Cari Blog Ini

Kemarahan/Kemurkaan Allah

Imam Ibnu Qudamah rahimahullah (wafat 620 H) di dalam kitabnya Lum'atul I'tiqad Al-Hadi ila Sabilir Rasyad berkata,
وَقَوۡلُهُ فِي الۡكُفَّارِ: ﴿وَغَضِبَ ٱللَّهُ عَلَيۡهِمۡ﴾ [الفتح: ٦]. 
Firman Allah taala tentang orang-orang kafir, “Allah memurkai mereka.” (QS. Al-Fath: 6).[1]
وَقَوۡلُهُ تَعَالَى: ﴿ٱتَّبَعُوا۟ مَآ أَسۡخَطَ ٱللَّهَ﴾ [محمد: ٢٨]. 
Firman Allah taala yang artinya, “Hal itu karena mereka mengikuti hal-hal yang membuat Allah murka.” (QS. Muhammad: 28).[2]


Syekh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin rahimahullah di dalam syarahnya berkata,

[1] الصِّفَةُ السَّابِعَةُ: الۡغَضَبُ: الۡغَضَبُ مِنۡ صِفَاتِ اللهِ الثَّابِتَةِ لَهُ بِالۡكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَإِجۡمَاعِ السَّلَفِ. 

قَالَ اللهُ تَعَالَى فِيمَنۡ قَتَلَ مُؤۡمِنًا مُتَعَمِّدًا: ﴿وَغَضِبَ ٱللَّهُ عَلَيۡهِ وَلَعَنَهُۥ﴾ [النساء: ٩٣]. 

وَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: (إِنَّ اللهَ كَتَبَ كِتَابًا عِنۡدَهُ فَوۡقَ الۡعَرۡشِ إِنَّ رَحۡمَتِي تَغۡلِبُ غَضَبِي). متفق عليه. 

وَأَجۡمَعَ السَّلَفُ عَلَى ثُبُوتِ الۡغَضَبِ لِلهِ فَيَجِبُ إِثۡبَاتُهُ مِنۡ غَيۡرِ تَحۡرِيفٍ وَلَا تَعۡطِيلٍ وَلَا تَكۡيِيفٍ وَلَا تَمۡثِيلٍ. وَهُوَ غَضَبٌ حَقِيقِيٌّ يَلِيقُ بِاللهِ. 

Sifat ketujuh: Ghadhab (marah/murka). 

Marah/murka termasuk sifat Allah yang pasti untuk-Nya berdasarkan Alquran, sunah, dan kesepakatan ulama salaf. 

Allah taala berfirman tentang orang yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, “Allah memurkainya dan melaknatnya.” (QS. An-Nisa`: 92). 

Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah menulis suatu tulisan di sisi-Nya di atas arasy: Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan kemurkaan-Ku.” (Muttafaqun ‘alaih; HR. Al-Bukhari nomor 3194 dan Muslim nomor 2751). 

Ulama salaf sepakat akan kepastian sifat murka bagi Allah. Maka, wajib menetapkannya tanpa tahrif (menyelewengkan makna), ta’thil (menolaknya), takyif (mempertanyakan bagaimananya), dan tamtsil (menyerupakannya). Itu adalah kemarahan hakiki yang layak untuk Allah. 

وَفَسَّرَهُ أَهۡلُ التَّعۡطِيلِ بِالۡاِنۡتِقَامِ وَنَرُدُّ عَلَيۡهِمۡ بِمَا سَبَقَ فِي الۡقَاعِدَةِ الرَّابِعَةِ وَبِوَجۡهٍ رَابِعٍ أَنَّ اللهَ تَعَالَى غَايَرَ بَيۡنَ الۡغَضَبِ وَالۡاِنۡتِقَامِ فَقَالَ تَعَالَى: ﴿فَلَمَّآ ءَاسَفُونَا﴾ أَيۡ: أَغۡضَبُونَا، ﴿ٱنتَقَمۡنَا مِنۡهُمۡ﴾ [الزخرف: ٥٥] فَجَعَلَ الۡاِنۡتِقَامَ نَتِيجَةً لِلۡغَضَبِ فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ غَيَّرَهُ. 

Para penolak sifat menafsirkannya dengan penyiksaan. Namun kita bantah mereka dengan kaidah keempat yang telah lewat. Juga dengan sisi keempat, bahwa Allah taala membedakan antara kemurkaan dengan penyiksaan. Allah taala berfirman yang artinya, “Ketika mereka membuat Kami murka, maka Kami siksa mereka.” (QS. Az-Zukhruf: 55). 

Allah menjadikan penyiksaan sebagai hasil dari kemurkaan. Ini menunjukkan bahwa Allah membedakannya. 

[2] الصِّفَةُ الثَّامِنَةُ: السَّخَطُ: 

السَّخَطُ مِنۡ صِفَاتِ اللهِ الثَّابِتَةِ بِالۡكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَإِجۡمَاعِ السَّلَفِ. 

قَالَ اللهُ تَعَالَى: ﴿ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمُ ٱتَّبَعُوا۟ مَآ أَسۡخَطَ ٱللَّهَ﴾ [محمد: ٢٨]. 

وَكَانَ مِنۡ دُعَاءِ النَّبِيِّ ﷺ: (اللّٰهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِرِضَاكَ مَنۡ سَخَطِكَ، وَبِمُعَافَاتِكَ مِنۡ عُقُوبَتِكَ...) الۡحَدِيث رَوَاهُ مُسۡلِمٌ. 

وَأَجۡمَعَ السَّلَفُ عَلَى ثُبُوتِ السَّخَطِ لِلهِ. 

Sifat kedelapan: Sakhath (murka). 

Murka termasuk sifat Allah yang pasti berdasarkan Alquran, sunah, dan kesepakatan ulama salaf. 

Allah taala berfirman yang artinya, “Hal itu karena mereka mengikuti hal-hal yang membuat Allah murka.” (QS. Muhammad: 28). 

Termasuk doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah, “Ya Allah, aku berlindung dengan rida-Mu dari kemurkaan-Mu, dengan pemaafan-Mu dari hukuman-Mu...” (HR. Muslim nomor 486). 

Ulama salaf bersepakat akan kepastian sifat murka bagi Allah. 

فَيَجِبُ إِثۡبَاتُهُ لَهُ مِنۡ غَيۡرِ تَحۡرِيفٍ وَلَا تَعۡطِيلٍ وَلَا تَكۡيِيفٍ وَلَا تَمۡثِيلٍ. 

وَهُوَ سَخَطٌ حَقِيقِيٌّ يَلِيقُ بِاللهِ. 

وَفَسَّرَهُ أَهۡلُ التَّعۡطِيلِ بِالۡاِنۡتِقَامِ، وَنَرُدُّ عَلَيۡهِمۡ بِمَا سَبَقَ فِي الۡقَاعِدَةِ الرَّابِعَةِ. 

Maka wajib menetapkan sifat murka bagi Allah tanpa tahrif (menyelewengkan makna), ta’thil (menolaknya), takyif (mempertanyakan bagaimananya), dan tamtsil (menyerupakannya). 

Itu adalah sifat murka yang hakiki yang layak untuk Allah. 

Para penolak sifat Allah menafsirkannya dengan penyiksaan, namun kita bantah mereka dengan kaidah keempat yang telah lewat. 

Sifat Allah, An-Nafs

Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah (wafat 620 H) di dalam kitab Lum'atul I'tiqad Al-Hadi ila Sabilir Rasyad berkata,
وَقَوۡلُهُ تَعَالَى إِخۡبَارًا عَنۡ عِيسَى عَلَيۡهِ السَّلَامُ أَنَّهُ قَالَ: ﴿تَعۡلَمُ مَا فِى نَفۡسِى وَلَآ أَعۡلَمُ مَا فِى نَفۡسِكَ﴾ [المائدة: ١١٦].
Firman Allah taala mengabarkan tentang ‘Isa ‘alaihis salam, bahwa beliau berkata, “Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri-Mu.” (QS. Al-Ma`idah: 116).[1]


Syekh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin rahimahullah di dalam syarahnya berkata,

[1] الصِّفَةُ الثَّالِثَةُ: النَّفۡسُ: 

النَّفۡسُ ثَابِتَةٌ لِلهِ تَعَالَى بِالۡكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَإِجۡمَاعِ السَّلَفِ. 

قَالَ اللهُ تَعَالَى: ﴿كَتَبَ رَبُّكُمۡ عَلَىٰ نَفۡسِهِ ٱلرَّحۡمَةَ﴾ [الأنعام: ٥٤]، وَقَالَ عَنۡ عِيسَى أَنَّهُ قَالَ: ﴿تَعۡلَمُ مَا فِى نَفۡسِى وَلَآ أَعۡلَمُ مَا فِى نَفۡسِكَ﴾ [المائدة: ١١٦]. 

وَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: (سُبۡحَانَ اللهِ وَبِحَمۡدِهِ عَدَدَ خَلۡقِهِ وَرِضَا نَفۡسِهِ وَزِنَةَ عَرۡشِةِ وَمِدَادَ كَلِمَاتِه) رواه مسلم. 

وَأَجۡمَعَ السَّلَفُ عَلَى ثُبُوتِهَا عَلَى الۡوَجۡهِ اللَّائِقِ بِهِ. 

فَيَجِبُ إِثۡبَاتُهَا لِلهِ مِنۡ غَيۡرِ تَحۡرِيفٍ وَلَا تَعۡطِيلٍ وَلَا تَكۡيِيفٍ وَلَا تَمۡثِيلٍ. 

Sifat ketiga: An-Nafs (Nafsi/Diri). 

Nafsi adalah sifat yang pasti bagi Allah taala berdasarkan Alquran, sunah, dan ijmak ulama salaf. 

Allah taala berfirman yang artinya, “Allah telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang.” (QS. Al-An’am: 54). Allah berfirman tentang ‘Isa, bahwa dia mengatakan, “Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri-Mu.” (QS. Al-Ma`idah: 116). 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mahasuci Allah dan aku menyanjung-Nya dengan pujian sebanyak makhluk-Nya, serida diri-Nya, seberat arasy-Nya, dan sejumlah kalimat-Nya.” (HR. Muslim nomor 2726). 

Para ulama salaf telah bersepakat akan kepastian sifat tersebut sesuai dengan sisi yang layak bagi-Nya. 

Sehingga wajib menetapkan sifat tersebut untuk Allah dengan tanpa tahrif (menyelewengkan makna), ta’thil (menolaknya), takyif (mempertanyakan bagaimananya), dan tamtsil (menyerupakannya). 

Dua Tangan Allah

Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah (wafat 620 H) di dalam kitab Lum'atil I'tiqad Al-Hadi ila Sabilir Rasyad berkata,
وَقَوۡلُهُ سُبۡحَانَهُ وَتَعَالَى: ﴿بَلۡ يَدَاهُ مَبۡسُوطَتَانِ﴾ [المائدة: ٦٤].
Firman Allah subhanahu wa taala yang artinya, “Tetapi kedua tangan-Nya terbuka.” (QS. Al-Ma`idah: 64).[1]


Syekh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin rahimahullah di dalam syarahnya berkata,

[1] الصِّفَةُ الثَّانِيَةُ: الۡيَدَانِ: 

الۡيَدَانِ مِنۡ صِفَاتِ اللهِ الثَّابِتَةِ لَهُ بِالۡكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَإِجۡمَاعِ السَّلَفِ. 

Sifat kedua: Dua tangan. 

Dua tangan termasuk sifat Allah yang pasti untuk-Nya berdasarkan Alquran, sunah, dan ijmak ulama salaf. 

قَالَ اللهُ تَعَالَى: ﴿بَلۡ يَدَاهُ مَبۡسُوطَتَانِ﴾ [المائدة: ٦٤]. 

وَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: (يَمِينُ الله مَلۡأَى لَا يَغِيضُهَا نَفَقَةٌ، سَحَّاءُ اللَّيلَ وَالنَّهَارَ - إِلَى قَوۡلِهِ -: بِيَدِهِ الۡأُخۡرَى القَبۡضُ يَرۡفَعُ ويَخۡفِضُ). رواه مسلم والبخاري معناه. 

