Cari Blog Ini

Mewaspadai Pembatal Keislaman

﷽ 

قَالَ الشَّيۡخُ الۡإِمَامُ مُحَمَّدُ بۡنُ عَبۡدِ الۡوَهَّابِ -رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى-: 

اعۡلَمۡ أَنَّ نَوَاقِضَ الۡإِسۡلَامِ عَشَرَةُ نَوَاقِضَ: 

Syekh Imam Muhammad bin ‘Abdul Wahhab—rahimahullah ta’ala—berkata: Ketahuilah! Sesungguhnya pembatal keislaman ada sepuluh.[1]


Syekh Shalih bin Fauzan bin 'Abdullah Al-Fauzan--hafizhahullah--berkata di dalam syarahnya:

[1] ﷽ 

الۡحَمۡدُ لِلهِ رَبِّ الۡعَالَمِينَ، وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِهِ وَأَصۡحَابِهِ أَجۡمَعِينَ. 

قَالَ الشَّيۡخُ رَحِمَهُ اللهُ: (اعۡلَمۡ) يَعۡنِي: تَعَلَّمۡ وَافۡهَمۡ، وَهَٰذِهِ الۡكَلِمَةُ يُؤۡتَى بِهَا لِلۡأَهَمِّيَّةِ، وَالتَّنۡبِيهِ عَلَى أَهَمِّيَّةِ مَا بَعۡدَهَا. 

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Semoga Allah mencurahkan selawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga beliau, dan sahabat beliau seluruhnya.

Syekh—rahimahullah—berkata, “Ketahuilah!” Yakni: pelajarilah dan pahamilah! Kata ini dibawakan (oleh mualif) karena urgensinya dan agar pembaca memperhatikan urgensi materi yang beliau sampaikan setelahnya.

(أَنَّ نَوَاقِضَ الۡإِسۡلَامِ عَشَرَةٌ) النَّوَاقِضُ: جَمۡعُ نَاقِضٍ، وَهِيَ الۡمُبۡطِلَاتُ، مِثۡلُ نَوَاقِضِ الۡوُضُوءِ، أَيۡ: مُبۡطِلَاتُهُ، تُسَمَّی بِالنَّوَاقِضِ، وَتُسَمَّى بِأَسۡبَابِ الرِّدَّةِ أَوۡ أَنۡوَاعِ الرِّدَّةِ، وَمَعۡرِفَتُهَا مُهِمَّةٌ جِدًّا لِلۡمُسۡلِمِ مِنۡ أَجۡلِ أَنۡ يَتَجَنَّبَهَا وَيَحۡذَرَ مِنۡهَا؛ لِأَنَّ الۡمُسۡلِمَ إِذَا لَمۡ يَعۡرِفۡهَا فَإِنَّهُ يُخۡشَى أَنۡ يَقَعَ فِي شَيۡءٍ مِنۡهَا، وَهِيَ مِنَ الۡخُطُورَةِ وَالۡأَهَمِّيَّةِ بِمَكَانٍ؛ لِأَنَّهَا نَوَاقِضُ الۡإِسۡلَامِ وَمُبۡطِلَاتُهُ، وَمَعۡرِفَةُ أَسۡبَابِ الرِّدَّةِ عَنِ الۡإِسۡلَامِ مُهِمَّةٌ جِدًّا. 

“Sesungguhnya pembatal keislaman ada sepuluh.” Nawaqidh adalah bentuk jamak dari naqidh yang berarti pembatal-pembatal. Contoh: nawaqidh al-wudhu` artinya pembatal-pembatal wudu. Selain dinamai dengan nawaqidh, dinamai pula dengan sebab-sebab kemurtadan atau jenis-jenis kemurtadan. 

Pengetahuan tentangnya merupakan perkara yang amat penting bagi seorang muslim agar dia bisa menjauhi dan mewaspadainya. Sesungguhnya seorang muslim apabila tidak mengetahuinya, maka dikhawatirkan dia akan terjatuh dalam perkara yang termasuk padanya. Ini perkara yang berbahaya dan sangat penting karena ini merupakan pembatal-pembatal keislaman. Pengetahuan terhadap sebab-sebab kemurtadan dari agama Islam sangatlah penting. 

وَالرِّدَّةُ عَنِ الۡإِسۡلَامِ: مَعۡنَاهَا الرُّجُوعُ عَنِ الۡإِسۡلَامِ، مِنۡ: ارۡتَدَّ، إِذَا رَجَعَ، قَالَ تَعَالَى: ﴿وَلَا تَرۡتَدُّوا۟ عَلَىٰٓ أَدۡبَارِكُمۡ فَتَنقَلِبُوا۟ خَـٰسِرِينَ﴾ [المائدة: ۲۱]. وَقَالَ سُبۡحَانَهُ: ﴿وَمَن يَرۡتَدِدۡ مِنكُمۡ عَن دِينِهِۦ فَيَمُتۡ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُو۟لَـٰٓئِكَ حَبِطَتۡ أَعۡمَـٰلُهُمۡ فِى ٱلدُّنۡيَا وَٱلۡءَاخِرَةِ ۖ وَأُو۟لَـٰٓئِكَ أَصۡحَـٰبُ ٱلنَّارِ ۖ هُمۡ فِيهَا خَـٰلِدُونَ﴾ [البقرة: ۲۱۷] وَهَٰذَا تَحۡذِيرٌ شَدِيدٌ مِنَ اللهِ لِلۡمُؤۡمِنِينَ، ﴿وَمَن يَرۡتَدِدۡ مِنكُمۡ﴾ أَيُّهَا الۡمُؤۡمِنُونَ ﴿عَن دِينِهِۦ فَيَمُتۡ وَهُوَ كَافِرٌ﴾ وَلَمۡ يَتُبۡ قَبۡلَ الۡمَوۡتِ وَيَرۡجِعۡ إِلَى الۡإِسۡلَامِ، فَقَدۡ ﴿حَبِطَتۡ أَعۡمَـٰلُهُمۡ﴾ أَيۡ: بَطَلَتۡ ﴿فِى ٱلدُّنۡيَا وَٱلۡءَاخِرَةِ ۖ وَأُو۟لَـٰٓئِكَ أَصۡحَـٰبُ ٱلنَّارِ ۖ هُمۡ فِيهَا خَـٰلِدُونَ﴾. 

Murtad dari Islam bermakna kembali (kafir) dari Islam, dari kata irtadda yang berarti kembali. Allah taala berfirman, “Janganlah kalian kembali ke belakang sehingga kalian berbalik dalam keadaan rugi.” (QS. Al-Ma`idah: 21). 

