Cari Blog Ini

Keteladanan dalam Tawakkal

Tawakkal adalah buahnya yakin. Semakin kuat yakinnya, semakin kuat tawakkalnya. Sehingga orang yang kuat tawakkalnya akan berani dalam menegakkan kebenaran dan dalam menanggung resikonya serta dalam menghadapi gangguan-gangguan manusia. Karena dia yakin akan firman Allah Ta'ala:
وَكَانَ حَقًّا عَلَيْنَا نَصْرُ الْمُؤْمِنِيْنَ
"Dan Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman." (Ar-Ruum:47)
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا إِنْ تَنْصُرُوا اللهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
"Hai orang-orang yang beriman, jika kalian menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolong kalian dan meneguhkan kedudukan kalian." (Muhammad:7)
إِنَّكَ لاَ تُخْلِفُ الْمِيْعَادَ
"Sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji." (Aali 'Imraan:194)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan Nabi Ibrahim shallallahu 'alaihi wa sallam adalah teladan kita dalam hal ini, di mana mereka telah menunjukkan kepada kita betapa kuat dan tingginya tawakkal mereka kepada Allah, hal ini dikisahkan dalam hadits berikut:

Dari Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhu, dia berkata: (kalimat)
"حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ"
"Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung." telah diucapkan oleh Nabi Ibrahim shallallahu 'alaihi wa sallam ketika dilemparkan ke dalam api dan telah diucapkan (pula) oleh Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam ketika orang-orang berkata: "Sesungguhnya manusia (Abu Sufyan dan rombongannya) telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kalian, oleh karena itu takutlah kepada mereka", maka perkataan itu menambah keimanan mereka (Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabatnya), dan mereka menjawab: "Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung." (Aali 'Imraan:173) (HR. Al-Bukhariy no.4563)

Dan dalam riwayat yang lain dari Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhu, dia berkata: "Akhir ucapan Nabi Ibrahim shallallahu 'alaihi wa sallam ketika dilemparkan ke dalam api adalah: "Cukuplah Allah menjadi Penolongku dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung." (HR. Al-Bukhariy no.4564)

Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam & Ibrahim shallallahu 'alaihi wa sallam adalah Khaliilullaah


Nabi Ibrahim shallallahu 'alaihi wa sallam dan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam adalah khaliilullaah (kekasih tercinta /kesayangan Allah 'Azza wa Jalla), berdasarkan firman Allah:
وَاتَّخَذَ اللهُ إِبْرَاهِيْمَ خَلِيْلاً
"Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya." (An-Nisaa`:125)
Dan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:
إِنَّ اللهَ قَدِ اتَّخَذَنِيْ خَلِيْلاً كَمَا اتَّخَذَ إِبْرَاهِيْمَ خَلِيْلاً
"Sesungguhnya Allah telah menjadikan aku sebagai kesayangan-Nya sebagaimana Dia telah menjadikan Ibrahim sebagai kesayangan-Nya." (HR. Muslim no.532 dari Jundab radhiyallahu 'anhu)

Sedangkan khaliil maknanya adalah kekasih yang mencapai puncak kecintaannya. Dan kita tidak mengetahui bahwa ada seseorang yang disifati dengan sifat ini kecuali Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dan Ibrahim shallallahu 'alaihi wa sallam, maka keduanya adalah khaliil.

Tetapi, kadang-kadang kita mendengar sebagian manusia mengatakan: "Ibrahim Khaliilullaah, Muhammad Habiibullaah (kekasih /orang yang dicintai Allah) dan Musa Kaliimullaah (orang yang diajak bicara langsung oleh Allah tanpa melalui perantara)."

Orang yang mengatakan: "Sesungguhnya Muhammad adalah Habiibullaah", ucapannya ini perlu ditinjau lagi, karena sesungguhnya al-khullah (yang dimiliki Khaliil) lebih tinggi daripada al-mahabbah (yang dimiliki Habiib), maka apabila dia mengatakan: "Muhammad adalah Habiibullaah" maka ucapan ini mengandung pengurangan terhadap hak Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, karena sesungguhnya kekasih-kekasih Allah itu banyak, maka orang-orang yang beriman adalah orang-orang yang dicintai oleh Allah, demikian juga orang-orang yang berbuat ihsan/baik dan orang-orang yang adil, semuanya dicintai oleh Allah, maka orang-orang yang dicintai Allah itu banyak.

Akan tetapi kita tidak mengetahui bahwa sifat al-khullah itu dimiliki seseorang kecuali dimiliki oleh Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dan Nabi Ibrahim shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka atas dasar inilah, kita katakan: "Yang benar adalah: "Ibrahim Khaliilullaah, Muhammad Khaliilullaah dan Musa Kaliimullaah."

Walaupun sebenarnya Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam juga pernah diajak bicara oleh Allah Ta'ala tanpa perantara ketika beliau dinaikkan ke langit yang ketujuh (pada waktu isra` mi'raj).

Tawakkalnya Nabi Ibrahim shallallahu 'alaihi wa sallam ketika Dilempar ke dalam Api


Kalimat: "حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ" telah diucapkan Nabi Ibrahim shallallahu 'alaihi wa sallam ketika dilemparkan ke dalam api, dikarenakan beliau menyeru kaumnya agar beribadah kepada Allah semata yang tidak ada sekutu bagi-Nya, akan tetapi kaumnya enggan dan menolak serta terus-menerus di atas kekufuran dan kesyirikan.

Maka pada suatu hari Nabi Ibrahim shallallahu 'alaihi wa sallam mendatangi patung-patung yang disembah oleh kaumnya lalu merusaknya dan menjadikannya hancur berkeping-keping kecuali yang paling besarnya.

Maka ketika kaumnya kembali dan mendapati tuhan-tuhan mereka telah hancur, mereka pun marah dan mencari siapa orangnya yang telah melakukan hal ini. Dikatakan kepada mereka bahwa yang menghancurkan patung-patung tersebut adalah Ibrahim, maka mereka pun mencarinya lalu mendapatkannya dan bertekad untuk menyiksanya.

Lalu mereka bertanya: "Apa yang akan kita lakukan kepada Ibrahim?"
قَالُوْا حَرِّقُوْهُ وَانْصُرُوْا ءَالِهَتَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ فَاعِلِيْنَ
"Mereka berkata: "Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kalian, jika kalian benar-benar hendak bertindak." (Al-Anbiyaa`:68)

Maka mereka pun menyalakan api yang besar sekali kemudian melemparkan Nabi Ibrahim shallallahu 'alaihi wa sallam ke dalam api tersebut. Sampai-sampai dikatakan bahwasanya karena sangat besarnya api tersebut, mereka tidak mampu berada dekat-dekat dengan api dan mereka pun melemparkan Nabi Ibrahim ke api tersebut dengan manjaniq (alat pelempar yang besar) dari tempat yang jauh.

Ketika mereka melemparkan Nabi Ibrahim, beliau mengucapkan: "حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ", maka apa yang terjadi?

Allah Ta'ala berfirman:
قُلْنَا يَانَارُ كُوْنِيْ بَرْدًا وَسَلاَمًا عَلَى إِبْرَاهِيْمَ
"Kami berfirman: "Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim." (Al-Anbiyaa`:69)

Yakni api tersebut menjadi dingin lawan dari panas dan menjadi keselamatan lawan dari kebinasaan. Karena sesungguhnya api itu panas, membakar dan membinasakan, maka Allah memerintahkan api tersebut agar menjadi dingin dan keselamatan baginya, maka jadilah api tersebut dingin dan menjadi keselamatan (bagi Nabi Ibrahim shallallahu 'alaihi wa sallam).

Sebagian ahli tafsir menukilkan dari Bani Isra`il dalam kisah ini bahwasanya ketika Allah berfirman:
قُلْنَا يَانَارُ كُوْنِيْ بَرْدًا وَسَلاَمًا عَلَى إِبْرَاهِيْمَ
"Kami berfirman: "Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim."
Maka jadilah seluruh api dunia menjadi dingin.

Akan tetapi ini tidak benar, karena sesungguhnya Allah mengarahkan pembicaraan kepada api tertentu (dalam ayat): "يَانَارُ كُوْنِيْ بَرْدًا" "Hai api menjadi dinginlah."

Sedangkan 'ulama nahwu mengatakan: "Sesungguhnya apabila susunan suatu kalimat datang dengan bentuk seperti ini (seperti dalam ayat di atas) maka jadilah nakirah (kata yang masih umum maknanya) menjadi sesuatu yang tertentu maknanya." yakni tidak mencakup seluruh api, bahkan khusus untuk api yang Nabi Ibrahim shallallahu 'alaihi wa sallam telah dilemparkan kepadanya saja, dan inilah yang benar sedangkan api dunia yang lainnya tetap seperti semula.

Para 'ulama berkata: "Dan ketika Allah berfirman: "Jadilah dingin", Allah iringi perintah ini dengan firman-Nya: "Jadilah keselamatan", karena seandainya Allah mencukupkan dengan firman-Nya: "بَرْدًا" "(jadilah) dingin" niscaya jadilah api itu dingin hingga membinasakan Nabi Ibrahim shallallahu 'alaihi wa sallam, karena sesungguhnya segala sesuatu akan mengikuti perintah Allah 'Azza wa Jalla.