وَأَجۡمَعَ السَّلَفُ عَلَى إِثۡبَاتِ الۡيَدَيۡنِ لِلهِ. فَيَجِبُ إِثۡبَاتُهُمَا لَهُ بِدُونِ تَحۡرِيفٍ وَلَا تَعۡطِيلٍ وَلَا تَكۡيِيفٍ وَلَا تَمۡثِيلٍ. وَهُمَا يَدَانِ حَقِيقِيَّتَانِ لِلهِ تَعَالِى يَلِيقَانِ بِهِ. 

Allah taala berfirman yang artinya, “Tetapi kedua tangan-Nya terbuka.” (QS. Al-Ma`idah: 64). 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tangan kanan Allah penuh, tidak ada suatu pemberian pun yang menguranginya, banyak melimpahkan (pemberian) di malam dan siang hari.” Hingga sabdanya, “Kematian ada di tangan-Nya yang lain. Dia mengangkat dan merendahkan (siapa saja yang Dia kehendaki).” (HR. Muslim nomor 993 dan Al-Bukhari nomor 7419 semakna dengannya). 

Ulama salaf telah bersepakat dalam menetapkan dua tangan bagi Allah, sehingga wajib menetapkan kedua tangan untuk-Nya dengan tanpa tahrif (menyelewengkan makna), ta’thil (menolaknya), takyif (mempertanyakan bagaimananya), dan tamtsil (menyerupakannya). Keduanya adalah tangan hakiki bagi Allah taala yang layak untuk-Nya. 

وَقَدۡ فَسَّرَهَا أَهۡلُ التَّعۡطِيلِ بِالنِّعۡمَةِ أَوِ الۡقُدۡرَةِ وَنَحۡوِهَا وَنَرُدُّ عَلَيۡهِمۡ بِمَا سَبَقَ فِي الۡقَاعِدَةِ الرَّابِعَةِ، وَبِوَجۡهٍ رَابِعٍ أَنَّ فِي السِّيَاقِ مَا يَمۡنَعُ تَفۡسِيرَهُمَا بِذٰلِكَ قَطۡعًا كَقَوۡلِهِ تَعَالَى: ﴿لِمَا خَلَقۡتُ بِيَدَىَّ﴾ [ص: ٧٥]، وَقَوۡلِهِ ﷺ: (وَبِيَدِه الۡأُخۡرَى الۡقَبۡضُ). 

Para penolak sifat menafsirkannya sebagai nikmat atau kemampuan atau semisalnya. Kita bantah mereka dengan kaidah keempat yang telah lewat dan dengan sisi keempat bahwa di dalam konteks kalimat ada yang menghalangi secara pasti dari menafsirkan kedua tangan dengan makna tadi, seperti firman Allah taala yang artinya, “Kepada yang telah Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku.” (QS. Shad: 75). Juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kematian ada di tangan-Nya yang lain.” 

الۡأَوۡجُهُ الَّتِي وَرَدَتۡ عَلَيۡهَا صِفَةُ الۡيَدَيۡنِ وَكَيۡفَ نُوَفِّقُ بَيۡنَهَا: 

الۡأَوَّلُ: الۡإِفۡرَادُ كَقَوۡلِهِ تَعَالَى: ﴿تَبَـٰرَكَ ٱلَّذِى بِيَدِهِ ٱلۡمُلۡكُ﴾ [الملك: ١]. 

الثَّانِي: التَّثۡنِيَةُ كَقَوۡلِهِ تَعَالَى: ﴿بَلۡ يَدَاهُ مَبۡسُوطَتَانِ﴾ [المائدة: ٦٤]. 

الثَّالِثُ: الۡجَمۡعُ كَقَوۡلِهِ تَعَالَى: ﴿أَوَلَمۡ يَرَوۡا۟ أَنَّا خَلَقۡنَا لَهُم مِّمَّا عَمِلَتۡ أَيۡدِينَآ أَنۡعَـٰمًا﴾ [يس: ٧١]. 

Bentuk-bentuk lafal sifat dua tangan yang terdapat dalam Alquran dan bagaimana menyelaraskannya:
  1. Bentuk tunggal seperti firman Allah taala yang artinya, “Mahasuci Allah yang di tangan-Nya lah segala kerajaan.” (QS. Al-Mulk: 1). 
  2. Bentuk tatsniyah (dua) seperti firman Allah taala yang artinya, “Tetapi kedua tangan-Nya terbuka.” 
  3. Bentuk jamak seperti firman Allah taala yang artinya, “Tidakkah mereka melihat bahwa Kami telah menciptakan untuk mereka binatang ternak dari apa yang telah diciptakan dengan tangan-tangan Kami?” (QS. Yasin: 71). 

وَالتَّوۡفِيقُ بَيۡنَ هَٰذِهِ الۡوُجُوهِ أَنۡ نَقُولَ: 

الۡوَجۡهُ الۡأَوَّلُ مُفۡرَدٌ مُضَافٌ فَيَشۡمُلُ كُلَّ مَا ثَبَتَ لِلهِ مِنۡ يَدٍ وَلَا يُنَافِي الثِّنۡتَيۡنِ، وَأَمَّا الۡجَمۡعُ فَهُوَ لِلتَّعۡظِيمٍ لَا لِحَقِيقَةِ الۡعَدَدِ الَّذِي هُوَ ثَلَاثَةٌ فَأَكۡثَرُ وَحِينَئِذٍ لَا يُنَافِي التَّثۡنِيَةَ، عَلَى أَنَّهُ قَدۡ قِيلَ إِنَّ أَقَلَّ الۡجَمۡعِ اثۡنَانِ، فَإِذَا حُمِلَ الۡجَمۡعُ عَلَى أَقَلِّهِ فَلَا مُعَارِضَةٌ بَيۡنَهُ وَبَيۡنَ التَّثۡنِيَةِ أَصۡلًا. 

Penyelarasan bentuk-bentuk lafal ini adalah dengan kita katakan, bahwa bentuk pertama, yaitu tunggal, adalah mudhaf (disandarkan kepada kata lain), sehingga mencakup segala yang telah tetap bagi Allah berupa tangan dan tidak menafikan jumlah dua. Adapun bentuk jamak maka itu adalah bentuk pengagungan, bukan hakikat hitungan, yaitu tiga ke atas. Dengan demikian hal ini tidak menafikan jumlah dua karena juga ada yang berpendapat bahwa jumlah minimal dari jamak adalah dua. Sehingga, apabila bentuk jamak di sini dibawa kepada makna yang paling sedikit, maka pada asalnya tidak ada kontradiksi antara bentuk jamak dengan jumlah dua. 

Kecintaan Allah

Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah (wafat 620 H) di dalam kitab Lum'atul I'tiqad Al-Hadi ila Sabilir Rasyad berkata,
وَقَوۡلُهُ تَعَالَى: ﴿يُحِبُّهُمۡ وَيُحِبُّونَهُۥٓ﴾ [المائدة: ٥٤].
Firman Allah taala yang artinya, “Allah mencintai mereka dan mereka mencintai-Nya.” (QS. Al-Ma`idah: 54).[1]


Syekh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin rahimahullah di dalam syarahnya berkata,

[1] الصِّفَةُ السَّادِسَةُ: الۡمَحَبَّةُ: 

الۡمَحَبَّةُ مِنۡ صِفَاتِ اللهِ الثَّابِتَةِ لَهُ بِالۡكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَإِجۡمَاعِ السَّلَفِ. 

قَالَ اللهُ تَعَالَى: ﴿فَسَوۡفَ يَأۡتِى ٱللَّهُ بِقَوۡمٍ يُحِبُّهُمۡ وَيُحِبُّونَهُۥٓ﴾ [المائدة: ٥٤]. 

وَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ يَوۡمَ خَيۡبَرَ: (لَأُعۡطِيَنَّ الرَّايَةَ غَدًا رَجُلًا يُحِبُّ اللهَ وَرَسُولَهُ وَيُحِبُّهُ اللهُ وَرَسُولُهُ). متفق عليه. 

وَأَجۡمَعَ السَّلَفُ عَلَى ثُبُوتِ الۡمَحَبَّةِ لِلهِ يُحِبُّ وَيُحَبُّ. 

فَيَجِبُ إِثۡبَاتُ ذٰلِكَ حَقِيقَةً مِنۡ غَيۡرِ تَحۡرِيفٍ وَلَا تَعۡطِيلٍ وَلَا تَكۡيِيفٍ وَلَا تَمۡثِيلٍ. 

وَهِيَ مَحَبَّةٌ حَقِيقِيَّةٌ تَلِيقُ بِاللهِ تَعَالَى. 

وَقَدۡ فَسَّرَهَا أَهۡلُ التَّعۡطِيلِ بِالثَّوَابِ وَالرَّدُّ عَلَيۡهِمۡ بِمَا سَبَقَ فِي الۡقَاعِدَةِ الرَّابِعَةِ. 

Sifat keenam: Mahabah. 

Mahabah/kecintaan termasuk sifat Allah yang pasti untuk-Nya berdasarkan Alquran, sunah, dan kesepakatan para ulama salaf. 

Allah taala berfirman yang artinya, “Kelak Allah akan datangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka mencintai-Nya.” (QS. Al-Ma`idah: 54). 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda di hari Khaibar, “Aku pasti akan memberikan panji ini esok kepada seorang pria yang mencintai Allah dan Rasul-Nya; dan dia dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya.” (Muttafaqun ‘alaih; HR. Al-Bukhari nomor 3701 dan Muslim nomor 2406). 

Para ulama salaf bersepakat akan pastinya sifat mahabah bagi Allah. Allah mencintai dan dicintai. 

Maka, wajib menetapkan sifat itu secara hakiki dengan tanpa tahrif (menyelewengkan makna), ta’thil (menolaknya), takyif (mempertanyakan bagaimananya), dan tamtsil (menyerupakannya). 

Itu adalah sifat mahabah hakiki yang layak untuk Allah taala. 

Para pengingkar sifat menafsirkannya dengan pahala dan bantahan terhadap mereka telah lewat di kaidah keempat. 

Wajah Allah

Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah di dalam Lum'atul I'tiqad berkata,

فَمِمَّا جَاءَ مِنۡ آيَاتِ الصِّفَاتِ قَوۡلُ اللهِ تَعَالَى: ﴿وَيَبۡقَىٰ وَجۡهُ رَبِّكَ﴾ [الرحمن: ٢٧].
Di antara ayat-ayat sifat adalah firman Allah taala yang artinya, “Dan wajah Rabb-mu tetap kekal.”(QS. Ar-Rahman 27).[1]


Syekh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin rahimahullah di dalam syarahnya berkata,

[1] الصِّفَاتُ الَّتِي ذَكَرَهَا الۡمُؤَلِّفُ مِنۡ صِفَاتِ اللهِ تَعَالَى 

ذَكَرَ الۡمُؤَلِّفُ رَحِمَهُ اللهُ مِنۡ صِفَاتِ اللهِ الصِّفَاتِ الۡآتِيَةَ، وَسَنَتَكَلَّمُ عَلَيۡهَا حَسۡبَ تَرۡتِيبِ الۡمُؤَلِّفِ. 

Sifat-sifat yang disebutkan oleh mualif dari sifat-sifat Allah taala. 

Mualif rahimahullah menyebutkan sebagian sifat Allah, sifat-sifat berikut ini dan kita akan membicarakannya sesuai dengan urutan mualif. 

الصِّفَةُ الۡأُولَى: الۡوَجۡهُ: 

الۡوَجۡهُ ثَابِتٌ لِلهِ تَعَالَى بِدَلَالَةِ الۡكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَإِجۡمَاعِ السَّلَفِ. 

Sifat pertama: Wajah. 

Wajah adalah sifat yang pasti Allah taala miliki berdasarkan dalil Alquran, sunah, dan ijmak ulama salaf. 

قَالَ اللهُ تَعَالَى: ﴿وَيَبۡقَىٰ وَجۡهُ رَبِّكَ ذُو ٱلۡجَلَـٰلِ وَٱلۡإِكۡرَامِ﴾ [الرحمن: ٢٧]. 

وَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ لِسَعۡدِ بۡنِ أَبِي وَقَّاصٍ: (إِنَّكَ لَنۡ تُنۡفِقَ نَفَقَةً تَبۡتَغِي بِهَا وَجۡهَ اللهِ إِلَّا أُجِرۡتَ عَلَيۡهَا). متفق عليه. 

وَأَجۡمَعَ السَّلَفُ عَلَى إِثۡبَاتِ الۡوَجۡهِ لِلهِ تَعَالَى. 

