) yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah, Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus. Dan Kami berikan kepadanya kebaikan di dunia. Dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang sholih. Kemudian kami wahyukan kepadamu (Muhammad): 'Ikutilah agama Ibrohim seorang yang hanif' dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan." (QS An Nahl: 120-123).
Demikian jelaslah bagi siapa saja yang mengetahui dan memperhatikan ayat-ayat ini bahwa millahnya nabi Ibrohim adalah millah hanifiyyah yakni satu ajaran yang dibangun di atas landasan tauhid dan berpaling dari kesyirikan beribadah hanya kepada Allah saja dan mengikhlaskan agama untuk-Nya. Hingga dengan ini beliau dijuluki sebagai seorang imam. Oleh karena itu, syiar yang besar dan pelajaran yang berharga dari 'Iedul Qurban adalah tauhid. Yang dituntut seluruh kaum muslimin untuk menancapkan aqidah tauhid ini dalam jiwanya dan beramal dengan tuntutan-tuntutan kalimat tauhid laa ilaaha illallah tersebut. Karena ia kewajiban yang pertama dan terakhir dalam Islam.
إِذۡ قَالَ لِأَبِيهِ يَـٰٓأَبَتِ لِمَ تَعۡبُدُ مَا لَا يَسۡمَعُ وَلَا يُبۡصِرُ وَلَا يُغۡنِى عَنكَ شَيۡـًٔا ۝٤٢ يَـٰٓأَبَتِ إِنِّى قَدۡ جَآءَنِى مِنَ ٱلۡعِلۡمِ مَا لَمۡ يَأۡتِكَ فَٱتَّبِعۡنِىٓ أَهۡدِكَ صِرَ‌ٰطًا سَوِيًّا ۝٤٣ يَـٰٓأَبَتِ لَا تَعۡبُدِ ٱلشَّيۡطَـٰنَ ۖ إِنَّ ٱلشَّيۡطَـٰنَ كَانَ لِلرَّحۡمَـٰنِ عَصِيًّا ۝٤٤ يَـٰٓأَبَتِ إِنِّىٓ أَخَافُ أَن يَمَسَّكَ عَذَابٌ مِّنَ ٱلرَّحۡمَـٰنِ فَتَكُونَ لِلشَّيۡطَـٰنِ وَلِيًّا
Ingatlah! Ketika Nabi Ibrohim berkata kepada bapaknya, "Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun? Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah syaithon, sesungguhnya syaithon itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dari Tuhan Yang Maha Pemurah. Maka kamu menjadi kawan bagi syaithon." (QS Maryam: 42-45).
Demikianlah tauhid dan dakwah kepada tauhid menjadi syiar dan inti dakwahnya Nabi Ibrohim dan Nabi serta rasul-rasul lainnya.