Allah—subhanahu—berfirman, “Siapa saja di antara kalian yang murtad dari agamanya lalu dia meninggal dalam keadaan kafir, maka amalan mereka itu terhapus di dunia dan akhirat. Dan mereka itu penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah: 217). 

Ini adalah peringatan keras dari Allah untuk kaum mukminin. “Siapa saja di antara kalian yang murtad,” wahai kaum mukminin, “dari agamanya lalu dia meninggal dalam keadaan kafir.” Dia belum bertobat sebelum meninggal dan kembali kepada agama Islam. Maka sungguh “amalan mereka terhapus”, yakni batal. “Di dunia dan akhirat. Dan mereka itu adalah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.” 

﴿إِنَّ ٱلَّذِينَ ٱرۡتَدُّوا۟ عَلَىٰٓ أَدۡبَـٰرِهِم مِّنۢ بَعۡدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ ٱلۡهُدَىۙ ٱلشَّيۡطَـٰنُ سَوَّلَ لَهُمۡ وَأَمۡلَىٰ لَهُمۡ﴾ [محمد: ٢٥]. 

“Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (kepada kekafiran) setelah petunjuk jelas bagi mereka, maka setan telah membuat mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka.” (QS. Muhammad: 25). 

﴿يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مَن يَرۡتَدَّ مِنكُمۡ عَن دِينِهِۦ فَسَوۡفَ يَأۡتِى ٱللَّهُ بِقَوۡمٍ يُحِبُّهُمۡ وَيُحِبُّونَهُۥٓ أَذِلَّةٍ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى ٱلۡكَـٰفِرِينَ﴾ [المائدة: ٥٤]، ﴿مَن يَرۡتَدَّ مِنكُمۡ عَن دِينِهِۦ﴾ يَرۡجِعُ عَنۡ دِينِهِ، فَفِي هَٰذِهِ الۡآيَاتِ التَّحۡذِيرُ مِنَ الرِّدَّةِ وَالۡوَعِيدُ عَلَيۡهَا. 

“Wahai sekalian orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kalian yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Dia mencintai mereka dan mereka mencintai-Nya. Mereka bersikap lembut terhadap orang-orang mukmin dan bersikap keras terhadap orang-orang kafir.” (QS. Al-Ma`idah: 54). “Barang siapa di antara kalian yang murtad dari agamanya”, kembali dari agamanya (kepada kekafiran). Di dalam ayat ini ada peringatan dari kemurtadan dan ancaman atasnya. 

وَأَمَّا الۡأَحَادِيثُ: 

فَقَدۡ قَالَ ﷺ: (لَا يَحِلُّ دَمُ امۡرِئٍ مُسۡلِمٍ إِلَّا بِإِحۡدَى ثَلَاثٍ: الثَّيِّبُ الزَّانِي، وَالنَّفۡسُ بِالنَّفۡسِ، وَالتَّارِكُ لِدِينِهِ -هَٰذَا هُوَ الشَّاهِدُ- الۡمُفَارِقُ لِلۡجَمَاعَةِ)، وَقَالَ ﷺ: (مَنۡ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقۡتُلُوهُ)، فَإِنۡ كَانَ الۡمُرۡتَدُّونَ جَمَاعَةً لَهُمۡ شَوۡكَةٌ فَإِنَّهُمۡ يُقَاتَلُونَ كَمَا قَاتَلَ أَبُو بَكۡرٍ الصِّدِّيقُ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ الۡمُرۡتَدِّینَ، حَتَّی أَخۡضَعَهُمۡ لِلۡإِسۡلَامِ، وَقُتِلَ مَنۡ قُتِلَ مِنۡهُمۡ عَلَى رِدَّتِهِ، وَتَابَ مَنۡ تَابَ مِنۡهُمۡ، فَقَاتَلَهُمۡ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ مُحَقِّقًا بِذٰلِكَ قَوۡلَهُ تَعَالَى: ﴿يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مَن يَرۡتَدَّ مِنكُمۡ عَن دِينِهِۦ فَسَوۡفَ يَأۡتِى ٱللَّهُ بِقَوۡمٍ يُحِبُّهُمۡ وَيُحِبُّونَهُۥٓ أَذِلَّةٍ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى ٱلۡكَـٰفِرِينَ يُجَـٰهِدُونَ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوۡمَةَ لَآئِمٍۚ﴾ [المائدة ٥٤]. 

Adapun hadis-hadis, Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—telah bersabda, “Darah seorang muslim tidak halal kecuali dengan sebab salah satu dari tiga hal. Orang yang sudah pernah menikah berzina, jiwa dibalas dengan jiwa, dan orang yang meninggalkan agamanya—inilah yang jadi dalil—yang memisahkan diri dari jemaah (kaum muslimin).” 

Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—juga bersabda, “Barang siapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah dia!” 

Jika orang-orang yang murtad merupakan sekelompok orang yang memiliki kekuatan, maka mereka diperangi sebagaimana Abu Bakr Ash-Shiddiq—radhiyallahu ‘anhu—memerangi orang-orang murtad. Hingga beliau menundukkan mereka kepada Islam, dibunuhlah di antara mereka orang yang dibunuh dalam keadaan murtad, dan sebagian mereka ada yang bertobat. Abu Bakr—radhiyallahu ‘anhu—memerangi mereka untuk melaksanakan firman Allah taala, “Wahai sekalian orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kalian yang kembali dari agamanya (kepada kekafiran), maka kelak Allah akan datangkan suatu kaum yang Dia mencintai mereka dan mereka mencintai-Nya. Kaum itu bersikap lembut kepada sesama mukmin dan bersikap keras terhadap orang-orang kafir. Mereka berjihad di jalan Allah dan tidak takut celaan orang yang mencela.” (QS. Al-Ma`idah: 54). 

قَالَ الۡعُلَمَاءُ: هَٰذِهِ الۡآيَةُ نَزَلَتۡ فِي أَبِي بَكۡرٍ الصِّدِّيقِ وَأَصۡحَابِهِ الَّذِينَ قَاتَلُوا الۡمُرۡتَدِّينَ؛ لِأَنَّهُ يُخۡبِرُ تَعَالَى عَنِ الۡمُسۡتَقۡبَلِ ﴿مَن يَرۡتَدَّ﴾ هَٰذَا فِي الۡمُسۡتَقۡبَلِ، ﴿فَسَوۡفَ يَأۡتِى ٱللَّهُ﴾ جَاءَ اللهُ بِأَبِي بَكۡرٍ الصِّدِّيقِ وَصَحَابَةِ رَسُولِ اللهِ ﷺ فَقَاتَلُوا الۡمُرۡتَدِّینَ. 