Lihatlah kepada firman Allah Ta'ala:
ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ وَهِيَ دُخَانٌ فَقَالَ لَهَا وَلِلأَرْضِ ائْتِيَا طَوْعًا أَوْ كَرْهًا قَالَتَا أَتَيْنَا طَائِعِيْنَ
"Kemudian Dia menuju langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: "Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa". Keduanya menjawab: "Kami datang dengan suka hati." (Fushshilat:11)
Keduanya pun tunduk terhadap perintah Allah.

Tawakkalnya Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam


Adapun khaliil kedua yang berkata: "حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ" adalah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, demikian juga para shahabatnya (mengucapkan kalimat tersebut) ketika orang-orang berkata: "Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kalian, karena itu takutlah kepada mereka", maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: "Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung." (Aali 'Imraan:173)

Kisah selengkapnya adalah ketika Abu Sufyan (ketika itu dia masih kafir) kembali dari Uhud dan ingin mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabatnya untuk menumpas mereka menurut persangkaannya, dia bertemu dengan satu kafilah, maka dia bertanya kepadanya: "Hendak pergi ke mana kalian?" Mereka menjawab: "Kami ingin pergi ke Madinah." Maka Abu Sufyan berkata: "Sampaikan kepada Muhammad dan para shahabatnya bahwasanya kami akan kembali kepada mereka dan akan menumpas mereka." Lalu sampailah kafilah tadi ke Madinah kemudian menyampaikan pesan tersebut kepada Rasulullah dan para shahabatnya. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan orang-orang yang bersamanya menjawab: "حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ".

Rasulullah dan para shahabatnya pun keluar berjumlah sekitar 70 orang dengan berkendaraan, sampai ke suatu tempat yang disebut Hamraa`ul Asad, ketika mendengar hal ini Abu Sufyan pun kemudian mengurungkan niatnya dan kembali ke Makkah.

Inilah di antara pencukupan dan penjagaan Allah terhadap Rasul-Nya dan orang-orang beriman, ketika mereka bersandar dan bertawakkal kepada-Nya.

Allah berfirman:
فَانْقَلَبُوْا بِنِعْمَةٍ مِنَ اللهِ وَفَضْلٍ لَمْ يَمْسَسْهُمْ سُوْءٌ وَاتَّبَعُوْا رِضْوَانَ اللهِ وَاللهُ ذُوْ فَضْلٍ عَظِيْمٍ
"Maka mereka kembali dengan ni`mat dan karunia (yang besar) dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa, mereka mengikuti keridhaan Allah. Dan Allah mempunyai karunia yang besar." (Aali 'Imraan:174)

Disunnahkan Membaca: حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ


Maka selayaknya bagi setiap orang yang melihat manusia berkumpul untuk berbuat jahat kepadanya atau mengadakan permusuhan dengannya, agar mengatakan: 
"حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ".

Apabila dia mengucapkan kalimat ini maka Allah akan mencukupi dan menjaganya dari kejelekan mereka sebagaimana Dia telah menjaga Nabi Ibrahim shallallahu 'alaihi wa sallam dan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.

Maka jadikanlah kalimat ini senantiasa ada dalam hati kita apabila kita melihat manusia mengadakan permusuhan kepada kita. 

Kita juga disunnahkan membaca do'a apabila takut dari kejahatan suatu kaum/seseorang, dengan mengucapkan:
اللَّهُمَّ اكْفِنِيْهِمْ بِمَا شِئْتَ
"Ya Allah, lindungilah aku dari kejahatan mereka, menurut sekehendak-Mu." (HR. Muslim no.3005 dari Shuhaib radhiyallahu 'anhu)

Allahlah yang memberi taufiq. Wallaahu A'lam. (Diringkas dari Syarh Riyaadhush Shaalihiin 1/290-292 penerbit Maktabah Ash-Shafaa dan Al-Qaulul Mufiid 2/32-33 tahqiiq Hani Al-Hajj, dengan beberapa perubahan dan tambahan)

Sumber: Buletin Jumat Al-Wala` Wal-Bara` edisi ke-3 Tahun ke-3 / 10 Desember 2004 M / 27 Syawwal 1425 H.

Shaum Syawwal, Shahihkah Haditsnya?

Pertanyaan: Shahihkah hadits tentang disunnahkannya shaum enam hari di bulan Syawwal?

Jawaban: Alhamdulillaah, hadits yang menjelaskan tentang disunnahkannya shaum enam hari di bulan Syawwal adalah hadits yang shahih, diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim (no.1164) dan lainnya dari shahabat Abu Ayyub Al-Anshariy radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Barangsiapa shaum Ramadhan kemudian diikuti shaum enam hari di bulan Syawwal maka seperti shaum setahun."

Lihat penjelasan tentang sanadnya dan fiqh hadits ini serta bantahan terhadap orang yang mendha'ifkannya dalam Subulus Salaam, 2/896-898 cet. Daarul Fikr, tahqiiq Hazim Al-Qadhiy, Kitaabush Shiyaam, Baab Shaum At-Tathawwu'; lihat juga Syarh Shahiih Muslim lin Nawawiy 8/56-57. Wallaahu A'lam.

Sumber: Buletin Jumat Al-Wala` Wal-Bara` edisi ke-2 Tahun ke-3 / 03 Desember 2004 M / 20 Syawwal 1425 H.

Hakikat Yakin dan Tawakkal

Makna & Hakikat Yakin


Berkata Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah menerangkan makna yakin: "Yakin dalam iman seperti kedudukan ruh dalam jasad, yang dengannya orang-orang yang 'arif saling berunggul-unggulan, orang-orang berlomba-lomba padanya, orang-orang yang beramal berjalan kepadanya, dan suatu kaum beramal agar berada di atasnya, serta isyarat mereka seluruhnya kepadanya, dan apabila sabar bergandengan dengan yakin maka keduanya itu akan melahirkan kepemimpinan dalam agama.

Allah Ta'ala berfirman –dan dengan firman-Nya orang-orang yang mencari petunjuk akan mendapat petunjuk- :
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ
"Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami." (As-Sajdah:24)

Allah Ta'ala mengkhususkan orang-orang yang yakin dengan kemampuan mengambil manfaat terhadap ayat-ayat(Nya) dan hujjah-hujjah, Allah berfirman –dan Dialah sebenar-benar dzat yang berbicara- :
وَفِي الأَرْضِ ءَايَاتٌ لِلْمُوقِنِينَ
"Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin." (Adz-Dzaariyaat:20)

Dan Allah telah mengkhususkan orang-orang yang yakin dengan petunjuk dan kemenangan/ keberuntungan di antara seluruh alam, Allah berfirman:
وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِالآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ(4) أُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ(5)
"Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al-Qur`an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung." (Al-Baqarah:4-5)

Maka yakin adalah ruhnya amalan-amalan hati yang (amalan-amalan hati tersebut) merupakan ruhnya amalan-amalan anggota badan, dan merupakan hakikatnya kejujuran/kebenaran serta pusatnya perkara ini." (Madaarijus Saalikiin 2/397)

Oleh karena itu, yakin adalah ilmu yang tidak ada keraguan padanya dan i'tiqad/ keyakinan/ kepercayaan yang sesuai dengan kenyataan. Ada tiga tingkatan dalam yakin: 'ilmul yaqiin, haqqul yaqiin, dan 'ainul yaqiin. Adapun tingkatan pertama seperti pengetahuanmu bahwasanya di lembah ini terdapat air, sedangkan tingkatan kedua adalah kalau kamu sudah melihatnya dan tingkatan ketiga adalah kalau kamu sudah meminumnya.

Makna & Hakikat Tawakkal


Berkata Ibnu Rajab Al-Hambaliy menerangkan makna tawakkal: "Yaitu benarnya penyandaran hati kepada Allah 'Azza wa Jalla di dalam mendapatkan kemaslahatan-kemaslahatan dan menolak kemadharatan-kemadharatan (berbagai mara bahaya) dari perkara-perkara dunia dan akhirat seluruhnya, yang seluruh perkara diserahkan kepada-Nya, dan merupakan pembuktiannya iman bahwasanya tidak ada yang memberi, tidak ada yang mencegah, tidak ada yang memberikan madharat dan tidak ada yang memberikan manfaat kecuali Dia.

Perealisasian/pembuktian tawakkal tidaklah menafikan usaha dalam mengambil sebab-sebab yang telah Allah Ta'ala tentukan terhadap makhluk-Nya dengannya dan telah berjalan sunnah-Nya pada makhluk-Nya dengan hal itu, maka sesungguhnya Allah Ta'ala telah memerintahkan untuk mengambil sebab-sebab bersamaan perintah-Nya untuk bertawakkal, maka usaha dalam mengambil sebab-sebab dengan anggota badan adalah ibadah kepada-Nya sedangkan tawakkal kepada-Nya dengan hati adalah keimanan kepada-Nya." (Jaami'ul 'Uluum wal Hikam hal.628 - Al-Muntaqaa)

Berkata Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah: "Yakin adalah temannya tawakkal, dan karena inilah ada yang menafsirkan tawakkal dengan kuatnya yakin, sedangkan yang benar adalah bahwa tawakkal adalah buahnya yakin dan hasilnya." (Madaarijus Saalikiin 2/397-398, lihat Bahjatun Naazhiriin 1/148-149)

Hakikat Tawakkal & Contoh-contohnya


Sesungguhnya manusia apabila mengesakan Allah Ta'ala dengan tawakkal maka berarti dia bersandar kepada-Nya dalam mendapatkan apa-apa yang diinginkan dan dalam menghilangkan apa-apa yang tidak disukai, dan dia tidak bersandar kepada selain-Nya.