Allah taala berfirman yang artinya, “Dan tetap kekal wajah Rabb-mu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan.” (QS. Ar-Rahman: 27). 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Sa’d bin Abu Waqqash, “Sesungguhnya tidaklah engkau menginfakkan suatu nafkah yang engkau harapkan wajah Allah dengannya, kecuali engkau diberi pahala atasnya.” (Muttafaqun ‘alaihi; HR. Al-Bukhari nomor 6733 dan Muslim nomor 1628). 

Ulama salaf bersepakat akan penetapan wajah untuk Allah taala. 

فَيَجِبُ إِثۡبَاتُهُ لَهُ بِدُونِ تَحۡرِيفٍ وَلَا تَعۡطِيلٍ وَلَا تَكۡيِيفٍ وَلَا تَمۡثِيلٍ. 

وَهُوَ وَجۡهٌ حَقِيقِيٌّ يَلِيقُ بِاللهِ. 

وَقَدۡ فَسَّرَهُ أَهۡلُ التَّعۡطِيلِ بِالثَّوَابِ وَنَرُدُّ عَلَيۡهِمۡ بِمَا سَبَقَ فِي الۡقَاعِدَةِ الرَّابِعَةِ. 

Sehingga wajib menetapkannya untuk-Nya dengan tanpa tahrif (menyelewengkan makna), ta’thil (menolaknya), takyif (mempertanyakan bagaimananya), dan tamtsil (menyerupakannya). Itu adalah wajah yang hakiki yang layak bagi Allah. 

Para penolak sifat menafsirkannya dengan pahala dan kita bantah mereka dengan kaidah keempat yang telah lewat. 

Shahih Muslim hadits nomor 2726

١٩ - بَابُ التَّسۡبِيحِ أَوَّلَ النَّهَارِ وَعِنۡدَ النَّوۡمِ
19. Bab tasbih di awal siang dan ketika hendak tidur malam


٧٩ – (٢٧٢٦) - حَدَّثَنَا قُتَيۡبَةُ بۡنُ سَعِيدٍ وَعَمۡرٌو النَّاقِدُ وَابۡنُ أَبِي عُمَرَ، وَاللَّفۡظُ لِابۡنِ أَبِي عُمَرَ، قَالُوا: حَدَّثَنَا سُفۡيَانُ، عَنۡ مُحَمَّدِ بۡنِ عَبۡدِ الرَّحۡمَٰنِ، مَوۡلَىٰ آلِ طَلۡحَةَ، عَنۡ كُرَيۡبٍ، عَنِ ابۡنِ عَبَّاسٍ، عَنۡ جُوَيۡرِيَةَ، أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ خَرَجَ مِنۡ عِنۡدِهَا بُكۡرَةً حِينَ صَلَّى الصُّبۡحَ، وَهِيَ فِي مَسۡجِدِهَا. ثُمَّ رَجَعَ بَعۡدَ أَنۡ أَضۡحَىٰ، وَهِيَ جَالِسَةٌ. فَقَالَ: (مَا زِلۡتِ عَلَى الۡحَالِ الَّتِي فَارَقۡتُكِ عَلَيۡهَا؟) قَالَتۡ: نَعَمۡ. قَالَ النَّبِيُّ ﷺ: (لَقَدۡ قُلۡتُ بَعۡدَكِ أَرۡبَعَ كَلِمَاتٍ، ثَلَاثَ مَرَّاتٍ. لَوۡ وُزِنَتۡ بِمَا قُلۡتِ مُنۡذُ الۡيَوۡمِ لَوَزَنَتۡهُنَّ: سُبۡحَانَ اللهِ وَبِحَمۡدِهِ، عَدَدَ خَلۡقِهِ، وَرِضَا نَفۡسِهِ، وَزِنَةَ عَرۡشِهِ، وَمِدَادَ كَلِمَاتِهِ). 

79. (2726). Qutaibah bin Sa’id, ‘Amr An-Naqid, dan Ibnu Abu ‘Umar telah menceritakan kepada kami. Redaksi hadis ini milik Ibnu Abu ‘Umar. Mereka berkata: Sufyan menceritakan kepada kami dari Muhammad bin ‘Abdurrahman maula keluarga Thalhah, dari Kuraib, dari Ibnu ‘Abbas, dari Juwairiyah, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dari tempatnya di pagi hari ketika beliau salat Subuh dalam keadaan Juwairiyah berada di tempat salatnya. Kemudian Nabi kembali setelah masuk waktu duha dalam keadaan Juwairiyah masih duduk di situ. 

Nabi bertanya, “Apa engkau terus-menerus dalam keadaan seperti ketika aku meninggalkanmu tadi?” 

Juwairiyah menjawab, “Iya.” 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku mengucapkan, setelah keluar dari tempatmu, empat kalimat sebanyak tiga kali, yang andai ditimbang dengan yang engkau ucapkan semenjak hari ini, niscaya akan lebih berat daripadanya. Yaitu, mahasuci Allah dan aku menyanjung-Nya dengan pujian sebanyak makhluk-Nya, serida diri-Nya, seberat arasy-Nya, dan sejumlah kalimat-Nya.” 

(...) - حَدَّثَنَا أَبُو بَكۡرِ بۡنُ أَبِي شَيۡبَةَ وَأَبُو كُرَيۡبٍ وَإِسۡحَاقُ، عَنۡ مُحَمَّدِ بۡنِ بِشۡرٍ، عَنۡ مِسۡعَرٍ، عَنۡ مُحَمَّدِ بۡنِ عَبۡدِ الرَّحۡمَٰنِ، عَنۡ أَبِي رِشۡدِينَ، عَنِ ابۡنِ عَبَّاسٍ، عَنۡ جُوَيۡرِيَةَ قَالَتۡ: مَرَّ بِهَا رَسُولُ اللهِ ﷺ حِينَ صَلَّى صَلَاةَ الۡغَدَاةِ... أَوۡ بَعۡدَ مَا صَلَّى الۡغَدَاةَ، فَذَكَرَ نَحۡوَهُ. غَيۡرَ أَنَّهُ قَالَ: (سُبۡحَانَ اللهِ عَدَدَ خَلۡقِهِ. سُبۡحَانَ اللهِ رِضَا نَفۡسِهِ. سُبۡحَانَ اللهِ زِنَةَ عَرۡشِهِ. سُبۡحَانَ اللهِ مِدَادَ كَلِمَاتِهِ). 

Abu Bakr bin Abu Syaibah, Abu Kuraib, dan Ishaq telah menceritakan kepada kami dari Muhammad bin Bisyr, dari Mis’ar, dari Muhammad bin ‘Abdurrahman, dari Abu Risydin, dari Ibnu ‘Abbas, dari Juwairiyah. Beliau mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melewatinya ketika beliau salat subuh atau setelahnya. Lalu beliau menyebutkan semisal hadis tersebut, hanya saja beliau mengatakan, “Mahasuci Allah, aku memuji-Nya dengan pujian sebanyak makhluk-Nya. Mahasuci Allah, aku memuji-Nya dengan pujian serida diri-Nya. Mahasuci Allah, aku memuji-Nya dengan pujian seberat arasy-Nya. Mahasuci Allah, aku memuji-Nya dengan pujian sejumlah kalimat-Nya.”

Shahih Al-Bukhari hadits nomor 7419

٧٤١٩ - حَدَّثَنَا عَلِيُّ بۡنُ عَبۡدِ اللهِ: حَدَّثَنَا عَبۡدُ الرَّزَّاقِ: أَخۡبَرَنَا مَعۡمَرٌ، عَنۡ هَمَّامٍ: حَدَّثَنَا أَبُو هُرَيۡرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: (إِنَّ يَمِينَ اللهِ مَلۡأَى لَا يَغِيضُهَا نَفَقَةٌ، سَحَّاءُ اللَّيۡلَ وَالنَّهَارَ، أَرَأَيۡتُمۡ مَا أَنۡفَقَ مُنۡذُ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالۡأَرۡضَ، فَإِنَّهُ لَمۡ يَنۡقُصۡ مَا فِي يَمِينِهِ، وَعَرۡشُهُ عَلَى الۡمَاءِ وَبِيَدِهِ الۡأُخۡرَى الۡفَيۡضُ، أَوِ الۡقَبۡضُ، يَرۡفَعُ وَيَخۡفِضُ). [طرفه في: ٤٦٨٤]. 

7419. ‘Ali bin ‘Abdullah telah menceritakan kepada kami: ‘Abdurrazzaq menceritakan kepada kami: Ma’mar mengabarkan kepada kami dari Hammam: Abu Hurairah menceritakan kepada kami dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda, “Sesungguhnya tangan kanan Allah penuh, tidak ada satu pemberian pun yang menguranginya, banyak melimpahkan (pemberian) di malam dan siang hari. Apa pendapat kalian apa yang telah Allah infakkan semenjak Dia menciptakan langit-langit dan bumi? Sungguh hal itu tidak mengurangi apa yang ada di tangan kanan-Nya. Arasy-Nya di atas air dan kematian ada di tangan-Nya yang lain. Dia mengangkat dan merendahkan (siapa saja yang Dia kehendaki).”

Shahih Muslim hadits nomor 993

١١ - بَابُ الۡحَثِّ عَلَى النَّفَقَةِ وَتَبۡشِيرِ الۡمُنۡفِقِ بِالۡخَلَفِ 
11. Bab anjuran berinfak dan pemberian kabar gembira kepada orang yang berinfak akan gantinya 


٣٦ – (٩٩٣) - حَدَّثَنِي زُهَيۡرُ بۡنُ حَرۡبٍ وَمُحَمَّدُ بۡنُ عَبۡدِ اللهِ بۡنِ نُمَيۡرٍ. قَالَا: حَدَّثَنَا سُفۡيَانُ بۡنُ عُيَيۡنَةَ، عَنۡ أَبِي الزِّنَادِ، عَنِ الۡأَعۡرَجِ، عَنۡ أَبِي هُرَيۡرَةَ، يَبۡلُغُ بِهِ النَّبِيَّ ﷺ، قَالَ: (قَالَ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: يَا ابۡنَ آدَمَ، أَنۡفِقۡ أُنۡفِقۡ عَلَيۡكَ). وَقَالَ: (يَمِينُ اللهِ مَلۡأَى - وَقَالَ ابۡنُ نُمَيۡرٍ: مَلۡآنُ – سَحَّاءُ، لَا يَغِيضُهَا شَىۡءٌ اللَّيۡلَ وَالنَّهَارَ). 

36. (993). Zuhair bin Harb dan Muhammad bin ‘Abdullah bin Numair telah menceritakan kepadaku. Keduanya berkata: Sufyan bin ‘Uyainah menceritakan kepada kami dari Abu Az-Zinad, dari Al-A’raj, dari Abu Hurairah sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda, “Allah tabaraka wa ta’ala berkata: Wahai anak Adam, berinfaklah, niscaya Aku berinfak kepadamu.” Beliau juga bersabda, “Tangan kanan Allah penuh, selalu melimpahkan (pemberian), tidak ada sedikit pun yang menguranginya, di waktu malam dan siang.” 

٣٧ – (...) - وَحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بۡنُ رَافِعٍ: حَدَّثَنَا عَبۡدُ الرَّزَّاقِ بۡنُ هَمَّامٍ: حَدَّثَنَا مَعۡمَرُ بۡنُ رَاشِدٍ، عَنۡ هَمَّامِ بۡنِ مُنَبِّهٍ، أَخِي وَهۡبِ بۡنِ مُنَبِّهٍ. قَالَ: هَٰذَا مَا حَدَّثَنَا أَبُو هُرَيۡرَةَ، عَنۡ رَسُولِ اللهِ ﷺ، فَذَكَرَ أَحَادِيثَ مِنۡهَا، وَقَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: (إِنَّ اللهَ قَالَ لِي: أَنۡفِقۡ أُنۡفِقۡ عَلَيۡكَ). 

37. Muhammad bin Rafi’ telah menceritakan kepada kami: ‘Abdurrazzaq bin Hammam menceritakan kepada kami: Ma’mar bin Rasyid menceritakan kepada kami dari Hammam bin Munabbih, saudara Wahb bin Munabbih. Beliau berkata: Ini adalah yang diceritakan oleh Abu Hurairah kepada kami dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau menyebutkan beberapa hadis di antaranya dan berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah berkata kepadaku: Berinfaklah, niscaya Aku berinfak kepadamu.” 

وَقَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: (يَمِينُ اللهِ مَلۡأَىٰ لَا يَغِيضُهَا سَحَّاءُ اللَّيۡلَ وَالنَّهَارَ، أَرَأَيۡتُمۡ مَا أَنۡفَقَ مُذۡ خَلَقَ السَّمَاءَ وَالۡأَرۡضَ، فَإِنَّهُ لَمۡ يَغِضۡ مَا فِي يَمِينِهِ). قَالَ: (وَعَرۡشُهُ عَلَى الۡمَاءِ، وَبِيَدِهِ الۡأُخۡرَىٰ الۡقَبۡضُ، يَرۡفَعُ وَيَخۡفِضُ). 

[البخاري: كتاب التوحيد، باب: ﴿وكان عرشه على الماء﴾، رقم: ٧٤١٩]. 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tangan Allah penuh, tidak berkurang meski banyak melimpahkan (pemberian) sepanjang malam dan siang. Apa pandangan kalian terhadap apa yang telah Allah infakkan semenjak Dia ciptakan langit dan bumi? Infak itu tidak mengurangi apa yang ada di tangan kanan-Nya.” Beliau bersabda, “Arasy-Nya di atas air. Kematian ada di tangan-Nya yang lain. Dia mengangkat dan merendahkan (siapa saja yang Dia kehendaki).”

Shahih Muslim hadits nomor 1628

١ - بَابُ الۡوَصِيَّةِ بِالثُّلُثِ
1. Bab wasiat dengan sepertiga harta


٥ – (١٦٢٨) - حَدَّثَنَا يَحۡيَىٰ بۡنُ يَحۡيَىٰ التَّمِيمِيُّ: أَخۡبَرَنَا إِبۡرَاهِيمُ بۡنُ سَعۡدٍ، عَنِ ابۡنِ شِهَابٍ، عَنۡ عَامِرِ بۡنِ سَعۡدٍ، عَنۡ أَبِيهِ. قَالَ: عَادَنِي رَسُولُ اللهِ ﷺ فِي حَجَّةِ الۡوَدَاعِ، مِنۡ وَجَعٍ أَشۡفَيۡتُ مِنۡهُ عَلَى الۡمَوۡتِ. فَقُلۡتُ: يَا رَسُولَ اللهِ! بَلَغَنِي مَا تَرَىٰ مِنَ الۡوَجَعِ. وَأَنَا ذُو مَالٍ. وَلَا يَرِثُنِي إِلَّا ابۡنَةٌ لِي وَاحِدَةٌ. أَفَأَتَصَدَّقُ بِثُلُثَىۡ مَالِي؟ قَالَ: (لَا) قَالَ: قُلۡتُ: أَفَأَتَصَدَّقُ بِشَطۡرِهِ؟ قَالَ: (لَا، الثُّلُثُ. وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ. إِنَّكَ أَنۡ تَذَرَ وَرَثَتَكَ أَغۡنِيَاءَ، خَيۡرٌ مِنۡ أَنۡ تَذَرَهُمۡ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ. وَلَسۡتَ تُنۡفِقُ نَفَقَةً تَبۡتَغِي بِهَا وَجۡهَ اللهِ، إِلَّا أُجِرۡتَ بِهَا. حَتَّى اللُّقۡمَةُ تَجۡعَلُهَا فِي فِي امۡرَأَتِكَ) قَالَ: قُلۡتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، أُخَلَّفُ بَعۡدَ أَصۡحَابِي؟ قَالَ: (إِنَّكَ لَنۡ تُخَلَّفَ فَتَعۡمَلَ عَمَلًا تَبۡتَغِي بِهِ وَجۡهَ اللهِ، إِلَّا ازۡدَدۡتَ بِهِ دَرَجَةً وَرِفۡعَةً. وَلَعَلَّكَ تُخَلَّفُ حَتَّىٰ يُنۡفَعَ بِكَ أَقۡوَامٌ وَيُضَرَّ بِكَ آخَرُونَ. اللّٰهُمَّ أَمۡضِ لِأَصۡحَابِي هِجۡرَتَهُمۡ. وَلَا تَرُدَّهُمۡ عَلَىٰ أَعۡقَابِهِمۡ. لٰكِنِ الۡبَائِسُ سَعۡدُ بۡنُ خَوۡلَةَ)‏.‏ 

قَالَ: رَثَىٰ لَهُ رَسُولُ اللهِ ﷺ مِنۡ أَنۡ تُوُفِّيَ بِمَكَّةَ. 


5. (1628). Yahya bin Yahya At-Tamimi telah menceritakan kepada kami: Ibrahim bin Sa’d mengabarkan kepada kami dari Ibnu Syihab, dari ‘Amir bin Sa’d, dari ayahnya. Beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjengukku ketika haji wadak dari suatu penyakit yang aku sembuh darinya, yang hampir membuatku meninggal. 

Aku berkata, “Wahai Rasulullah, penyakit ini telah menimpaku, sementara aku memiliki banyak harta dan tidak ada yang mewarisiku kecuali putriku satu-satunya. Apakah aku boleh menyedekahkan dua pertiga hartaku?” 

Rasulullah menjawab, “Tidak.” 

Sa’d berkata: Aku bertanya, “Apakah aku boleh menyedekahkan separuhnya?” 

Rasulullah menjawab, “Tidak, sepertiga saja. Dan sepertiga itu sudah banyak. Sesungguhnya engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan adalah lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan miskin meminta-minta kepada orang-orang. Sungguh, tidaklah engkau memberikan suatu nafkah yang engkau harapkan dengannya wajah Allah, kecuali engkau akan diganjar pahala dengannya, sampaipun satu suapan yang engkau letakkan di mulut istrimu.” 

Sa’d berkata: Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah aku aku akan ditinggal di sini oleh para sahabatku?” 

Rasulullah bersabda, “Tidaklah engkau berumur panjang, lalu engkau beramal suatu amalan yang engkau harapkan wajah Allah dengannya, kecuali derajat dan keluhuranmu akan bertambah. Bisa jadi engkau masih berumur panjang, hingga akan ada orang-orang yang mendapat manfaat denganmu dan ada orang-orang lain yang mendapat kemudaratan denganmu. Ya Allah, tetapkan amalan hijrah para sahabatku dan jangan kembalikan mereka ke belakang. Akan tetapi yang malang adalah Sa’d bin Khaulah.” 

Beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbelasungkawa terhadapnya karena wafat di Makkah. 

(...) - حَدَّثَنَا قُتَيۡبَةُ بۡنُ سَعِيدٍ وَأَبُو بَكۡرِ بۡنُ أَبِي شَيۡبَةَ. قَالَا: حَدَّثَنَا سُفۡيَانُ بۡنُ عُيَيۡنَةَ. (ح) وَحَدَّثَنِي أَبُو الطَّاهِرِ وَحَرۡمَلَةُ. قَالَا: أَخۡبَرَنَا ابۡنُ وَهۡبٍ: أَخۡبَرَنِي يُونُسُ. (ح) وَحَدَّثَنَا إِسۡحَاقُ بۡنُ إِبۡرَاهِيمَ وَعَبۡدُ بۡنُ حُمَيۡدٍ. قَالَا: أَخۡبَرَنَا عَبۡدُ الرَّزَّاقِ: أَخۡبَرَنَا مَعۡمَرٌ. كُلُّهُمۡ عَنِ الزُّهۡرِيِّ، بِهَٰذَا الۡإِسۡنَادِ... نَحۡوَهُ. 

Qutaibah bin Sa’id dan Abu Bakr bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami. Keduanya berkata: Sufyan bin ‘Uyainah menceritakan kepada kami. (Dalam riwayat lain) Abu Ath-Thahir dan Harmalah telah menceritakan kepadaku. Keduanya berkata: Ibnu Wahb mengabarkan kepada kami: Yunus mengabarkan kepadaku. (Dalam riwayat lain) Ishaq bin Ibrahim dan ‘Abd bin Humaid telah menceritakan kepada kami. Keduanya berkata: ‘Abdurrazzaq mengabarkan kepada kami: Ma’mar mengabarkan kepada kami. Mereka semua dari Az-Zuhri, melalui sanad ini, semisal hadis tersebut. 

(...) - وَحَدَّثَنِي إِسۡحَاقُ بۡنُ مَنۡصُورٍ: حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ الۡحَفَرِيُّ، عَنۡ سُفۡيَانَ، عَنۡ سَعۡدِ بۡنِ إِبۡرَاهِيمَ، عَنۡ عَامِرِ بۡنِ سَعۡدٍ، عَنۡ سَعۡدٍ. قَالَ: دَخَلَ النَّبِيُّ ﷺ عَلَىَّ يَعُودُنِي... فَذَكَرَ بِمَعۡنَىٰ حَدِيثِ الزُّهۡرِيِّ. وَلَمۡ يَذۡكُرۡ قَوۡلَ النَّبِيِّ ﷺ فِي سَعۡدِ بۡنِ خَوۡلَةَ. غَيۡرَ أَنَّهُ قَالَ: وَكَانَ يَكۡرَهُ أَنۡ يَمُوتَ بِالۡأَرۡضِ الَّتِي هَاجَرَ مِنۡهَا. 


Ishaq bin Manshur telah menceritakan kepadaku: Abu Dawud Al-Hafari menceritakan kepada kami dari Sufyan, dari Sa’d bin Ibrahim, dari ‘Amir bin Sa’d, dari Sa’d. Beliau mengatakan: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke tempatku dalam rangka menjengukku… lalu beliau menyebutkan semakna hadis Az-Zuhri. Namun beliau tidak menyebutkan ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang Sa’d bin Khaulah. Hanya saja beliau berkata: Rasulullah tidak menyukai Sa’d meninggal di daerah yang dia sudah hijrah darinya. 

٦ – (...) - وَحَدَّثَنِي زُهَيۡرُ بۡنُ حَرۡبٍ: حَدَّثَنَا الۡحَسَنُ بۡنُ مُوسَىٰ: حَدَّثَنَا زُهَيۡرٌ: حَدَّثَنَا سِمَاكُ بۡنُ حَرۡبٍ: حَدَّثَنِي مُصۡعَبُ بۡنُ سَعۡدٍ، عَنۡ أَبِيهِ. قَالَ: مَرِضۡتُ فَأَرۡسَلۡتُ إِلَى النَّبِيِّ ﷺ. فَقُلۡتُ: دَعۡنِي أَقۡسِمۡ مَالِي حَيۡثُ شِئۡتُ، فَأَبَى. قُلۡتُ: فَالنِّصۡفَ؟ فَأَبَى. قُلۡتُ: فَالثُّلُثَ؟ قَالَ: فَسَكَتَ بَعۡدَ الثُّلُثِ. 

قَالَ: فَكَانَ، بَعۡدُ، الثُّلُثُ جَائِزًا. 

6. Zuhair bin Harb telah menceritakan kepadaku: Al-Hasan bin Musa menceritakan kepada kami: Zuhair menceritakan kepada kami: Simak bin Harb menceritakan kepada kami: Mush’ab bin Sa’d menceritakan kepadaku dari ayahnya. Beliau mengatakan: Aku sakit lalu aku mengutus orang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku berkata: Biarkan aku membagi hartaku sekehendakku. Namun Nabi tidak mengijinkan. Aku bertanya, “Separuhnya?” Beliau tidak mengijinkan. Aku bertanya, “Sepertiga?” Sa’d berkata: Beliau hanya diam setelah sepertiga. 

Sa’d berkata: Maka, setelah itu, wasiat dengan sepertiga harta adalah boleh. 

(...) - وَحَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بۡنُ الۡمُثَنَّى وَابۡنُ بَشَّارٍ. قَالَا: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بۡنُ جَعۡفَرٍ: حَدَّثَنَا شُعۡبَةُ، عَنۡ سِمَاكٍ، بِهَٰذَا الۡإِسۡنَادِ... نَحۡوَهُ. وَلَمۡ يَذۡكُرۡ: فَكَانَ، بَعۡدُ، الثُّلُثُ جَائِزًا. 

