Cari Blog Ini

Shahih Al-Bukhari hadits nomor 3392

٢٣ – بَابٌ ﴿وَقَالَ رَجُلٌ مُؤۡمِنٌ مِنۡ آلِ فِرۡعَوۡنَ يَكۡتُمُ إِيمَانَهُ﴾ إِلَى قَوۡلِهِ: ﴿مُسۡرِفٌ كَذَّابٌ﴾
23. Bab “Dan seorang laki-laki yang beriman di antara pengikut-pengikut Fir'aun yang menyembunyikan imannya berkata” sampai firman-Nya “orang-orang yang melampaui batas lagi pendusta”

٣٣٩٢ - حَدَّثَنَا عَبۡدُ اللهِ بۡنُ يُوسُفَ: حَدَّثَنَا اللَّيۡثُ قَالَ: حَدَّثَنِي عُقَيۡلٌ، عَنِ ابۡنِ شِهَابٍ: سَمِعۡتُ عُرۡوَةَ قَالَ: قَالَتۡ عَائِشَةُ رَضِيَ اللهُ عَنۡهَا: فَرَجَعَ النَّبِيُّ ﷺ إِلَى خَدِيجَةَ يَرۡجُفُ فُؤَادُهُ، فَانۡطَلَقَتۡ بِهِ إِلَى وَرَقَةَ بۡنِ نَوۡفَلٍ، وَكَانَ رَجُلًا تَنَصَّرَ، يَقۡرَأُ الإِنۡجِيلَ بِالۡعَرَبِيَّةِ، فَقَالَ وَرَقَةُ: مَاذَا تَرَى؟ فَأَخۡبَرَهُ، فَقَالَ وَرَقَةُ: هَٰذَا النَّامُوسُ الَّذِي أَنۡزَلَ اللهُ عَلَى مُوسَى، وَإِنۡ أَدۡرَكَنِي يَوۡمُكَ أَنۡصُرۡكَ نَصۡرًا مُؤَزَّرًا.
النَّامُوسُ: صَاحِبُ السِّرِّ الَّذِي يُطۡلِعُهُ بِمَا يَسۡتُرُهُ عَنۡ غَيۡرِهِ. [طرفه في: ٣].
3392. ‘Abdullah bin Yusuf telah menceritakan kepada kami: Al-Laits menceritakan kepada kami, beliau berkata: ‘Uqail menceritakan kepadaku, dari Ibnu Syihab: Aku mendengar ‘Urwah berkata: ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali kepada Khadijah dalam keadaan hatinya berdegup kencang. Lalu Khadijah pergi bersama beliau ke Waraqah bin Naufal. Waraqah adalah seorang yang beragama Nasrani dan dia membaca Injil dengan bahasa Arab. Waraqah bertanya: Apa yang engkau lihat? Lalu Nabi mengabarkan kepada beliau. Waraqah berkata: Itu adalah Namus yang dahulu Allah turunkan kepada Musa. Jika aku menjumpai hari-harimu, aku akan menolongmu sekuat tenaga.
Namus adalah pemegang rahasia yang mengungkapkan apa yang ia sembunyikan dari yang selainnya.

Syarh Al-Ajurrumiyyah - Tanda-tanda Isim

ثُمَّ ذَكَرَ الۡمُؤَلِّفُ –رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى- فِيمَا يَلِي عَلَامَةَ الۡاسۡمِ؛ حَتَّى إِذَا وَجَدۡنَا هٰذِهِ الۡعَلَامَةَ عَرَفۡنَا أَنَّهُ اسۡمٌ، فَقَالَ:
عَلَامَاتُ الۡأَسۡمَاءِ:
قَوۡلُهُ: (فَالۡاسۡمُ يُعۡرَفُ بِالۡخَفۡضِ وَالتَّنۡوِينِ، وَدُخُولِ الۡأَلِفِ وَاللَّامِ، وَحُرُوفِ الۡخَفۡضِ): هٰذِهِ أَرۡبَعُ عَلَامَاتٍ لِلۡاسۡمِ.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin rahimahullah berkata:
Kemudian mualif –semoga Allah taala merahmatinya- menyebutkan berikutnya tanda isim, hingga ketika kita mendapati tanda-tanda ini, maka kita mengetahui bahwa kata itu adalah isim. Beliau mengatakan:

Tanda-tanda Isim

Ucapan beliau, “Isim dikenali dengan khafdh, tanwin, diawali huruf alif dan lam, dan diawali huruf khafdh.” Ini adalah empat tanda untuk isim.
فَهُوَ يُعۡرَفُ بِالۡخَفۡضِ، وَالۡخَفۡضُ هُوَ الۡجَرُّ، لٰكِنَّ الۡكُوفِيِّينَ يُعَبِّرُونَ عَنِ الۡجَرِّ بِالۡخَفۡضِ، يَقُولُ ابۡنُ مَالِكٍ فِي أَلۡفِيَّتِهِ:
بِالۡجَرِّ وَالتَّنۡوِينِ وَالنِّدَاءِ وَأَلۡ .......................
وَالۡبَصۡرِيُّونَ يُعَبِّرُونَ عَنِ الۡخَفۡضِ بِالۡجَرِّ، وَإِلَّا فَالۡمَعۡنَى وَاحِدٌ، لٰكِنۡ هٰذَا اصۡطِلَاحٌ لِهُمۡ، الۡكُوفِيُّ يَقُولُ: خَفۡضٌ، وَالۡبَصۡرِيُّ يَقُولُ: جَرٌّ، فَإِذَا وَجَدۡنَا كَلِمَةً مَخۡفُوضَةً عَرَفۡنَا أَنَّهَا اسۡمٌ، مِثۡل: (كِتَابُ عَلِيٍّ) فَـ(عَلِيٍّ) اسۡمٌ؛ لِأَنَّهُ مَخۡفُوضٌ بِالۡإِضَافَةِ، وَكَذٰلِكَ: (مَرَرۡتُ بِرَجُلٍ كَرِيمٍ)، فَـ(كَرِيمٍ) عَلَامَتُهَا الۡخَفۡضُ، يَعۡنِي: جُرَّتۡ، فَإِذَا رَأَيۡنَا كَلِمَةً مَجۡرُورَةً، أَوۡ مَخۡفُوضَةً عَلَى تَعۡبِيرِ الۡمُؤَلِّفِ، فَهِيَ اسۡمٌ.
Isim dikenali dengan khafdh. Khafdh adalah jarr. Tetapi orang-orang Kufah memilih istilah khafdh daripada jarr. Ibnu Malik berkata di dalam Alfiyyah-nya, “Dengan jarr, tanwin, nida` (panggilan), dan al…”
Adapun orang-orang Bashrah memilih istilah jarr daripada khafdh. Namun, sesungguhnya maknanya sama saja. Ini hanya istilah yang mereka miliki. Orang Kufah mengatakan khafdh, sementara orang Bashrah mengatakan jarr. Jadi, jika kita mendapati sebuah kata yang di-khafdh, kita mengenali bahwa kata itu adalah isim. Semisal ucapan “كِتَابُ عَلِيٍّ (Kitab ‘Ali)”. Jadi “عَلِيٍّ” adalah isim karena di-khafdh karena idhafah. Demikian pula ucapan “مَرَرۡتُ بِرَجُلٍ كَرِيمٍ (Aku melewati seseorang yang dermawan).” “كَرِيمٍ” tandanya adalah khafdh, yakni di-jarr. Jika kita melihat ada kata yang di-jarr atau di-khafdh sesuai istilah mualif, maka kata tersebut merupakan isim.
كَذٰلِكَ يُعۡرَفُ بِالتَّنۡوِينِ، فَالتَّنۡوِينُ لَا يَدۡخُلُ إِلَّا عَلَى الۡأَسۡمَاءِ، فَإِذَا وَجَدۡتَ كَلِمَةً مُنَوَّنَةً فَاعۡلَمۡ أَنَّهَا اسۡمٌ، سَوَاءٌ فِي ذٰلِكَ إِنۡ كَانَ التَّنۡوِينُ بِالۡفَتۡحِ مِثۡل: (زَيۡدًا)، أَوِ الضَّمِّ مِثۡل: (زَيۡدٌ)، أَوِ الۡخَفۡضِ مِثۡل: (زَيۡدٍ)، فَلَوۡ قُلۡتَ: (زَيۡدٌ قَائِمٌ) فَكُلٌّ مِنۡ هَاتَيۡنِ الۡكَلِمَتَيۡنِ اسۡمٌ، وَعَلَامَةُ اسۡمِيَّتِهِمَا التَّنۡوِينُ.
فَإِذَا قِيلَ: (هٰذَا رَجُلٌ)، فَـ(رَجُلٌ) اسۡمٌ، عَلِمۡنَا هٰذَا مِنَ التَّنۡوِينِ، وَ(مَرَرۡتُ بِرَجُلٍ) (رَجُلٍ) اسۡمٌ، وَفِيهِ عَلَامَتَانِ: الۡخَفۡضُ وَالتَّنۡوِينُ، وَمِثۡلُ هَٰذَا لَوۡ قُلۡنَا: (هَٰذِهِ دَارٌ وَاسِعَةٌ)، وَقَوۡلِهِ تَعَالَى: ﴿وَجَآءُو بِسِحۡرٍ عَظِيمٍ﴾ [الأعراف: ١١٦]، فَـ(سِحۡرٍ) اسۡمٌ، وَعَلَامَتُهُ التَّنۡوِينُ وَالۡخَفۡضُ، وَدُخُولُ حَرۡفِ الۡخَفۡضِ، وَ(عَظِيمٍ) اسۡمٌ، وَعَلَامَتُهُ التَّنۡوِينُ وَالۡخَفۡضُ.
Demikian pula isim dikenali dengan tanwin, karena tanwin hanya masuk kepada isim. Jadi, ketika engkau mendapati suatu kata yang ditanwin, maka ketahuilah bahwa kata itu merupakan isim. Sama saja apakah tanwinnya dengan fatah, seperti “زَيۡدًا”; atau damah seperti “زَيۡدٌ”; atau kasrah seperti “زَيۡدٍ”. Jadi, kalau engkau katakan “زَيۡدٌ قَائِمٌ (Zaid berdiri)”, maka setiap dari dua kata ini adalah isim. Tanda isimnya adalah tanwin.
Jika ada yang berkata “هٰذَا رَجُلٌ (Ini adalah seorang pria)”, maka “رَجُلٌ” adalah isim. Kita mengetahuinya dari tanwin. Atau “مَرَرۡتُ بِرَجُلٍ (Aku melewati seseorang)”, maka “رَجُلٍ” adalah isim. Dalam kata ini ada dua tanda, yaitu: khafdh dan tanwin.
Seperti ini pula jika kita katakan “هَٰذِهِ دَارٌ وَاسِعَةٌ (Ini adalah rumah yang luas).” Dan firman Allah taala, “وَجَآءُو بِسِحۡرٍ عَظِيمٍ (Serta mereka mendatangkan sihir yang besar)” (QS. Al-A’raf: 116), “سِحۡرٍ” adalah isim. Tandanya adalah tanwin, khafdh, dan diawali oleh huruf khafdh. “عَظِيمٍ” adalah isim. Tandanya adalah tanwin dan khafdh.
الثَّالِثُ: (دُخُولُ الۡأَلِفِ وَاللَّامِ)، وَالۡبَصۡرِيُّونَ يَقُولُونَ: دُخُولُ (أل)، وَالۡخِلَافُ فِي هٰذَا يَسِيرٌ، فَالۡبَصۡرِيُّونَ يَقُولُونَ: إِنَّ هٰذِهِ كَلِمَةٌ مُكَوَّنَةٌ مِنۡ حَرۡفَيۡنِ، وَالۡكَلِمَةُ مِنۡ حَرۡفَيۡنِ يُنۡطَقُ بِلَفۡظِهَا، وَالۡكُوفِيُّونَ يَقُولُونَ: إِنَّهَا كَلِمَةٌ مُكَوَّنَةٌ مِنۡ حَرۡفَيۡنِ، لٰكِنَّهُمَا حَرۡفَانِ هِجَائِيَّانِ، أَحَدُهُمَا لَيۡسَ أَصۡلِيًّا، وَهُوَ الۡهَمۡزَةُ، فَالۡهَمۡزَةُ فِي (أل) هَمۡزَةُ وَصۡلٍ، تَسۡقُطُ عِنۡدَ الدَّرۡجِ وَالۡوَصۡلِ، فَهِيَ لَيۡسَتۡ أَصۡلِيَّةً حَتَّى نَقُولَ: إِنَّنَا نَنۡطِقُ بِلَفۡظِهَا، إِذَنۡ نَنۡطِقُ بِاسۡمِهَا، فَنَقُولُ: (الۡأَلِفُ وَاللَّامُ).
Tanda ketiga adalah diawali oleh huruf alif dan lam. Adapun orang-orang Bashrah berkata: diawali oleh “al”. Perselisihan dalam hal ini adalah sesuatu yang sepele. Orang-orang Bashrah berkata: Sesungguhnya ini adalah sebuah kata yang tersusun dari dua huruf dan kata yang terdiri dari dua huruf diucapkan dengan melafalkannya. Adapun orang-orang Kufah mengatakan: Sesungguhnya ini adalah sebuah kata yang tersusun dari dua huruf. Akan tetapi keduanya adalah huruf hijaiah, salah satunya bukan huruf asli, yaitu hamzah. Karena hamzah di dalam “al” adalah hamzah wasal yang gugur (tidak dibaca) di tengah kalimat atau ketika disambung. Maka, hamzah bukan huruf asli sehingga tidak bisa kita katakan: Sesungguhnya kita mengucapkan dengan melafalkannya. Jadi kita mengucapkan dengan namanya, sehingga kita katakan: huruf alif dan lam.
تَنۡبِيهٌ: صَارَ الۡكُوفِيُّونَ وَالۡبَصۡرِيُّونَ يَخۡتَلِفُونَ –أَيۡضًا- فِي (أل)، فِي مِثۡلِ قَوۡلِهِ تَعَالَى: ﴿ذَٰلِكَ الۡكِتَٰبُ﴾ [البقرة: ٢]، فَالۡبَصۡرِيُّونَ يَقُولُونَ: عَلَامَةُ اسۡمِيَّةِ (الۡكِتَاب) (أل)، أَمَّ الۡكُوفِيُّونَ فَيَقُولُونَ: إِنَّ عَلَامَةَ اسۡمِيَّتِهَا (الۡأَلِفُ وَاللَّامُ).
وَحُجَّةُ الۡبَصۡرِيِّينَ أَنَّ (ألۡ) حَرۡفَانِ، وَالۡكَلِمَةُ إِذَا كَانَتۡ حَرۡفَيۡنِ يُنۡطَقُ بِلَفۡظِهَا؛ وَلِهٰذَا تَقُولُ: (مِنۡ) حَرۡفُ جَرٍّ، وَلَا تَقُولُ: (الۡمِيمُ وَالنُّونُ) حَرۡفُ جَرٍّ، وَتَقُولُ: (اللَّامُ) حَرۡفُ جَرٍّ، وَلَا تَقُولُ (لِ) حَرۡفُ جَرٍّ.
لٰكِنَّ الۡكُوفِيِّينَ يَقُولُونَ: إِنَّ الۡهَمۡزَةَ لَيۡسَتۡ أَصۡلِيَّةً فِي الۡكَلِمَةِ؛ لِأَنَّ الۡهَمۡزَةَ يُؤۡتَى بِهَا لِلۡوَصۡلِ؛ وَلِهٰذَا تَسۡقُطُ عِنۡدَ الدَّرۡجِ وَالۡاتِّصَالِ، فَتَقُولُ مَثَلًا: (أَكۡرَمۡتُ الرَّجُلَ)، فَهُنَا سَقَطَتِ الۡهَمۡزَةُ، وَتَقُولُ مَثَلًا: ﴿وَالۡقَمَرِ إِذَا تَلَىٰهَا﴾ [الشمس: ٢]، فَهُنَا سَقَطَتِ الۡهَمۡزَةُ مِنۡ قَوۡلِهِ: (وَالۡقَمَرِ)؛ إِذَنۡ نَنۡطِقُ بِسۡمِهَا، وَنَقُولُ: (الۡأَلِفُ وَاللَّامُ).
لٰكِنَّ هَٰذَا الۡخِلَافَ لَا يَتَرَتَّبُ عَلَيۡهِ شَيۡءٌ؛ لِأَنَّهُ خِلَافٌ لَفۡظِيٌّ.
Peringatan: Orang-orang Kufah dan Bashrah juga berselisih dalam “al” seperti di dalam firman Allah taala “ذَٰلِكَ الۡكِتَٰبُ (Itu adalah kitab)” (QS. Al-Baqarah: 2). Orang-orang Bashrah berkata: Tanda isim “الۡكِتَٰبُ” adalah “al”, sedangkan orang-orang Kufah berkata bahwa tanda isimnya adalah huruf alif dan lam.
Argumen orang-orang Bashrah bahwa “al” adalah dua huruf dan sebuah kata jika berupa dua huruf, maka diucapkan dengan melafalkannya. Atas dasar ini engkau katakan “min” huruf jarr dan engkau tidak katakan “huruf mim dan nun” huruf jarr. Dan engkau mengatakan “huruf lam” huruf jarr dan engkau tidak mengatakan “li” huruf jarr.
Tetapi orang-orang Kufah berkata: Sesungguhnya hamzah bukan huruf asli dalam kata tersebut karena hamzah didatangkan untuk wasal. Karena itu, hamzah ini tidak dibaca ketika di tengah kalimat dan ketika disambung. Contoh, engkau katakan “أَكۡرَمۡتُ الرَّجُلَ (Aku memuliakan pria itu).” Dalam kalimat ini, hamzah tidak dibaca. Contoh lain, engkau katakan “وَالۡقَمَرِ إِذَا تَلَىٰهَا (dan bulan apabila mengiringinya)” (QS. Asy-Syams: 2). Di sini hamzah tidak dibaca dalam pengucapan “وَالۡقَمَرِ”, jadi kita mengucapkannya dengan namanya sehingga kita katakan “huruf alif dan lam”.
Akan tetapi, ini adalah perselisihan yang tidak memberi dampak apa-apa, karena ini hanyalah perselisihan secara lafal.
إِذَنۡ: إِذَا وَجَدۡتَ كَلِمَةً فِيهَا الۡأَلِفُ وَاللَّامُ؛ فَاعۡلَمۡ أَنَّهَا اسۡمٌ، كَمَا فِي قَوۡلِهِ تَعَالَى: ﴿وَالسَّمَآءِ ذَاتِ الۡبُرُوجِ﴾ [البروج: ١]، فَـ(السَّمَاءِ) اسۡمٌ، وَعَلَامَتُهُ دُخُولُ الۡأَلِفِ وَاللَّامِ، وَالۡخَفۡضُ، وَقَوۡلُهُ: ﴿وَلَقَدۡ زَيَّنَّا السَّمَآءَ﴾ [الملك: ٥]، فَـ(السَّمَاءَ) هُنَا أَيۡضًا اسۡمٌ، وَعَلَامَتُهُ الۡأَلِفُ وَاللَّامُ، وَتَقُولُ: (اللَّيۡلُ فِي هٰذِهِ الۡأَيَّامِ قَصِيرٌ)، فَـ(اللَّيۡلُ) فِيهَا مِنۡ عَلَامَتِ الۡاسۡمِ الۡأَلِفُ وَاللَّامُ، وَ(قَصِيرٌ) فِيهَا مِنۡ عَلَامَاتِ الۡاسۡمِ التَّنۡوِينُ.
وَقَالَ تَعَالَى: ﴿فَلۡيَعۡبُدُوا رَبَّ هَٰذَا الۡبَيۡتِ﴾ [قريش: ٣]، فَالۡبَيۡتُ: اسۡمٌ وَعَلَامَتُهُ الۡخَفۡضُ، وَدُخُولُ الۡأَلِفِ وَاللَّامِ.
Jadi, jika engkau mendapati suatu kata, ada huruf alif dan lam, maka ketahuilah bahwa kata itu adalah isim. Sebagaimana di dalam firman Allah taala, “وَالسَّمَآءِ ذَاتِ الۡبُرُوجِ (Demi langit yang mempunyai gugusan bintang)” (QS. Al-Buruj: 1). “السَّمَاءِ” adalah isim. Tandanya adalah diawali huruf alif lam dan khafdh. Dan firman Allah, “وَلَقَدۡ زَيَّنَّا السَّمَآءَ (Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit)” (QS. Al-Mulk: 5). Jadi “السَّمَاءَ” di sini juga merupakan isim. Tandanya adalah huruf alif dan lam. Dan engkau katakan “اللَّيۡلُ فِي هٰذِهِ الۡأَيَّامِ قَصِيرٌ (Malam di hari-hari ini singkat)”, “اللَّيۡلُ” ada tanda isim yaitu huruf alif dan lam; dan “قَصِيرٌ” ada tanda isim yaitu tanwin.
Allah taala berfirman, “فَلۡيَعۡبُدُوا رَبَّ هَٰذَا الۡبَيۡتِ (Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Kakbah))” (QS. Quraisy: 3). “الۡبَيۡت” adalah isim. Tandanya adalah khafdh dan diawali huruf alif dan lam.
الرَّابِعُ: (وَحُرُوفِ الۡخَفۡضِ)، فَدُخُولُ حَرۡفِ الۡجَرِّ عَلَى الۡكَلِمَةِ عَلَامَةٌ عَلَى أَنَّهَا اسۡمٌ.
قَالَ تَعَالَى: ﴿لِلهِ الۡأَمۡرُ مِنۡ قَبۡلُ وَمِن بَعۡدُ﴾ [الروم: ٤]، فَقَبۡلُ اسۡمٌ، وَعَلَامَتُهُ دُخُولُ (مِنۡ) عَلَيۡهِ.
وَقَالَ ﷺ: (وَلَا يَنۡفَعُ ذَا الۡجَدِّ مِنۡكَ الۡجَدُّ)، فَالۡكَافُ اسۡمٌ، لِدُخُولِ حَرۡفِ الۡخَفۡضِ (مِنۡ) عَلَيۡهِ.
وَقَالَ تَعَالَى: ﴿قُلۡ هُوَ اللهُ أَحَدٌ﴾ [الإخلاص: ١]، فَلَفۡظُ الۡجَلَالَةِ (الله) اسۡمٌ لِدُخُولِ الۡأَلِفِ وَاللَّامِ عَلَيۡهِ، وَ(أَحَدٌ) اسۡمٌ لِأَجۡلِ التَّنۡوِينِ.
وَقَالَ تَعَالَى: ﴿وَكَانُوا يُصِرُّونَ عَلَى الۡحِنۡثِ الۡعَظِيمِ﴾ [الواقعة: ٤٦]، فَـ(الۡحِنۡث) اسۡمٌ، لِأَنَّهُ دَخَلَ عَلَيۡهِ الۡأَلِفُ وَاللَّامُ، وَحَرۡفُ الۡخَفۡضِ (عَلَى)، وَ(الۡعَظِيمِ) اسۡمٌ لِأَنَّهُ دَخَلَ عَلَيۡهِ الۡأَلِفُ وَاللَّامُ وَالۡخَفۡضُ.
Tanda isim keempat: “Diawali huruf khafdh”. Jadi masuknya huruf jarr pada sebuah kata merupakan sebuah tanda bahwa kata itu adalah isim.
Allah taala berfirman, “لِلّٰهِ الۡأَمۡرُ مِنۡ قَبۡلُ وَمِن بَعۡدُ (Bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang))” (QS. Ar-Rum: 4). Maka قَبۡلُ adalah isim dan tandanya adalah diawali مِنۡ.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “وَلَا يَنۡفَعُ ذَا الۡجَدِّ مِنۡكَ الۡجَدُّ (Kedudukan orang yang memiliki kedudukan tidak bermanfaat di sisi-Mu)”[1], huruf kaf adalah isim karena diawali huruf khafdh “min”.
Allah taala berfirman, “قُلۡ هُوَ اللهُ أَحَدٌ (Katakanlah: Dialah Allah, Yang Maha Esa)” (QS. Al-Ikhlash: 1). Maka lafal jalalah “الله” adalah isim karena diawali huruf alif dan lam. Dan “أَحَدٌ” adalah isim karena ada tanwin.
Allah taala berfirman, “وَكَانُوا يُصِرُّونَ عَلَى الۡحِنۡثِ الۡعَظِيمِ (Dan mereka terus-menerus mengerjakan dosa besar)” (QS. Al-Waqi’ah: 46). “الۡحِنۡث” adalah isim karena diawali huruf alif dan lam serta huruf khafdh “عَلَى”. Dan “الۡعَظِيمِ” adalah isim karena diawali huruf alif dan lam serta khafdh.
وَالۡمُرَادُ مِنۡ ذٰلِكَ أَنَّ أَيَّ كَلِمَةٍ فِيهَا إِحۡدَى هَٰذِهِ الۡعَلَامَاتِ، أَوۡ تَقۡبَلُ إِحۡدَاهَا فَهِيَ اسۡمٌ.
تَنۡبِيهٌ: اخۡتَصَرَ الۡمُؤَلِّفُ –رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى- فِي مَتۡنِهِ ذٰلِكَ، وَإِلَّا فَهُوَ قَدۡ تَرَكَ عَلَامَةً هِيَ مِنۡ أَهَمِّ الۡعَلَامَاتِ، أَلَا وَهِيَ الۡإِسۡنَادِ.
Yang dimaukan dari itu semua adalah bahwa kata apa saja yang memiliki salah satu dari tanda-tanda ini atau menerima salah satunya maka ia adalah isim.
Peringatan: Mualif –semoga Allah taala merahmatinya- mencukupkan matannya dengan itu saja. Karena sesungguhnya, beliau telah meninggalkan sebuah tanda yang termasuk tanda terpenting, yaitu isnad (kaitan antara musnad dengan musnad ilaih).