Sedangkan tawakkal itu sendiri adalah penyandaran kepada Allah Ta'ala dalam mendapatkan apa-apa yang diinginkan dan dalam menolak apa-apa yang tidak disukai, bersamaan adanya ketsiqahan/kepercayaan kepada-Nya dan melakukan sebab-sebab yang diperbolehkan padanya, dan inilah definisi tawakkal yang paling dekat. Sehingga mesti adanya dua perkara: yang pertama: bersandar kepada Allah dengan penyandaran yang jujur dan hakiki. Kedua: melakukan sebab-sebab yang dibolehkan padanya.

Maka barangsiapa yang menjadikan penyandarannya kepada sebab-sebab itu lebih banyak maka berkuranglah tawakkalnya kepada Allah, dan jadilah dia orang yang menodai dalam masalah pencukupan Allah (terhadap hamba-Nya), maka seakan-akan dia menjadikan sebab semata (tanpa tawakkal-pent) yaitu bersandar terhadap apa-apa yang dia condong kepadanya dari mendapatkan hal-hal yang diinginkan dan menghilangkan hal-hal yang tidak disukai.

Dan sebaliknya barangsiapa yang menjadikan penyandarannya kepada Allah tetapi melalaikan/tidak mengambil sebab-sebab, maka sungguh dia telah mencela dalam masalah hikmahnya Allah, karena sesungguhnya Allah telah menjadikan bagi segala sesuatu itu ada sebabnya, maka barangsiapa yang bersandar kepada Allah dengan penyandaran semata, maka dia adalah orang yang menodai dalam masalah hikmahnya Allah, karena sesungguhnya Allah adalah Hakim, yang mengaitkan sebab-sebab dengan akibat-akibatnya. Contohnya seperti orang yang bersandar/tawakkal kepada Allah dalam mendapatkan anak tetapi dia tidak menikah, dan contoh lainnya sangat banyak.

Sedangkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri adalah orang yang paling bertawakkal di antara orang-orang yang bertawakkal, akan tetapi bersamaan dengan itu beliau tetap mengambil sebab-sebab. Maka ketika safar beliau membawa bekal, dan ketika keluar ke Uhud (untuk perang) beliau memakai dua baju besi (HR. Abu Dawud no.2590). Dan ketika keluar untuk hijrah (ke Madinah) beliau mengambil seseorang untuk menunjukkan jalan (HR. Al-Bukhari no.2263), dan beliau tidak mengatakan: "Saya akan pergi berhijrah dan bertawakkal kepada Allah serta saya tidak akan ditemani oleh orang yang akan menunjukiku jalan." Beliau juga berlindung dari panas dan dingin, akan tetapi semuanya itu tidaklah mengurangi tawakkalnya.

Pernah disebutkan kepada 'Umar bahwasanya ada sekelompok manusia dari penduduk Yaman datang untuk berhaji tetapi tidak membawa bekal, maka mereka didatangkan kepada 'Umar, lalu 'Umar menanyai mereka, maka mereka pun menjawab: "Kami adalah orang-orang yang bertawakkal kepada Allah." Maka 'Umar pun membantah: "Kalian bukan orang-orang yang bertawakkal, bahkan kalian adalah orang-orang yang pura-pura bertawakkal."

Urgensinya Tawakkal


Tawakkal adalah setengah agama, dan karena inilah kita mengatakan dalam shalat kita:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
"Hanya kepada Engkaulah kami beribadah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan." (Al-Faatihah:5)

Maka kita meminta kepada Allah pertolongan dengan bersandar kepada-Nya bahwasanya Dia akan menolong kita terhadap peribadahan kita kepada-Nya.

Allah Ta'ala berfirman:
فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ
"Maka beribadahlah kepada-Nya, dan bertawakkallah kepada-Nya." (Huud:123)
عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
"Hanya kepada Allah-lah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali." (Huud:88)

Dan tidak mungkin akan terealisasi suatu ibadah kecuali dengan tawakkal, karena sesungguhnya manusia seandainya diserahkan kepada dirinya, maka ini berarti diserahkan kepada kelemahan dan ketidakberdayaan, dan dia tidak akan mampu untuk melaksanakan ibadah. Maka jika manusia itu ketika beribadah kepada Allah, dia merasakan bahwasanya dia bertawakkal kepada Allah, maka dengan itu dia akan mendapatkan pahala ibadah dan pahala tawakkal.

Akan tetapi secara umum kita mempunyai tawakkal yang lemah, sehingga kita tidak merasakan adanya tawakkal kepada Allah dan bersandar kepada-Nya ketika melaksanakan ibadah ataupun kegiatan lainnya, bahkan secara umum kita bersandar kepada sebab-sebab yang zhahir dan melupakan sesuatu di balik itu (yaitu tawakkal kepada Allah-pent), maka kita kehilangan pahala yang besar yaitu pahala tawakkal.

Sebagaimana kita tidak diberi kemudahan untuk mendapatkan apa yang kita inginkan sebagaimana ini banyak terjadi, sama saja apakah kita mendapatkan penghalang-penghalang yang mengharuskan terputusnya ibadah/kegiatan yang kita lakukan ataupun penghalang-penghalang yang mengharuskan berkurangnya ibadah/kegiatan tersebut.

Pembagian Tawakkal


Tawakkal terbagi menjadi empat macam: yang pertama: Tawakkal ibadah dan ketundukan, yaitu ketundukan yang muthlaq kepada Dzat yang ditawakkali sehingga dia yakin bahwasanya di tangan-Nya-lah perolehan manfaat dan penolakan madharat, maka dia bersandar kepada-Nya dengan penyandaran yang sempurna, dalam keadaan dia merasakan akan butuhnya dia kepada-Nya, maka jenis tawakkal ini wajib hanya diberikan untuk Allah Ta'ala. Dan barangsiapa yang memalingkannya untuk selain Allah, maka dia musyrik, yaitu orang yang melakukan syirik akbar seperti orang-orang yang bersandar kepada orang-orang shalih dari kalangan orang-orang yang sudah mati dan orang-orang yang ghaib/tidak hadir, dan hal ini tidak akan muncul kecuali dari orang yang berkeyakinan bahwa orang-orang ini (yang sudah mati dan yang ghaib) mempunyai andil yang tersembunyi dalam (pengaturan) alam, lalu dia bersandar kepada mereka dalam mendapatkan kemanfaatan-kemanfaatan dan menolak kemadharatan-kemadharatan.

Kedua: Tawakkal tersembunyi yaitu bersandar kepada mayit atau orang yang ghaib dalam mendapatkan manfaat atau menolak bahaya, maka ini adalah syirik akbar. Karena sesungguhnya hal ini tidak akan muncul kecuali dari orang yang berkeyakinan bahwasanya mayit atau orang ghaib ini mempunyai andil yang tersembunyi dalam (pengaturan) alam dan tidak ada bedanya apakah mayit/orang ghaib itu nabi atau wali ataupun thaghut musuh Allah Ta'ala.

Ketiga: Tawakkal kepada orang lain dalam hal-hal yang orang tersebut punya andil padanya bersamaan adanya perasaan akan tingginya kedudukan orang yang ditawakkali dan rendahnya orang yang bertawakkal, seperti bersandar/tawakkal kepada seseorang dalam rizkinya, penghidupannya dan yang lainnya atau seperti penyandaran kebanyakan manusia kepada pekerjaannya dalam mendapatkan rizkinya, maka ini termasuk syirik ashghar karena kuatnya keterikatan hati dengannya dan kuatnya penyandaran kepadanya dan sebagian 'ulama memasukkannya dalam syirik khafiy (yang tersembunyi).

Dan karena inilah engkau akan mendapati orang tersebut merasakan dalam dirinya bahwasanya dia bersandar kepada hal ini dengan penyandarannya orang yang membutuhkan, maka engkau akan mendapatkan dalam dirinya kecondongan kepada orang yang rizki dia ada di sisinya (melalui perantaraannya-pent), inilah yang nampak pada orang tersebut, maka dia tidak meyakini bahwasanya orang tersebut/pekerjaannya semata-mata sebagai sebab saja, bahkan dia menjadikannya di atas sebab.

Adapun jika dia bersandar kepadanya dengan meyakini bahwasanya hal itu (orang/pekerjaan) hanya sebab saja dan bahwasanya Allah-lah yang menentukan rizki atau yang lainnya melalui tangan orang tersebut maka hal ini tidak mengapa apabila orang yang dia bersandar kepadanya mempunyai usaha yang dibenarkan syari'at dalam mendapatkan rizki atau yang lainnya.

Keempat: Bersandar kepada seseorang dalam hal-hal yang diserahkan kepadanya suatu urusan untuk dilakukan/diselesaikan, istilah lainnya adalah al-wikaalah (mewakilkan sesuatu), maka ini boleh berdasarkan Al-Qur'an, As-Sunnah dan Ijma'. Contohnya: ucapan Nabi Ya'qub kepada anak-anaknya:
يَابَنِيَّ اذْهَبُوا فَتَحَسَّسُوا مِنْ يُوسُفَ وَأَخِيهِ
"Hai anak-anakku, pergilah kalian, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya." (Yuusuf:87).
Contoh lainnya: seperti kalau engkau mewakilkan kepada seseorang dalam masalah jual-beli sesuatu, hal ini tidak mengapa, karena sesungguhnya dia bersandar kepadanya dalam keadaan dia merasa bahwasanya kedudukan yang tinggi itu milik dia dan dia di atasnya, karena sesungguhnya dia menjadikannya sebagai wakil dari dia.