Muhammad bin Al-Mutsanna dan Ibnu Basysyar telah menceritakan kepadaku. Keduanya berkata: Muhammad bin Ja’far menceritakan kepada kami: Syu’bah menceritakan kepada kami dari Simak, melalui sanad ini, semisal hadis tersebut. Beliau tidak menyebutkan: Maka, setelah itu, wasiat dengan sepertiga harta adalah boleh. 

٧ – (...) - وَحَدَّثَنِي الۡقَاسِمُ بۡنُ زَكَرِيَّاءَ: حَدَّثَنَا حُسَيۡنُ بۡنُ عَلِيٍّ، عَنۡ زَائِدَةَ، عَنۡ عَبۡدِ الۡمَلِكِ بۡنِ عُمَيۡرٍ، عَنۡ مُصۡعَبِ بۡنِ سَعۡدٍ، عَنۡ أَبِيهِ. قَالَ: عَادَنِي النَّبِيُّ ﷺ فَقُلۡتُ: أُوصِي بِمَالِي كُلِّهِ. قَالَ: (لَا). قُلۡتُ: فَالنِّصۡفُ. قَالَ: (لَا) فَقُلۡتُ: أَبِالثُّلُثِ؟ فَقَالَ: (نَعَمۡ. وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ). 

7. Al-Qasim bin Zakariyya` telah menceritakan kepadaku: Husain bin ‘Ali menceritakan kepada kami dari Za`idah, dari ‘Abdul Malik bin ‘Umair, dari Mush’ab bin Sa’d, dari ayahnya. Beliau mengatakan: 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjengukku, lalu aku bertanya, “Apakah boleh aku berwasiat dengan seluruh hartaku?” 

Nabi menjawab, “Tidak.” 

Aku bertanya, “Kalau separuh?” 

Nabi menjawab, “Tidak.” 

Aku bertanya, “Kalau sepertiga?” 

Nabi menjawab, “Ya dan sepertiga itu banyak.” 

٨ – (...) - حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بۡنُ أَبِي عُمَرَ الۡمَكِّيُّ: حَدَّثَنَا الثَّقَفِيُّ، عَنۡ أَيُّوبَ السَّخۡتِيَانِيِّ، عَنۡ عَمۡرِو بۡنِ سَعِيدٍ، عَنۡ حُمَيۡدِ بۡنِ عَبۡدِ الرَّحۡمَٰنِ الۡحِمۡيَرِيِّ، عَنۡ ثَلاَثَةٍ مِنۡ وَلَدِ سَعۡدٍ. كُلُّهُمۡ يُحَدِّثُهُ عَنۡ أَبِيهِ؛ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ دَخَلَ عَلَىٰ سَعۡدٍ يَعُودُهُ بِمَكَّةَ، فَبَكَىٰ. قَالَ: (مَا يُبۡكِيكَ؟) فَقَالَ: قَدۡ خَشِيتُ أَنۡ أَمُوتَ بِالۡأَرۡضِ الَّتِي هَاجَرۡتُ مِنۡهَا. كَمَا مَاتَ سَعۡدُ ابۡنُ خَوۡلَةَ. فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: (اللّٰهُمَّ اشۡفِ سَعۡدًا. اللّٰهُمَّ اشۡفِ سَعۡدًا)‏ ثَلَاثَ مِرَارٍ. قَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ لِي مَالًا كَثِيرًا. وَإِنَّمَا يَرِثُنِي ابۡنَتِي. أَفَأُوصِي بِمَالِي كُلِّهِ؟ قَالَ: (لَا) قَالَ: فَبِالثُّلُثَيۡنِ؟ قَالَ: (لَا) قَالَ: فَالنِّصۡفُ؟ قَالَ: (لَا) قَالَ: فَالثُّلُثُ؟ قَالَ: (الثُّلُثُ، وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ. إِنَّ صَدَقَتَكَ مِنۡ مَالِكَ صَدَقَةٌ، وَإِنَّ نَفَقَتَكَ عَلَىٰ عِيَالِكَ صَدَقَةٌ، وَإِنَّ مَا تَأۡكُلُ امۡرَأَتُكَ مِنۡ مَالِكَ صَدَقَةٌ. وَإِنَّكَ أَنۡ تَدَعَ أَهۡلَكَ بِخَيۡرٍ - أَوۡ قَالَ: بِعَيۡشٍ -، خَيۡرٌ مِنۡ أَنۡ تَدَعَهُمۡ يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ) وَقَالَ بِيَدِهِ. 

8. Muhammad bin Abu ‘Umar Al-Makki telah menceritakan kepada kami: Ats-Tsaqafi menceritakan kepada kami dari Ayyub As-Sakhtiyani, dari ‘Amr bin Sa’id, dari Humaid bin ‘Abdurrahman Al-Himyari, dari tiga anak Sa’d. Semuanya menceritakan kepadanya dari ayahnya, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah masuk ke tempat Sa’d untuk menjenguknya di Makkah. Lalu Sa’d menangis. 

Nabi bertanya, “Apa yang membuatmu menangis?” 

Sa’d menjawab, “Aku khawatir meninggal di tempat yang aku telah hijrah darinya sebagaimana meninggalnya Sa’d bin Khaulah.” 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ya Allah, sembuhkanlah Sa’d. Ya Allah, sembuhkanlah Sa’d.” Tiga kali. 

Sa’d berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki banyak harta dan yang mewarisiku hanya putriku seorang. Apakah aku boleh berwasiat dengan seluruh hartaku?” 

Nabi menjawab, “Tidak.” 

Sa’d bertanya, “Kalau dengan dua pertiganya?” 

Nabi menjawab, “Tidak.” 

Sa’d bertanya, “Kalau dengan separuhnya?” 

Nabi menjawab, “Tidak.” 

Sa’d bertanya, “Kalau sepertiga?” 

Nabi menjawab, “Sepertiga boleh dan sepertiga itu banyak. Sesungguhnya sedekahmu dari hartamu adalah sedekah dan nafkahmu kepada keluargamu adalah sedekah. Sesungguhnya apa saja yang dimakan oleh istrimu dari hartamu adalah sedekah. Sesungguhnya engkau meninggalkan keluargamu dalam keadaan baik—atau dengan biaya hidup—lebih baik daripada engkau tinggalkan mereka dalam keadaan meminta-minta kepada orang-orang.” Beliau sambil memberi isyarat dengan tangannya. 

٩ – (...) - وَحَدَّثَنِي أَبُو الرَّبِيعِ الۡعَتَكِيُّ: حَدَّثَنَا حَمَّادٌ: حَدَّثَنَا أَيُّوبُ، عَنۡ عَمۡرِو بۡنِ سَعِيدٍ، عَنۡ حُمَيۡدِ بۡنِ عَبۡدِ الرَّحۡمَٰنِ الۡحِمۡيَرِيِّ، عَنۡ ثَلاَثَةٍ مِنۡ وَلَدِ سَعۡدٍ. قَالُوا: مَرِضَ سَعۡدٌ بِمَكَّةَ. فَأَتَاهُ رَسُولُ اللهِ ﷺ يَعُودُهُ. بِنَحۡوِ حَدِيثِ الثَّقَفِيِّ. 

9. Abu Ar-Rabi’ Al-‘Ataki telah menceritakan kepadaku: Hammad menceritakan kepada kami: Ayyub menceritakan kepada kami dari ‘Amr bin Sa’id, dari Humaid bin ‘Abdurrahman Al-Himyari, dari tiga anak Sa’d. Mereka berkata: Sa’d sakit di Makkah, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang menjenguknya. Semisal hadis Ats-Tsaqafi. 

(...) - وَحَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بۡنُ الۡمُثَنَّى: حَدَّثَنَا عَبۡدُ الۡأَعۡلَىٰ: حَدَّثَنَا هِشَامٌ، عَنۡ مُحَمَّدٍ، عَنۡ حُمَيۡدِ بۡنِ عَبۡدِ الرَّحۡمَٰنِ: حَدَّثَنِي ثَلَاثَةٌ، مِنۡ وَلَدِ سَعۡدِ بۡنِ مَالِكٍ. كُلُّهُمۡ يُحَدِّثُنِيهِ بِمِثۡلِ حَدِيثِ صَاحِبِهِ. فَقَالَ: مَرِضَ سَعۡدٌ بِمَكَّةَ. فَأَتَاهُ النَّبِيُّ ﷺ يَعُودُهُ... بِمِثۡلِ حَدِيثِ عَمۡرِو بۡنِ سَعِيدٍ، عَنۡ حُمَيۡدٍ الۡحِمۡيَرِيِّ. 

Muhammad bin Al-Mutsanna telah menceritakan kepadaku: ‘Abdul A’la menceritakan kepada kami: Hisyam menceritakan kepada kami dari Muhammad, dari Humaid bin ‘Abdurrahman: Tiga anak Sa’d bin Malik menceritakan kepadaku. Mereka seluruhnya menceritakannya kepadaku semisal hadis pemiliknya. Sa’d berkata: Sa’d sakit di Makkah, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang menjenguknya. Semisal hadis ‘Amr bin Sa’d dari Humaid Al-Himyari.

Keridaan Allah

Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah di dalam kitab Lum'atul I'tiqad berkata,

وَقَوۡلُهُ تَعَالَى: ﴿رَّضِىَ ٱللَّهُ عَنۡهُمۡ وَرَضُوا۟ عَنۡهُ ۚ﴾ [المائدة: ١١٩].
Firman Allah taala yang artinya, “Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada-Nya.” (QS. Al-Ma`idah: 119).[1]


Syekh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin rahimahullah di dalam syarahnya berkata,

[1] الصِّفَةُ الۡخَامِسَةُ: الرِّضَى: 

الرِّضَى مِنۡ صِفَاتِ اللهِ الثَّابِتَةِ لَهُ بِالۡكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَإِجۡمَاعِ السَّلَفِ. 

قَالَ اللهُ تَعَالَى: ﴿رَّضِىَ ٱللَّهُ عَنۡهُمۡ وَرَضُوا۟ عَنۡهُ ۚ﴾ [المائدة: ١١٩]. 

وَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: (إنَّ اللهَ لَيَرۡضَى عَنِ الۡعَبۡدِ أَنۡ يَأۡكُلَ الۡأَكۡلَةَ فَيَحۡمَدَهُ عَلَيۡهَا أَوۡ يَشۡرَبَ الشَّرۡبَةَ فَيَحۡمَدَهُ عَلَيۡهَا). رواه مسلم. 

وَأَجۡمَعَ السَّلَفُ عَلَى إِثۡبَاتِ الرِّضَى لِلهِ تَعَالَى فَيَجِبُ إِثۡبَاتُهُ لَهُ مِنۡ غَيۡرِ تَحۡرِيفٍ وَلَا تَعۡطِيلٍ وَلَا تَكۡيِيفٍ وَلَا تَمۡثِيلٍ. 

وَهُوَ رِضَى حَقِيقِيٌّ يَلِيقُ بِاللهِ تَعَالَى. 

وَقَدۡ فَسَّرَهُ أَهۡلُ التَّعۡطِيلِ بِالثَّوَابِ وَنَرُدُّ عَلَيۡهِمۡ بِمَا سَبَقَ فِي الۡقَاعِدَةِ الرَّابِعَةِ. 

Sifat kelima: Rida. 

Rida termasuk sifat Allah yang pasti Allah miliki berdasarkan Alquran, sunah, dan kesepakatan salaf. 

Allah taala berfirman yang artinya, “Allah rida kepada mereka dan mereka rida kepada-Nya.” (QS. Al-Ma`idah: 119). 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah rida terhadap hamba yang menyantap makanan, lalu dia memuji Allah atas makanan itu. Atau meminum minuman lalu dia memuji Allah atas minuman itu.” (HR. Muslim nomor 2734). 

Para salaf sepakat menetapkan sifat rida bagi Allah taala. 

Maka, wajib menetapkan sifat rida bagi Allah tanpa tahrif (menyelewengkan maknanya), ta’thil (menolaknya), takyif (mempertanyakan bagaimananya), dan tamtsil (menyerupakannya dengan sifat makhluk). 

Itu adalah sifat rida yang hakiki yang layak untuk Allah taala. 

Para penolak sifat menafsirkannya dengan pahala, namun kita bantah mereka dengan kaidah keempat yang telah berlalu. 