Shahih Al-Bukhari hadits nomor 4

٤ - قَالَ ابۡنُ شِهَابٍ: وَأَخۡبَرَنِي أَبُو سَلَمَةَ بۡنُ عَبۡدِ الرَّحۡمٰنِ: أَنَّ جَابِرَ بۡنَ عَبۡدِ اللهِ الۡأَنۡصَارِيَّ قَالَ وَهُوَ يُحَدِّثُ عَنۡ فَتۡرَةِ الۡوَحۡيِ، فَقَالَ فِي حَدِيثِهِ: بَيۡنَا أَنَا أَمۡشِي إِذۡ سَمِعۡتُ صَوۡتًا مِنَ السَّمَاءِ، فَرَفَعۡتُ بَصَرِي، فَإِذَا الۡمَلَكُ الَّذِي جَاءَنِي بِحِرَاءٍ جَالِسٌ عَلَى كُرۡسِيٍّ بَيۡنَ السَّمَاءِ وَالۡأَرۡضِ، فَرُعِبۡتُ مِنۡهُ، فَرَجَعۡتُ فَقُلۡتُ: (زَمِّلُونِي)، فَأَنۡزَلَ اللهُ تَعَالَى: ﴿يَا أَيُّهَا الۡمُدَّثِّرُ قُمۡ فَأَنۡذِرۡ﴾ إِلَى قَوۡلِهِ: ﴿وَالرُّجۡزَ فَاهۡجُرۡ﴾ [المدثر: ١-٥]، فَحَمِيَ الۡوَحۡيُ وَتَتَابَعَ.
تَابَعَهُ عَبۡدُ اللهِ بۡنُ يُوسُفَ وَأَبُو صَالِحٍ، وَتَابَعَهُ هِلَالُ بۡنُ رَدَّادٍ عَنِ الزُّهۡرِيِّ. وَقَالَ يُونُسُ وَمَعۡمَرٌ: بَوَادِرُهُ. [الحديث ٤ – أطرافه في: ٣٢٣٨، ٤٩٢٢، ٤٩٢٣، ٤٩٢٤، ٤٩٢٥، ٤٩٢٦، ٤٩٥٤، ٦٢١٤].
4. Ibnu Syihab berkata: Abu Salamah bin ‘Abdurrahman mengabarkan kepadaku: Bahwa Jabir bin ‘Abdullah Al-Anshari berkata ketika beliau menceritakan tentang masa berhenti turunnya wahyu. Nabi berkata di dalam hadis tersebut: Ketika Aku sedang berjalan, tiba-tiba aku mendengar suara dari langit. Aku melihat ke atas, ternyata ada malaikat yang dahulu mendatangiku di gua Hira` duduk di atas kursi di antara langit dan bumi. Aku takut karenanya sehingga aku pulang dan aku berkata, “Selimuti aku!” Lalu Allah taala menurunkan ayat, “Wahai orang yang berselimut, bangkitlah lalu berilah peringatan,” sampai firman-Nya, “Dan perbuatan dosa tinggalkanlah!” (QS. Al-Muddatstsir: 1-5). Lalu wahyu mulai kembali turun berkesinambungan.
‘Abdullah bin Yusuf dan Abu Shalih mengiringi Yahya bin Bukair. Hilal bin Raddad mengiringi ‘Uqail bin Khalid dari Az-Zuhri. Yunus dan Ma’mar berkata: bahu beliau (berguncang).