Dan sungguh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah mewakilkan kepada 'Ali bin Abi Thalib agar menyembelih sisa hewan qurbannya (di waktu haji); beliau mewakilkan Abu Hurairah untuk menjaga zakat; dan beliau juga mewakilkan 'Urwah bin Al-Ja'd agar membeli hewan qurban untuknya.

Dari keterangan yang telah lalu maka akan jelas bahwa tawakkal itu termasuk di antara kedudukan-kedudukan yang tertinggi dan sesungguhnya wajib atas manusia agar selalu bersama tawakkal dalam seluruh perkaranya. Wallaahu A'lam.

(Lihat Al-Qaulul Mufiid 2/28-29 tahqiiq Hani Al-Hajj dan Syarh Tsalaatsatil Ushuul hal.59)

Sumber: Buletin Jumat Al-Wala` Wal-Bara` Edisi ke-2 Tahun ke-3 / 03 Desember 2004 M / 20 Syawwal 1425 H.

Shalat Tahajjud Menurut Sunnah Rasul

Pertanyaan: Assalaamu'alaikum, ana (saya) 'Abdullah ingin bertanya tentang bagaimana cara shalat tahajjud yang sesuai dengan sunnah dan kapan ana bisa mendapati malam lailatul qodar? Bagaimana tentang imsak, apakah ada atau tidak? Kapan batasannya sahur? Jazaakumullaahu khairan. (08156177***)

Jawaban: Wa'alaikumus salaam warahmatullaah. Shalat tahajjud (kalau di bulan Ramadhan lebih dikenal dengan istilah tarawih) yang sesuai dengan sunnah adalah sebelas raka'at sebagaimana diterangkan dalam hadits 'A`isyah:
مَا كَانَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم يَزِيْدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
"Nabi tidak pernah shalat malam baik di bulan Ramadhan atau selainnya lebih dari sebelas raka'at." (HR. Al-Bukhariy no.1147 dan Muslim no.738)

Sebelas raka'at di sini termasuk di dalamnya shalat witir tiga raka'at yang bisa dilakukan dengan dua cara: shalat dua raka'at dan salam kemudian shalat satu raka'at atau cara yang kedua, shalat tiga raka'at sekaligus dengan satu tahiyyat di raka'at ketiga kemudian salam. Tapi cara pertama itulah yang lebih utama.

Dan dikerjakan dua-dua artinya setiap dua raka'at diakhiri salam, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Ibnu 'Umar, dia berkata: Seorang laki-laki berdiri lalu berkata: Ya Rasulullah, bagaimana (caranya) shalat malam? Rasulullah bersabda:
صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خِفْتَ الصُّبْحَ فَأَوْتِرْ بِوَاحِدَةٍ
"Shalat malam itu dua raka'at-dua raka'at, jika kamu takut masuk waktu shubuh maka witirlah satu raka'at." (HR. Muslim no.749)

Sehingga shalat malam itu paling sedikit satu raka'at (yaitu shalat witirnya saja) dan paling banyaknya 11 raka'at. Adapun riwayat yang menerangkan bahwa Nabi shalat 13 raka'at maka 2 raka'atnya itu adalah shalat ba'da 'isya atau qabliyyah shubuh.

Dan paling utama dilakukan pada sepertiga malam akhir. (Lihat HR. Al-Bukhariy no.1131, 4569 dan Muslim no.1159)

Lebih detailnya bisa dilihat di dalam kitab Qiyaamu Ramadhaan atau Shalaatut Taraawiih karya Asy-Syaikh Al-Albaniy.

Untuk masalah lailatul qadr dan kapan mendapatkannya lihat pembahasan buletin edisi ini di atas.

Imsak tidak dikenal atau tidak ada contohnya baik dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, para shahabatnya ataupun para 'ulama yang setelahnya sehingga kita tidak usah bingung ketika mendengar suara sebagai tanda imsak. Karena batas sahur itu bukan imsak tapi sampai adzan shubuh (masuk waktu shubuh) berdasarkan firman Allah:
وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
"Makan dan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar (masuknya waktu shalat shubuh)." (Al-Baqarah:187)

Bahkan disunnahkan mengakhirkan sahur. Wallaahu A'lam.

Sumber: Buletin Jumat Al-Wala` Wal-Bara` edisi ke-49 Tahun ke-2 / 29 Oktober 2004 M / 15 Ramadhan 1425 H.

Lailatul Qadr dan Zakat Fithri

Lailatul Qadr


Lailatul Qadr (atau lebih dikenal dengan malam Lailatul Qadar) mempunyai keutamaan yang sangat besar, karena malam ini menyaksikan turunnya Al-Qur`anul Karim, yang membimbing orang-orang yang berpegang dengannya ke jalan kemuliaan dan mengangkatnya ke derajat yang mulia dan abadi. Ummat Islam yang mengikuti Sunnah Rasulnya berlomba-lomba untuk beribadah di malam harinya dengan penuh iman dan mengharap pahala dari Allah subhanahu wa ta'ala.

Inilah wahai saudaraku muslim, ayat-ayat Al-Qur`an dan hadits-hadits Nabi yang shahih menjelaskan tentang malam tersebut.

1. Keutamaan Lailatul Qadr

Cukuplah untuk mengetahui tingginya kedudukan Lailatul Qadr dengan mengetahui bahwasanya malam itu lebih baik dari seribu bulan. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:
إِنَّآ أَنزَلْنَـٰهُ فِى لَيْلَةِ ٱلْقَدْرِ ۝١ وَمَآ أَدْرَىٰكَ مَا لَيْلَةُ ٱلْقَدْرِ ۝٢ لَيْلَةُ ٱلْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ ۝٣ تَنَزَّلُ ٱلْمَلَـٰٓئِكَةُ وَٱلرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ ۝٤ سَلَـٰمٌ هِىَ حَتَّىٰ مَطْلَعِ ٱلْفَجْرِ ۝٥
"Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur`an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar." (Al-Qadr:1-5)

2. Waktunya

Pendapat yang paling kuat, terjadinya Lailatul Qadr itu pada malam di akhir-akhir bulan Ramadhan sebagaimana ditunjukkan oleh hadits 'A`isyah, dia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam beri'tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan dan beliau bersabda:
تَحَرَّوْا (وَفِيْ رِوَايَة: اِلْتَمِسُوْا) لَيْلَةَ القَدْرِ فِي الوِتْرِ مِنَ العَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
"Carilah Lailatul Qadr di malam ganjil pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan." (HR. Al-Bukhariy no.2017 dan Muslim no.1169)

Jika seseorang merasa lemah atau tidak mampu, maka janganlah sampai terluput dari tujuh hari terakhir, berdasarkan riwayat dari Ibnu 'Umar, dia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
اِلْتَمِسُوْهَا فِي العَشْرِ الأَوَاخِرِ (يَعْنِي لَيْلَةَ القَدْرِ) فَإِنْ ضَعُفَ أَحَدُكُمْ أَوْ عَجَزَ فَلاَ يُغْلَبَنَّ عَلَى السَّبْعِ البَوَاقِي
"Carilah di sepuluh hari terakhir, jika salah seorang di antara kalian tidak mampu atau lemah maka jangan sampai terluput dari tujuh hari sisanya." (HR. Muslim no.1165)

Telah diketahui dalam Sunnah, pemberitahuan ini ada karena perdebatan para shahabat. Dari 'Ubadah bin Ash-Shamit, ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam keluar pada Lailatul Qadr, lalu ada dua orang shahabat berdebat, maka beliau bersabda:
"Aku keluar untuk mengkhabarkan kepada kalian tentang Lailatul Qadr, tetapi fulan dan fulan berdebat hingga diangkat (tidak bisa lagi diketahui kapan kepastian lailatul qadr terjadi), semoga ini lebih baik bagi kalian, maka carilah pada malam 29, 27 dan 25." (HR. Al-Bukhariy 2023)

Banyak hadits yang mengisyaratkan bahwa Lailatul Qadr itu terjadi pada sepuluh hari terakhir, hadits yang lainnya menegaskan di malam ganjil sepuluh hari terakhir. Hadits yang pertama sifatnya umum sedangkan hadits kedua sifatnya khusus, maka riwayat yang khusus lebih didahulukan daripada yang umum, dan telah banyak hadits yang lebih menerangkan bahwa Lailatul Qadr itu ada pada tujuh hari terakhir bulan Ramadhan (malam ke-25, 27 dan 29), tetapi ini dibatasi kalau tidak mampu dan lemah. Maka dengan penjelasan ini, cocoklah hadits-hadits tersebut dan tidak saling bertentangan.