Kedatangan Allah pada Hari Kiamat

Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah (wafat 620 H) di dalam kitab Lum'atul I'tiqad Al-Hadi ila Sabilir Rasyad berkata,
وَقَوۡلُهُ سُبۡحَانَهُ: ﴿وَجَآءَ رَبُّكَ﴾ [الفجر: ٢٢]. 
وَقَوۡلُهُ: ﴿هَلۡ يَنظُرُونَ إِلَّآ أَن يَأۡتِيَهُمُ ٱللَّـهُ﴾ [البقرة: ٢١٠]. 
Firman Allah Yang Mahasuci yang artinya, “Dan Tuhanmu datang.” (QS. Al-Fajr: 22). Juga firman Allah yang artinya, “Tiada yang mereka nanti-nantikan kecuali datangnya Allah kepada mereka.” (QS. Al-Baqarah: 210).[1]


Syekh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin rahimahullah dalam syarahnya berkata,

[1] الصِّفَةُ الرَّابِعَةُ: الۡمَجِيءُ: 

مَجِيءُ اللهِ لِلۡفَصۡلِ بَيۡنَ عِبَادِهِ يَوۡمَ الۡقِيَامَةِ ثَابِتٌ بِالۡكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَإِجۡمَاعِ السَّلَفِ. 

قَالَ اللهُ تَعَالَى: ﴿وَجَآءَ رَبُّكَ﴾ [الفجر: ٢٢]، وَ ﴿هَلۡ يَنظُرُونَ إِلَّآ أَن يَأۡتِيَهُمُ ٱللَّـهُ﴾ [البقرة: ٢١٠]. 

وَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: (حَتَّى إِذَا لَمۡ يَبۡقَ إِلَّا مَنۡ يَعۡبُدُ اللهَ أَتَاهُمۡ رَبُّ الۡعَالَمِينَ) مُتَّفَقٌ عَلَيۡهِ. فِي حَدِيثٍ طَوِيلٍ. 

وَأَجۡمَعَ السَّلَفُ عَلَى ثُبُوتِ الۡمَجِيءِ لِلهِ تَعَالَى. 

Sifat keempat: Kedatangan. 

Kedatangan Allah untuk memisahkan antara hamba-hamba-Nya pada hari kiamat adalah pasti berdasarkan Alquran, sunah, dan kesepakatan ulama salaf. 

Allah taala berfirman yang artinya, “Rabb-mu datang.” (QS. Al-Fajr: 22). 

“Tiada yang mereka nanti-nantikan kecuali kedatangan Allah kepada mereka.” (QS. Al-Baqarah: 210). 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sampai ketika tidak tersisa kecuali siapa saja yang beribadah kepada Allah, lalu Rabb alamin datang kepada mereka.” (HR. Al-Bukhari nomor 7439 dan Muslim nomor 183). Ini ada di dalam sebuah hadis yang panjang. 

Para ulama salaf telah sepakat akan kepastian kedatangan Allah taala. 

فَيَجِبُ إِثۡبَاتُهُ لَهُ مِنۡ غَيۡرِ تَحۡرِيفٍ وَلَا تَعۡطِيلٍ وَلَا تَكۡيِيفٍ وَلَا تَمۡثِيلٍ. 

وَهُوَ مَجِيءٌ حَقِيقِيٌّ يَلِيقُ بِاللهِ تَعَالَى. 

وَقَدۡ فَسَّرَهُ أَهۡلُ التَّعۡطِيلِ بِمَجِيءِ أَمۡرِهِ وَنَرُدُّ عَلَيۡهِمۡ بِمَا سَبَقَ فِي الۡقَاعِدَةِ الرَّابِعَةِ. 

Maka, wajib menetapkan sifat tersebut bagi Allah tanpa tahrif (menyelewengkan makna), ta’thil (menolaknya), takyif (mempertanyakan bagaimananya), dan tamtsil (menyerupakannya). 

Itu adalah kedatangan hakiki yang layak untuk Allah taala. 

Para penolak sifat Allah menafsirkannya dengan kedatangan urusan-Nya, namun kita bantah mereka dengan yang telah lewat di kaidah keempat.

Shahih Al-Bukhari hadits nomor 1477

١٤٧٧ - حَدَّثَنَا يَعۡقُوبُ بۡنُ إِبۡرَاهِيمَ: حَدَّثَنَا إِسۡمَاعِيلُ بۡنُ عُلَيَّةَ: حَدَّثَنَا خَالِدٌ الۡحَذَّاءُ، عَنِ ابۡنِ أَشۡوَعَ، عَنِ الشَّعۡبِيِّ: حَدَّثَنِي كَاتِبُ الۡمُغِيرَةِ بۡنِ شُعۡبَةَ قَالَ: كَتَبَ مُعَاوِيَةُ إِلَى الۡمُغِيرَةِ بۡنِ شُعۡبَةَ: أَنِ اكۡتُبۡ إِلَىَّ بِشَىۡءٍ سَمِعۡتَهُ مِنَ النَّبِيِّ ﷺ، فَكَتَبَ إِلَيۡهِ: سَمِعۡتُ النَّبِيَّ ﷺ يَقُولُ: (إِنَّ اللهَ كَرِهَ لَكُمۡ ثَلَاثًا: قِيلَ وَقَالَ، وَإِضَاعَةَ الۡمَالِ، وَكَثۡرَةَ السُّؤَالِ). [طرفه في: ٨٤٤]. 

1477. Ya’qub bin Ibrahim telah menceritakan kepada kami: Isma’il bin ‘Ulayyah menceritakan kepada kami: Khalid Al-Hadzdza` menceritakan kepada kami dari Ibnu Asywa’, dari Asy-Sya’bi: Juru tulis Al-Mughirah bin Syu’bah menceritakan kepadaku. Beliau berkata: Mu’awiyah menulis surat kepada Al-Mughirah bin Syu’bah yang isinya: Tuliskan kepadaku sesuatu yang engkau dengar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Al-Mughirah menulis surat kepadanya: Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah membenci tiga hal untuk kalian: Qil wa qal (larut dalam pembicaraan yang tidak ada faedahnya), menyia-nyiakan harta, dan banyak meminta (tanpa hajat).”

Shahih Al-Bukhari hadits nomor 3701

٩ - بَابُ مَنَاقِبِ عَلِيِّ بۡنِ أَبِي طَالِبٍ الۡقُرَشِيِّ الۡهَاشِمِيِّ أَبِي الۡحَسَنِ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ 
9. Bab kemuliaan ‘Ali bin Abu Thalib Al-Qurasyi Al-Hasyimi Abu Al-Hasan radhiyallahu ‘anhu


وَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ لِعَلِيٍّ: (أَنۡتَ مِنِّي وَأَنَا مِنۡكَ). 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada ‘Ali, “Engkau dariku dan aku darimu.” 

وَقَالَ عُمَرُ: تُوُفِّيَ رَسُولُ اللهِ ﷺ وَهُوَ عَنۡهُ رَاضٍ. 

‘Umar berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dalam keadaan beliau rida terhadap ‘Ali. 

٣٧٠١ - حَدَّثَنَا قُتَيۡبَةُ بۡنُ سَعِيدٍ: حَدَّثَنَا عَبۡدُ الۡعَزِيزِ، عَنۡ أَبِي حَازِمٍ، عَنۡ سَهۡلِ بۡنِ سَعۡدٍ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ: أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ قَالَ: (لَأُعۡطِيَنَّ الرَّايَةَ غَدًا رَجُلًا يَفۡتَحُ اللهُ عَلَى يَدَيۡهِ). قَالَ: فَبَاتَ النَّاسُ يَدُوكُونَ لَيۡلَتَهُمۡ أَيُّهُمۡ يُعۡطَاهَا، فَلَمَّا أَصۡبَحَ النَّاسُ غَدَوۡا عَلَى رَسُولِ اللهِ ﷺ، كُلُّهُمۡ يَرۡجُو أَنۡ يُعۡطَاهَا، فَقَالَ: (أَيۡنَ عَلِيُّ بۡنُ أَبِي طَالِبٍ؟).‏ فَقَالُوا: يَشۡتَكِي عَيۡنَيۡهِ يَا رَسُولَ اللهِ، قَالَ: (فَأَرۡسِلُوا إِلَيۡهِ فَأۡتُونِي بِهِ). فَلَمَّا جَاءَ بَصَقَ فِي عَيۡنَيۡهِ، وَدَعَا لَهُ، فَبَرَأَ حَتَّى كَأَنۡ لَمۡ يَكُنۡ بِهِ وَجَعٌ، فَأَعۡطَاهُ الرَّايَةَ‏.، فَقَالَ عَلِيٌّ: يَا رَسُولَ اللهِ، أُقَاتِلُهُمۡ حَتَّى يَكُونُوا مِثۡلَنَا؟ فَقَالَ: (انۡفُذۡ عَلَى رِسۡلِكَ حَتَّى تَنۡزِلَ بِسَاحَتِهِمۡ، ثُمَّ ادۡعُهُمۡ إِلَى الۡإِسۡلَامِ، وَأَخۡبِرۡهُمۡ بِمَا يَجِبُ عَلَيۡهِمۡ مِنۡ حَقِّ اللهِ فِيهِ، فَوَاللهِ لَأَنۡ يَهۡدِيَ اللهُ بِكَ رَجُلًا وَاحِدًا، خَيۡرٌ لَكَ مِنۡ أَنۡ يَكُونَ لَكَ حُمۡرُ النَّعَمِ). [طرفه في: ٢٩٤٢]. 

3701. Qutaibah bin Sa’id telah menceritakan kepada kami: ‘Abdul ‘Aziz menceritakan kepada kami dari Abu Hazim, dari Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku benar-benar akan memberikan panji ini kepada seorang lelaki yang Allah akan memberikan kemenangan melalui kedua tangannya.” 

Sahl berkata: Para sahabat melewati malam mereka dengan membicarakan siapa dari mereka yang akan diberi panji tersebut. Ketika keesokan hari, mereka pergi menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka semua berharap diberi panji tersebut. 

Rasulullah bertanya, “Di mana ‘Ali bin Abu Thalib?” 

Para sahabat menjawab, “Dia sakit kedua matanya, wahai Rasulullah.” 

Rasulullah bersabda, “Kirimlah orang ke tempatnya lalu bawa dia kemari.” 

Ketika ‘Ali datang, Rasulullah meludah di kedua matanya dan mendoakannya. Lalu ‘Ali sembuh sampai seakan-akan dia tidak pernah mengalami sakit apapun. Rasulullah memberikan panji itu kepadanya. 

‘Ali bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah aku perangi mereka sampai mereka menjadi seperti kita?” 

Rasulullah bersabda, “Jangan tergesa-gesa, sampai engkau tiba di halaman mereka, lalu ajaklah mereka kepada Islam dan kabarkan hak Allah dalam Islam yang wajib mereka tunaikan. Demi Allah, jika Allah memberi petunjuk kepada satu orang melalui engkau, sungguh hal itu lebih baik daripada engkau memiliki unta merah.”

Shahih Muslim hadits nomor 2734

٢٤ - بَابُ اسۡتِحۡبَابِ حَمۡدِ اللهِ تَعَالَى بَعۡدَ الۡأَكۡلِ وَالشُّرۡبِ 
24. Bab disukainya memuji Allah taala setelah makan dan minum 


٨٩ – (٢٧٣٤) - حَدَّثَنَا أَبُو بَكۡرِ بۡنُ أَبِي شَيۡبَةَ وَابۡنُ نُمَيۡرٍ، وَاللَّفۡظُ لِابۡنِ نُمَيۡرٍ، قَالَا: حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ وَمُحَمَّدُ بۡنُ بِشۡرٍ، عَنۡ زَكَرِيَّاءَ بۡنِ أَبِي زَائِدَةَ، عَنۡ سَعِيدِ بۡنِ أَبِي بُرۡدَةَ، عَنۡ أَنَسِ بۡنِ مَالِكٍ. قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: (إِنَّ اللهَ لَيَرۡضَىٰ عَنِ الۡعَبۡدِ أَنۡ يَأۡكُلَ الۡأَكۡلَةَ فَيَحۡمَدَهُ عَلَيۡهَا، أَوۡ يَشۡرَبَ الشَّرۡبَةَ فَيَحۡمَدَهُ عَلَيۡهَا). 