Shahih Al-Bukhari hadits nomor 3

٣ – بَابٌ
3. Bab

٣ - حَدَّثَنَا يَحۡيَى بۡنُ بُكَيۡرٍ قَالَ: حَدَّثَنَا اللَّيۡثُ، عَنۡ عُقَيۡلٍ، عَنِ ابۡنِ شِهَابٍ، عَنۡ عُرۡوَةَ بۡنِ الزُّبَيۡرِ، عَنۡ عَائِشَةَ أُمِّ الۡمُؤۡمِنِينَ أَنَّهَا قَالَتۡ:
3. Yahya bin Bukair telah menceritakan kepada kami, beliau berkata: Al-Laits menceritakan kepada kami, dari ‘Uqail, dari Ibnu Syihab, dari ‘Urwah bin Az-Zubair, dari ‘Aisyah ibunda kaum mukminin, bahwa beliau mengatakan:
أَوَّلُ مَا بُدِىءَ بِهِ رَسُولُ اللهِ ﷺ مِنَ الۡوَحۡيِ الرُّؤۡيَا الصَّالِحَةُ فِي النَّوۡمِ، فَكَانَ لَا يَرَى رُؤۡيَا إِلَّا جَاءَتۡ مِثۡلَ فَلَقِ الصُّبۡحِ، ثُمَّ حُبِّبَ إِلَيۡهِ الۡخَلَاءُ، وَكَانَ يَخۡلُو بِغَارِ حِرَاءٍ، فَيَتَحَنَّثُ فِيهِ - وَهُوَ التَّعَبُّدُ - اللَّيَالِيَ ذَوَاتِ الۡعَدَدِ قَبۡلَ أَنۡ يَنۡزِعَ إِلَى أَهۡلِهِ، وَيَتَزَوَّدُ لِذٰلِكَ، ثُمَّ يَرۡجِعُ إِلَى خَدِيجَةَ فَيَتَزَوَّدُ لِمِثۡلِهَا، حَتَّى جَاءَهُ الۡحَقُّ وَهُوَ فِي غَارِ حِرَاءٍ، فَجَاءَهُ الۡمَلَكُ فَقَالَ: اقۡرَأۡ، قَالَ (مَا أَنَا بِقَارِىءٍ،) قَالَ: فَأَخَذَنِي فَغَطَّنِي، حَتَّى بَلَغَ مِنِّي الۡجَهۡدَ، ثُمَّ أَرۡسَلَنِي فَقَالَ: اقۡرَأۡ، قُلۡتُ: (مَا أَنَا بِقَارِىءٍ)، فَأَخَذَنِي فَغَطَّنِي الثَّانِيَةَ حَتَّى بَلَغَ مِنِّي الۡجَهۡدَ، ثُمَّ أَرۡسَلَنِي، فَقَالَ: اقۡرَأۡ، فَقُلۡتُ: (مَا أَنَا بِقَارِىءٍ)، فَأَخَذَنِي فَغَطَّنِي الثَّالِثَةَ، ثُمَّ أَرۡسَلَنِي فَقَالَ: ﴿اقۡرَأۡ بِاسۡمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ خَلَقَ الۡإِنۡسَانَ مِنۡ عَلَقٍ اقۡرَأۡ وَرَبُّكَ الۡأَكۡرَمُ﴾ [العلق: ١-٣].
Wahyu pertama yang turun kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah mimpi yang benar ketika tidur malam. Beliau tidak melihat suatu mimpi kecuali mimpi itu datang seperti cahaya subuh. Kemudian beliau menjadi senang menyendiri dan beliau biasa menyendiri di gua Hira`. Beliau beribadah di situ beberapa malam sebelum beliau kembali ke keluarganya. Beliau biasa berbekal untuk kegiatan beliau itu. Kemudian beliau kembali kepada Khadijah, lalu beliau menyiapkan bekal seperti biasa. Sampai wahyu datang kepada beliau dalam keadaan beliau berada di gua Hira`. Ada malaikat yang mendatangi beliau seraya berkata: Bacalah. Nabi bersabda, “Aku tidak bisa membaca.” Beliau berkata: Malaikat itu memegang dan mendekapku sampai aku kepayahan. Kemudian malaikat itu melepaskanku lalu berkata: Bacalah. Aku berkata, “Aku tidak bisa membaca.” Lalu ia kembali memegang dan mendekapku kedua kalinya sampai aku kepayahan. Kemudian malaikat itu melepaskanku dan berkata: Bacalah. Aku mengatakan, “Aku tidak bisa membaca.” Lalu malaikat itu memegang dan mendekapku ketiga kalinya kemudian melepaskanku dan mengatakan, “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah.” (QS. Al-‘Alaq: 1-3).
فَرَجَعَ بِهَا رَسُولُ اللهِ ﷺ يَرۡجُفُ فُؤَادُهُ، فَدَخَلَ عَلَى خَدِيجَةَ بِنۡتِ خُوَيۡلِدٍ رَضِيَ اللهُ عَنۡهَا فَقَالَ: (زَمِّلُونِي زَمِّلُونِي)، فَزَمَّلُوهُ حَتَّى ذَهَبَ عَنۡهُ الرَّوۡعُ، فَقَالَ لِخَدِيجَةَ وَأَخۡبَرَهَا الۡخَبَرَ: (لَقَدۡ خَشِيتُ عَلَى نَفۡسِي) فَقَالَتۡ خَدِيجَةُ: كَلَّا، وَاللهِ مَا يُخۡزِيكَ اللهُ أَبَدًا، إِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمَ، وَتَحۡمِلُ الۡكَلَّ، وَتَكۡسِبُ الۡمَعۡدُومَ، وَتَقۡرِي الضَّيۡفَ، وَتُعِينُ عَلَى نَوَائِبِ الۡحَقِّ.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali dengan ayat-ayat itu dalam keadaan hatinya berdegup kencang, lalu beliau masuk menemui Khadijah bintu Khuwailid radhiyallahu ‘anha seraya mengatakan, “Selimuti aku! Selimuti aku!” Khadijah menyelimuti beliau hingga rasa takut beliau hilang. Nabi berkata kepada Khadijah dan mengabarkan kejadian itu kepada beliau, “Aku benar-benar mengkhawatirkan diriku.” Khadijah mengatakan: Sekali-kali tidak, demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu selama-lamanya. Sesungguhnya engkau benar-benar menyambung silturahmi, engkau membantu menanggung beban, memberi orang dengan sesuatu yang tidak dipunyai oleh orang lain, menjamu tamu, dan memberi bantuan ketika ada peristiwa-peristiwa kebenaran.
فَانۡطَلَقَتۡ بِهِ خَدِيجَةُ حَتَّى أَتَتۡ بِهِ وَرَقَةَ بۡنَ نَوۡفَلِ بۡنِ أَسَدِ بۡنِ عَبۡدِ الۡعُزَّى، ابۡنَ عَمِّ خَدِيجَةَ، وَكَانَ امۡرَأً تَنَصَّرَ فِي الۡجَاهِلِيَّةِ، وَكَانَ يَكۡتُبُ الۡكِتَابَ الۡعِبۡرَانِيَّ، فَيَكۡتُبُ مِنَ الإِنۡجِيلِ بِالۡعِبۡرَانِيَّةِ مَا شَاءَ اللهُ أَنۡ يَكۡتُبَ، وَكَانَ شَيۡخًا كَبِيرًا قَدۡ عَمِيَ، فَقَالَتۡ لَهُ خَدِيجَةُ: يَا ابۡنَ عَمِّ اسۡمَعۡ مِنَ ابۡنِ أَخِيكَ، فَقَالَ لَهُ وَرَقَةُ: يَا ابۡنَ أَخِي مَاذَا تَرَى؟ فَأَخۡبَرَهُ رَسُولُ اللهِ ﷺ خَبَرَ مَا رَأَى، فَقَالَ لَهُ وَرَقَةُ: هٰذَا النَّامُوسُ الَّذِي نَزَّلَ اللهُ عَلَى مُوسَى، يَا لَيۡتَنِي فِيهَا جَذَعًا، لَيۡتَنِي أَكُونُ حَيًّا إِذۡ يُخۡرِجُكَ قَوۡمُكَ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: (أَوَمُخۡرِجِيَّ هُمۡ؟) قَالَ: نَعَمۡ، لَمۡ يَأۡتِ رَجُلٌ قَطُّ بِمِثۡلِ مَا جِئۡتَ بِهِ إِلَّا عُودِيَ، وَإِنۡ يُدۡرِكۡنِي يَوۡمُكَ أَنۡصُرۡكَ نَصۡرًا مُؤَزَّرًا، ثُمَّ لَمۡ يَنۡشَبۡ وَرَقَةُ أَنۡ تُوُفِّيَ، وَفَتَرَ الۡوَحۡيُ.
[الحديث ٣ – أطرافه في: ٣٣٩٢، ٤٩٥٣، ٤٩٥٥، ٤٩٥٦، ٤٩٥٧، ٦٩٨٢].
Khadijah pergi bersama Nabi sampai datang kepada Waraqah bin Naufal bin Asad bin ‘Abdul ‘Uzza, putra paman Khadijah. Waraqah adalah seseorang yang beragama Nasrani di masa jahiliah. Dia biasa menulis kitab bahasa ‘Ibrani (bahasa orang Yahudi). Dia menulis Injil dengan bahasa ‘Ibrani sekehendak Allah. Dia adalah seorang yang sudah tua dan buta. Khadijah berkata kepadanya: Wahai putra pamanku, dengarlah putra saudaramu ini. Waraqah bertanya kepada Nabi: Wahai putra saudaraku, apa yang engkau lihat? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan kepada beliau apa yang beliau lihat. Waraqah berkata kepada Nabi: Itu adalah Namus yang Allah turunkan kepada Musa. Andai aku masih muda ketika saat itu. Andai aku masih hidup ketika kaummu mengusirmu keluar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah mereka akan mengusirku?” Waraqah menjawab: Iya, tidak pernah sama sekali seseorang yang membawa semisal apa yang engkau bawa kecuali pasti akan dimusuhi. Jika aku masih menjumpai harimu, aku akan menolongmu sekuat tenaga. Tidak lama kemudian, Waraqah wafat. Wahyu berhenti sementara waktu.