3. Bagaimana Mencari Lailatul Qadr?

Sesungguhnya malam yang diberkahi ini, barangsiapa yang diharamkan untuk mendapatkannya, maka sungguh telah diharamkan seluruh kebaikan (baginya). Oleh karena itu dianjurkan bagi muslimin agar bersemangat dalam melakukan ketaatan kepada Allah untuk menghidupkan malam Lailatul Qadr seperti melakukan shalat tarawih, membaca Al-Qur`an, menghafalnya dan memahaminya serta amalan yang lainnya, yang dilakukan dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala-Nya yang besar. Jika dia telah berbuat demikian maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ القَدْرِ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
"Barangsiapa shalat malam/tarawih (bertepatan) pada malam Lailatul Qadr dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu." (HR. Al-Bukhariy 38 dan Muslim no.760)

Disunnahkan untuk memperbanyak do'a pada malam tersebut. Diriwayatkan dari 'A`isyah, dia berkata: Aku bertanya: Ya Rasulullah, apa pendapatmu jika aku tahu kapan Lailatul Qadr (terjadi), apa yang harus aku ucapkan? Beliau menjawab: "Ucapkanlah:
اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ العَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
"Ya Allah, Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dan mencintai orang yang meminta ampunan, maka ampunilah aku." (HR. At-Tirmidziy 3760 dan Ibnu Majah 3850, sanadnya shahih)

Saudaraku, setelah engkau mengetahui bagaimana keadaan malam Lailatul Qadr (dan keutamaannya) maka bangunlah (untuk menegakkan shalat) pada sepuluh malam terakhir, menghidupkannya dengan ibadah dan menjauhi wanita, perintahkan kepada istrimu dan keluargamu untuk itu, perbanyaklah perbuatan ketaatan.

Dari 'A`isyah berkata:
"Adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam apabila masuk pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, beliau menghidupkan malamnya, membangunkan keluarganya, dan bersungguh-sungguh serta mengencangkan kainnya (yaitu menjauhi istri-istrinya untuk konsentrasi beribadah dan mencari Lailatul Qadr)." (HR. Al-Bukhariy no.2024 dan Muslim no.1174)

4. Tanda-tandanya

Dari Ubaiy, ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Pagi hari malam Lailatul Qadr, matahari terbit tidak ada sinar yang menyilaukan, seperti bejana hingga meninggi." (HR. Muslim no.762)

Dan dari Ibnu 'Abbas, ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Malam Lailatul Qadr adalah malam yang indah, cerah, tidak panas dan tidak juga dingin, dan keesokan harinya sinar mataharinya melemah kemerah-merahan." (HR. Ath-Thayalisiy 349, Ibnu Khuzaimah 3/231 dan Al-Bazzar 1/486, sanadnya hasan)

Zakat Fithri


1. Hukumnya

Zakat fithri ini hukumnya wajib berdasarkan hadits dari Ibnu 'Umar, dia berkata:
فَرَضَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم زَكَاةَ الفِطْرِ (مِنْ رَمَضَانَ عَلَى النَّاسِ)
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri [pada bulan Ramadhan kepada manusia]." (HR. Al-Bukhariy no.1503, 1504 dan Muslim no.984, tambahan dalam kurung riwayat Muslim)

2. Siapa yang Wajib Zakat?

Zakat fithri wajib atas kaum muslimin, anak kecil, besar, laki-laki, perempuan, orang yang merdeka maupun budak. Hal ini berdasarkan hadits 'Abdullah bin 'Umar:
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri sebanyak satu sha' kurma atau satu sha' gandum atas setiap orang merdeka atau budak, laki-laki atau perempuan, anak kecil atau besar dari kalangan kaum muslimin." (HR. Al-Bukhariy no.1503 dan Muslim no.984)

Zakat fithri juga wajib atas orang yang masuk Islam atau bayi yang lahir sesaat sebelum terbenamnya matahari (yang besoknya adalah tanggal 1 Syawwal).

Adapun janin maka banyak di antara 'ulama yang menyunnahkannya agar dikeluarkan zakat fithrinya sebagaimana yang dilakukan 'Utsman dan para shahabat lainnya.

3. Macam Zakat Fithri

Zakat fithri dikeluarkan berupa satu sha' gandum, satu sha' kurma, satu sha' susu, satu sha' salt atau anggur kering, berdasarkan hadits Abu Sa'id Al-Khudriy:
"Kami mengeluarkan zakat fithri (pada zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam) satu sha' makanan, satu sha' gandum, satu sha' kurma, satu sha' susu kering dan satu sha' anggur kering." (HR. Al-Bukhariy no.1506 dan Muslim no.985)

Dan hadits Ibnu 'Umar:
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mewajibkan satu sha' gandum, satu sha' kurma dan satu sha' salt." (HR. Ibnu Khuzaimah 4/80 dan Al-Hakim 1/409-410)

Ibnu Taimiyyah menyebutkan tentang bolehnya mengeluarkan zakat fithri dari makanan pokok suatu negeri (kalau di negeri kita adalah beras). Dan ini pendapatnya jumhur 'ulama.

4. Ukuran Zakat Fithri

Disebutkan dalam hadits di atas bahwa ukuran zakat fithri adalah 1 sha' (sekitar 2,5 - 3,0 kg) yang mencakup kurma, gandum, ataupun lainnya yang merupakan makanan pokok suatu negeri. Ini adalah pendapat jumhur 'ulama.

5. Siapakah yang Harus Dibayar Zakatnya?

Seorang muslim harus mengeluarkan zakat fithri untuk dirinya dan seluruh orang yang di bawah tanggungannya, baik anak kecil ataupun orang tua laki-laki dan perempuan, orang yang merdeka dan budak, berdasarkan hadits Ibnu 'Umar: "Kami diperintah oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (mengeluarkan) zakat fithri atas anak kecil dan orang tua, orang merdeka dan budak dari orang-orang yang membekalinya." (HR. Ad-Daraquthniy 2/141 dan Al-Baihaqiy 4/161, hadits hasan dengan syawahidnya)

6. Ke mana Disalurkannya

Zakat tidak boleh diberikan kecuali kepada orang yang berhak menerimanya, mereka adalah orang-orang miskin berdasarkan hadits Ibnu 'Abbas:
فَرَضَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم زَكَاةَ الفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنِ
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri sebagai pembersih (diri) bagi yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan perbuatan kotor serta sebagai makanan bagi orang-orang miskin." (HR. Al-Hakim no.1488 dan beliau berkata: ini hadits shahih)

Inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah di dalam Majmuu'ul Fataawaa (2/71-78) dan murid beliau Ibnul Qayyim pada kitabnya Zaadul Ma'aad (2/44).

Sebagian Ahlul Ilmi berpendapat bahwa zakat fithri diberikan kepada delapan golongan, tetapi pendapat ini tidak ada dalilnya. Dan Syaikhul Islam telah membantahnya pada kitab yang telah disebutkan di atas, maka lihatlah kitab tersebut, karena hal itu sangat penting.

Termasuk amalan sunnah jika ada seseorang yang bertugas mengumpulkan zakat tersebut (untuk dibagikan kepada yang berhak -pent). Sungguh Nabi telah mewakilkan kepada Abu Hurairah, ia berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menugaskan kepadaku agar menjaga zakat Ramadhan." (HR. Al-Bukhariy no.2311)

Dan sungguh dahulu pernah Ibnu 'Umar mengeluarkan zakat kepada orang-orang yang menangani zakat dan mereka adalah panitia yang dibentuk oleh Imam (pemerintah -pent) untuk mengumpulkannya. Beliau (Ibnu 'Umar) mengeluarkan zakatnya satu hari atau dua hari sebelum 'Idul Fithri. (Lihat HR. Ibnu Khuzaimah 4/83) 

Boleh juga langsung menyerahkannya kepada orang-orang miskin yang ada di daerahnya.

7. Waktu Penunaian Zakat

Zakat fithri ditunaikan sebelum orang-orang keluar rumah menuju shalat 'Id dan tidak boleh diakhirkan (setelah) shalat. Sebagian 'ulama seperti Al-Imam Asy-Syafi'i membolehkan mengeluarkan zakat fithri di awal Ramadhan. Tapi yang sunnah adalah satu atau dua hari (sebelum 'Id) berdasarkan perbuatan Ibnu 'Umar.

Maka apabila penunaian zakat itu diakhirkan (setelah) shalat maka dianggap sebagai shadaqah berdasarkan hadits Ibnu 'Abbas: "... Barangsiapa yang menunaikan zakatnya sebelum shalat maka dia adalah zakat yang diterima, dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat maka dia adalah merupakan suatu shadaqah dari beberapa shadaqah (yang ada)." (HR. Al-Hakim no.1488 dan beliau berkata: ini hadits shahih) 

8. Hikmah Zakat

Allah subhanahu wa ta'ala mewajibkan zakat sebagai pensucian diri bagi orang-orang yang berpuasa dari (perbuatan) sia-sia dan kotor serta sebagai makanan bagi orang-orang miskin untuk mencukupi (kebutuhan) mereka pada hari yang bagus tersebut berdasarkan hadits dari Ibnu 'Abbas yang telah lalu. Wallaahu A'lam.

(Sumber Bacaan: Shifat Shaumin Nabi; Taisiirul 'Allaam; Ad-Durarul Bahiyyah; Shahiih Al-Bukhaariy dan Shahiih Muslim)

Sumber: Buletin Jumat Al-Wala` Wal-Bara` edisi ke-49 Tahun ke-2 / 29 Oktober 2004 M / 15 Ramadhan 1425 H.

Perkataan Seseorang Boleh Diterima dan Ditolak Kecuali Rasulullah

Pertanyaan:

Assalaamu'alaikum. Bukankah perkataan seseorang itu boleh diterima dan boleh ditolak, kecuali perkataan Rasulullah. Bagaimana dengan perkataan Sayyid Quthb?