Nabi Nuh 'alaihis salam sebagai rasul yang pertama diutus, beliau berkata kepada kaumnya,
وَلَقَدۡ أَرۡسَلۡنَا نُوحًا إِلَىٰ قَوۡمِهِۦٓ إِنِّى لَكُمۡ نَذِيرٌ مُّبِينٌ ۝٢٥ أَن لَّا تَعۡبُدُوٓا۟ إِلَّا ٱللَّهَ ۖ إِنِّىٓ أَخَافُ عَلَيۡكُمۡ عَذَابَ يَوۡمٍ أَلِيمٍ
"Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang nyata bagi kamu agar kamu tidak menyembah selain Allah. Sesungguhnya aku khawatir kamu akan ditimpa azab pada hari yang sangat menyedihkan." (QS Huud: 25-26).
Nabi Huud 'alaihis salam berkata kepada kaumnya (Aad),
قَالَ يَـٰقَوۡمِ ٱعۡبُدُوا۟ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنۡ إِلَـٰهٍ غَيۡرُهُۥٓ
"Hai kaumku, sembahlah Allah! Sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia." (QS Huud: 50).
Nabi Sholih 'alaihis salam berkata kepada kaumnya (Tsamud),
قَالَ يَـٰقَوۡمِ ٱعۡبُدُوا۟ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنۡ إِلَـٰهٍ غَيۡرُهُۥ
"Hai kaumku, sembahlah Allah! sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia." (QS Huud: 61).
Nabi Syu'aib berkata kepada kaumnya (Madyan),
قَالَ يَـٰقَوۡمِ ٱعۡبُدُوا۟ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنۡ إِلَـٰهٍ غَيۡرُهُۥ
"Hai kaumku, sembahlah Allah! Sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia." (QS Huud: 84).
Begitu juga dengan nabi kita Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam menyeru kita kepada tauhid dan melarang dari berbuat syirik,
وَلَا تَدۡعُ مِن دُونِ ٱللَّهِ مَا لَا يَنفَعُكَ وَلَا يَضُرُّكَ ۖ فَإِن فَعَلۡتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِّنَ ٱلظَّـٰلِمِينَ
"Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak pula memberi mudhorot kepadamu selain Allah. Sebab jika kamu berbuat yang demikian itu maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zalim." (QS Yunus: 106).
Allah telah memperjelas lagi dalam ayat lain tentang tugas yang diemban para Rasul,
وَلَقَدۡ بَعَثۡنَا فِى كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولًا أَنِ ٱعۡبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَٱجۡتَنِبُوا۟ ٱلطَّـٰغُوتَ
"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), 'Sembahlah Allah saja dan jauhilah thoghut!'" (QS An Nahl: 36).
وَمَآ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِىٓ إِلَيۡهِ أَنَّهُۥ لَآ إِلَـٰهَ إِلَّآ أَنَا۠ فَٱعۡبُدُونِ
"Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan kami wahyukan kepadanya, 'Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang haq) melainkan Aku. Maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku." (QS Al Anbiyaa: 25).

Setelah kita mengetahui bahwa pelajaran yang berharga dari Iedul Qurban ialah tauhid, millahnya Nabi Ibrohim, satu hal lagi yang juga pelajaran penting bagi kita ialah kesabaran serta keteguhan Nabi Ibrohim dalam mendakwahkan dan membela aqidah tauhid. Allah berfirman,
قَدۡ كَانَتۡ لَكُمۡ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٌ فِىٓ إِبۡرَ‌ٰهِيمَ وَٱلَّذِينَ مَعَهُۥٓ إِذۡ قَالُوا۟ لِقَوۡمِهِمۡ إِنَّا بُرَءَ‌ٰٓؤُا۟ مِنكُمۡ وَمِمَّا تَعۡبُدُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ كَفَرۡنَا بِكُمۡ وَبَدَا بَيۡنَنَا وَبَيۡنَكُمُ ٱلۡعَدَ‌ٰوَةُ وَٱلۡبَغۡضَآءُ أَبَدًا حَتَّىٰ تُؤۡمِنُوا۟ بِٱللَّهِ وَحۡدَهُۥٓ إِلَّا قَوۡلَ إِبۡرَ‌ٰهِيمَ لِأَبِيهِ لَأَسۡتَغۡفِرَنَّ لَكَ وَمَآ أَمۡلِكُ لَكَ مِنَ ٱللَّهِ مِن شَىۡءٍ ۖ رَّبَّنَا عَلَيۡكَ تَوَكَّلۡنَا وَإِلَيۡكَ أَنَبۡنَا وَإِلَيۡكَ ٱلۡمَصِيرُ
"Sesungguhnya telah ada suri tauladan bagimu pada Ibrohim dan orang-orang yang bersama dengan dia, ketika mereka berkata kepada kaum mereka: Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari kekafiranmu, dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. Kecuali perkataan Ibrohim kepada bapaknya: Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatupun dari kamu (siksaan) Allah. Ibrohim berkata: Ya Tuhan Kami, hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali." (QS Al Mumtahanah: 4).
لَقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِيهِمۡ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرۡجُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡءَاخِرَ ۚ وَمَن يَتَوَلَّ فَإِنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلۡغَنِىُّ ٱلۡحَمِيدُ
"Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrohim dan umatnya) ada teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (pahala) Allah dan (keselamatan pada) hari kemudian. Dan barangsiapa yang berpaling maka sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji." (QS Al Mumtahanah: 6).