Ulama mengatakan: Ayat ini turun berkenaan Abu Bakr Ash-Shiddiq dan para sahabat beliau yang memerangi orang-orang murtad, karena Allah taala mengabarkan tentang masa yang akan datang, “Barang siapa yang murtad.” Ini di masa yang akan datang. “Maka kelak Allah akan mendatangkan,” Allah mendatangkan Abu Bakr Ash-Shiddiq dan para sahabat Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—lalu mereka memerangi orang-orang murtad. 

وَإِنۡ كَانَ الۡمُرۡتَدُّ شَخۡصًا وَاحِدًا فَإِنَّهُ يُؤۡخَذُ وَيُسۡتَتَابُ، فَإِنۡ تَابَ وَإِلَّا قُتِلَ، وَلَيۡسَ هُوَ مِثۡلَ الۡكَافِرِ الۡأَصۡلِيِّ؛ لِأَنَّ الۡمُرۡتَدَّ عَرَفَ الۡحَقَّ، وَدَخَلَ فِي دِينِ اللهِ بِاخۡتِيَارِهِ وَطَوۡعِهِ، وَاعۡتَرَفَ أَنَّ الۡإِسۡلَامَ هُوَ الۡحَقُّ، فَإِذَا ارۡتَدَّ فَهَٰذَا تَلَاعُبٌ مِنۡهُ بِالدِّينِ؛ لِأَنَّهُ عَرَفَ الۡحَقَّ وَدَخَلَ فِيهِ، فَإِذَا ارۡتَدَّ فَإِنَّهُ يُقۡتَلُ حِمَايَةً لِلۡعَقِيدَةِ، وَهَٰذَا مِنۡ حِفۡظِ الضَّرُورِيَّاتِ الۡخَمۡسِ أَوَّلُهَا الدِّينُ، فَلَا يُتۡرَكُ الدِّينُ أُلۡعُوبَةً لِمَنۡ يُسۡلِمُ ثُمَّ يَرۡتَدُّ، بَلۡ يُقۡتَلُ حِمَايَةً لِلۡعَقِيدَةِ مِنَ التَّلَاعُبِ، وَمِنَ الۡمُرۡتَدِّينَ مَنۡ يُقۡتَلُ بِدُونِ اسۡتِتَابَةٍ، وَهُوَ مَنۡ تَغَلَّظَتۡ رِدَّتُهُ، فَإِنَّهُ يُقۡتَلُ وَلَا يُسۡتَتَابُ حِمَايَةً لِلدِّينِ، وَحِمَايَةً لِأَوَّلِ الضَّرُورِيَّاتِ الۡخَمۡسِ الَّتِي جَاءَ الۡإِسۡلَامُ بِحِفۡظِهَا. 

Jika yang murtad adalah satu orang, maka dia ditangkap dan dituntut untuk bertobat. Jika dia bertobat, maka itu yang diharapkan, namun apabila tidak, maka dia dihukum bunuh. Orang yang murtad tidak seperti orang yang kafir dari aslinya, karena orang yang murtad sudah mengetahui kebenaran dan sudah masuk ke dalam agama Allah dengan pilihannya dan kerelaan hatinya. Dia sudah mengakui bahwa Islam adalah benar. Jadi, ketika dia murtad, maka ini adalah sikap bermain-main dengan agama. 

Dia sudah mengetahui kebenaran dan telah memasukinya, sehingga ketika dia murtad, maka dia dihukum bunuh sebagai upaya perlindungan terhadap akidah. Ini termasuk penjagaan terhadap lima kebutuhan dasar manusia, yang pertamanya adalah agama. Jadi, agama tidak boleh dibiarkan sebagai bahan permainan bagi orang yang sudah masuk Islam lalu murtad. Orang yang demikian ini dihukum bunuh sebagai upaya perlindungan akidah dari sikap mempermainkan agama. 

Di antara orang-orang murtad, ada yang dihukum bunuh tanpa perlu dituntut untuk bertobat terlebih dahulu. Yaitu, orang yang kemurtadannya parah. Orang ini dihukum bunuh dan tidak dituntut untuk bertobat terlebih dahulu dalam rangka penjagaan terhadap agama ini dan penjagaan terhadap kebutuhan dasar yang pertama dari lima kebutuhan dasar yang dijaga oleh agama Islam. 

وَدِرَاسَةُ هَٰذِهِ النَّوَاقِضِ مُهِمَّةٌ جِدًّا، وَالۡعُلَمَاءُ صَنَفُوا فِيهَا مُصَنَّفَاتٍ، وَجَعَلُوا لَهَا مَكَانًا خَاصًّا فِي كُتُبِ الۡفِقۡهِ، وَهُوَ (حُكۡمُ الۡمُرۡتَدِّ)، فِي كُلِّ كِتَابٍ مِنۡ كُتُبِ الۡفِقۡهِ يَجۡعَلُونَ كِتَابًا يُسَمُّونَهُ (کِتَابَ حُكۡمِ الۡمُرۡتَدِّ) أَوۡ (بَابَ حُكۡمِ الۡمُرۡتَدِّ) فِي الۡمُطَوَّلَاتِ وَفِي الۡمُخۡتَصَرَاتِ. 

Mempelajari pembatal-pembatal ini adalah perkara yang sangat penting. Para ulama telah menyusun banyak karya tulis tentang ini. Mereka meletakkannya pada tempat khusus dalam kitab-kitab fikih, yaitu bab “Hukum Orang yang Murtad”. Di dalam setiap kitab dari kitab-kitab fikih, mereka membuat sebuah kitab yang mereka beri nama “Kitab Hukum Orang yang Murtad” atau “Bab Hukum Orang yang Murtad” di dalam kitab-kitab yang luas dan di dalam kitab-kitab yang ringkas. 