Jawaban:

Wa'alaikumus salaam warahmatullaah. Memang benar perkataan seseorang boleh diterima dan boleh ditolak kecuali perkataan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana ucapannya para 'ulama di antaranya Al-Imam Malik. Artinya kalau perkataan seseorang itu tidak sesuai dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah maka ditolak tetapi kalau sesuai maka diterima.

Maka demikian juga ucapan Sayyid Quthb, bahkan kalau kita baca ucapan-ucapan dia, maka kebanyakan ucapannya menyelisihi Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah. Di antara ucapannya adalah:
"Risalah Islam adalah revolusi terhadap fanatisme agama, yaitu sejak Islam mendeklarasikan kebebasan beragama dalam bentuknya yang spektakuler, seperti yang ditegaskan di dalam firman Allah:
لَآ إِكْرَاهَ فِى ٱلدِّينِ
"Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama Islam)." (Al-Baqarah:256)"

Serta ucapan-ucapan lainnya yang tidak sejalan dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah. (Lihat kitab Al-'Awaashim Maa fii Kutubi Sayyid Quthb yang ditulis oleh Asy-Syaikh Rabi' bin Hadi Al-Madkhaliy, suatu kitab yang membantah berbagai pemikiran dan tulisan-tulisannya Sayyid Quthb)

Maka janganlah kita fanatik terhadap seseorang, tetapi kita harus fanatik kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah dengan pemahaman Salafush Shalih. Siapa saja yang mencocokinya, kita terima dan siapa saja yang menyelisihinya maka kita tolak.

Wallaahu A'lam.

Sumber: Buletin Jumat Al-Wala` Wal-Bara` edisi ke-48 Tahun ke-2 / 22 Oktober 2004 M / 08 Ramadhan 1425 H.

Batasan Seseorang Dikatakan Baligh

Pertanyaan:

Assalaamu'alaikum. Ustadz hafizhakallaah, bagaimana batasan seorang laki-laki dikatakan telah baligh? Karena anak kecil sekarang bertingkah seperti orang dewasa. Jazaakallaahu khairaa atas jawaban ustadz.

Jawaban:

Wa'alaikumus salaam warahmatullaah. Seorang laki-laki telah dianggap baligh ketika sudah mimpi basah (mimpi melakukan jima') dan keluar air mani atau keluar bulu kemaluan atau sudah berumur 15 tahun. Walaupun belum berumur 15 tahun tetapi kalau sudah bermimpi basah dan keluar air mani maka sudah baligh.

Adapun seorang wamita dikatakan baligh apabila sudah mimpi basah dan keluar air mani atau keluar bulu kemaluan atau telah datang haidh (menstruasi) atau telah berumur 15 tahun. Lihat keterangan para 'ulama tentang ini seperti Asy-Syaikh Ibnu Baz dan Asy-Syaikh Ibnu 'Utsaimin.

Sumber: Buletin Jumat Al-Wala` Wal-Bara` edisi ke-48 Tahun ke-2 / 22 Oktober 2004 M / 08 Ramadhan 1425 H.

Pembatal Puasa dan Hal-hal yang Dibolehkan bagi Orang yang Berpuasa

Pembatal Puasa


Di antara rukun puasa adalah meninggalkan segala sesuatu yang membatalkannya dari terbit fajar (mulainya waktu shalat shubuh) sampai tenggelamnya matahari, di samping berniat di malam hari sebelum fajar untuk melaksanakan puasa Ramadhan. Maka di sini akan dibahas hal-hal yang dapat membatalkan dan merusak puasa seseorang, yaitu:

1. Makan dan Minum dengan Sengaja

Allah berfirman:
وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامِ إِلَى اللَّيْلِ
"Makan dan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam." (Al-Baqarah:187)

Namun jika seseorang lupa maka puasanya tidak batal, berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
إِذَا نَسِيَ فَأَكَلَ وَشَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْمَعَهُ اللهُ وَسَقَاهُ
"Jika ia lupa lalu makan dan minum maka hendaklah ia sempurnakan puasanya karena sesungguhnya Allah yang memberinya makan dan minum." (HR. Al-Bukhariy no.1831 dan Muslim no.1155)

Dan juga sabdanya:
إِنَّ اللهَ وَضَعَ عَنْ أُمَّتِيْ: اَلْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَااسْتُكْرِهُوْا عَلَيْهِ
"Allah meletakkan (tidak menghukum) ummatku karena salah atau lupa atau karena dipaksa." (HR. Al-Hakim 2/198, Ad-Daraquthniy dari Ibnu 'Abbas dan sanadnya shahih)

2. Keluar Darah Haidh dan Nifas

Hal ini sebagaimana dikatakan 'A`isyah:
كَانَ يُصِيْبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَوْمِ وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ
"Adalah kami mengalami hal itu (yaitu haidh), maka kami diperintahkan untuk mengqadha` puasa dan tidak diperintahkan mengqadha` shalat." (Muttafaqun 'alaih)

3. Melakukan Jima' (Hubungan Suami Istri) di Siang Hari Ramadhan

Hal ini berdasarkan dalil Al-Qur`an, As-Sunnah dan kesepakatan para 'ulama. Bagi yang melakukannya diharuskan membayar kaffarah yaitu membebaskan budak, bila tidak mampu maka berpuasa dua bulan secara berturut-turut, dan bila tidak mampu juga maka memberi makan 60 orang miskin.

Jumhur 'ulama berpendapat wajibnya membayar puasa (mengqadha`) bagi yang merusak puasanya dengan jima' dengan alasan bahwa puasa yang diwajibkan kepadanya belum ia laksanakan (karena batal disebabkan jima'), maka puasa itu masih menjadi tanggungannya.

Hukum ini berlaku secara umum baik bagi laki-laki maupun perempuan.

Adapun apabila seseorang melakukan hubungan suami-istri karena lupa bahwa dia sedang berpuasa, maka pendapat yang kuat dari para 'ulama adalah puasanya tidak batal, tidak ada qadha` dan tidak pula kaffarah. Hal ini sebagaimana hadits Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ نَاسِيًا فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ وَلَا كَفَّارَةَ
"Barangsiapa yang berbuka sehari di bulan Ramadhan karena lupa, maka tidak ada qadha` atasnya dan tidak ada kaffarah (baginya)." (HR. Al-Baihaqiy 4/229, Ibnu Khuzaimah 3/1990, Ad-Daraquthniy 2/178, Ibnu Hibban 8/3521 dan Al-Hakim 1/595, dengan sanad yang shahih)

Kata ifthaar mencakup makan, minum dan bersetubuh (jima'). Inilah pendapat jumhur 'ulama dan dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Asy-Syaukaniy.

4. Suntikan yang Mengandung Makanan

Yaitu suntikan yang kedudukannya sebagai pengganti makanan maka hal ini membatalkan puasa, karena nash-nash syari'at bila didapatkan pada sesuatu yang termasuk dalam penggambaran yang sama maka dihukumi sama seperti yang terdapat dalam nash.

Gambarannya adalah menyalurkan zat makanan ke perut dengan maksud memberi makanan bagi orang sakit. Suntikan seperti ini membatalkan puasa, karena memasukkan makanan kepada orang yang berpuasa. Adapun jika suntikan tersebut tidak sampai kepada perut tetapi hanya ke darah, maka itupun juga membatalkan puasa, karena cairan tersebut kedudukannya menggantikan kedudukan makanan dan minuman. Kebanyakan orang yang pingsan dalam jangka waktu yang lama diberikan makanan dengan cara seperti ini, demikian pula yang dipakai oleh sebagian orang yang sakit asma, inipun membatalkan puasa.

Hal-hal yang Diperbolehkan bagi Orang yang Berpuasa


1. Bersiwak

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Jika aku tidak memberatkan ummatku, niscaya akan kuperintahkan mereka bersiwak setiap hendak wudhu`." (Muttafaqun 'alaih) Dan dalam lafazh lain: "setiap hendak shalat."

Ini berlaku untuk siwak. Adapun pasta gigi maka berbeda dengan siwak. Jika dikhawatirkan ketika memakai pasta gigi di siang hari akan terasa rasa pasta giginya atau khawatir tertelan maka sebaiknya dihindari.