Syarh Al-Ajurrumiyyah - Jenis Kalam

قَالَ ابۡنُ آجُرُّوم: وَأَقۡسَامُهُ ثَلَاثَةٌ: اسۡمٌ، وَفِعۡلٌ، وَحَرۡفٌ جَاءَ لِمَعۡنًى
Ibnu Ajurrum berkata: Jenis kalam ada tiga: isim, fiil, dan huruf yang datang untuk suatu makna.
قَالَ الشَّيۡخُ مُحَمَّدُ بۡنُ صَالِحٍ الۡعُثَيۡمِينُ: أَقۡسَامُ الۡكَلَامِ:
قَوۡلُهُ: (وَأَقۡسَامُهُ ثَلَاثَةٌ: اسۡمٌ، وَفِعۡلٌ، وَحَرۡفٌ جَاءَ لِمَعۡنًى).
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin menjelaskan:
Jenis-jenis kalam. Ucapan beliau, “Jenis kalam ada tiga: isim, fiil, dan huruf yang datang untuk suatu makna.”
أَقۡسَامُ الۡكَلَامِ ثَلَاثَةٌ، وَالۡحَصۡرُ يَحۡتَاجُ إِلَى تَوۡقِيفٍ، فَإِذَا قَالَ قَائِلٌ: مَا الدَّلِيلُ عَلَى أَنَّ أَقۡسَامَ الۡكَلَامِ ثَلَاثَةٌ؟ هَلۡ فِي الۡقُرۡآنِ مَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ أَقۡسَامَ الۡكَلَامِ ثَلَاثَةٌ؟ أَوۡ فِي السَّنَّةِ مَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ أَقۡسَامَ الۡكَلَامِ ثَلَاثَةٌ؟ أَوۡ فِي الۡإِجۡمَاعِ مَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ أَقۡسَامَ الۡكَلَامِ ثَلَاثَةٌ؟ أَوۡ فِي الۡقِيَاسِ مَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ أَقۡسَامَ الۡكَلَامِ ثَلَاثَةٌ؟
قُلۡنَا: لَيۡسَ فِي الۡكِتَابِ، وَلَا السُّنَّةِ، وَلَا الۡإِجۡمَاعِ، وَلَا الۡقِيَاسِ، لِأَنَّ هٰذِهِ الۡأَدِلَّةَ إِنَّمَا نَحۡتَاجُ إِلَيۡهَا فِي إِثۡبَاتِ الۡأَحۡكَامِ الشَّرۡعِيَّةِ، أَمَّا النَّحۡوُ فَلَا يُحۡتَاجُ إِلَى هٰذَا، لٰكِنۡ لِلۡعُلَمَاءُ دَلِيلٌ عَلَى انۡحِصَارِ أَقۡسَامِهِ فِي ثَلَاثَةٍ، وَهُوَ التَّتَبُّعُ وَالۡاسۡتِقۡرَاءُ، يَعۡنِي: أَنَّ الۡعُلَمَاءَ –رَحِمَهُمُ اللهُ- تَتَبَّعُوا كَلَامَ الۡعَرَبِ فَوَجَدُوا أَنَّهُ لَا يَخۡرُجُ عَنۡ هٰذِهِ الۡأَقۡسَامِ الثَّلَاثَةِ: اسۡمٌ، وَفِعۡلٌ، وَحَرۡفٌ.
Jenis kalam ada tiga. Pembatasan tiga ini membutuhkan suatu argumen. Jika ada yang bertanya: Apa dalil yang menunjukkan bahwa jenis kalam ada tiga? Apakah di dalam Alquran ada yang menunjukkan bahwa jenis kalam ada tiga? Atau apakah di dalam sunah ada yang menunjukkan bahwa jenis kalam ada tiga? Ataukah di dalam ijmak ada yang menunjukkan bahwa jenis kalam ada tiga? Atau di dalam kias adakah yang menunjukkan bahwa jenis kalam ada tiga?
Kita katakan: Tidak ada di dalam Alquran, sunah, ijmak, dan kias. Karena dalil-dalil ini hanya kita butuhkan dalam menetapkan hukum-hukum syariat. Adapun ilmu nahwu, maka tidak diambil argumen dari ini. Namun, para ulama memiliki dalil atas pembatasan jenis kalam menjadi tiga, yaitu pengamatan dan penelitian. Yakni, bahwa para ulama –semoga Allah merahmati mereka- mengamati ucapan orang Arab, lalu mereka mendapati bahwa ucapan mereka tidak keluar dari tiga jenis ini: isim, fiil, dan huruf.
فَإِذَا قُلۡتُ: (صَهۡ) هُوَ اسۡمُ فِعۡلٍ، أَيۡ إِنَّهُ لَا يَخۡرُجُ عَنۡ كَوۡنِهِ اسۡمًا، فَالۡاسۡمُ يَشۡمُلُ الۡاسۡمَ الۡخَالِصَ، وَاسۡمَ الۡفِعۡلِ.
وَالۡمُؤَلِّفُ –رَحِمَهُ اللهُ- نَظَرًا لِكَوۡنِ كِتَابِهِ مُخۡتَصَرًا وَلِلۡمُبۡتَدِئِينَ لَمۡ يَحُدَّ الۡاسۡمَ بِاسۡمِهِ الۡخَاصِّ يَعۡنِي: لَمۡ يَحُدَّهُ بِالرَّسۡمِ، لٰكِنۡ حَدَّهُ بِالۡحُكۡمِ وَالۡعَلَامَةِ، فَالۡاسۡمُ –مَثَلًا- بَعۡضُ النَّحۡوِيِّينَ يَقُولُ: (هُوَ مَا دَلَّ عَلَى مَعۡنًى فِي نَفۡسِهِ غَيۡرِ مُقۡتَرِنٍ بِأَحَدِ الۡأَزۡمِنَةِ الثَّلَاثَةِ). وَالۡفِعۡلُ: (مَا دَلَّ عَلَى مَعۡنًى فِي نَفۡسِهِ مُقۡتَرِنٍ بِأَحَدٍ الۡأَزۡمِنَةِ الثَّلَاثَةِ)، وَالۡحَرۡفُ: (مَا لَيۡسَ لَهُ مَعۡنًى فِي نَفۡسِهِ، وَإِنَّمَا يَظۡهَرُ مَعۡنَاهُ فِي غَيۡرِهِ). لٰكِنۡ هٰذَا فِي الۡحَقِيقَةِ مَعَ صُعُوبَتِهِ عَلَى الۡمُبۡتَدِئِ فَائِدَتُهُ قَلِيلَةٌ، أَمَّا تَعۡرِيفُهُ بِالۡعَلَامَةِ فَهُوَ أَسۡهَلُ لِلۡمُبۡتَدِئِ.
Jika engkau katakan “صَهۡ (Diamlah!)”, adalah isim fiil. Yakni, ia tidak keluar dari bentuknya sebagai isim. Karena isim meliputi isim yang murni dan isim fiil.
Penulis –semoga Allah merahmatinya- karena memandang bahwa kitab beliau adalah kitab yang ringkas dan untuk pemula, maka beliau tidak membatasi isim dengan namanya yang khusus. Yakni, beliau tidak membatasinya dengan gambarannya, tetapi beliau membatasinya dengan hukum dan tanda.
Sebagai contoh, sebagian ahli nahwu mengatakan bahwa:
  • Isim adalah kata yang menunjukkan kepada suatu makna dalam kata itu sendiri tanpa dikaitkan dengan salah satu dari tiga waktu.
  • Fiil adalah kata yang menunjukkan suatu makna dalam kata itu sendiri yang dikaitkan dengan salah satu dari tiga waktu.
  • Huruf adalah kata yang tidak memiliki makna dalam kata itu sendiri. Maknanya hanya muncul pada kata lain.
Namun, ini sesungguhnya selain sulit bagi pemula, juga sedikit faedahnya. Adapun pengertiannya dengan tanda, hal itu lebih mudah bagi pemula.
لِأَنَّ الۡحُرُوفَ مِنۡهَا شَيۡءٌ لَا مَعۡنَى لَهُ، وَمِنۡهَا شَيۡءٌ لَهُ مَعۡنًى، فَمَثَلًا (ال) فِي قَوۡلِكَ: (الۡقَمَرُ) حَرۡفٌ، لِأَنَّ الۡاسۡمَ هُوَ كَلِمَةُ (قَمَر) فَقَطۡ، قَالَ اللهُ تَعَالَى: ﴿تَبَارَكَ ٱلَّذِى جَعَلَ فِى ٱلسَّمَآءِ بُرُوجًا وَجَعَلَ فِيهَا سِرَ‌ٰجًا وَقَمَرًا مُّنِيرًا﴾ [الفرقان: ٦١]، فَـ(قَمَر) هُوَ الۡاسۡمُ، إِذَا قُلۡتَ: (الۡقَمَر) فَـ(ال) لَا مَعۡنًى لَهَا فِي ذَاتِهَا، فَلَا أَفَادَتِ اسۡتِفۡهَامًا، وَلَا أَفَادَتۡ تَحۡقِيقًا، وَلَا أَفَادَتۡ شَيۡئًا، فَهِيَ إِذَنۡ حَرۡفٌ لَمۡ يَأۡتِي لِمَعۡنًى، وَقَدۡ نَقُولُ: بَلۡ هِيَ حَرۡفٌ جَاءَ لِمَعۡنًى، إِذَا جَاءَتۡ لِلۡعَهۡدِ الذِّهۡنِيِّ، أَوِ الۡعَهۡدِ الذِّكۡرِي.
Karena ada sebagian huruf yang tidak memiliki makna dan ada sebagian yang memiliki makna. Misal huruf alif lam dalam ucapanmu “الۡقَمَر (Bulan)” adalah huruf karena isim adalah kata “قَمَر” saja. Allah taala berfirman, “تَبَارَكَ ٱلَّذِى جَعَلَ فِى ٱلسَّمَآءِ بُرُوجًا وَجَعَلَ فِيهَا سِرَ‌ٰجًا وَقَمَرًا مُّنِيرًا” (QS. Al-Furqan: 61). Jadi, “قَمَر” adalah isim. Jika engkau katakan “الۡقَمَر”, maka alif lam tidak mempunyai makna tersendiri. Alif lam tidak memberi faedah pertanyaan, tidak pula memberi faedah penetapan, dan tidak memberi faedah apapun. Sehingga huruf alif lam berarti huruf yang tidak datang untuk suatu makna.
Namun terkadang kita katakan: Huruf alif lam adalah huruf yang datang untuk suatu makna, jika ia datang untuk ‘ahd adz-dzihn (yaitu: jika isim setelahnya, telah diketahui dalam pikiran) atau ‘ahd adz-dzikr (yaitu: jika isim setelahnya, telah disebutkan dalam kalimat sebelumnya). 
وَكَلِمَةُ (قَدۡ) مُكَوَّنَةٌ مِنَ الۡقَافِ وَالدَّالِ، وَالۡقَافُ وَحۡدَهَا لَيۡسَتۡ حَرۡفًا، وَالدَّالُ وَحۡدَهَا لَيۡسَتۡ حَرۡفًا؛ لِأَنَّهَا لَمۡ تَأۡتِ لِمَعۡنًى، لٰكِنۡ (قَدۡ) جَمِيعًا حَرۡفٌ؛ لِأَنَّهَا جَاءَتۡ لِمَعۡنًى، وَهِيَ حَرۡفُ تَحۡقِيقٍ، فَصَارَتۡ بِذٰلِكَ حَرۡفًا؛ لِأَنَّهَا جَاءَتۡ لِمَعۡنًى.
إِذَنۡ الۡحُرُوفُ الَّتِي تَتَكَوَّنُ مِنۡهَا الۡكَلِمَةَ لَيۡسَتۡ مِنَ الۡكَلَامِ، لِأَنَّ الۡحَرۡفَ لَمۡ يَأۡتِ لِمَعۡنًى.
Kata “قَدۡ” tersusun dari huruf qaf dan dal. Huruf qaf secara tersendiri bukanlah suatu huruf dan huruf dal secara tersendiri bukanlah suatu huruf karena ia tidak datang untuk suatu makna. Tetapi “قَدۡ” secara keseluruhan adalah sebuah huruf karena ia datang untuk suatu makna, yaitu huruf tahqiq (penetapan). Sehingga قَدۡ menjadi sebuah huruf karena ia datang untuk suatu makna.
Maka, huruf-huruf yang menyusun suatu kata bukanlah termasuk kalam karena satu huruf tidak datang untuk suatu makna.
وَكَلِمَةُ (زَيۡد) تُتَكَوَّنُ مِنۡ زَايٍ وَيَاءٍ وَدَالٍ، فَالزَّايُ لَيۡسَتۡ حَرۡفًا فِي الۡاصۡطِلَاحِ؛ لِأَنَّهَا لَمۡ تَأۡتِ لِمَعۡنًى، وَالۡيَاءُ فِي (زَيۡد) لَيۡسَتۡ حَرۡفًا فِي الۡاصۡطِلَاحِ؛ لِأَنَّهَا لَمۡ تَأۡتِ لِمَعۡنًى، وَالدَّالُ فِي (زَيۡد) لَيۡسَتۡ حَرۡفًا فِي الۡاصۡطِلَاحِ؛ لِأَنَّهَا لَمۡ تَأۡتِ لِمَعۡنًى.
إِذَنۡ (ال) نَقُولُ: إِنَّهَا حَرۡفٌ؛ لِأَنَّهَا جَاءَتۡ لِمَعۡنًى.
Kata “زَيۡد (Zaid)” tersusun dari huruf zai, ya, dan dal. Huruf zai bukanlah huruf secara istilah, karena ia tidak datang untuk suatu makna. Huruf ya pada “زَيۡد” juga bukan huruf secara istilah, karena ia tidak datang untuk suatu makna. Huruf dal dalam “زَيۡد” juga bukan huruf secara istilah, karena ia tidak datang untuk suatu makna.
Maka, huruf alif lam kita katakan bahwa ia adalah huruf karena ia datang untuk suatu makna.
وَتَقُولُ: (سالم)، فَهٰذَا اسۡمٌ فِيهِ أَرۡبَعَةُ حُرُوفٍ: (سِينٌ، أَلِفٌ، لَامٌ، مِيمٌ)، فَالسِّينُ لَيۡسَتۡ حَرۡفًا؛ لِأَنَّهَا لَمۡ تَأۡتِ لِمَعۡنًى، وَالۡأَلِفُ لَيۡسَتۡ حَرۡفًا؛ لِأَنَّهَا لَمۡ تَأۡتِ لِمَعۡنًى، وَاللَّامُ لَيۡسَتۡ حَرۡفًا؛ لِأَنَّهَا لَمۡ تَأۡتِ لِمَعۡنًى، وَالۡمِيمُ لَيۡسَتۡ حَرۡفًا؛ لِأَنَّهَا لَمۡ تَأۡتِ لِمَعۡنًى.
Kalau engkau katakan “سالم” maka ini adalah isim yang mengandung empat huruf: sin, alif, lam, dan mim. Huruf sin semata di sini bukan huruf karena ia tidak datang untuk suatu makna. Huruf alif bukan huruf karena ia tidak datang untuk suatu makna. Huruf lam bukan huruf karena ia tidak datang untuk suatu makna. Huruf mim bukan huruf karena ia tidak datang untuk suatu makna.
لٰكِنَّ السِّينَ قَدۡ تَكُونُ حَرۡفًا فِي غَيۡرِ هٰذَا التَّرۡكِيبِ، مِثۡلُ (سَيَقُومُ زَيۡدٌ) فَالسِّينُ هُنَا حَرۡفٌ؛ لِأَنَّهَا جَاءَتۡ لِمَعۡنًى، وَهُوَ التَّنۡفِيسُ.
Akan tetapi, huruf sin terkadang merupakan huruf di selain susunan ini. Contoh “سَيَقُومُ زَيۡدٌ (Zaid akan berdiri).” Huruf sin di sini adalah huruf karena ia datang untuk suatu makna, yaitu tanfis (masa mendatang yang dekat).”
وَكَذٰلِكَ الۡأَلِفُ قَدۡ تَكُونُ فِي بَعۡضِ الۡأَحۡيَانِ هَمۡزَةَ اسۡتِفۡهَامٍ، وَبِهٰذَا تَكُونُ حَرۡفًا؛ لِأَنَّهَا جَاءَتۡ لِمَعۡنًى.
Demikian pula huruf alif terkadang pada sebagian keadaan menjadi huruf hamzah istifham (pertanyaan), sehingga ia menjadi huruf karena ia datang untuk suatu makna.
وَاللَّامُ قَدۡ تَكُونُ حَرۡفًا فِي الۡاصۡطِلَاحِ إِذَا جَاءَتۡ حَرۡفَ جَرٍّ مَثَلًا، كَمَا فِي قَوۡلِكَ: (الۡمَالُ لِزَيۡدٍ).
Huruf lam terkadang menjadi huruf secara istilah, contohnya jika ia datang sebagai huruf jarr seperti dalam ucapanmu “الۡمَالُ لِزَيۡدٍ (Harta itu milik Zaid).”
وَالۡمِيمُ تَكُونُ حَرۡفًا فِي الۡاصۡطِلَاحِ إِذَا دَلَّتۡ عَلَى الۡجَمۡعِ.
Huruf mim bisa menjadi huruf secara istilah ketika menunjukkan jamak.
وَعَلَى كُلِّ حَالٍ، يَجِبُ أَنۡ نَعۡرِفَ أَنَّ قَوۡلَهُ: (حَرۡفٌ جَاءَ لِمَعۡنًى) يَقۡصِدُ بِهِ الۡحَرۡفَ الَّذِي لَمۡ يَأۡتِ لِمَعۡنًى، بَلۡ هُوَ مِنۡ بِنۡيَةِ الۡكَلِمَةِ، مِثۡلُ السِّينِ فِي (سالم)، وَاللَّامِ فِيهِ أَيۡضًا، وَالدَّالِ فِي (زَيۡد)، وَالۡحَاءِ فِي (مُحَمَّدٍ).
Bagaimanapun keadaannya, kita wajib mengetahui bahwa ucapan Ibnu Ajurrum “حَرۡفٌ جَاءَ لِمَعۡنًى (Huruf yang datang untuk suatu makna)”, beliau mengeluarkan huruf yang tidak datang untuk suatu makna dan merupakan unsur sebuah kata. Misal huruf sin dalam سَالِم, huruf lam dalam سَالِم pula, huruf dal dalam زَيۡد, dan huruf ha dalam مُحَمَّد.

Syarh Al-Ajurrumiyyah - Pengertian Kalam

الۡكَلَامُ وَأَقۡسَامُهُ
Kalam dan Bagian-bagiannya

قَالَ أَبُو عَبۡدِ اللهِ مُحَمَّدُ بۡنُ مُحَمَّدِ بۡنِ دَاوُدَ الصَّنۡهَاجِيُّ، الۡمَعۡرُوفُ بِابۡنِ آجُرُّوم:الۡكَلَامُ: هُوَ اللَّفۡظُ الۡمُرَكَّبُ، الۡمُفِيدُ بِالۡوَضۡعِ
Abu ‘Abdullah Muhammad bin Dawud Ash-Shanhaji, yang dikenal dengan Ibnu Ajurrum, berkata:
Kalam (ucapan) adalah lafal yang tersusun dan berfaedah dengan wadh’