قَالُوا: وَالۡمُرۡتَدُّ هُوَ الَّذِي يَكۡفُرُ بَعۡدَ إِسۡلَامِهِ، إِمَّا لِاعۡتِقَادٍ بِقَلۡبِهِ، أَوۡ شَكٍّ يَحۡصُلُ لَهُ فِي أُمُورِ الدِّينِ، أَوۡ فِعۡلٍ: كَأَنۡ يَسۡجُدَ لِغَيۡرِ اللهِ، أَوۡ يَذۡبَحَ لِغَيۡرِ اللهِ، أَوۡ يَنۡذُرَ لِغَيۡرِ اللهِ، هَٰذَا فِعۡلٌ مَنۡ فَعَلَهُ فَقَدِ ارۡتَدَّ، أَوۡ قَوۡلٍ: بِأَنۡ يَتَكَلَّمَ بِسَبِّ اللهِ تَعَالَى أَوۡ سَبِّ الرَّسُولِ ﷺ، أَوۡ سَبِّ دِينِ الۡإِسۡلَامِ: ﴿قُلۡ أَبِٱللَّهِ وَءَايَـٰتِهِۦ وَرَسُولِهِۦ كُنتُمۡ تَسۡتَهۡزِءُونَ ۝٦٥ لَا تَعۡتَذِرُوا۟ قَدۡ كَفَرۡتُم بَعۡدَ إِيمَـٰنِكُمۡ ۚ﴾ [التوبة: ٦٥-٦٦] فَالرِّدَّةُ تَكُونُ بِالۡقَوۡلِ، وَتَكُونُ بِالۡفِعۡلِ، وَتَكُونُ بِالۡاِعۡتِقَادِ، وَتَكُونُ بِالشَّكِّ فِي شَيۡءٍ مِنۡ أُمُورِ الدِّينِ، كَمَنۡ شَكَّ فِي وُجُوبِ الصَّلَاةِ ، أَوۡ شَكَّ فِي وُجُوبِ الزَّكَاةِ ، أَوۡ شَكَّ فِي التَّوۡحِيدِ، فَإِنَّهُ يُكَفَّرُ، وَالشَّكُّ: هُوَ التَّرَدُّدُ بَيۡنَ أَمۡرَيۡنِ. 

Mereka berkata: Orang yang murtad adalah orang yang kafir setelah keislamannya. Baik karena iktikad hatinya, atau keraguan yang timbul dalam perkara agama, atau perbuatan seperti sujud kepada selain Allah, menyembelih untuk selain Allah, bernazar untuk selain Allah. Ini adalah perbuatan yang apabila dikerjakan, maka pelakunya murtad. Atau bisa berupa ucapan, dengan mengucapkan celaan terhadap Allah taala, celaan terhadap Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—, atau celaan terhadap agama Islam. 

“Katakanlah: Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kalian berolok-olok?! Tidak usah kalian beralasan. Kalian telah kafir setelah keimanan kalian.” (QS. At-Taubah: 65-66). 

Jadi kemurtadan bisa terjadi dengan ucapan, bisa dengan perbuatan, bisa dengan keyakinan, dan bisa dengan syak/keraguan dalam sebagian permasalahan agama. Seperti orang yang ragu tentang kewajiban salat, atau ragu tentang kewajiban zakat, atau ragu dalam hal tauhid, maka orang yang demikian dinyatakan kafir. Syak adalah kebimbangan di antara dua perkara. 

وَأَنۡوَاعُ الرِّدَّةِ كَثِيرَةٌ، وَالشَّيۡخُ رَحِمَهُ اللهُ ذَكَرَ فِي هَٰذِهِ الرِّسَالَةِ أَهَمُّهَا وَأَعۡظَمُهَا، وَإِلَّا فَالنَّوَاقِضُ كَثِيرَةٌ، وَسَتَجِدُونَهَا فِي كُتُبِ الۡفِقۡهِ فِي بَابِ حُكۡمِ الۡمُرۡتَدِّ، وَلِلشَّيۡخِ عَبۡدِ اللهِ ابۡنِ مُحَمَّدٍ –رَحِمَهُمُ اللهُ- رِسَالَةً اسۡمَهَا (الۡكَلِمَاتُ النَّافِعَةُ فِي الۡمُكَفِّرَاتِ الۡوَاقِعَةِ) وَهِيَ مَطۡبُوعَةٌ فِي (الدُّرَرِ السَّنِيَّةِ) وَغَيۡرِهَا؛ وَالۡآنَ لَمَّا فَشَا الۡجَهۡلُ وَاشۡتَدَّتۡ غُرۡبَةُ الدِّينِ، ظَهَرَ نَاسٌ مِنَ الَّذِينَ يَتَّسِمُونَ بِالۡعِلۡمِ، وَيَقُولُونَ: لَا تُكَفِّرُوا النَّاسَ، يَكۡفِي اسۡمُ الۡإِسۡلَامِ، يَكۡفِي أَنَّهُ يَقُولُ: أَنَا مُسۡلِمٌ، وَلَوۡ فَعَلَ مَا فَعَلَ، لَوۡ ذَبَحَ لِغَيۡرِ اللهِ، لَوۡ سَبَّ اللهَ وَرَسُولَهُ، لَوۡ فَعَلَ مَا فَعَلَ مَا دَامَ أَنَّهُ يَقُولُ: أَنَا مُسۡلِمٌ فَلَا تُكَفِّرۡهُ، وَعَلَى هَٰذَا يَدۡخُلُ فِي التَّسَمِّي بِالۡإِسۡلَامِ الۡبَاطِنِيَّةُ وَالۡقَرَامِطَةُ، وَيَدۡخُلُ فِيهِ الۡقُبُورِيُّونَ، وَيَدۡخُلُ فِيهِ الرَّوَافِضُ، وَيَدۡخُلُ فِيهِ الۡقَادِيَانِيَّةُ، وَيَدۡخُلُ فِيهِ كُلُّ مَنۡ يَدَّعِي الۡإِسۡلَامَ. 

Jenis-jenis kemurtadan ada banyak. Syekh—rahimahullah—dalam risalah ini menyebutkan yang paling penting dan paling agung saja. Sebenarnya pembatal-pembatal Islam ada banyak. Kalian akan mendapatinya di dalam kitab-kitab fikih dalam bab hukum orang yang murtad. Syaikh ‘Abdullah putra Muhammad—rahimahumullah—memiliki sebuah risalah yang berjudul Al-Kalimat An-Nafi’ah fi Al-Mukaffirat Al-Waqi’ah. Risalah ini dicetak di dalam kitab Ad-Durar As-Saniyyah dan selainnya. 

Sekarang, ketika kejahilan menyebar dan keterasingan agama semakin bertambah, muncullah orang-orang yang dianggap berilmu. Mereka mengatakan, “Janganlah kalian mengafirkan orang-orang. Cukuplah label Islam padanya. Sudah cukup dia mengatakan: Aku muslim. Walaupun dia melakuan perbuatan apa saja, walaupun dia menyembelih untuk selain Allah, walau dia mencela Allah dan Rasul-Nya. Andai dia melakukan perbuatan semaunya, selama dia mengatakan: Aku muslim; maka kalian jangan mengkafirkannya.” 