2. Masuknya Waktu Fajar dalam Keadaan Junub

Hal ini berdasarkan hadits 'A`isyah dan Ummu Salamah bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mendapati waktu fajar dalam keadaan junub setelah berjima' dengan istrinya, kemudian beliau mandi dan berpuasa. (Muttafaqun 'alaih)

3. Berkumur-kumur dan Memasukkan Air ke dalam Hidung, Asalkan Tidak Berlebihan

Laqith bin Shabirah meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Dan bersungguh-sungguhlah kalian dalam beristinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung ketika wudhu`) kecuali bila kalian dalam keadaan berpuasa." (HR. Abu Dawud 1/132, At-Tirmidziy 3/788, An-Nasa`iy 1/66 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albaniy)

4. Menggauli Istri selain Jima'

Sebagaimana yang dikatakan oleh 'A`isyah:
"Adalah Rasulullah mencium (istrinya) dalam keadaan beliau bepuasa dan menggaulinya (tetapi bukan jima') dalam keadaan beliau berpuasa." (Muttafaqun 'alaih)

Akan tetapi bagi orang yang khawatir akan keluarnya mani dan terjatuh pada perbuatan jima' karena syahwatnya yang kuat, maka yang terbaik baginya adalah menghindari perbuatan tersebut. Karena puasa bukanlah sekedar meninggalkan makan atau minum, tetapi juga meninggalkan syahwatnya. Rasulullah bersabda:
"(Orang yang berpuasa) itu meninggalkan syahwatnya dan makannya karena Aku." (HR. Muslim)

Dan beliau juga bersabda:
"Tinggalkan hal-hal yang meragukanmu kepada yang tidak meragukanmu." (HR. At-Tirmidziy dan An-Nasa`iy, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albaniy dalam Al-Irwa`)

5. Mencicipi Makanan dan Menciumnya, Asalkan Tidak Masuk ke dalam Kerongkongannya

Berkata Ibnu 'Abbas:
"Tidak mengapa seseorang mencicipi cuka atau sesuatu (yang lain) selama tidak masuk kerongkongannya dalam keadaan dia berpuasa." (Diriwayatkan Al-Bukhariy secara mu'allaq dan disambung sanadnya oleh Ibnu Abi Syaibah 3/47 dan Al-Baihaqiy 4/261, hadits ini hasan, lihat Taghliiqut Ta'liiq 3/151-152)

6. Mandi di Siang Hari Ramadhan

Al-Imam Al-Bukhariy menyatakan dalam kitab Shahihnya: "Bab Mandinya orang yang puasa". Dan 'Umar membasahi bajunya kemudian memakainya ketika dia dalam keadaan puasa. Asy-Sya'biy masuk kamar mandi dalam keadaan berpuasa.

Al-Hasan berkata: "Tidak mengapa berkumur-kumur dan memakai air dingin dalam keadaan puasa."

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengguyurkan air ke kepalanya dalam keadaan berpuasa karena haus atau kepanasan. (HR. Abu Dawud no.2365, Ahmad 5/376, 380, 408, 430, sanadnya shahih)

7. Bercelak, Memakai Tetes Mata dan Lainnya yang Masuk ke Mata

Benda-benda ini tidak membatalkan puasa, baik rasanya yang dirasakan di tenggorokkan atau tidak. Inilah yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam risalahnya yang bermanfaat dengan judul Haqiiqatush Shiyaam dan murid beliau yaitu Ibnul Qayyim dalam kitabnya Zaadul Ma'aad.

Al-Imam Al-Bukhariy berkata dalam Shahihnya: "Anas bin Malik, Hasan Al-Bashriy dan Ibrahim An-Nakha'iy memandang, tidak mengapa bagi yang berpuasa." (Fathul Baarii 4/153 hubungkan dengan Mukhtashar Shahih Al-Bukhariy 451 karya Asy-Syaikh Al-Albaniy dan Taghliiqut Ta'liiq 3/151-152)

8. Menggunakan Suntikan yang Tidak Berkedudukan Sebagai Penggati Makanan

Maka hal ini tidaklah membatalkan puasa sebab gambarannya tidak seperti yang terdapat dalam nash baik lafazh maupun makna, tidak dikatakan makan dan tidak pula minum dan tidak pula termasuk dalam makna keduanya. Dan asalnya adalah sahnya puasa seorang muslim sampai meyakinkan pembatalnya berdasarkan dalil yang syar'i. (Lihat Fataawaa Islaamiyyah)

Akan tetapi sebaiknya orang yang sakit berbuka supaya tidak terjatuh ke dalam perkara yang syubhat.

9. Berbekam

Dahulu berbekam merupakan salah satu pembatal puasa, namun kemudian dihapus dan telah ada hadits shahih dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau berbekam ketika puasa. Hal ini berdasarkan riwayat dari Ibnu 'Abbas:
"Sesungguhnya Nabi berbekam, padahal beliau sedang berpuasa." (HR. Al-Bukhariy dalam Fathul Baarii 4/155 lihat Naasikhul Hadiits wa Mansuukhuh 334-338 karya Ibnu Syahin)

Wallahu A'lam.

Maraaji':
1. Shifatu Shaumin Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
2. Majalah Asy-Syari'ah Vol. I/No.03

Sumber: Buletin Jumat Al-Wala` Wal-Bara` edisi ke-48 Tahun ke-2 / 22 Oktober 2004 M / 08 Ramadhan 1425 H.

Hadits-hadits tentang Menuntut Ilmu

Pertanyaan:

Assalaamu'alaikum. Tentang hadits: "... tuntutlah ilmu sampai liang lahat", apa betul riwayat Al-Bukhariy? Bagaimana derajat hadits: "Thalabul 'ilmi fariidhatun 'alaa kulli muslim wa muslimah"? Harap dimuat. Syukran. (08122234***)

Jawaban:

Wa'alaikumus salaam warahmatullaah. Hadits yang menyatakan: "Tuntutlah ilmu dari buaian sampai liang lahat!" tidak terdapat baik dalam Shahih Al-Bukhariy, Muslim, Ash-haabus Sunan ataupun yang lainnya tetapi terdapat dalam kitab Kasyfuzh Zhunuun 1/51 yang tidak disebutkan sanad dan derajat keabsahannya, sehingga hadits tersebut tergolong dalam kategori hadits dha'if.

Sedangkan yang shahih adalah atsar yang diucapkan oleh 'ulama salaf seperti Al-Imam Ahmad bin Hanbal, beliau menyatakan: "Sesungguhnya aku menuntut ilmu sampai aku masuk kubur." dan ucapan 'ulama lainnya. (Lihat Miftaah Daaris Sa'aadah 1/74, diambil dari Aadaabu Thaalibil 'Ilmi hal73-74)

Demikian juga hadits: "Tuntutlah ilmu walaupun ke negeri Cina!" adalah hadits yang bathil. (Lihat Silsilatul Ahaadiits Adh-Dha'iifah jilid I nomor hadits:416, karya Asy-Syaikh Al-Albaniy)

Adapun hadits yang berbunyi: "Thalabul 'ilmi fariidhatun 'alaa kulli muslim wa muslimah." (Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim dan muslimah) adalah hadits dha'if sedangkan yang shahih bunyinya: "Thalabul 'ilmi fariidhatun 'alaa kulli muslim." {muslimah tentunya tercakup dalam lafazh 'muslim'} (HR. Ibnu Majah dan lainnya dari Anas bin Malik, lihat Shahiih At-Targhiib wat Targhiib jilid I nomor hadits:72 dan Shahiihul Jaami' nomor hadits:3808, keduanya karya Asy-Syaikh Al-Albaniy)

Dengan keterangan ini, berarti kita harus menggunakan lafazh yang terdapat dalam hadits yang shahih, jangan menggunakan lafazh yang terdapat dalam hadits yang dha'if walaupun maknanya sama karena kita dilarang menggunakan hadits yang dha'if.

Wallaahu A'lam.

Sumber: Buletin Jumat Al-Wala` Wal-Bara` edisi ke-47 Tahun ke-2 / 15 Oktober 2004 M / 01 Ramadhan 1425 H.

Kewajiban, Hikmah, & Adab-adab Puasa Ramadhan

Kewajiban Puasa Ramadhan


Puasa Ramadhan adalah suatu kewajiban yang jelas yang termaktub dalam Kitabullah, Sunnah Rasul-Nya dan ijma' kaum muslimin. Allah Ta'ala berfirman:
يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ ۝١٨٣ أَيَّامًا مَّعْدُودَ‌ٰتٍ ۚ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُۥ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُۥ ۚ وَأَن تَصُومُوا۟ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ ۝١٨٤ شَهْرُ رَمَضَانَ ٱلَّذِىٓ أُنزِلَ فِيهِ ٱلْقُرْءَانُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَـٰتٍ مِّنَ ٱلْهُدَىٰ وَٱلْفُرْقَانِ ۚ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ ٱلشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا۟ ٱلْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا۟ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَىٰكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barang siapa di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian. Dan hendaklah kalian mencukupkan bilangannya dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kalian, supaya kalian bersyukur." (Al-Baqarah:183-185)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Islam dibangun di atas lima hal: bersaksi bahwasanya tidak ada tuhan yang berhak diibadahi kecuali Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan dan haji ke Baitullah." (Muttafaqun 'alaih dari Ibnu 'Umar)

Sementara itu kaum muslimin bersepakat akan wajibnya puasa Ramadhan. Maka barangsiapa yang mengingkari kewajiban puasa Ramadhan, berarti dia telah murtad dan kafir, harus disuruh bertaubat. Kalau mau bertaubat dan mau mengakui kewajiban syari'at tadi maka dia itu muslim kembali. Jika tidak, dia harus dibunuh karena kekafirannya.

Puasa Ramadhan diwajibkan mulai pada tahun kedua hijriyyah. Ini berarti Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sempat melakukannya selama sembilan kali.

Puasa Ramadhan wajib bagi setiap muslim yang telah 'aqil baligh dan berakal sehat. Maka puasa tidak wajib bagi orang kafir dan tidak akan diterima pahalanya jika ada yang melakukannya sampai dia masuk Islam. Puasa juga tidak wajib bagi anak kecil sampai dia 'aqil baligh. 'Aqil balighnya ini diketahui ketika dia telah masuk usia 15 tahun atau tumbuh rambut kemaluannya atau keluar air mani (sperma) ketika bermimpi.