Sungguh besar anugrah yang Allah berikan kepada kita berupa petunjuk agama yang lurus. Allah subhanahu wa ta'ala memerintahkan Nabi-Nya Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam untuk mengabarkan nikmat yang Allah berikan padanya dari hidayah shirothol mustaqim millatu Ibrohim,
قُلۡ إِنَّنِى هَدَىٰنِى رَبِّىٓ إِلَىٰ صِرَ‌ٰطٍ مُّسۡتَقِيمٍ دِينًا قِيَمًا مِّلَّةَ إِبۡرَ‌ٰهِيمَ حَنِيفًا ۚ وَمَا كَانَ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِينَ
"Katakanlah sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus, yaitu agama yang benar, agama Ibrohim yang lurus, dan Ibrohim itu bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik." (QS Al An'am: 161).
Bukan hanya itu saja, tetapi Allah juga muliakan para pengikut millahnya Ibrohim dan menghinakan orang-orang yang membencinya. Allah berfirman,
وَمَن يَرۡغَبُ عَن مِّلَّةِ إِبۡرَ‌ٰهِـۧمَ إِلَّا مَن سَفِهَ نَفۡسَهُۥ ۚ وَلَقَدِ ٱصۡطَفَيۡنَـٰهُ فِى ٱلدُّنۡيَا ۖ وَإِنَّهُۥ فِى ٱلۡءَاخِرَةِ لَمِنَ ٱلصَّـٰلِحِينَ ۝١٣٠ إِذۡ قَالَ لَهُۥ رَبُّهُۥٓ أَسۡلِمۡ ۖ قَالَ أَسۡلَمۡتُ لِرَبِّ ٱلۡعَـٰلَمِينَ
"Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrohim melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri dan sungguh kami telah memilihnya di dunia dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang sholih. Ketika Tuhannya berfirman kepadanya, 'Tunduk patuhlah', Ibrohim menjawab, 'Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam.' (QS Al Baqoroh: 130-131).

Dengan keistimewaan 'Iedul Qurban ini hendaknya kita lebih mendekatkan diri kepada Allah dengan ketaqwaan. Allah berfirman,
لَن يَنَالَ ٱللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَآؤُهَا وَلَـٰكِن يَنَالُهُ ٱلتَّقۡوَىٰ مِنكُمۡ ۚ كَذَ‌ٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمۡ لِتُكَبِّرُوا۟ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَىٰكُمۡ ۗ وَبَشِّرِ ٱلۡمُحۡسِنِينَ
"Daging-daging (unta) dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai keridhoan Allah, tetapi ketaqwaan darimu-lah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayahnya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik." (QS Al Hajj: 37).
Dan semoga kita senantiasa menjadi orang-orang yang menjunjung tinggi syiar-syiar Allah,
ذَ‌ٰلِكَ وَمَن يُعَظِّمۡ شَعَـٰٓئِرَ ٱللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقۡوَى ٱلۡقُلُوبِ
"Dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati." (QS Al Hajj: 32).
Di samping itu semoga kita juga orang-orang yang senantiasa mengamalkan firman Allah,
 فَمَن كَانَ يَرۡجُوا۟ لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلۡيَعۡمَلۡ عَمَلًا صَـٰلِحًا وَلَا يُشۡرِكۡ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدًۢا
"Barangsiapa yang mengharap pertemuan dengan Rabbnya, maka hendaklah beramal dengan amalan yang sholih dan tidak menyekutukannya dalam beribadah kepadanya dengan sesuatu apapun."
Wal 'ilmu 'indallah.
Walhamdulillahi robbil alamin.

Ditulis oleh Al Ustadz Abu Hamzah Al Atsari.
Sumber: Buletin Al Wala` Wal Bara` Edisi ke-9 Tahun ke-1 / 14 Februari 2003 M / 12 Dzul Hijjah 1423 H.