الشرح

Syarah

تَعۡرِيفُ الۡكَلَامِ:
بَدَأَ الۡمُؤَلِّفُ –رَحِمَهُ اللهُ- بِالۡكَلَامِ؛ لِأَنَّ النَّحۡوَ لِإِقَامَةِ الۡكَلَامِ، فَلَا بُدَّ أَنۡ تَفۡهَمَ مَا هُوَ الۡكَلَامُ؟ وَلَمۡ يَذۡكُرِ الۡمُؤَلِّفُ خُطۡبَةً لِهٰذَا الۡكِتَابِ، لِأَنَّ عَادَةَ الۡأَوَّلِينَ أَنۡ يَهۡتَمُّوا بِالۡمَوۡضُوعِ، فَيَذۡكُرُ بِسۡمِ اللهِ الرَّحۡمَٰنِ الرَّحِيمِ، ثُمَّ يَدۡخُلُ فِي الۡكَلَامِ، قَالَ:
قَوۡلُهُ: (الۡكَلَامُ: هُوَ اللَّفۡظُ الۡمُرَكَّبُ الۡمُفِيدُ بِالۡوَضۡعِ): وَيُرِيدُ بِالۡكَلَامِ هُنَا الۡكَلَامَ فِي اصۡطِلَاحِ النَّحۡوِيِّينَ.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin rahimahullah berkata:
Pengertian kalam. Penulis rahimahullah memulai dengan kalam (ucapan). Karena ilmu nahwu bertujuan untuk meluruskan ucapan sehingga engkau harus mengerti apakah kalam itu. Penulis tidak menyebutkan khotbah pembuka untuk kitab ini karena kebiasaan orang-orang dahulu adalah mementingkan topik pembahasan. Sehingga beliau menyebut bismillah kemudian masuk ke pembahasan kalam. Beliau berkata:
Ucapan beliau “Kalam adalah lafal yang tersusun dan berfaedah dengan wadh’”: beliau maksudkan kalam di sini adalah kalam dalam istilah ahli nahwu.
وَقَوۡلُهُ: (وَاللَّفۡظُ): مَعۡنَاهُ هُوَ النُّطۡقُ بِاللِّسَانِ؛ فَخَرَجَ بِقَوۡلِنَا (اللَّفۡظُ) الۡكِتَابَةُ؛ فَالۡكِتَابَةُ عِنۡدَ النَّحۡوِيِّينَ لَيۡسَتۡ كَلَامًا، فَلَوۡ كَتَبۡتَ رِسَالَةً كَامِلَةً، فَإِنَّهَا عِنۡدَ النَّحۡوِيِّينَ لَا تُسَمَّى كَلَامًا، بَلۡ تُسَمَّى كِتَابَةً.
وَخَرَجَ بِهِ الۡإِشَارَةُ، فَالۡإِشَارَةُ لَيۡسَتۡ كَلَامًا وَلَوۡ فُهِمَتۡ؛ وَلِهٰذَا لَوۡ أَشَرۡتَ بِيَدِكَ لِإِنۡسَانٍ وَاقِفٍ: أَنِ (اجۡلِسۡ)، لَمۡ يُسَمَّ كَلَامًا، وَلَوۡ قُلۡتَ: (اجۡلِسۡ) صَارَ كَلَامًا، وَلَوۡ رَأَيۡتَ شَخۡصًا وَاقِفًا فَكَتَبۡتَ فِي وَرَقَةٍ: (اجۡلِسۡ)، فَإِنَّهُ لَا يُسَمَّى كَلَامًا عِنۡدَ النَّحۡوِيِّينَ، وَبِذَا يَخۡرُجُ كُلُّ كَلَامٍ مَكۡتُوبٍ مِنۡ هٰذَا التَّعۡرِيفِ.
Ucapan beliau “lafal”: maknanya adalah ucapan dengan lisan. Sehingga dengan batasan “lafal” ini, berarti tulisan tidak termasuk. Jadi, tulisan menurut ahli nahwu bukan termasuk kalam. Seandainya engkau menulis suatu surat yang lengkap, maka menurut ahli nahwu, ia tidak dinamakan sebagai kalam, namun dinamakan tulisan.
Begitu pula isyarat tidak termasuk. Sehingga, isyarat bukan kalam walaupun isyarat itu dipahami. Oleh karena itu, andai engkau memberi isyarat dengan tanganmu kepada seseorang yang sedang berdiri untuk duduk, maka isyarat ini tidak dinamakan kalam. Kalau engkau katakan, “Duduk!” maka menjadi kalam. Juga, andai engkau melihat seseorang sedang berdiri, lalu engkau menulis di kertas “Duduk!”, maka tulisan itu tidak dinamakan kalam menurut ahli nahwu. Dengan ini, maka setiap perkataan yang tertulis tidak masuk dalam pengertian ini.
فَإِنۡ قِيلَ: وَهَلۡ مَعۡنَى هٰذَا أَنَّ كُتُبَ الۡعُلَمَاءِ لَا تُعَدُّ كَلَامًا هِيَ الۡأُخۡرَى؟
قُلۡنَا: هٰذَا يُسَمَّى كَلَامًا فِي الشَّرۡعِ، وَيُسَمَّى كَلَامًا عِنۡدَ الۡفُقَهَاءِ، لٰكِنۡ لَا يُسَمَّى كَلَامًا فِي اصۡطِلَاحِ النَّحۡوِيِّينَ؛ لِأَنَّهَا لَيۡسَتۡ بِلَفۡظٍ، وَإِلَّا فَإِنَّ الرَّسُولَ ﷺ جَعَلَ الۡوَصِيَّةَ الۡمَكۡتُوبَةَ كَالۡوَصِيَّةِ الۡمَنۡطُوقَةِ، فَقَالَ: (مَا حَقُّ امۡرِئٍ مُسۡلِمٍ لَهُ شَيۡءٌ يُوصِي فِيهِ يَبِيتُ لَيۡلَتَيۡنِ إِلَّا وَوَصِيَّتُهُ مَكۡتُوبَةٌ عِنۡدَهُ).
Jika ada yang bertanya: Apakah maknanya ini bahwa kitab-kitab para ulama dan yang lainnya tidak dianggap sebagai kalam?
Kita katakan: Ini dinamakan sebagai kalam dalam syariat dan dinamakan pula sebagai kalam menurut ahli fikih. Akan tetapi tidak dinamakan kalam menurut istilah ahli nahwu karena kitab-kitab itu bukan merupakan lafal. Hal ini (yaitu kitab dinamakan sebagai kalam dalam syariat) karena Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan wasiat yang tertulis seperti wasiat yang terucap. Beliau bersabda, “Tidaklah pantas seorang muslim yang memiliki sesuatu yang ingin dia wasiatkan untuk melewati dua malam, kecuali wasiatnya itu tertulis di sisinya.”[1]
وَقَوۡلُهُ: (الۡمُرَكَّبُ): يَعۡنِي: الۡمُرَكَّبَ مِنۡ كَلِمَتَيۡنِ فَأَكۡثَرُ، وَيُرَادُ بِهِ الۡمُرَكَّبُ تَرۡكِيبًا إِسۡنَادِيًّا تَحۡصُلُ بِهِ الۡفَائِدَةُ، بِخِلَافِ الۡمُرَكَّبِ تَرۡكِيبًا إِضَافِيًّا، فَهُوَ لَيۡسَ بِكَلَامٍ، فَلَا بُدَّ أَنۡ يَكُونَ تَرۡكِيبًا إِسۡنَادِيًّا.
فَإِذَا قُلۡتَ: (هَلۡ) فَهٰذَا لَفۡظٌ، لَكِنَّهُ لَيۡسَ مُرَكَّبًا، فَلَا يُسَمَّى كَلَامًا عِنۡدَ النَّحۡوِيِّينَ، وَلَوۡ قُلۡتَ: (عُمَرُ) فَإِنَّهُ أَيۡضًا لَيۡسَ بِكَلَامٍ؛ لِأَنَّهُ لَيۡسَ مُرَكَّبًا، بَلۡ لَا بُدَّ أَنۡ يَتَرَكَّبَ مِنۡ كَلِمَتَيۡنِ فَأَكۡثَرُ تَحۡقِيقًا أَوۡ تَقۡدِيرًا، فَمِنَ التَّرۡكِيبِ الۡحَقِيقِيِّ إِذَا قُلۡتَ: (قَامَ زَيۡدٌ)، فَهٰذَا مُرَكَّبٌ مِنۡ (قَامَ) وَ(زَيۡدٌ) تَحۡقِيقًا، أَيۡ: ظَاهِرًا، وَمِثۡلُهُ: (قَامَ رَجُلٌ)، وَمِنَ التَّرۡكِيبِ التَّقۡدِيرِيِّ إِذَا قُلۡتَ: (قُمۡ)، فَهٰذَا لَمۡ يَتَرَكَّبۡ مِنۡ كَلِمَتَيۡنِ تَحۡقِيقًا، وَلٰكِنۡ تَقۡدِيرًا أَيۡ: غَيۡرَ ظَاهِرٍ؛ لِأَنَّ (قُمۡ) فِيهَا ضَمِيرٌ مُسۡتَتِرٌ فِي قُوَّةِ الۡبَارِزِ الۡمَوۡجُودِ، فَهِيَ مُرَكَّبَةٌ مِنۡ كَلِمَتَيۡنِ، أَيۡ: قُمۡ أَنۡتَ، وَلَوۡ قَالَ: (الۡبَعِيرَ الۡبَعِيرَ) فَهُوَ كَلَامٌ مُرَكَّبٌ تَقۡدِيرًا، بِمَعۡنَى: احۡذَرِ الۡبَعِيرَ.
Ucapan beliau “yang tersusun” yakni tersusun dari dua kata atau lebih. Yang diinginkan dengan ucapan beliau adalah tersusun dengan tarkib isnadi (susunan fi’il-fa’il atau mubtada`-khabar) yang menghasilkan faedah. Bukan tersusun dengan tarkib idhafi (susunan mudhaf-mudhaf ilaih), karena susunan itu bukanlah kalam. Sehingga harus berupa tarkib isnadi.
Jika engkau katakan “هَلۡ (apakah)”, maka ini merupakan suatu lafal. Akan tetapi perkataanmu itu tidak merupakan susunan sehingga tidak dinamakan kalam menurut ahli nahwu. Andai engkau katakan “عُمَرُ (’Umar)”, maka ini juga bukan kalam karena perkataanmu tidak merupakan susunan. Namun, seharusnya ucapanmu tersusun dari dua kata atau lebih, baik secara eksplisit atau implisit.
Di antara susunan kata yang eksplisit adalah apabila engkau katakan “قَامَ زَيۡدٌ (Zaid berdiri)”, maka ini merupakan susunan dari kata قَامَ dan زَيۡدٌ secara eksplisit, yakni: secara tampak. Contoh lain adalah “قَامَ رَجُلٌ (Seseorang berdiri).”
Sedangkan yang termasuk susunan kata implisit adalah jika engkau katakan “قُمۡ (Berdirilah!)” Dalam ucapan ini, ada kata ganti yang tersembunyi, sehingga sebenarnya ia tersusun dari dua kata, yaitu “قُمۡ أَنۡتَ (Berdirilah kamu!).” Andai engkau katakan “الۡبَعِيرَ الۡبَعِيرَ (Unta! Unta!)”, maka ini adalah sebuah kalam yang tersusun secara implisit bermakna “احۡذَرِ الۡبَعِيرَ (Awas unta!).”
وَقَوۡلُهُ: (الۡمُفِيدُ): أَيۡ الۡمُفِيدُ فَائِدَةً يَحۡسُنُ السُّكُوتُ عَلَيۡهَا، وَلَا يُشۡتَرَطُ أَنۡ تَكُونَ الۡفَائِدَةُ جَدِيدَةً، حَتَّى لَوۡ كَانَتِ الۡفَائِدَةُ مَعۡلُومَةً، فَلَا بَأۡسَ، فَإِنَّهُ يُسَمَّى كَلَامًا.
وَهٰذَا الۡقَيۡدُ اتَّفَقَ النَّحۡوِيُّونَ عَلَى اشۡتِرَاطِهِ، وَالۡمُرَادُ بِهِ مَا أَفَادَ السَّامِعَ فَائِدَةً، بِحَيۡثُ لَا يَتَشَوَّفُ مَعَهَا إِلَى غَيۡرِهَا، بَلۡ يَكۡتَفِي فِي الۡمَعۡنَى بِهٰذَا اللَّفۡظِ الۡمُرَكَّبِ، فَإِذَا قُلۡتَ: (نَجَحَ الطَّالِبُ)، فَهٰذَا أَفَادَ السَّامِعَ مَعۡنًى لَا يَتَشَوَّفُ إِلَى غَيۡرِهِ، لٰكِنۡ إِذَا قُلۡتَ: (إِنۡ نَجَحَ الطَّالِبُ)، هٰذَا مُرَكَّبٌ مِنۡ ثَلَاثِ كَلِمَاتٍ، وَهِيَ (إِنۡ)، (نَجَحَ)، (الطَّالِبُ)، لَكِنَّهُ لَمۡ يُفِدۡ؛ فَالسَّامِعُ إِذَا قُلۡتَ لَهُ: (إِنۡ نَجَحَ الطَّالِبُ)، فَهُوَ يَتَشَوَّفُ مَاذَا سَيَكُونُ بَعۡدَهَا، إِذَنۡ لَا نُسَمِّي هٰذَا كَلَامًا؛ لِأَنَّهُ لَمۡ يُفِدۡ فَائِدَةً لَا يَتَشَوَّفُ السَّامِعُ بَعۡدَهَا إِلَى غَيۡرِهَا.
Ucapan beliau “berfaedah” artinya memberi sebuah faedah sehingga si pembicara sudah bisa diam (atas penyampaian faedah tersebut) dan tidak disyaratkan faedah tersebut harus merupakan faedah yang baru. Sehingga, walaupun faedah itu sudah diketahui, maka tidak masalah. Ia tetap dinamakan kalam.
Batasan ini telah disepakati oleh para ahli nahwu akan pensyaratannya. Yang dimaukan adalah selama si pendengar telah mendapatkan sebuah faedah. Tandanya adalah si pendengar tidak mengharap-harap kelanjutannya, namun dia mencukupkan makna di dalam lafal yang tersusun ini. Jadi, jika engkau katakan “نَجَحَ الطَّالِبُ (Murid itu lulus)”, maka ini memberi makna kepada si pendengar sehingga ia tidak menunggu kelanjutannya. Jika engkau katakan “إِنۡ نَجَحَ الطَّالِبُ (Jika murid itu lulus)”, ucapan ini tersusun dari tiga kata, yaitu إِنۡ, نَجَحَ, dan الطَّالِبُ, akan tetapi ucapan ini belum memberi faedah. Si pendengar jika engkau katakan kepadanya “إِنۡ نَجَحَ الطَّالِبُ”, maka ia mengharapkan perkataan setelahnya. Jadi, kita tidak menamakan perkataan tersebut sebagai kalam karena tidak memberi faedah sehingga si pendengar tidak perlu mengharap-harap kelanjutannya.