Ini bagi anak laki-laki, sementara bagi anak wanita ditandai dengan haidh (menstruasi). Maka jika seorang anak telah mendapati tanda-tanda ini, maka dia telah 'aqil baligh.

Akan tetapi dalam rangka sebagai latihan dan pembiasaan, sebaiknya seorang anak (yang belum baligh –pent) disuruh untuk berpuasa, jika kuat dan tidak membahayakannya.

Puasa juga tidak wajib bagi orang yang kehilangan akal, baik itu karena gila atau penyakit syaraf atau sebab lainnya. Berkenaan dengan inilah jika ada orang yang telah menginjak dewasa namun masih tetap idiot dan tidak berakal sehat, maka tidak wajib baginya berpuasa dan tidak pula menggantinya dengan membayar fidyah.

Hikmah dan Manfaat Puasa


Shaum (puasa) yang disyari'atkan dan difardhukan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya mempunyai hikmah dan manfaat yang banyak sekali. Di antara hikmah puasa adalah bahwasanya puasa itu merupakan ibadah yang bisa digunakan seorang hamba untuk bertaqarrub kepada Allah dengan meninggalkan kesenangan-kesenangan dunianya seperti makan, minum dan menggauli istri dalam rangka untuk mendapatkan ridha Rabbnya dan keberuntungan di kampung kemuliaan (yaitu kampung akhirat –pent).

Dengan puasa ini jelas bahwa seorang hamba akan lebih mementingkan kehendak Rabbnya daripada kesenangan-kesenangan pribadinya. Lebih cinta kampung akhirat daripada kehidupan dunia.

Hikmah puasa yang lain adalah bahwa puasa adalah sarana untuk menghadapi derajat takwa apabila seseorang melakukannya dengan sesungguhnya (sesuai dengan syari'at). Allah Ta'ala berfirman (yang artinya):
يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa." (Al-Baqarah:183)

Orang yang berpuasa berarti diperintahkan untuk bertakwa kepada Allah, yakni dengan mengerjakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Inilah tujuan agung dari disyari'atkannya puasa. Jadi bukan hanya sekedar melatih untuk meninggalkan makan, minum dan menggauli istri.

Apabila kita membaca ayat tersebut, maka tentulah kita mengetahui apa hikmah diwajibkannya puasa, yakni takwa dan menghambakan diri kepada Allah.

Adapun takwa adalah meninggalkan keharaman-keharaman, dan kata takwa ini ketika dimutlakkan (penggunaannya) maka mengandung makna mengerjakan perintah-perintah dan meninggalkan larangan-larangan, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
((مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزَّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ للهِ عَزَّ وَجَلَّ حَاجَةٌ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ))
"Barangsiapa yang tidak bisa meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta maka Allah tidak butuh terhadap amalan dia meninggalkan makanan dan minumannya." (HR. Al-Bukhariy no.1903)

Berdasarkan dalil ini, maka diperintahkan dengan kuat terhadap setiap orang yang berpuasa untuk mengerjakan segala kewajiban, demikian juga menjauhi hal-hal yang diharamkan baik berupa perkataan maupun perbuatan, maka tidak boleh mencela, ghibah (menggunjing orang lain), berdusta, mengadu domba antar mereka, menjual barang dagangan yang haram, mendengarkan apa saja yang haram untuk didengarkan seperti lagu-lagu, musik ataupun nasyid, yang itu semuanya dapat melalaikan dari ketaatan kepada Allah, serta menjauhi segala bentuk keharaman lainnya.

Apabila seseorang mengerjakan semuanya itu dalam satu bulan penuh dengan penuh keimanan dan mengharap pahala kepada Allah maka itu akan memudahkannya kelak untuk istiqamah di bulan-bulan tersisa lainnya dalam tahun tersebut.

Akan tetapi betapa sedihnya, kebanyakan orang yang berpuasa tidak membedakan antara hari puasanya dengan hari berbukanya, mereka tetap menjalani kebiasaan yang biasa mereka lakukan yakni meninggalkan kewajiban-kewajiban dan mengerjakan keharaman-keharaman, mereka tidak merasakan keagungan dan kehormatan puasa.

Perbuatan ini memang tidak membatalkan puasa tetapi mengurangi pahalanya, bahkan seringkali perbuatan-perbuatan tersebut merusak pahala puasa sehingga hilanglah pahalanya.

Hikmah puasa yang lainnya adalah seorang kaya akan mengetahui nilai nikmat Allah dengan kekayaannya itu di mana Allah telah memudahkan baginya untuk mendapatkan apa yang diinginkannya, seperti makan, minum dan menikah serta apa saja yang dibolehkan oleh Allah secara syar'i. Allah telah memudahkan baginya untuk itu. Maka dengan begitu ia akan bersyukur kepada Rabbnya atas karunia nikmat ini dan mengingat saudaranya yang miskin, yang ternyata tidak dimudahkan untuk mendapatkannya. Dengan begitu ia akan berderma kepadanya dalam bentuk shadaqah dan perbuatan yang baik lainnya.

Di antara hikmah puasa juga adalah melatih seseorang untuk menguasai dan berdisiplin dalam mengatur jiwanya. Sehingga ia akan mampu memimpin jiwanya untuk meraih kebahagiaan dan kebaikannya di dunia dan di akhirat serta menjauhi sifat kebinatangan. 

Puasa juga mengandung berbagai macam manfaat kesehatan yang direalisasikan dengan mengurangi makan dan mengistirahatkan alat pencernaan pada waktu-waktu tertentu serta mengurangi kolesterol yang jika terlalu banyak akan membahayakan tubuh. Juga manfaat lainnya dari puasa sangat banyak.

Adab-adab Berpuasa


1. Bahwasanya wajib bagi seorang muslim untuk berpuasa dengan penuh keimanan dan mengharap pahala kepada Allah semata, bukan karena riya`, sum'ah, taqlid kepada manusia, mengikuti keluarganya atau penduduk negerinya bahkan wajib baginya bahwa yang membawanya berpuasa adalah keimanannya bahwasanya Allah telah mewajibkan puasa tersebut kepadanya dan mengharap pahala di sisi-Nya dalam melaksanakan puasa tersebut. Demikian juga shalat malam di bulan Ramadhan (shalat tarawih –pent), hendaklah bagi seorang muslim untuk mengerjakannya karena penuh keimanan dan mengharap pahala kepada-Nya, karena inilah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa berpuasa pada bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala kepada Allah maka diampuni dosanya yang telah lalu, dan barangsiapa yang shalat di malam harinya (shalat tarawih) karena iman dan mengharap pahala kepada-Nya maka diampuni dosanya yang telah lalu dan barangsiapa yang shalat malam bertepatan dengan datangnya lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala kepada-Nya maka diampuni dosanya yang telah lalu."

2. Termasuk adab terpenting dalam berpuasa adalah membiasakan diri kita bertakwa kepada Allah dengan mengerjakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya, sesuai dengan firman Allah:
يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa." (Al-Baqarah:183)

Sesuai pula dengan sabda Nabi:
"Barangsiapa yang tidak bisa meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta maka Allah tidak butuh terhadap amalan dia meninggalkan makanan dan minumannya." (HR. Al-Bukhariy no.1903)

3. Menjauhi apa yang diharamkan Allah berupa kebohongan, mencela, mencaci, menipu, khianat, melihat sesuatu yang haram seperti melihat lawan jenisnya yang bukan mahramnya, mendengarkan hal yang haram seperti musik, nyanyian, mendengarkan ghibah, ucapan dusta dan sejenisnya, serta perbuatan haram lainnya yang harus dijauhi oleh orang yang sedang berpuasa dan selainnya, akan tetapi terhadap orang yang puasa lebih dikuatkan perintahnya.

4. Memperbanyak shadaqah, amal kebaikan, berbuat baik kepada orang lain, terutama di bulan Ramadhan. Sungguh Rasulullah adalah orang yang paling dermawan, beliau menjadi lebih dermawan lagi di bulan Ramadhan tatkala Jibril menjumpainya untuk bertadarrus Al-Qur`an. (Lihat HR. Al-Bukhariy no.1902)

5. Makan sahur dan mengakhirkannya, sesuai sabda Nabi: "Makan sahurlah kalian karena di dalam sahur ada barakah." (HR. Al-Bukhariy no.1923 dan Muslim no.1095)

6. Berbuka puasa dengan ruthab (kurma basah), jika tidak didapatkan boleh dengan tamr (kurma kering), jika itupun tidak diperoleh maka dengan air, menyegerakan berbuka tatkala telah jelas benar tenggelamnya matahari, berdasarkan sabda Nabi: "Senantiasa manusia berada dalam kebaikan selagi mereka menyegerakan berbuka puasa." (Muttafaqun 'alaih dari Sahl bin Sa'ad As-Sa'idiy)

{Diambil dari kitab Fataawash Shiyaam karya Asy-Syaikh Ibnu 'Utsaimin, Fataawash Shiyaam karya Asy-Syaikh Ibnu Baz dan lain-lain serta kitab Fataawal 'Aqiidah wa Arkaanil Islaam karya Asy-Syaikh Ibnu 'Utsaimin dengan beberapa perubahan}

Wallaahu A'lam.

Sumber: Buletin Jumat Al-Wala` Wal-Bara` edisi ke-47 Tahun ke-2 / 15 Oktober 2004 M / 01 Ramadhan 1425 H.