Atas dasar ucapan ini, maka aliran Bathiniyyah dan Qaramithah pun masuk ke dalam penamaan Islam. Masuk pula para pemuja kubur, masuk pula Rafidhah, masuk pula Qadiyaniyah, dan masuk pula semua orang yang mengaku Islam. 

يَقُولُونَ: لَا تُكَفِّرُوا أَحَدًا، وَلَوۡ فَعَلَ مَا فَعَلَ، أَوِ اعۡتَقَدَ مَا اعۡتَقَدَ، لَا تُفَرِّقُوا بَيۡنَ الۡمُسۡلِمِينَ، سُبۡحَانَ اللهِ!! نَحۡنُ لَا نُفَرِّقُ بَیۡنَ الۡمُسۡلِمِينَ، وَلَكِنۡ هَٰؤُلَاءِ لَيۡسُوا مُسۡلِمِينَ؛ لِأَنَّهُمۡ لَمَّا ارۡتَكَبُوا نَوَاقِضَ الۡإِسۡلَامِ خَرَجُوا مِنَ الۡإِسۡلَامِ. 

Mereka mengatakan, “Jangan kalian kafirkan seorang pun! Walaupun dia melakukan apa saja, atau berkeyakinan apa saja. Jangan pecah belah kaum muslimin!” 

Mahasuci Allah. Kita tidak memecah belah kaum muslimin. Mereka itu bukanlah muslimin karena mereka ketika telah melakukan pembatal-pembatal keislaman, berarti mereka telah keluar dari Islam. 

فَكَلِمَةُ لَا تُفَرِّقُوا بَيۡنَ الۡمُسۡلِمِينَ، كَلِمَةُ حَقٍّ وَالۡمُرَادُ بِهَا بَاطِلٌ، لِأَنَّ الصَّحَابَةَ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُمۡ لَمَّا ارۡتَدَّ مَنِ ارۡتَدَّ مِنَ الۡعَرَبِ بَعۡدَ وَفَاةِ النَّبِيِّ ﷺ قَاتَلُوهُمۡ، مَا قَالُوا: لَا تُفَرِّقُوا بَيۡنَ الۡمُسۡلِمِينَ؛ لِأَنَّهُمۡ لَيۡسُوا مُسۡلِمِينَ مَا دَامُوا عَلَى الرِّدَّةِ، وَهَٰذَا أَشَدُّ مِنۡ أَنَّكَ تَحۡكُمُ لِكَافِرٍ بِالۡإِسۡلَامِ، وَسَيَأۡتِيكُمۡ أَنَّ مِنَ الرِّدَّةِ: مَنۡ لَمۡ يُكَفِّرِ الۡكَافِرَ، أَوۡ شَكَّ فِي كُفۡرِهِ، فَهَٰذِهِ الۡمَسۡأَلَةُ وَهِيَ مَنۡ لَمۡ يُكَفِّرِ الۡكَافِرَ أَوۡ شَكَّ فِي كُفۡرِهِ فَهُوَ كَافِرٌ مِثۡلُهُ، وَهَٰؤُلَاءِ يَقُولُونَ: لَا تُكَفِّرُوا أَحَدًا وَلَوۡ فَعَلَ مَا فَعَلَ، مَا دَامَ أَنَّهُ يَقُولُ: لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ، أَنۡتُمۡ وَاجِهُوا الۡمَلَاحِدَةَ وَاتۡرُكُوا هَٰؤُلَاءِ الَّذِينَ يَدَّعُونَ الۡإِسۡلَامَ. 

Jadi kalimat “Jangan pecah belah kaum muslimin!” adalah kalimat yang benar, namun yang dimaukan dengannya adalah kebatilan. Para sahabat—radhiyallahu ‘anhum—ketika sebagian orang Arab murtad sepeninggal Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—, para sahabat memerangi mereka. Para sahabat tidak mengatakan: Jangan pecah belah kaum muslimin; karena orang-orang yang murtad itu bukan muslimin selama mereka tetap murtad. 

Penilaian bahwa orang murtad itu muslim lebih berbahaya daripada penilaian bahwa orang kafir itu muslim. Akan datang penjelasan kepada kalian bahwa termasuk murtad adalah orang yang tidak mengafirkan orang kafir atau ragu akan kekafirannya. Inilah permasalahannya, yaitu bahwa orang yang tidak mengafirkan orang kafir atau ragu akan kekafirannya, maka dia pun kafir semisal orang kafir tersebut. 

Akan tetapi mereka malah mengatakan, “Jangan kalian kafirkan seorang pun! Walaupun dia melakukan apa saja selama dia mengatakan ‘laa ilaaha illallah’. Kalian hadapi saja orang-orang ateis dan biarkan orang-orang yang mengaku Islam! 

نَقُولُ لَهُمۡ: هَٰؤُلَاءِ أَخۡطَرُ مِنَ الۡمَلَاحِدَةِ؛ لِأَنَّ الۡمَلَاحِدَةَ مَا ادَّعَوُا الۡإِسۡلَامَ وَلَا ادَّعَوۡا أَنَّ الَّذِي هُمۡ عَلَيۡهِ إِسۡلَامٌ، أَمَّا هَٰؤُلَاءِ فَيَخۡدَعُونَ النَّاسَ وَيَدَّعُونَ أَنَّ الۡكُفۡرَ هُوَ الۡإِسۡلَامُ، فَهَٰؤُلَاءِ أَشَدُّ مِنَ الۡمَلَاحِدَةِ، فَالرِّدَّةُ أَشَدُّ مِنَ الۡإِلۡحَادِ –وَالۡعِيَاذُ بِاللهِ-، فَيَجِبُ أَنۡ نَعۡرِفَ مَوۡقِفَنَا مِنۡ هَٰذِهِ الۡأُمُورِ وَنُمَيِّزَهَا وَنَتَبَيَّنَهَا؛ لِأَنَّنَا الۡآنَ فِي تَعۡمِيَةٍ، فَهُنَاكَ نَاسٌ يُؤَلِّفُونَ وَيَكۡتُبُونَ وَيَنۡتَقِدُونَ وَيُحَاضِرُونَ، وَيَقُولُونَ: لَا تُكَفِّرُوا الۡمُسۡلِمِينَ. 

Kita katakan kepada mereka: Mereka ini lebih berbahaya daripada orang-orang ateis karena orang-orang ateis tidak mengaku Islam dan mereka tidak mengklaim bahwa yang mereka jalani adalah Islam. Adapun orang-orang tadi, mereka menipu manusia dan mengklaim bahwa kekufuran adalah Islam. Jadi mereka lebih berbahaya daripada orang-orang ateis. 