89. (2734). Abu Bakr bin Abu Syaibah dan Ibnu Numair telah menceritakan kepada kami. Redaksi hadis ini milik Ibnu Numair. Keduanya berkata: Abu Usamah dan Muhammad bin Bisyr menceritakan kepada kami dari Zakariyya` bin Abu Za`idah, dari Sa’id bin Abu Burdah, dari Anas bin Malik. Beliau mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah benar-benar rida terhadap seorang hamba yang memakan makanan, lalu memuji-Nya atas makanan tersebut; atau meminum minuman, lantas memuji-Nya atas minuman tersebut.” 

(...) - وَحَدَّثَنِيهِ زُهَيۡرُ بۡنُ حَرۡبٍ: حَدَّثَنَا إِسۡحَاقُ بۡنُ يُوسُفَ الۡأَزۡرَقُ: حَدَّثَنَا زَكَرِيَّاءُ، بِهَٰذَا الۡإِسۡنَادِ. 

Zuhair bin Harb telah menceritakannya kepadaku: Ishaq bin Yusuf Al-Azraq menceritakan kepada kami: Zakariyya` menceritakan kepada kami melalui sanad ini.

Sunan An-Nasa`i hadits nomor 3057

٢١٧ - بَابُ الۡتِقَاطِ الۡحَصَى
217. Bab memungut kerikil


٣٠٥٧ – (صحيح) أَخۡبَرَنَا يَعۡقُوبُ بۡنُ إِبۡرَاهِيمَ الدَّوۡرَقِيُّ قَالَ: حَدَّثَنَا ابۡنُ عُلَيَّةَ قَالَ: حَدَّثَنَا عَوۡفٌ قَالَ: حَدَّثَنَا زِيَادُ بۡنُ حُصَيۡنٍ عَنۡ أَبِي الۡعَالِيَةِ قَالَ: قَالَ ابۡنُ عَبَّاسٍ، قَالَ لِي رَسُولُ اللهِ ﷺ - غَدَاةَ الۡعَقَبَةِ، وَهُوَ عَلَى رَاحِلَتِهِ -: (هَاتِ؛ الۡقُطۡ لِي)، فَلَقَطۡتُ لَهُ حَصَيَاتٍ - هُنَّ حَصَى الۡخَذۡفِ -، فَلَمَّا وَضَعۡتُهُنَّ فِي يَدِهِ؛ قَالَ: (بِأَمۡثَالِ هَٰؤُلَاءِ؛ وَإِيَّاكُمۡ وَالۡغُلُوَّ فِي الدِّينِ؛ فَإِنَّمَا أَهۡلَكَ مَنۡ كَانَ قَبۡلَكُمُ الۡغُلُوُّ فِي الدِّينِ). [(ابن ماجه)(٣٠٢٩)، (تخريج السنة لابن أبي عاصم)(٩٨)]. 

3057. [Sahih] Ya’qub bin Ibrahim Ad-Dauraqi telah mengabarkan kepada kami. Beliau berkata: Ibnu ‘Ulayyah menceritakan kepada kami. Beliau berkata: ‘Auf menceritakan kepada kami. Beliau berkata: Ziyad bin Hushain menceritakan kepada kami dari Abu Al-‘Aliyah. Beliau berkata: Ibnu ‘Abbas berkata: 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku—pada esok hari ‘Aqabah dalam keadaan beliau di atas tunggangannya—, “Kemarikan, pungutkan untukku.” 

Aku pun memungutkan beberapa kerikil untuk beliau—kerikil khadzf (seukuran kacang)—, ketika aku telah meletakkannya di tangan beliau, beliau bersabda, “Gunakan batu semisal ukuran ini! Waspadalah kalian dari sikap berlebih-lebihan di dalam agama, karena sikap berlebihan-lebihan di dalam agama telah membuat orang-orang sebelum kalian binasa.”

As-Sunnah Ibnu Abu 'Ashim hadits nomor 102

١٠٢ – ثنا الۡمُقَدَّمِيُّ، ثنا حَمَّادُ بۡنُ زَيۡدٍ، عَنۡ عَوۡفٍ، عَنۡ أَبِي الۡعَالِيَةِ، عَنِ ابۡنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: (إِيَّاكُمۡ وَالۡغُلُوَّ فِي الدِّينِ، فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنۡ كَانَ قَبۡلَكُمۡ بِالۡغُلُوِّ فِي الدِّينِ). 

102. Al-Muqaddami telah menceritakan kepada kami: Hammad bin Zaid menceritakan kepada kami dari ‘Auf, dari Abu Al-‘Aliyah, dari Ibnu ‘Abbas. Beliau mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Waspadalah kalian dari sikap berlebih-lebihan adalam agama, karena orang-orang sebelum kalian telah binasa dengan sebab sikap berlebih-lebihan dalam agama.”

Sunan Ad-Darimi hadits nomor 435

٤٣٥ - أَخۡبَرَنَا مُحَمَّدُ بۡنُ الۡعَلَاءِ، حَدَّثَنَا ابۡنُ نُمَيۡرٍ، عَنۡ مُجَالِدٍ، عَنۡ عَامِرٍ، عَنۡ جَابِرٍ: أَنَّ عُمَرَ بۡنَ الۡخَطَّابِ أَتَى رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيۡهِ وَسَلَّمَ بِنُسۡخَةٍ مِنَ التَّوۡرَاةِ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، هَٰذِهِ نُسۡخَةٌ مِنَ التَّوۡرَاةِ، فَسَكَتَ، فَجَعَلَ يَقۡرَأُ وَوَجۡهُ رَسُولِ اللهِ يَتَغَيَّرُ، فَقَالَ أَبُو بَكۡرٍ: ثَكِلَتۡكَ الثَّوَاكِلُ! مَا تَرَى مَا بِوَجۡهِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيۡهِ وَسَلَّمَ، فَنَظَرَ عُمَرُ إِلَى وَجۡهِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيۡهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: أَعُوذُ بِاللهِ مِنۡ غَضَبِ اللهِ وَغَضَبِ رَسُولِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيۡهِ وَسَلَّمَ، رَضِينَا بِاللهِ رَبًّا، وَبِالۡإِسۡلَامِ دِينًا، وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليۡهِ وَسَلَّمَ: (وَالَّذِي نَفۡسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَوۡ بَدَا لَكُمۡ مُوسَى فَاتَّبَعۡتُمُوهُ وَتَرَكۡتُمُونِي؛ لَضَلَلۡتُمۡ عَنۡ سَوَاءِ السَّبِيلِ، وَلَوۡ كَانَ حَيًّا وَأَدۡرَكَ نُبُوَّتِي لَاتَّبَعَنِي). 

435. Muhammad bin Al-‘Ala` telah mengabarkan kepada kami: Ibnu Numair menceritakan kepada kami dari Mujalid, dari ‘Amir, dari Jabir: 

Bahwa ‘Umar bin Al-Khaththab datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membawa sebuah salinan Taurat. 

‘Umar berkata, “Wahai Rasulullah, ini adalah sebuah salinan Taurat.” 

Rasulullah diam. ‘Umar mulai membaca sementara raut muka Rasulullah berubah. 

Abu Bakr berkata, “Para ibu kehilangan engkau! Tidakkah engkau melihat raut muka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”

‘Umar memandang wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu mengatakan, “Aku berlindung kepada Allah dari kemurkaan Allah dan kemurkaan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kami rida Allah sebagai rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai nabi.” 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi Allah yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, andai Nabi Musa muncul kepada kalian, lalu kalian mengikutinya dan meninggalkanku, niscaya kalian sesat dari jalan yang lurus. Andai beliau hidup dan menjumpai masa kenabianku, niscaya beliau akan mengikutiku.”

Sunan Ad-Darimi hadits nomor 2755

٤١ – بَابُ الۡإِسۡلَامِ بَدَأَ غَرِيبًا
41. Bab Islam mulai dalam keadaan asing


٢٧٥٥ – حَدَّثَنَا زَكَرِيَّا بۡنُ عَدِيٍّ، حَدَّثَنَا حَفۡصُ بۡنُ غِيَاثٍ، عَنِ الۡأَعۡمَشِ، عَنۡ أَبِي إِسۡحَاقَ، عَنۡ أَبِي الۡأَحۡوَصِ، عَنۡ عَبۡدِ اللهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيۡهِ وَسَلَّمَ: (إِنَّ الۡإِسۡلَامَ بَدَأَ غَرِيبًا، وَسَيَعُودُ غَرِيبًا) أَظُنُّ حَفۡصًا قَالَ: (فَطُوبَى لِلۡغُرَبَاءِ) قِيلَ: وَمَنِ الۡغُرَبَاءُ؟ قَالَ: (النُّزَّاعُ مِنَ الۡقَبَائِلِ). 

2755. Zakariyya bin ‘Adi telah menceritakan kepada kami: Hafsh bin Ghiyats menceritakan kepada kami dari Al-A’masy, dari Abu Ishaq, dari Abu Al-Ahwash, dari ‘Abdullah. Beliau mengatakan: 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Islam mulai dalam keadaan garib dan akan kembali dalam keadaan garib.” 

Aku menyangka Hafsh berkata, “Maka, kebahagiaan bagi orang-orang yang garib.” 

Ada yang bertanya, “Siapa orang-orang yang garib itu?” 

Rasulullah menjawab, “Orang-orang yang terasing dari kabilah-kabilah.”

Shahih Muslim hadits nomor 486

٢٢٢ – (٤٨٦) - حَدَّثَنَا أَبُو بَكۡرِ بۡنُ أَبِي شَيۡبَةَ: حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ: حَدَّثَنِي عُبَيۡدُ اللهِ بۡنُ عُمَرَ، عَنۡ مُحَمَّدِ بۡنِ يَحۡيَىٰ بۡنِ حَبَّانَ، عَنِ الۡأَعۡرَجِ، عَنۡ أَبِي هُرَيۡرَةَ، عَنۡ عَائِشَةَ؛ قَالَتۡ: فَقَدۡتُ رَسُولَ اللهِ ﷺ لَيۡلَةً مِنَ الۡفِرَاشِ، فَالۡتَمَسۡتُهُ، فَوَقَعَتۡ يَدِي عَلَى بَطۡنِ قَدَمَيۡهِ وَهُوَ فِي الۡمَسۡجِدِ - وَهُمَا مَنۡصُوبَتَانِ - وَهُوَ يَقُولُ: (اللّٰهُمَّ أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنۡ سَخَطِكَ، وَبِمُعَافَاتِكَ مِنۡ عُقُوبَتِكَ. وَأَعُوذُ بِكَ مِنۡكَ لَا أُحۡصِي ثَنَاءً عَلَيۡكَ، أَنۡتَ كَمَا أَثۡنَيۡتَ عَلَى نَفۡسِكَ). 

222. (486). Abu Bakr bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami: Abu Usamah menceritakan kepada kami: ‘Ubaidullah bin ‘Umar menceritakan kepadaku dari Muhammad bin Yahya bin Habban, dari Al-A’raj, dari Abu Hurairah, dari ‘Aisyah. Beliau mengatakan: Aku kehilangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kasur. Aku mencari-cari beliau dengan tanganku, lalu tanganku menyentuh kedua telapak kaki beliau sementara beliau di tempat salat—kedua kaki beliau dalam keadaan tegak—. Beliau sedang berdoa, “Ya Allah, aku berlindung dengan keridaan-Mu dari kemurkaan-Mu, dengan pemaafan-Mu dari hukuman-Mu. Aku berlindung kepada-Mu dari-Mu. Aku tidak dapat menyebut semua sanjungan kepada-Mu sebagaimana Engkau menyanjung Diri-Mu.”