وَإِنۡ قِيلَ: (قَامَ الرَّجُلُ) كَانَ هٰذَا كَلَامًا مُفِيدًا، لٰكِنۡ لَوۡ قُلۡتَ: (إِنۡ قَامَ الرَّجُلُ) صَارَ كَلَامًا غَيۡرَ مُفِيدٍ، وَلَا زَالَ السَّامِعُ يَتَشَوَّفُ لِكَلَامٍ بَعۡدَهُ يَسۡتَفِيدُ بِهِ.
وَلَوۡ قُلۡتَ: (إِنۡ نَجَحَ غُلَامُ غُلَامِ عَبۡدِ اللهِ الطَّيِّبُ الطَّاهِرُ...) فَهٰذِهِ كَلِمَاتٌ كَثِيرَةٌ، لَكِنَّهَا لَا تَكُونُ كَلَامًا؛ لِأَنَّهُ لَمۡ يُفِدِ السَّامِعَ شَيۡئًا، وَلَا زَالَ يَتَشَوَّفُ لِسِمَاعِ الۡفَائِدَةِ، وَكَذٰلِكَ لَوۡ قُلۡتَ: (إِنَّ الۡجَمَلَ الشَّارِدَ عَنۡ صَاحِبِهِ)، وَكَذٰلِكَ لَوۡ قُلۡتَ: (إِذَا جَاءَ الضَّيۡفُ)، لَمۡ يَكُنۡ كَلَامًا مُفِيدًا، فَإِذَا قُلۡتُ: (أَكۡرَمۡتُهُ) صَارَ الۡكَلَامُ مُفِيدًا، وَلِذٰلِكَ قِيلَ: بَعۡضُ الۡكَلَامِ إِنۡ زِيدَ نَقَصَ، فَهٰذِهِ الۡجُمَلَ: (قَامَ رَجُلٌ)، (جَاءَ الضَّيۡفُ)، (نَجَحَ الۡغُلَامُ)، مُفِيدَةٌ عَلَى هٰذَا الۡحَالِ، وَلٰكِنۡ لَوۡ دَخَلَتۡ عَلَيۡهَا أَدَاةُ شَرۡطٍ، صَارَتۡ نَاقِصَةً، وَلَمۡ تُفِدۡ.
Jika ada yang berkata “قَامَ الرَّجُلُ (Pria itu berdiri)”, ucapan ini adalah sebuah kalam yang berfaedah. Tetapi, andai engkau katakan “إِنۡ قَامَ الرَّجُلُ (Jika pria itu berdiri)”, ucapan ini menjadi kalam yang tidak berfaedah. Si pendengar akan terus mengharap-harap perkataan setelahnya untuk menyimak faedahnya.
Kalau engkau katakan “إِنۡ نَجَحَ غُلَامُ غُلَامِ عَبۡدِ اللهِ الطَّيِّبُ الطَّاهِرُ... (Jika anak dari anak ‘Abdullah yang baik, bersih, …)”, ini adalah kata-kata yang banyak akan tetapi bukan merupakan kalam. Karena ia tidak memberi faedah apa-apa kepada si pendengar dan si pendengar akan terus menunggu-nunggu untuk mendengar faedah.
Seperti itu pula kalau engkau katakan “إِنَّ الۡجَمَلَ الشَّارِدَ عَنۡ صَاحِبِهِ (Sesungguhnya unta yang kabur dari pemiliknya itu),” atau “إِذَا جَاءَ الضَّيۡفُ (Jika tamu itu datang)”, perkataan ini bukan kalam yang berfaedah.
Jika engkau katakan “أَكۡرَمۡتُهُ (Aku memuliakannya)”, maka perkataan ini menjadi kalam yang berfaedah. Oleh karena itu, ada yang berkata: Sebagian ucapan, jika ditambahi, bisa menjadi tidak sempurna. Maka kalimat-kalimat “قَامَ رَجُلٌ (Seseorang berdiri), جَاءَ الضَّيۡفُ (Tamu itu datang), dan نَجَحَ الۡغُلَامُ (Anak muda itu lulus) adalah kalimat yang berfaedah pada keadaan ini. Namun, apabila ada kata penghubung yang menandai syarat ditambahkan di awal ucapan, maka menjadi tidak sempurna dan tidak memberi faedah.
إِذَنۡ: لَا بُدَّ مِنۡ فَائِدَةٍ لَا يَتَشَوَّفُ السَّامِعُ بَعۡدَهَا إِلَى شَيۡءٍ، وَلَوۡ تَرَكَّبَ الۡكَلَامُ مِنۡ أَلۡفِ كَلِمَةٍ.
وَلَا فَرۡقَ بَيۡنَ أَنۡ تَكُونَ الۡفَائِدَةُ جَدِيدَةً أَوۡ مَعۡلُومَةً، فَلَوۡ قُلۡتَ: (السَّمَاءُ فَوۡقَنَا) كَانَ كَلَامًا مَعَ أَنَّهُ مَعۡلُومٌ، وَ(الۡأَرۡضُ تَحۡتَنَا) هُوَ كَلَامٌ مُفِيدٌ، قَالَ الشَّاعِرُ:
كَأَنَّنَا وَالۡمَاءُ مِنۡ حَوۡلِنَا قَوۡمٌ جُلُوسٌ حَوۡلَهُمۡ مَاءُ
فَهٰذَا كَلَامٌ مُفِيدٌ، مَعَ أَنَّهُ تَحۡصِيلُ حَاصِلٍ، (إِذَا كَانَ الۡمَاءُ حَوۡلَكُمۡ فَأَنۡتُمۡ جَلُوسٌ حَوۡلَ الۡمَاءِ).
Jadi, harus ada faedah sehingga si pendengar tidak mengharap-harap sesuatu selanjutnya walaupun ucapan itu tersusun dari seribu kata.
Juga, tidak ada beda antara faedah baru dengan faedah yang sudah diketahui. Seandainya engkau katakan “السَّمَاءُ فَوۡقَنَا (Langit di atas kita)”, maka itu adalah kalam meskipun hal itu sudah diketahui. Juga perkataan “الۡأَرۡضُ تَحۡتَنَا (Bumi di bawah kita)”, ini adalah kalam yang berfaedah. Seorang penyair berkata:
Seakan-akan kita -dalam keadaan air di sekitar kita- adalah suatu kaum yang duduk, air ada di sekitar mereka.
Ini adalah kalam yang berfaedah padahal itu adalah faedah yang sudah pasti “jika air ada di sekitar kalian, berarti kalian duduk di sekitar air.”
قَوۡلُهُ: (بِالۡوَضۡعِ): مُرَادُهُ بِالۡوَضۡعِ أَمۡرَانِ:
الۡأَوَّلُ: أَنۡ يَكُونَ الۡوَاضِعُ لَهُ قَاصِدًا وَضۡعَهُ، فَخَرَجَ بِذٰلِكَ كَلَامُ السَّكۡرَانِ وَالۡمَجۡنُونِ وَالنَّائِمِ وَالۡهَاذِي؛ فَإِنَّهُ لَا يُسَمَّى كَلَامًا؛ لِأَنَّ وَاضِعَهُ غَيۡرُ قَاصِدٍ لَهُ.
وَعَلَى هٰذَا فَلَوۡ افۡتَرَضۡنَا أَنَّ مَجۡنُونًا تَكَلَّمَ بِأَصۡدَقِ كَلَامٍ قَدۡ يُقَالُ، وَمِنۡ أَفۡصَحِ الۡكَلَامِ؛ فَإِنَّ مَا يَقُولُهُ لَا يُعَدُّ كَلَامًا فِي اصۡطِلَاحِ النَّحۡوِيِّينَ؛ لِأَنَّهُ لَيۡسَ مِمَّنۡ يَقۡصُدُونَ أَفۡعَالَهُمۡ، وَلَا أَقۡوَالَهُمۡ.
Ucapan beliau “dengan wadh’”, yang dimaukan dengan wadh’ adalah dua hal:
Pertama: si pengucap memiliki maksud tujuan dalam ucapannya. Jadi, ucapan orang yang mabuk, gila, tidur, dan mengigau keluar dari batasan ini. Sehingga tidak dinamakan kalam karena si pengucap tidak memiliki maksud.
Atas dasar ini, kalau kita mengasumsikan bahwa ada seorang yang gila berbicara dengan ucapan yang paling benar yang pernah dikatakan dan ucapan yang paling fasih; maka sesungguhnya apa yang ia ucapkan tidak termasuk kalam dalam istilah ahli nahwu. Karena ia bukan termasuk orang yang mempunyai maksud dalam perbuatan dan perkataan mereka.
الثَّانِي: أَنۡ يَكُونَ بِالۡوَضۡعِ الۡعَرَبِيِّ؛ فَيَخۡرُجُ بِذٰلِكَ الۡقَيۡدِ الۡكَلَامُ الۡأَعۡجَمِيُّ، فَلَوۡ جَاءَنَا كَلَامٌ يُفِيدُ فَائِدَةً لَا يَتَشَوَّفُ السَّامِعُ بَعۡدَهَا إِلَى شَيۡءٍ لَكِنَّ الۡعَرَبِيَّ لَا يَفۡهَمُهُ؛ فَإِنَّهُ لَا يُسَمَّى كَلَامًا، إِذۡ لَا بُدَّ أَنۡ يَكُونَ بِالۡوَضۡعِ الۡعَرَبِيِّ، بِمَعۡنَى : أَنۡ يَكُونَ مُطَابِقًا لِلُّغَةِ الۡعَرَبِيَّةِ، وَإِلَّا لَمۡ يَكُنۡ كَلَامًا عِنۡدَ النَّحۡوِيِّينَ.
فَلَوۡ خَطَبَ إِنۡسَانٌ خُطۡبَةً كَامِلَةً بِاللُّغَةِ الۡإِنۡجِلِيزِيَّةِ –مَثَلًا- فَإِنَّ خُطۡبَتَهُ هٰذِهِ لَا تُسَمَّى كَلَامًا عِنۡدَ النَّحۡوِيِّينَ.
وَكَذٰلِكَ الصَّحُفُ الَّتِي تُكۡتَبُ الۡآنَ لَيۡسَتۡ بِكَلَامٍ؛ لِأَنَّهَا كِتَابَةٌ بِدُونِ لَفۡظٍ.
Kedua: kalam harus sesuai dengan kaidah orang Arab. Batasan ini mengeluarkan ucapan orang selain Arab. Jadi seandainya datang kepada kita sebuah ucapan yang memberi faedah sehingga si pendengar tidak menunggu-nunggu kelanjutannya, namun tidak dipahami oleh orang Arab, maka ia tidak dinamakan kalam. Karena kalam harus sesuai aturan bahasa orang Arab. Maknanya, bahwa ucapan harus sesuai dengan bahasa Arab, jika tidak maka bukan kalam menurut ahli nahwu.
Andaikan ada seseorang yang berkhotbah dengan khotbah yang sempurna dengan bahasa Inggris –misal-, maka sesungguhnya khotbahnya ini tidak dinamakan kalam menurut ahli nahwu.
Demikian pula lembaran-lembaran yang saat ini ditulis, bukanlah kalam, karena itu hanyalah tulisan tanpa lafal yang diucapkan.
إِذَنۡ الۡقُيُودُ أَرۡبَعَةٌ: (اللَّفۡظُ، الۡمُرَكَّبُ، الۡمُفِيدُ، بِالۡوَضۡعِ)، فَلَا يَكُونُ الۡكَلَامُ كَلَامًا إِلَّا بِهٰذِهِ الۡقُيُودِ الۡأَرۡبَعَةِ، فَإِذَا تَمَّتۡ هٰذِهِ الشُّرُوطُ فِي الۡكَلَامِ، فَهُوَ الۡكَلَامُ الۡمُرَادُ فِي الۡاصۡطِلَاحِ النَّحۡوِيِّ.
إِذَا قَالَ قَائِلٌ: (بِسۡمِ اللهِ الرَّحۡمَٰنِ الرَّحِيمِ)، فَإِنَّهُ كَلَامٌ مُرَكَّبٌ مِنۡ كَلِمَتَيۡنِ فَأَكۡثَرُ تَقۡدِيرًا، لِأَنَّ التَّقۡدِيرَ: (بِسۡمِ اللهِ أَقۡرَأُ)، أَمَّا لَوۡ لَمۡ نُقَدِّرۡ (أَقۡرَأُ) لَمۡ يَكُنۡ كَلَامًا.
وَلِهٰذَا فَلَوۡ قُلۡتَ: (الرَّجُلُ الۡقَدِيرُ الۡبَارِعُ الۡفَاهِمُ...)، وَأَتَيۡتَ بِأَصۡوَافٍ عَدِيدَةٍ؛ فَهٰذَا لَا يُسَمَّى كَلَامًا حَتَّى تَأۡتِيَ بِالشَّيۡءِ الۡمُفِيدِ؛ لِأَنَّ السَّامِعَ لَا يَزَالُ يَتَطَلِّعُ، أَوۡ يَتَشَوَّفُ إِلَى شَيۡءٍ.
Jadi, batasannya ada empat: lafal, tersusun, berfaedah, dan dengan wadh’. Sehingga suatu ucapan bukan merupakan kalam kecuali empat batasan ini. Jika semua syarat ini ada di suatu ucapan, maka ia adalah kalam yang dimaukan secara istilah nahwu.
Jika ada yang berkata “﷽”, maka ini adalah kalam yang tersusun dari dua kata atau lebih secara implisit. Karena secara implisit adalah “بِسۡمِ اللهِ أَقۡرَأُ (Dengan nama Allah, aku membaca)”, adapun kalau kita tidak mengimplisitkan “أَقۡرَأُ (aku membaca)”, maka bukan kalam.
Oleh karena itu, kalau engkau katakan “الرَّجُلُ الۡقَدِيرُ الۡبَارِعُ الۡفَاهِمُ (Orang yang mampu, cerdas, paham itu …)” dan engkau mendatangkan beberapa sifat lagi, maka ini tidak dinamakan kalam hingga engkau membawa sesuatu yang memberi faedah. Karena si pendengar akan terus menunggu-nunggu atau mengharap-harap kelanjutannya.