Kemurtadan lebih berat daripada ateisme. Kita berlindung kepada Allah dari itu semua. Wajib bagi kita untuk mengetahui pendirian kita dari perkara-perkara ini. Wajib bagi kita untuk membedakan dan bersikap jelas terhadapnya, karena kita sekarang berada di masa pengaburan. Di sana ada orang-orang yang menyusun karya tulis, menulis, mengoreksi, dan mengisi ceramah, serta berkata: Jangan kalian mengafirkan kaum muslimin! 

وَنَقُولُ: نَحۡنُ نُكَفِّرُ مَنۡ خَرَجَ عَنِ الۡإِسۡلَامِ، أَمَّا الۡمُسۡلِمُ فَلَا يَجُوزُ تَكۡفِيرُهُ. 

Kita katakan: Kita mengafirkan orang yang telah keluar dari Islam. Adapun orang yang masih muslim, dia tidak boleh dikafirkan.

Syarh Al-Ajurrumiyyah - Pe-nashb Fiil Mudhari' - Huruf Fa atau Wawu setelah Penafian

آخِرُ شَيۡءٍ فِي الۡبَيۡتِ: (كَذَاكَ النَّفۡيُ)، يَعۡنِي: إِذَا وَقَعَتِ الۡفَاءُ جَوَابًا لِلنَّفۡيِ، فَإِنَّهَا تَنۡصِبُ الۡفِعۡلَ الۡمُضَارِعَ. 

9. Penafian. 

Yang terakhir dalam bait adalah “Demikian pula penafian”. Yakni, apabila huruf fa terletak pada kelanjutan kalimat penafian, maka dia me-nashb-kan fiil mudhari’. 

قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي الۡقُرۡآنِ الۡكَرِيمِ: ﴿وَٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ لَهُمۡ نَارُ جَهَنَّمَ لَا يُقۡضَىٰ عَلَيۡهِمۡ فَيَمُوتُوا۟﴾ [فاطر: ٣٦]، (يَمُوتُوا) جَوَابٌ لِلنَّفۡيِ، وَنُصِبَتۡ بِحَذۡفِ النُّونِ. 

Allah taala berfirman di dalam Alquran, “Dan orang-orang kafir, bagi mereka neraka Jahanam. Mereka tidak dibinasakan sehingga mereka mati.” (QS. Fathir: 36). 

يَمُوتُوا adalah kelanjutan dari kalimat penafian dan di-nashb dengan menghapus huruf nun. 

قَالَ اللهُ تَعَالَى: ﴿وَٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ لَهُمۡ نَارُ جَهَنَّمَ لَا يُقۡضَىٰ عَلَيۡهِمۡ فَيَمُوتُوا۟﴾ [فاطر: ٣٦]. 

(لَا): نَافِيَةٌ. 

(يُقۡضَى): فِعۡلٌ مُضَارِعٌ مَرۡفُوعٌ مَبۡنِيٌّ لِلۡمَجۡهُولِ. 

(عَلَيۡهِمۡ): نَائِبُ فَاعِلٍ، جَارٌّ وَمَجۡرُورٌ مُتَعَلِّقٌ بِـ(يُقۡضَى). 

(فَيَمُوتُوا): (الۡفَاءُ) سَبَبِيَّةٌ. (يَمُوتُوا): فِعۡلٌ مُضَارِعٌ مَنۡصُوبٌ بِفَاءِ السَّبَبِيَّةِ وَعَلَامَةُ نَصۡبِهِ حَذۡفُ النُّونِ وَ(الۡوَاوُ) فَاعِلٌ؛ لِأَنَّهُ مِنَ الۡأَفۡعَالِ الۡخَمۡسَةِ. 

Allah taala berfirman, “وَٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ لَهُمۡ نَارُ جَهَنَّمَ لَا يُقۡضَىٰ عَلَيۡهِمۡ فَيَمُوتُوا۟.” (QS. Fathir: 36). 

لَا menafikan. 

يُقۡضَى: fiil mudhari’ yang di-raf’ yang mabni lil majhul (dibentuk untuk kalimat yang tidak disebutkan fa’il-nya). 

عَلَيۡهِمۡ: na`ib fa’il, jar dan majrur yang berkaitan dengan يُقۡضَى. 

فَيَمُوتُوا: huruf fa sababiyyah. يَمُوتُوا fiil mudhari’ yang di-nashb dengan huruf fa sababiyyah. Tanda nashb-nya adalah dihapusnya huruf nun karena termasuk fiil yang lima. Huruf wawu adalah fa’il/pelaku.

Shahih Muslim hadits nomor 2230

١٢٥ – (٢٢٣٠) - حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بۡنُ الۡمُثَنَّى الۡعَنَزِيُّ: حَدَّثَنَا يَحۡيَى، يَعۡنِي ابۡنَ سَعِيدٍ، عَنۡ عُبَيۡدِ اللهِ، عَنۡ نَافِعٍ، عَنۡ صَفِيَّةَ، عَنۡ بَعۡضِ أَزۡوَاجِ النَّبِيِّ ﷺ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ. قَالَ: (مَنۡ أَتَىٰ عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنۡ شَىۡءٍ، لَمۡ تُقۡبَلۡ لَهُ صَلَاةٌ أَرۡبَعِينَ لَيۡلَةً). 

125. (2230). Muhammad bin Al-Mutsanna Al-‘Anazi telah menceritakan kepada kami: Yahya bin Sa’id menceritakan kepada kami dari ‘Ubaidullah, dari Nafi’, dari Shafiyyah, dari sebagian istri Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—, dari Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—. Beliau bersabda, “Siapa saja yang mendatangi peramal, lalu bertanya tentang sesuatu kepadanya, maka salatnya selama empat puluh malam tidak akan diterima.”

Syarh Al-Ajurrumiyyah - Pe-nashb Fiil Mudhari' - Huruf Fa atau Wawu setelah Angan-angan dan Harapan

(تَمَنَّ): يَعۡنِي: التَّمَنِّيَ. 

(وَارۡجُ): يَعۡنِي: الرَّجَاءَ. 

التَّمَنِّي طَلَبُ مَا يَتَعَذَّرُ، أَوۡ يَتَعَسَّرُ الۡحُصُولُ عَلَيۡهِ. 

7 & 8. Angan-angan dan harapan. 

Angan-angan adalah permintaan suatu hal yang mustahil atau sulit terwujud. 

قَالَ الشَّاعِرُ: 

أَلَا لَيۡتَ الشَّبَابَ يَعُودُ يَوۡمًا فَأُخۡبِرَهُ بِمَا فَعَلَ الۡمَشِيبُ 

هَٰذَا مُسۡتَحِيلٌ، فَهُوَ تَمَنٍّ. 