Sunan Abu Dawud hadits nomor 4341

٤٣٤١ – (ضعيف لكن فقرة أيام الصبر ثابتة) حَدَّثَنَا أَبُو الرَّبِيعِ سُلَيۡمَانُ بۡنُ دَاوُدَ الۡعَتَكِيُّ، نا ابۡنُ الۡمُبَارَكِ، عَنۡ عُتۡبَةَ بۡنِ أَبِي حَكِيمٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي عَمۡرُو بۡنُ جَارِيَةَ اللَّخۡمِيُّ، قَالَ [غيره: عن أبي المُصَبِّح]، حَدَّثَنِي أَبُو أُمَيَّةَ الشَّعۡبَانِيُّ قَالَ: سَأَلۡتُ أَبَا ثَعۡلَبَةَ الۡخُشَنِيَّ فَقُلۡتُ: يَا أَبَا ثَعۡلَبَةَ، كَيۡفَ تَقُولُ فِي هَٰذِهِ الۡآيَةِ: ﴿عَلَيۡكُمۡ أَنۡفُسَكُمۡ﴾. قَالَ: أَمَا وَاللهِ لَقَدۡ سَأَلۡتَ عَنۡهَا خَبِيرًا، سَأَلۡتُ عَنۡهَا رَسُولَ اللهِ ﷺ، فَقَالَ [رَسُولُ اللهِ ﷺ]: (بَلِ ائۡتَمِرُوا بِالۡمَعۡرُوفِ، وَتَنَاهَوۡا عَنِ الۡمُنۡكَرِ، حَتَّى إِذَا رَأَيۡتَ شُحًّا مُطَاعًا، وَهَوًى مُتَّبَعًا، وَدُنۡيَا مُؤۡثَرَةً، وَإِعۡجَابَ كُلِّ ذِي رَأۡىٍ بِرَأۡيِهِ: فَعَلَيۡكَ - يَعۡنِي بِنَفۡسِكَ -، وَدَعۡ عَنۡكَ الۡعَوَامَّ، فَإِنَّ مِنۡ وَرَائِكُمۡ أَيَّامَ الصَّبۡرِ، الصَّبۡرُ فِيهِ مِثۡلُ قَبۡضٍ عَلَى الۡجَمۡرِ، لِلۡعَامِلِ فِيهِمۡ مِثۡلُ أَجۡرِ خَمۡسِينَ رَجُلًا يَعۡمَلُونَ مِثۡلَ عَمَلِهِ). وَزَادَنِي غَيۡرُهُ: قَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ أَجۡرُ خَمۡسِينَ مِنۡهُمۡ؟ قَالَ: (أَجۡرُ خَمۡسِينَ مِنۡكُمۡ). 

4341. [Daif akan tetapi potongan kalimat “hari-hari kesabaran…” sabit riwayatnya] Abu Ar-Rabi’ Sulaiman bin Dawud Al-‘Ataki telah menceritakan kepada kami: Ibnu Al-Mubarak menceritakan kepada kami dari ‘Utbah bin Abu Hakim. Beliau berkata: ‘Amr bin Jariyah Al-Lakhmi menceritakan kepadaku. Beliau berkata: Abu Umayyah Asy-Sya’bani menceritakan kepadaku. Beliau berkata: 

Aku bertanya kepada Abu Tsa’labah Al-Khusyani, “Wahai Abu Tsa’labah, bagaimana pendapatmu tentang ayat ini yang artinya: Kalian urusi diri-diri kalian?” 

Abu Tsa’labah menjawab: Demi Allah, engkau benar-benar telah menanyakannya kepada orang yang mengetahuinya dengan rinci. Aku telah menanyakannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perintahkanlah perkara yang makruf dan laranglah dari perkara yang mungkar. Hingga apabila engkau melihat kekikiran telah ditaati, hawa nafsu telah dituruti, dunia sudah dipentingkan, setiap orang yang memiliki pemikiran kagum dengan pemikirannya, maka uruslah dirimu sendiri dan tinggalkan kebanyakan orang, karena di belakang kalian ada hari-hari kesabaran. Kesabaran di saat itu semisal menggenggam bara api. Bagi orang yang beramal di tengah-tengah mereka, mendapat semisal pahala lima puluh orang yang mengamalkan semisal amalannya.” 

Selain beliau, ada yang memberi tambahan kepadaku: Dia bertanya, “Wahai Rasulullah, pahala lima puluh orang dari mereka?” 

Rasulullah menjawab, “Pahala lima puluh orang dari kalian.”

Sunan Ibnu Majah hadits nomor 4014

٢١ - بَابُ قَوۡلِهِ تَعَالَى: ﴿يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ عَلَيۡكُمۡ أَنفُسَكُمۡ﴾
21. Bab firman Allah taala yang artinya, “Wahai sekalian orang-orang yang beriman, urusilah diri-diri kalian”


٤٠١٤ – (ضعيف) حَدَّثَنَا هِشَامُ بۡنُ عَمَّارٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا صَدَقَةُ بۡنُ خَالِدٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي عُتۡبَةُ بۡنُ أَبِي حَكِيمٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي عَمِّي عَمۡرُو بۡنُ جَارِيَةَ، عَنۡ أَبِي أُمَيَّةَ الشَّعۡبَانِيِّ؛ قَالَ: أَتَيۡتُ أَبَا ثَعۡلَبَةَ الۡخُشَنِيَّ؛ قَالَ: قُلۡتُ: كَيۡفَ تَصۡنَعُ فِي هَٰذِهِ الۡآيَةِ؟ قَالَ: أَيَّةُ آيَةٍ؟ قُلۡتُ: ﴿يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ عَلَيۡكُمۡ أَنفُسَكُمۡ ۖ لَا يَضُرُّكُم مَّن ضَلَّ إِذَا ٱهۡتَدَيۡتُمۡ ۚ﴾ قَالَ: سَأَلۡتَ عَنۡهَا خَبِيرًا سَأَلۡتُ عَنۡهَا رَسُولَ اللهِ ﷺ فَقَالَ: (بَلِ ائۡتَمِرُوا بِالۡمَعۡرُوفِ، وَتَنَاهَوۡا عَنِ الۡمُنۡكَرِ، حَتَّى إِذَا رَأَيۡتَ شُحًّا مُطَاعًا، وَهَوًى مُتَّبَعًا، وَدُنۡيَا مُؤۡثَرَةً، وَإِعۡجَابَ كُلِّ ذِي رَأۡىٍ بِرَأۡيِهِ، وَرَأَيۡتَ أَمۡرًا لَا يَدَانِ لَكَ بِهِ، فَعَلَيۡكَ خُوَيۡصَّةَ نَفۡسِكَ، وَدَعۡ أَمۡرَ الۡعَوَامِّ فَإِنَّ مِنۡ وَرَائِكُمۡ أَيَّامَ الصَّبۡرِ، الصَّبۡرُ فِيهِنَّ عَلَى مِثۡلِ قَبۡضٍ عَلَى الۡجَمۡرِ، لِلۡعَامِلِ فِيهِنَّ مِثۡلُ أَجۡرِ خَمۡسِينَ رَجُلًا يَعۡمَلُونَ بِمِثۡلِ عَمَلِهِ). [(المشكاة)(٥١٤٤)، (نقد الكتاني)(ص ٢٧)، (الضعيفة)(١٠٢٥)، لكن فقرة: (أيام الصبر...) ثابتة: (الصحيحة)(٤٩٤ و٩٥٧)]. 

4014. [Daif] Hisyam bin ‘Ammar telah menceritakan kepada kami. Beliau berkata: Shadaqah bin Khalid menceritakan kepada kami. Beliau berkata: ‘Utbah bin Abu Hakim menceritakan kepadaku. Beliau berkata: Pamanku, yaitu ‘Amr bin Jariyah menceritakan kepadaku dari Abu Umayyah Asy-Sya’bani. Beliau berkata: Aku mendatangi Abu Tsa’labah Al-Khusyani. 

Abu Umayyah berkata: Aku bertanya, “Bagaimana pengamalanmu terhadap ayat ini?” 

Dia balik bertanya, “Ayat yang mana?” 

Aku menjawab, “(Ayat yang artinya) Wahai sekalian orang-orang yang beriman, urusilah diri-diri kalian. Orang yang sesat itu tidak memberi mudarat kepada kalian apabila kalian telah mendapat petunjuk.” 

Abu Tsa’labah berkata: Engkau telah menanyakannya kepada orang yang mengetahuinya secara rinci. Aku telah menanyakannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda, “Perintahkanlah perkara yang makruf dan laranglah dari perkara yang mungkar. Hingga apabila engkau melihat kekikiran sudah ditaati, hawa nafsu sudah diikuti, dunia sudah dipentingkan, setiap orang yang memiliki pemikiran kagum dengan pemikirannya. Dan engkau telah memandang bahwa engkau sudah tidak bisa menanganinya, maka urusilah urusan pribadimu dan tinggalkan urusan kebanyakan orang karena di belakang kalian ada hari-hari kesabaran. Kesabaran di saat itu semisal menggenggam bara api. Bagi orang yang beramal di saat itu semisal pahala lima puluh orang yang mengamalkan semisal amalannya.”

Syarh Ushul I'tiqad Ahlissunnah wal Jama'ah hadits nomor 173 dan 174

١٧٣ - أَخۡبَرَنَا مُحَمَّدُ بۡنُ عَلِيِّ بۡنِ النَّضۡرِ قَالَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بۡنُ حَمۡدَوَيۡهِ بۡنِ سَهۡلٍ قَالَ: حَدَّثَنَا عَبۡدُ اللهِ بۡنُ حَمَّادٍ قَالَ: حَدَّثَنِي عَبۡدُ اللهِ بۡنُ صَالِحٍ قَالَ حَدَّثَنِي اللَّيۡثُ قَالَ: حَدَّثَنِي يَحۡيَى بۡنُ سَعِيدٍ عَنۡ خَالِدِ بۡنِ أَبِي عِمۡرَانَ قَالَ: قَالَ أَبُو عَيَّاشٍ قَالَ: 

سَمِعۡتُ جَابِرَ بۡنَ عَبۡدِ اللهِ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: (إِنَّ الۡإِسۡلَامَ بَدَأَ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ غَرِيبًا كَمَا بَدَأَ فَطُوبَى لِلۡغُرَبَاءِ) قُلۡنَا: مَنۡ هُمۡ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: (الَّذِينَ يُصۡلِحُونَ حِينَ يُفۡسِدُ النَّاسُ). 

173. Muhammad bin ‘Ali bin An-Nadhr telah mengabarkan kepada kami. Beliau berkata: Muhammad bin Hamdawaih bin Sahl menceritakan kepada kami. Beliau berkata: ‘Abdullah bin Hammad menceritakan kepada kami. Beliau berkata: ‘Abdullah bin Shalih menceritakan kepadaku. Beliau berkata: Al-Laits menceritakan kepadaku. Beliau berkata: Yahya bin Sa’id menceritakan kepadaku dari Khalid bin Abu ‘Imran. Beliau berkata: Abu ‘Ayyasy berkata. Beliau berkata: Aku mendengar Jabir bin ‘Abdullah mengatakan: 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Islam mulai dalam keadaan asing dan akan kembali dalam keadaan asing sebagaimana mulainya. Maka, berbahagialah orang-orang yang asing.” 

Kami bertanya, “Siapa mereka, wahai Rasulullah?” 

Beliau menjawab, “Orang-orang yang memperbaiki ketika manusia membuat kerusakan.” 

١٧٤ - أَخۡبَرَنَا عَبۡدُ الرَّحۡمَٰنِ بۡنُ عُمَرَ قَالَ: أَخۡبَرَنَا الۡحُسَيۡنُ بۡنُ إِسۡمَاعِيلَ قَالَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بۡنُ إِسۡمَاعِيلَ الۡبُخَارِيُّ قَالَ: حَدَّثَنِي إِبۡرَاهِيمُ بۡنُ حَمۡزَةَ قَالَ: حَدَّثَنِي بَكۡرٌ الصَّوَّافُ عَنۡ أَبِي حَازِمٍ: 

عَنۡ أَبِي هُرَيۡرَةَ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: (الۡإِسۡلَامُ بَدَأَ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ فَطُوبَى لِلۡغُرَبَاءِ). قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ وَمَا الۡغُرَبَاءُ؟ قَالَ: (الَّذِينَ يَصۡلُحُونَ عِنۡدَ فَسَادِ النَّاسِ). 

174. ‘Abdurrahman bin ‘Umar telah mengabarkan kepada kami. Beliau berkata: Al-Husain bin Isma’il mengabarkan kepada kami. Beliau berkata: Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari menceritakan kepada kami. Beliau berkata: Ibrahim bin Hamzah menceritakan kepadaku. Beliau berkata: Bakr Ash-Shawwaf menceritakan kepadaku dari Abu Hazim, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Beliau bersabda, “Islam mulai dalam keadaan asing dan akan kembali sebagaimana mulainya. Maka, berbahagialah orang-orang yang asing.” 

Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, siapa orang-orang yang asing itu?” 

Beliau menjawab, “Orang-orang yang berbuat baik ketika manusia sudah rusak perilakunya.”