Shahih Muslim hadits nomor 1627

١ - (١٦٢٧) - حَدَّثَنَا أَبُو خَيۡثَمَةَ زُهَيۡرُ بۡنُ حَرۡبٍ وَمُحَمَّدُ بۡنُ الۡمُثَنَّى الۡعَنَزِيُّ - وَاللَّفۡظُ لِابۡنِ الۡمُثَنَّى - قَالَا: حَدَّثَنَا يَحۡيَىٰ - وَهُوَ ابۡنُ سَعِيدٍ الۡقَطَّانُ - عَنۡ عُبَيۡدِ اللهِ: أَخۡبَرَنِي نَافِعٌ، عَنِ ابۡنِ عُمَرَ؛ أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ قَالَ: (مَا حَقُّ امۡرِئٍ مُسۡلِمٍ، لَهُ شَيۡءٌ يُرِيدُ أَنۡ يُوصِيَ فِيهِ، يَبِيتُ لَيۡلَتَيۡنِ، إِلَّا وَوَصِيَّتُهُ مَكۡتُوبَةٌ عِنۡدَهُ).
1. (1627). Abu Khaitsamah Zuhair bin Harb dan Muhammad bin Al-Mutsanna Al-‘Anazi telah menceritakan kepada kami. Lafal ini milik Ibnu Al-Mutsanna. Keduanya berkata: Yahya bin Sa’id Al-Qaththan menceritakan kepada kami dari ‘Ubaidullah: Nafi’ mengabarkan kepadaku, dari Ibnu ‘Umar; Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak sepantasnya bagi seorang muslim memiliki sesuatu yang ingin ia wasiatkan, ia melalui dua malam, kecuali wasiatnya tertulis di sisinya.”
٢ - (...) - وَحَدَّثَنَا أَبُو بَكۡرِ بۡنُ أَبِي شَيۡبَةَ: حَدَّثَنَا عَبۡدَةُ بۡنُ سُلَيۡمَانَ وَعَبۡدُ اللهِ بۡنُ نُمَيۡرٍ. (ح) وَحَدَّثَنَا ابۡنُ نُمَيۡرٍ: حَدَّثَنِي أَبِي. كِلَاهُمَا عَنۡ عُبَيۡدِ اللهِ، بِهٰذَا الۡإِسۡنَادِ. غَيۡرَ أَنَّهُمَا قَالَا: (وَلَهُ شَيۡءٌ يُوصِي فِيهِ) وَلَمۡ يَقُولَا: (يُرِيدُ أَنۡ يُوصِيَ فِيهِ).
2. Abu Bakr bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami: ‘Abdah bin Sulaiman dan ‘Abdullah bin Numair menceritakan kepada kami. (Dalam riwayat lain) Ibnu Numair telah menceritakan kepada kami: Ayahku menceritakan kepadaku. Masing-masing keduanya dari ‘Ubaidullah melalui sanad ini. Hanya saja keduanya berkata, “dan ia memiliki sesuatu yang akan ia wasiatkan.” Keduanya tidak berkata, “yang ingin ia wasiatkan.”
٣ - (...) - وَحَدَّثَنَا أَبُو كَامِلٍ الۡجَحۡدَرِيُّ: حَدَّثَنَا حَمَّادٌ - يَعۡنِي ابۡنَ زَيۡدٍ -. (ح) وَحَدَّثَنِي زُهَيۡرُ بۡنُ حَرۡبٍ: حَدَّثَنَا إِسۡمَاعِيلُ - يَعۡنِي ابۡنَ عُلَيَّةَ -. كِلَاهُمَا عَنۡ أَيُّوبَ. (ح) وَحَدَّثَنِي أَبُو الطَّاهِرِ: أَخۡبَرَنَا ابۡنُ وَهۡبٍ: أَخۡبَرَنِي يُونُسُ. (ح) وَحَدَّثَنِي هَارُونُ بۡنُ سَعِيدٍ الۡأَيۡلِيُّ: حَدَّثَنَا ابۡنُ وَهۡبٍ: أَخۡبَرَنِي أُسَامَةُ بۡنُ زَيۡدٍ اللَّيۡثِيُّ. (ح) وَحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بۡنُ رَافِعٍ: حَدَّثَنَا ابۡنُ أَبِي فُدَيۡكٍ: أَخۡبَرَنَا هِشَامٌ - يَعۡنِي ابۡنَ سَعۡدٍ -. كُلُّهُمۡ عَنۡ نَافِعٍ، عَنِ ابۡنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ... بِمِثۡلِ حَدِيثِ عُبَيۡدِ اللهِ.
وَقَالُوا جَمِيعًا: (لَهُ شَيۡءٌ يُوصِي فِيهِ) إِلَّا فِي حَدِيثِ أَيُّوبَ فَإِنَّهُ قَالَ: (يُرِيدُ أَنۡ يُوصِيَ فِيهِ) كَرِوَايَةِ يَحۡيَىٰ، عَنۡ عُبَيۡدِ اللهِ.
3. Abu Kamil Al-Jahdari telah menceritakan kepada kami: Hammad bin Zaid menceritakan kepada kami. (Dalam riwayat lain) Zuhair bin Harb telah menceritakan kepadaku: Isma’il bin ‘Ulayyah menceritakan kepada kami. Masing-masing keduanya dari Ayyub. (Dalam riwayat lain) Abu Ath-Thahir telah menceritakan kepadaku: Ibnu Wahb mengabarkan kepada kami: Yunus mengabarkan kepadaku. (Dalam riwayat lain) Harun bin Sa’id Al-Aili telah menceritakan kepadaku: Ibnu Wahb menceritakan kepada kami: Usamah bin Zaid Al-Laitsi mengabarkan kepadaku. (Dalam riwayat lain) Muhammad bin Rafi’ telah menceritakan kepada kami: Ibnu Abu Fudaik menceritakan kepada kami: Hisyam bin Sa’d mengabarkan kepada kami. Mereka semuanya dari Nafi’, dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam… semisal hadis ‘Ubaidullah.
Mereka semuanya berkata, “Ia memiliki sesuatu yang akan ia wasiatkan,” kecuali di dalam hadis Ayyub. Beliau berkata, “Ia ingin untuk ia wasiatkan” seperti riwayat Yahya dari ‘Ubaidullah.
٤ - (...) - حَدَّثَنَا هَارُونُ بۡنُ مَعۡرُوفٍ: حَدَّثَنَا عَبۡدُ اللهِ بۡنُ وَهۡبٍ: أَخۡبَرَنِي عَمۡرٌو - وَهُوَ ابۡنُ الۡحَارِثِ - عَنِ ابۡنِ شِهَابٍ، عَنۡ سَالِمٍ، عَنۡ أَبِيهِ؛ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللهِ ﷺ قَالَ: (مَا حَقُّ امۡرِئٍ مُسۡلِمٍ لَهُ شَيۡءٌ يُوصِي فِيهِ، يَبِيتُ ثَلَاثَ لَيَالٍ، إِلَّا وَوَصِيَّتُهُ عِنۡدَهُ مَكۡتُوبَةٌ).
قَالَ عَبۡدُ اللهِ بۡنُ عُمَرَ: مَا مَرَّتۡ عَلَيَّ لَيۡلَةٌ مُنۡذُ سَمِعۡتُ رَسُولَ اللهِ ﷺ قَالَ ذٰلِكَ، إِلَّا وَعِنۡدِي وَصِيَّتِي.
4. Harun bin Ma’ruf telah menceritakan kepada kami: ‘Abdullah bin Wahb menceritakan kepada kami: ‘Amr bin Al-Harits mengabarkan kepadaku dari Ibnu Syihab, dari Salim, dari ayahnya; Bahwa beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak sepantasnya bagi seorang muslim memiliki sesuatu yang akan ia wasiatkan untuk melewati tiga malam kecuali wasiatnya di dekatnya telah tertulis.”
‘Abdullah bin ‘Umar berkata: Tidaklah satu malam pun berlalu sejak aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda demikian, kecuali di dekatku ada wasiatku.
(...) - وَحَدَّثَنِيهِ أَبُو الطَّاهِرِ وَحَرۡمَلَةُ. قَالَا: أَخۡبَرَنَا ابۡنُ وَهۡبٍ: أَخۡبَرَنِي يُونُسُ. (ح) وَحَدَّثَنِي عَبۡدُ الۡمَلِكِ بۡنُ شُعَيۡبِ بۡنِ اللَّيۡثِ: حَدَّثَنِي أَبِي، عَنۡ جَدِّي: حَدَّثَنِي عُقَيۡلٌ. (ح) وَحَدَّثَنَا ابۡنُ أَبِي عُمَرَ وَعَبۡدُ بۡنُ حُمَيۡدٍ. قَالَا: حَدَّثَنَا عَبۡدُ الرَّزَّاقِ: أَخۡبَرَنَا مَعۡمَرٌ. كُلُّهُمۡ عَنِ الزُّهۡرِيِّ، بِهٰذَا الۡإِسۡنَادِ... نَحۡوَ حَدِيثِ عَمۡرِو بۡنِ الۡحَارِثِ.
Abu Ath-Thahir dan Harmalah telah menceritakannya kepadaku. Keduanya berkata: Ibnu Wahb mengabarkan kepada kami: Yunus mengabarkan kepadaku. (Dalam riwayat lain) ‘Abdul Malik bin Syu’aib bin Al-Laits telah menceritakan kepadaku: Ayahku menceritakan kepadaku dari kakekku: ‘Uqail menceritakan kepadaku. (Dalam riwayat lain) Ibnu Abu ‘Umar dan ‘Abd bin Humaid telah menceritakan kepada kami. Keduanya berkata: ‘Abdurrazzaq menceritakan kepada kami: Ma’mar mengabarkan kepada kami. Mereka semuanya dari Az-Zuhri melalui sanad ini… seperti hadis ‘Amr bin Al-Harits.

Shahih Al-Bukhari hadits nomor 2738

١ - بَابُ الۡوَصَايَا، وَقَوۡلِ النَّبِيِّ ﷺ: (وَصِيَّةُ الرَّجُلِ مَكۡتُوبَةٌ عِنۡدَهُ)
1. Bab wasiat-wasiat dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wasiat seseorang tertulis di dekatnya”

وَقَوۡلِ اللهِ تَعَالَى: ﴿كُتِبَ عَلَيۡكُمۡ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الۡمَوۡتُ إِنۡ تَرَكَ خَيۡرًا الۡوَصِيَّةُ لِلۡوَالِدَيۡنِ وَالأَقۡرَبِينَ بِالۡمَعۡرُوفِ حَقًّا عَلَى الۡمُتَّقِينَ ۞ فَمَنۡ بَدَّلَهُ بَعۡدَ مَا سَمِعَهُ فَإِنَّمَا إِثۡمُهُ عَلَى الَّذِينَ يُبَدِّلُونَهُ إِنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ۞ فَمَنۡ خَافَ مِنۡ مُوصٍ جَنَفًا أَوۡ إِثۡمًا فَأَصۡلَحَ بَيۡنَهُمۡ فَلَا إِثۡمَ عَلَيۡهِ إِنَّ اللهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ﴾ [البقرة: ١٨٠-١٨٢]. جَنَفًا: مَيۡلًا. ﴿مُتَجَانِفٌ﴾ [المائدة: ٣] مَائِلٌ.
Dan firman Allah taala, “Diwajibkan atas kalian, apabila seorang di antara kalian kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. Maka barang siapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Akan tetapi) barang siapa khawatir terhadap orang yang berwasiat itu, berlaku berat sebelah atau berbuat dosa, lalu ia mendamaikan antara mereka, maka tidaklah ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 180-182). Janaf artinya kecondongan. Mutajanif (QS. Al-Maidah: 3) artinya orang yang memiliki kecondongan.
٢٧٣٨ - حَدَّثَنَا عَبۡدُ اللهِ بۡنُ يُوسُفَ: أَخۡبَرَنَا مَالِكٌ، عَنۡ نَافِعٍ، عَنۡ عَبۡدِ اللهِ بۡنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ قَالَ: (مَا حَقُّ امۡرِىءٍ مُسۡلِمٍ، لَهُ شَىۡءٌ يُوصِي فِيهِ، يَبِيتُ لَيۡلَتَيۡنِ إِلَّا وَوَصِيَّتُهُ مَكۡتُوبَةٌ عِنۡدَهُ).
تَابَعَهُ مُحَمَّدُ بۡنُ مُسۡلِمٍ، عَنۡ عَمۡرٍو، عَنِ ابۡنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ.
2738. ‘Abdullah bin Yusuf telah menceritakan kepada kami: Malik mengabarkan kepada kami, dari Nafi’, dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak sepantasnya bagi seorang muslim yang memiliki sesuatu untuk diwasiatkan, ia melewati dua malam melainkan wasiatnya tertulis di dekatnya.”
Muhammad bin Muslim mengiringi Malik, dari ‘Amr, dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Shahih Muslim hadits nomor 4

٤ - (٤) - وَحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بۡنُ عَبۡدِ اللهِ بۡنُ نُمَيۡرٍ: حَدَّثَنَا أَبِي: حَدَّثَنَا سَعِيدُ بۡنُ عُبَيۡدٍ: حَدَّثَنَا عَلِيُّ بۡنُ رَبِيعَةَ؛ قَالَ: أَتَيۡتُ الۡمَسۡجِدَ وَالۡمُغِيرَةُ أَمِيرُ الۡكُوفَةِ، قَالَ: فَقَالَ الۡمُغِيرَةُ: سَمِعۡتُ رَسُولَ اللهِ ﷺ يَقُولُ: (إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيۡسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ، فَمَنۡ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا، فَلۡيَتَبَوَّأۡ مَقۡعَدَهُ مِنَ النَّارِ).
4. (4). Muhammad bin ‘Abdullah bin Numair telah menceritakan kepada kami: Ayahku menceritakan kepada kami: Sa’id bin ‘Ubaid menceritakan kepada kami: ‘Ali bin Rabi’ah menceritakan kepada kami, beliau berkata: Aku datang ke masjid Kufah ketika Al-Mughirah menjadi pemimpin di Kufah. ‘Ali berkata: Al-Mughirah mengatakan: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya berdusta atas namaku tidak seperti berdusta atas nama orang lain. Siapa saja yang sengaja berdusta atas namaku, hendaknya ia mempersiapkan tempat duduknya dari api neraka.”
وَحَدَّثَنِي عَلِيُّ بۡنُ حُجۡرٍ السَّعۡدِيُّ: حَدَّثَنَا عَلِيُّ بۡنُ مُسۡهِرٍ: أَخۡبَرَنَا مُحَمَّدُ بۡنُ قَيۡسٍ الۡأَسَدِيُّ، عَنۡ عَلِيِّ بۡنِ رَبِيعَةَ الۡأَسَدِيِّ، عَنِ الۡمُغِيرَةِ بۡنِ شُعۡبَةَ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ... بِمِثۡلِهِ. وَلَمۡ يَذۡكُرۡ: (إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيۡسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ).
‘Ali bin Hujr As-Sa’idi telah menceritakan kepadaku: ‘Ali bin Mushir menceritakan kepada kami: Muhammad bin Qais Al-Asadi mengabarkan kepada kami, dari ‘Ali bin Rabi’ah Al-Asadi, dari Al-Mughirah bin Syu’bah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam… semisal hadis tersebut, namun beliau tidak menyebutkan, “Sesungguhnya berdusta atas namaku tidak seperti berdusta atas nama orang lain.”

Shahih Muslim hadits nomor 3

٣ - (٣) - وَحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بۡنُ عُبَيۡدٍ الۡغُبَرِيُّ: حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ، عَنۡ أَبِي حَصِينٍ، عَنۡ أَبِي صَالِحٍ، عَنۡ أَبِي هُرَيۡرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: (مَنۡ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا، فَلۡيَتَبَوَّأۡ مَقۡعَدَهُ مِنَ النَّارِ).
3. (3). Muhammad bin ‘Ubaid Al-Ghubari telah menceritakan kepada kami: Abu ‘Awanah menceritakan kepada kami, dari Abu Hashin, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah, beliau mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa saja yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaknya ia menyiapkan tempat duduknya dari api neraka.”

Ma Hiya As-Salafiyyah? - Keutamaan Mengikuti Salaf

Bab Kelima: Keutamaan Mengikuti Salaf dan Keutamaan Salafiyyah


Siapa saja yang menetapi salafiyyah yang sejati, yaitu: metode salaf dengan benar dan jujur, berarti dia telah mewujudkan kebaikan seluruhnya dan mewujudkan pahala yang agung, berlimpah, dan besar. Karena dia menetapi petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara keutamaan dan kemuliaan itu adalah:

1. Bahwa orang yang menetapinya berarti ia mengikuti perintah ilahi. Ini termasuk sesuatu yang dicintai dan diridai oleh Allah.

Karena ibadah adalah nama yang mencakup setiap yang Allah cintai dan ridai yang lahir maupun yang batin.

Atas dasar ini, siapa saja yang menetapi perintah-perintah itu, yang telah kita lalui pada topik wajibnya mengikuti salaf saleh, maka ia orang yang mengikuti perintah Allah. Dan siapa saja yang mengikuti perintah Allah, Allah akan mencintainya, karena dia adalah orang yang menetapi syariat-Nya.

2. Bahwa orang yang menetapinya berarti mewujudkan hidayah dan keselamatan dari kesesatan dan penyimpangan.

Ini juga merupakan perkara yang jelas. Hadis Jabir radhiyallahu ‘anhu riwayat Muslim di kitab Shahih[1] menunjukkan hal itu. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika haji wadak,
تَرَكۡتُ فِيكُمۡ مَا لَنۡ تَضِلُّوا إِنِ اعۡتَصَمۡتُمۡ بِهِ كِتَابَ اللهِ
“Aku tinggalkan pada kalian sesuatu yang kalian tidak akan tersesat jika kalian berpegang teguh dengannya, yaitu Kitab Allah.”

Aku bertanya: Apa yang ada di dalam Kitab Allah? Perintah untuk mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan salaf saleh. Sebagaimana dalil-dalil tentang hal itu sudah kita lewati bersama.

Di antaranya adalah firman Allah,
لَّقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِى رَسُولِ ٱللَّـهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرۡجُوا۟ ٱللَّـهَ وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡأَخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّـهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab: 21).

Imam Ibnu Katsir berkata ketika menafsirkan ayat ini, “Ayat ini adalah pondasi agung untuk meneladani Rasulullah ‘alaihish shalatu was salam dalam ucapan, perbuatan, dan perihal beliau. Dan untuk inilah, Allah subhanahu wa taala memerintahkan manusia untuk meneladani Nabi ‘alaihish shalatu was salam pada hari perang Ahzab dalam kesabaran beliau, mushabarah (kesabaran ketika menghadapi musuh), penjagaan perbatasan, kesungguh-sungguhan, dan penantian jalan keluar dari Allah.”[2] Selesai ucapan Ibnu Katsir.

3. Bahwa orang yang menetapinya, maka ia terjaga dan aman dari terjatuh ke dalam perselisihan dan perpecahan yang tercela.

Karena nas-nas Alquran dan Sunah -wahai saudara-saudara yang aku cintai- memerintahkan dan menganjurkan untuk berkumpul dan bersatu di atas kebenaran, dengan cara yang benar, dan untuk kebenaran. Allah subhanahu wa taala berfirman,
وَٱعۡتَصِمُوا۟ بِحَبۡلِ ٱللَّـهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا۟
“Dan berpeganglah kalian semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai.” (QS. Ali ‘Imran: 103).

Allah jalla wa ‘ala juga berfirman,
وَلَا تَكُونُوا۟ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِينَ ۝٣١ مِنَ ٱلَّذِينَ فَرَّقُوا۟ دِينَهُمۡ وَكَانُوا۟ شِيَعًا
“Dan janganlah kalian termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan.” (QS. Ar-Rum: 31-32).

Telah datang pula di dalam hadis Al-’Irbadh yang telah kita lewati, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَإِنَّهُ مَنۡ يَعِشۡ مِنۡكُمۡ فَسَيَرَىٰ اخۡتِلَافًا كَثِيرًا
“Karena siapa saja di antara kalian yang masih hidup, maka ia akan melihat perselisihan yang banyak.”