Penyair berkata, “أَلَا لَيۡتَ الشَّبَابَ يَعُودُ يَوۡمًا فَأُخۡبِرَهُ بِمَا فَعَلَ الۡمَشِيبُ (Duhai kiranya kepemudaan akan kembali suatu hari nanti, supaya aku bisa mengabarinya dengan apa yang telah dialami oleh masa tua).” 

وَقَالَ الۡفَقِيرُ الۡمُعۡدِمُ: (لَيۡتَ لِي مَالًا فَأَتَصَدَّقَ مِنۡهُ) هَٰذَا مُتَعَسِّرٌ، وَلَيۡسَ مُتَعَذِّرًا؛ لِأَنَّهُ كَمۡ مِنۡ فَقِيرٍ صَارَ غَنِيًّا، لَكِنِ الشَّيۡخُ لَا يُصِيرُ شَابًّا. 

Seorang yang fakir tidak punya harta berkata, “لَيۡتَ لِي مَالًا فَأَتَصَدَّقَ مِنۡهُ (Andai aku memiliki harta, supaya aku bisa menyedekahkan sebagiannya).” Ini adalah perkara yang sulit terwujud namun tidak mustahil, karena berapa banyak orang fakir bisa menjadi kaya. Akan tetapi orang yang sudah tua tidak bisa menjadi muda. 

(لَيۡتَ لِي مَالًا فَأُنۡفِقَ مِنۡهُ فِي سَبِيلِ اللهِ). 

(لَيۡتَ): حَرۡفُ تَمَنٍّ تَنۡصِبُ الۡاِسۡمَ وَتَرۡفَعُ الۡخَبَرَ. 

(لِي): جَارٌّ وَمَجۡرُورٌ. 

(مَالًا): اسۡمُ (لَيۡتَ) مَنۡصُوبٌ وَعَلَامَةُ نَصۡبِهِ فَتۡحَةٌ ظَاهِرَةٌ. 

(فَأُنۡفِقَ): (الۡفَاءُ) لِلسَّبَبِيَّةِ. (أُنۡفِقَ): فِعۡلٌ مُضَارِعٌ مَنۡصُوبٌ بِفَاءِ السَّبَبِيَّةِ وَعَلَامَةُ نَصۡبِهِ الۡفَتۡحَةُ الظَّاهِرَةُ عَلَى آخِرِهِ. وَالۡفَاعِلُ ضَمِيرٌ مُسۡتَتِرٌ وُجُوبًا تَقۡدِيرُهُ (أَنَا). 

(مِنۡهُ): جَارٌّ وَمَجۡرُورٌ مُتَعَلِّقٌ بَأُنۡفِقَ. 

“لَيۡتَ لِي مَالًا فَأُنۡفِقَ مِنۡهُ فِي سَبِيلِ اللهِ (Andai aku memiliki harta, supaya aku bisa infakkan sebagiannya di jalan Allah).” 

لَيۡتَ adalah huruf tamanni (pengandaian) yang me-nashb-kan isim dan me-raf’-kan khabar. 

لِي: jarr dan majrur. 

مَالًا: isim لَيۡتَ yang di-nashb. Tanda nashb-nya adalah harakat fatah yang tampak. 

فَأُنۡفِقَ: huruf fa untuk sababiyyah. أُنۡفِقَ fiil mudhari’ yang di-nashb dengan huruf fa sababiyyah. Tanda nashb-nya adalah harakat fatah yang tampak di akhir kata. Fa’il-nya adalah kata ganti yang wajib disembunyikan. Asumsinya adalah ana. 

مِنۡهُ: jarr dan majrur yang berkaitan dengan أُنۡفِقَ. 

وَ (ارۡجُ): الرَّجَاءُ طَلَبُ مَا يَسۡهُلُ حُصُولُهُ. تَقُولُ: (لَعَلَّ السِّلَعَ تَكۡثُرُ فِي الۡبَلَدِ فَأَشۡتَرِيَ مِنۡهَا)، جَاءَ فِي أَوَّلِ النَّهَارِ فِي أَوَّلِ السُّوقِ فَوَجَدَ النَّاسَ لَمۡ يَجۡلِبُوا فَقَالَ: (لَعَلَّ)، هَٰذَا رَجَاءٌ. 

Harapan adalah permintaan sesuatu yang mudah terwujud. Engkau katakan, “لَعَلَّ السِّلَعَ تَكۡثُرُ فِي الۡبَلَدِ فَأَشۡتَرِيَ مِنۡهَا (Semoga barang dagangan itu semakin banyak di negeri ini, supaya aku bisa membeli sebagiannya).” Dia sudah datang di awal siang di waktu pasar baru buka, lalu dia dapati orang-orang belum mendatangkan (barang dagangan tersebut), lantas dia berkata, “Semoga…” Ini adalah harapan. 

الۡأَصۡلُ أَنۡ يَكُونَ التَّعۡبِيرُ عَنِ التَّمَنِّي بِـ(لَیۡتَ) وَعَنِ التَّرّجِّي بِـ(لَعَلَّ) هَٰذَا الۡأَصۡلُ، لَكِنۡ قَدۡ يَكُونُ الۡعَكۡسَ، فَقَدۡ تَأۡتِي (لَعَلَّ) فِي أَمۡرٍ مُسۡتَحِيلٍ، قَالَ فِرۡعَوۡنُ: ﴿يَـٰهَـٰمَـٰنُ ٱبۡنِ لِى صَرۡحًا لَّعَلِّىٓ أَبۡلُغُ ٱلۡأَسۡبَـٰبَ ۝٣٦ أَسۡبَـٰبَ ٱلسَّمَـٰوَٰتِ فَأَطَّلِعَ إِلَىٰٓ إِلَـٰهِ مُوسَىٰ﴾ [غافر: ٣٦-٣٧]، هَٰذَا تَرَجٍّ أَوۡ تَمَنٍّ؟ هَٰذَا تَمَنٍّ؛ لِأَنَّهُ مُسۡتَحِيلٌ. لَكِنَّهُ تَمَنٍّي بِـ(لَعَلَّ). 