Seakan-akan para sahabat bertanya kepada beliau, “Bagaimana kiat menjaga diri wahai Rasulullah? Bagaimana cara menyelamatkan diri?”

Beliau menjawab mereka,
فَعَلَيۡكُمۡ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الۡخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الۡمَهۡدِيِّينَ
“Kalian wajib mengikuti sunahku dan sunah para khalifah ar-rasyidin al-mahdiyyin.”

Dan sebagiannya akan datang -dengan izin Allah- ketika membicarakan tentang tanda dan alamat dakwah yang diberkahi ini.

Al-Imam Al-Baghawi berkata di dalam kitab Syarhus Sunnah[3] ketika mengomentari hadis Al-’Irbadh radhiyallahu ‘anhu, “Di dalam hadis ini ada isyarat akan munculnya bidah-bidah dan hawa nafsu wallahualam. Nabi memerintahkan untuk mengikuti sunahnya dan sunah para khalifah ar-rasyidin. Dan beliau memerintahkan untuk berpegang teguh dengannya dengan sekuat tenaga serta menjauhi apa saja yang diada-adakan yang menyelisihinya.”


[2] Tafsir Al-Qur`an Al-‘Azhim (3/475). 
[3] (1/206).

Simak audio penjelasan Al-Ustadz Abu Yahya Muslim hafizhahullah di sini.

Shahih Muslim hadits nomor 2

٢ - (٢) - وَحَدَّثَنِي زُهَيۡرُ بۡنُ حَرۡبٍ: حَدَّثَنَا إِسۡمَاعِيلُ - يَعۡنِي ابۡنَ عُلَيَّةَ - عَنۡ عَبۡدِ الۡعَزِيزِ بۡنِ صُهَيۡبٍ، عَنۡ أَنَسِ بۡنِ مَالِكٍ؛ أَنَّهُ قَالَ: إِنَّهُ لَيَمۡنَعُنِي أَنۡ أُحَدِّثَكُمۡ حَدِيثًا كَثِيرًا، أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ قَالَ: (مَنۡ تَعَمَّدَ عَلَيَّ كَذِبًا فَلۡيَتَبَوَّأۡ مَقۡعَدَهُ مِنَ النَّارِ).
2. (2). Zuhair bin Harb telah menceritakan kepadaku: Isma’il bin ‘Ulayyah menceritakan kepada kami dari ‘Abdul ‘Aziz bin Shuhaib, dari Anas bin Malik; Bahwa beliau mengatakan: Sesungguhnya yang menghalangiku untuk menceritakan banyak hadis kepada kalian adalah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa saja yang sengaja berdusta atas namaku, maka silakan ia menyiapkan tempat duduknya di neraka.”

Shahih Muslim hadits nomor 1

٢ - بَابُ تَغۡلِيظِ الۡكَذِبِ عَلَى رَسُولِ اللهِ ﷺ
2. Bab ancaman keras berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

١ - (١) - وَحَدَّثَنَا أَبُو بَكۡرِ بۡنُ أَبِي شَيۡبَةَ: حَدَّثَنَا غُنۡدَرٌ، عَنۡ شُعۡبَةَ. (ح) وَحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بۡنُ الۡمُثَنَّى وَابۡنُ بَشَّارٍ، قَالَا: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بۡنُ جَعۡفَرٍ: حَدَّثَنَا شُعۡبَةَ، عَنۡ مَنۡصُورٍ، عَنۡ رِبۡعِيِّ بۡنِ حِرَاشٍ: أَنَّهُ سَمِعَ عَلِيًّا رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ يَخۡطُبُ. قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: (لَا تَكۡذِبُوا عَلَيَّ، فَإِنَّهُ مَنۡ يَكۡذِبۡ عَلَيَّ يَلِجِ النَّارَ).
1. (1). Abu Bakr bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami: Ghundar menceritakan kepada kami, dari Syu’bah. (Dalam riwayat lain) Muhammad bin Al-Mutsanna dan Ibnu Basysyar telah menceritakan kepada kami. Keduanya berkata: Muhammad bin Ja’far menceritakan kepada kami: Syu’bah menceritakan kepada kami, dari Manshur, dari Rib’i bin Hirasy: Bahwa beliau mendengar ‘Ali radhiyallahu ‘anhu sedang berkhotbah. Beliau mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian berdusta atas namaku! Karena siapa saja yang berdusta atas namaku, dia akan masuk neraka.”

Shahih Muslim - 16. Kitab Nikah


  1. Bab disukainya menikah bagi siapa saja yang jiwanya telah berhasrat menikah dan ia memiliki nafkah hidup; dan disukainya melakukan puasa bagi siapa saja yang belum memiliki nafkah
    1. Hadis nomor 1400
    2. Hadis nomor 1401
    3. Hadis nomor 1402
  2. Bab anjuran bagi orang yang melihat wanita lalu muncul hasrat pada dirinya agar mendatangi istri atau budak perempuannya dan menyalurkannya
    1. Hadis nomor 1403
  3. Bab nikah mutah dan penjelasan bahwa nikah mutah pernah diperbolehkan lalu dihapus, lalu diperbolehkan kemudian dihapus, dan pengharaman nikah mutah terus berlaku hingga hari kiamat
    1. Hadis nomor 1404
    2. Hadis nomor 1405
    3. Hadis nomor 1406
    4. Hadis nomor 1407
  4. Bab pengharaman mengumpulkan antara seorang wanita dengan bibinya dari jalur ayah atau bibinya dari jalur ibu dalam hubungan pernikahan
    1. Hadis nomor 1408
  5. Bab pengharaman nikahnya seorang yang berihram dan dibencinya lamarannya
    1. Hadis nomor 1409
    2. Hadis nomor 1410
    3. Hadis nomor 1411
  6. Bab pengharaman lamaran kepada wanita yang sedang dilamar saudaranya hingga si pelamar pertama mengizinkan atau meninggalkan lamarannya
    1. Hadis nomor 1412
    2. Hadis nomor 1413
    3. Hadis nomor 1414
  7. Bab pengharaman nikah sigar dan kebatilannya
    1. Hadis nomor 1415
    2. Hadis nomor 1416
    3. Hadis nomor 1417
  8. Bab memenuhi syarat-syarat dalam pernikahan
    1. Hadis nomor 1418
  9. Bab meminta persetujuan nikah janda dengan ucapan dan gadis dengan diam
    1. Hadis nomor 1419
    2. Hadis nomor 1420
    3. Hadis nomor 1421
  10. Bab seorang ayah menikahkan anak gadisnya yang masih kecil
    1. Hadis nomor 1422
  11. Bab menikahkan dan menikah di bulan Syawal dan disukainya mulai berkeluarga di bulan tersebut
    1. Hadis nomor 1423
  12. Bab disukai memandang kepada wajah dan dua telapak tangan wanita bagi siapa saja yang ingin menikahinya
    1. Hadis nomor 1424
  13. Bab mahar, bolehnya berupa pengajaran Alquran, cincin besi, dan selain itu baik sedikit atau banyak, serta disukainya berupa lima ratus dirham bagi siapa saja yang tidak terbebani dengannya
    1. Hadis nomor 1425
    2. Hadis nomor 1426
    3. Hadis nomor 1427
  14. Bab keutamaan memerdekakan budak perempuannya lalu menikahinya
    1. Hadis nomor 1365
    2. Hadis nomor 154
    3. Hadis nomor 1428
  15. Bab pernikahan Zainab binti Jahsy, turunnya ayat hijab, dan penetapan syariat walimah urusy
    1. Hadis nomor 1428
  16. Bab perintah untuk memenuhi undangan seseorang
    1. Hadis nomor 1429
    2. Hadis nomor 1430
    3. Hadis nomor 1431
    4. Hadis nomor 1432
  17. Bab wanita yang telah ditalak tiga tidak halal bagi pria yang menalaknya sampai wanita itu menikah dengan suami selain pria itu dan suami yang baru itu menggaulinya, baru kemudian menalaknya dan wanita itu menyelesaikan idahnya
    1. Hadis nomor 1433
  18. Bab doa yang disunahkan diucapkan ketika hendak jimak
    1. Hadis nomor 1434
  19. Bab bolehnya menggauli istrinya di kubulnya, baik dari arah depan maupun dari belakang tanpa mengarahkan ke dubur
    1. Hadis nomor 1435
  20. Bab pengharaman keengganan istri dari ranjang suaminya
    1. Hadis nomor 1436
  21. Bab pengharaman menyebarkan rahasia istri
    1. Hadis nomor 1437
  22. Bab hukum ‘azl
    1. Hadis nomor 1438
    2. Hadis nomor 1439
    3. Hadis nomor 1440
  23. Bab pengharaman menggauli tawanan wanita yang sedang hamil
    1. Hadis nomor 1441
  24. Bab bolehnya ghilah, yaitu menggauli istri yang sedang menyusui dan dibencinya ‘azl
    1. Hadis nomor 1442
    2. Hadis nomor 1443

Shahih Muslim hadits nomor 1432

١٠٧ - (١٤٣٢) - حَدَّثَنَا يَحۡيَى بۡنُ يَحۡيَىٰ قَالَ: قَرَأۡتُ عَلَىٰ مَالِكٍ، عَنِ ابۡنِ شِهَابٍ، عَنِ الۡأَعۡرَجِ، عَنۡ أَبِي هُرَيۡرَةَ، أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ: بِئۡسَ الطَّعَامُ طَعَامُ الۡوَلِيمَةِ يُدۡعَىٰ إِلَيۡهِ الۡأَغۡنِيَاءُ وَيُتۡرَكُ الۡمَسَاكِينُ. فَمَنۡ لَمۡ يَأۡتِ الدَّعۡوَةَ، فَقَدۡ عَصَى اللهَ وَرَسُولَهُ.
[البخاري: كتاب النكاح، باب من ترك الدعوة فقد عصى الله ورسوله، رقم: ٥١٧٧].
107. (1432). Yahya bin Yahya telah menceritakan kepada kami, beliau berkata: Aku membaca di hadapan Malik, dari Ibnu Syihab, dari Al-A’raj, dari Abu Hurairah, bahwa beliau pernah mengatakan: Seburuk-buruk makanan adalah makanan walimah yang hanya orang-orang kaya diundang dan orang-orang miskin tidak diundang. Siapa saja yang tidak mendatangi undangan, maka ia telah mendurhakai Allah dan Rasul-Nya.
١٠٨ - (...) - وَحَدَّثَنَا ابۡنُ أَبِي عُمَرَ: حَدَّثَنَا سُفۡيَانُ قَالَ: قُلۡتُ لِلزُّهۡرِيِّ: يَا أَبَا بَكۡرٍ، كَيۡفَ هٰذَا الۡحَدِيثُ: شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الۡأَغۡنِيَاءِ؟ فَضَحِكَ، فَقَالَ: لَيۡسَ هُوَ: شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الۡأَغۡنِيَاءِ.
قَالَ سُفۡيَانُ: وَكَانَ أَبِي غَنِيًّا، فَأَفۡزَعَنِي هٰذَا الۡحَدِيثُ حِينَ سَمِعۡتُ بِهِ، فَسَأَلۡتُ عَنۡهُ الزُّهۡرِيَّ، فَقَالَ: حَدَّثَنِي عَبۡدُ الرَّحۡمَٰنِ الۡأَعۡرَجُ. أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيۡرَةَ يَقُولُ: شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الۡوَلِيمَةِ، ثُمَّ ذَكَرَ بِمِثۡلِ حَدِيثِ مَالِكٍ.
108. Ibnu Abu ‘Umar telah menceritakan kepada kami: Sufyan menceritakan kepada kami, beliau berkata: Aku berkata kepada Az-Zuhri: Wahai Abu Bakr, bagaimana maksud hadis ini: Seburuk-buruk makanan adalah makanan orang-orang kaya? Beliau tertawa dan berkata: Hadis itu tidak berbunyi: Seburuk-buruk makanan adalah makanan orang-orang kaya.
Sufyan berkata: Ayahku adalah orang yang kaya, sehingga hadis ini membuatku takut ketika aku mendengarnya. Lalu aku menanyakannya kepada Az-Zuhri. Az-Zuhri berkata: ‘Abdurrahman Al-A’raj menceritakan kepadaku, bahwa beliau mendengar Abu Hurairah mengatakan: Seburuk-buruk makanan adalah makanan walimah, kemudian beliau menyebutkan semisal hadis Malik.
١٠٩ - (...) - وَحَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بۡنُ رَافِعٍ وَعَبۡدُ بۡنُ حُمَيۡدٍ، عَنۡ عَبۡدِ الرَّزَّاقِ: أَخۡبَرَنَا مَعۡمَرٌ عَنِ الزُّهۡرِيِّ، عَنۡ سَعِيدِ بۡنِ الۡمُسَيِّبِ، وَعَنِ الۡأَعۡرَجِ عَنۡ أَبِي هُرَيۡرَةَ، قَالَ: شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الۡوَلِيمَةِ. نَحۡوَ حَدِيثِ مَالِكٍ.
109. Muhammad bin Rafi’ dan ‘Abd bin Humaid telah menceritakan kepadaku, dari ‘Abdurrazzaq: Ma’mar mengabarkan kepada kami dari Az-Zuhri, dari Sa’id bin Al-Musayyab dan dari Al-A’raj, dari Abu Hurairah, beliau mengatakan: Seburuk-buruk makanan adalah makanan walimah. Semisal hadis Malik.
(...) - وحَدَّثَنَا ابۡنُ أَبِي عُمَرَ: حَدَّثَنَا سُفۡيَانُ، عَنۡ أَبِي الزِّنَادِ، عَنِ الۡأَعۡرَجِ، عَنۡ أَبِي هُرَيۡرَةَ. نَحۡوَ ذٰلِكَ.
Ibnu Abu ‘Umar telah menceritakan kepada kami: Sufyan menceritakan kepada kami, dari Abu Az-Zinad, dari Al-A’raj, dari Abu Hurairah. Semisal hadis itu.
١١٠ - (...) - وَحَدَّثَنَا ابۡنُ أَبِي عُمَرَ: حَدَّثَنَا سُفۡيَانُ. قَالَ: سَمِعۡتُ زِيَادَ بۡنَ سَعۡدٍ قَالَ: سَمِعۡتُ ثَابِتًا الۡأَعۡرَجَ يُحَدِّثُ، عَنۡ أَبِي هُرَيۡرَةَ، أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ: (شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الۡوَلِيمَةِ، يُمۡنَعُهَا مَنۡ يَأۡتِيهَا وَيُدۡعَىٰ إِلَيۡهَا مَنۡ يَأۡبَاهَا، وَمَنۡ لَمۡ يُجِبِ الدَّعۡوَةَ، فَقَدۡ عَصَى اللهَ وَرَسُولَهُ).
110. Ibnu Abu ‘Umar telah menceritakan kepada kami: Sufyan menceritakan kepada kami. Beliau berkata: Aku mendengar Ziyad bin Sa’d berkata: Aku mendengar Tsabit Al-A’raj menceritakan dari Abu Hurairah, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Seburuk-buruk makanan adalah makanan walimah yang dihalangi orang-orang yang ingin mendatanginya dan malah diundang orang-orang yang tidak ingin mendatanginya. Dan siapa saja yang tidak mendatangi undangan, maka ia telah mendurhakai Allah dan Rasul-Nya.”