Asalnya ungkapan untuk menggambarkan angan-angan adalah dengan kata لَيۡتَ, sedangkan untuk harapan dengan kata لَعَلَّ. Ini asalnya. Akan tetapi terkadang bisa saja berkebalikan. لَعَلَّ kadang bisa digunakan untuk perkara yang mustahil. Fir’aun berkata, “يَـٰهَـٰمَـٰنُ ٱبۡنِ لِى صَرۡحًا لَّعَلِّىٓ أَبۡلُغُ ٱلۡأَسۡبَـٰبَ ۝٣٦ أَسۡبَـٰبَ ٱلسَّمَـٰوَٰتِ فَأَطَّلِعَ إِلَىٰٓ إِلَـٰهِ مُوسَىٰ (Wahai Haman, bangunkan untukku sebuah bangunan tinggi supaya aku bisa mencapai pintu-pintu. Yaitu pintu-pintu langit, lalu aku bisa melihat Ilah-nya Musa).” (QS. Ghafir: 36-37). 

Ini harapan atau angan-angan? Ini angan-angan karena ini mustahil. Akan tetapi ini angan-angan menggunakan kata لَعَلَّ. 

وَقَالَ الشَّاعِرُ، وَهُوَ يُخَاطِبُ الۡحَمَامَ: 

بَكَيۡتُ عَلَى سِرۡبِ الۡقَطَا إِذۡ مَرَرۡنَ بِي فَقُلۡتُ وَمِثۡلِي بِالۡبُكَاءِ جَدِيرُ 

أَسِرۡبَ الۡقَطَا هَلۡ مَنۡ يُعِيرُ جَنَاحَهُ لَعَلِّي إِلَى مَنۡ قَدۡ هَوِيتُ أَطِيرُ 

وَلَعَلَّ هُنَا تَمَنٍّ؛ لِأَنَّهُ مُسۡتَحِيلٌ. 

Penyair berkata ketika dia berbicara kepada burung merpati, “Aku menangisi sekawanan burung merpati ketika mereka melewatiku. Aku mengatakan—dalam keadaan orang yang sepertiku memang layak menangis—: Wahai sekawanan burung, apakah ada yang mau meminjamkan sayapnya? Supaya aku bisa terbang menemui orang yang sungguh aku dambakan.” لَعَلَّ di sini adalah angan-angan karena perkaranya mustahil. 

الۡمُهِمُّ أَنۡ نَقُولَ: الۡفَرۡقُ بَيۡنَ التَّمَنِّي وَالتَّرَجِّي، إِذَا كَانَ التَّعَلُّقُ بِأَمۡرٍ مُسۡتَحِيلٍ، أَوۡ مُتَعَذِّرٍ فَهَٰذَا تَمَنٍّ، وَإِذَا كَانَ بِأَمۡرٍ قَرِیبٍ، فَهَٰذَا تَرَجٍّ، وَلَكِنِ الۡأَصۡلُ أَنَّ الۡحَرۡفَ الۡمَوۡضُوعَ لِلتَّرَجِّي هُوَ (لَعَلَّ) وَلِلتَّمَنِّي (لَیۡتَ)، وَقَدۡ يُعۡكَسُ. 

Yang penting kita katakan bahwa perbedaan antara angan-angan dengan harapan adalah apabila berkaitan dengan perkara yang mustahil atau sulit terwujud, maka ini adalah angan-angan. Apabila berkaitan dengan perkara yang dekat/mudah, maka ini adalah harapan. Akan tetapi asal kata yang digunakan untuk pengharapan adalah لَعَلَّ dan untuk angan-angan adalah لَيۡتَ. Namun terkadang bisa berkebalikan.

Syarh Al-Ajurrumiyyah - Pe-nashb Fiil Mudhari' - Huruf Fa atau Wawu setelah Tawaran dan Anjuran

(واعۡرِضۡ لِحَضِّهِمۡ) (اعۡرِضۡ) يَعۡنِي: الۡعَرۡضَ. (لِحَضِّهِمۡ) يَعۡنِي: الۡحَثَّ فَعِنۡدَنَا (عَرۡضٌ)، وَعِنۡدَنَا (حَثٌّ) مِثَالُ: (الۡعَرۡضِ): أَنۡ تَقُولَ لِشَخۡصٍ: (أَلَا تَنۡزِلُ عِنۡدِي فَأُكۡرِمَكَ)؛ لِأَنَّهَا وَقَعَتۡ جَوَابًا لِلۡعَرۡضِ. التَّحۡضِيضُ: (هَلَّا أَدَّبۡتَ وَلَدَكَ فَيَسۡتَقِيمَ). (يَسۡتَقِيمَ) جَوَابٌ لِـ(هَلَّا). 

5 & 6. Tawaran dan anjuran. 

Contoh tawaran: Engkau berkata kepada seseorang, “أَلَا تَنۡزِلُ عِنۡدِي فَأُكۡرِمَكَ (Maukah engkau singgah di tempatku, supaya aku bisa memuliakanmu?)” (أُكۡرِمَ di-nashb) karena terletak pada kelanjutan kalimat penawaran. 

Contoh anjuran, “هَلَّا أَدَّبۡتَ وَلَدَكَ فَيَسۡتَقِيمَ (Hendaknya engkau mendidik anakmu supaya dia dapat istikamah).” يَسۡتَقِيمَ adalah jawaban/kelanjutan bagi هَلَّا. 

(أَلَا تَزُورُنَا فَنُكۡرِمَكَ). 

(أَلَا): أَدَاةُ عَرۡضٍ أَوۡ حَضٍّ. 

(تَزُورُ): فِعۡلٌ مُضَارِعٌ مَرۡفُوعٌ وَعَلَامَةُ رَفۡعِهِ الضَّمَّةُ الظَّاهِرَةُ، وَالۡفَاعِلُ ضَمِيرٌ مُسۡتَتِرٌ تَقۡدِيرُهُ أَنۡتَ، وَنَا ضَمِيرٌ مَبۡنِيٌّ عَلَى السُّكُونِ فِي مَحَلِّ نَصۡبٍ مَفۡعُولٌ بِهِ. 

(فَنُكۡرِمَكَ): (الۡفَاءُ) لِلسَّبَبِيَّةِ، وَ(نُكۡرِمَ): فِعۡلٌ مُضَارِعٌ مَنۡصُوبٌ بِفَاءِ السَّبَبِيَّةِ، وَعَلَامَةُ نَصۡبِهِ الۡفَتۡحَةُ الظَّاهِرَةُ، وَالۡفَاعِلُ ضَمِيرٌ مُسۡتَتِرٌ تَقۡدِيرُهُ نَحۡنُ، وَ(الۡكَافُ) ضَمِيرٌ مَبۡنِيٌّ عَلَى الۡفَتۡحِ فِي مَحَلِّ نَصۡبٍ مَفۡعُولٌ بِهِ. 

“أَلَا تَزُورُنَا فَنُكۡرِمَكَ (Maukah engkau mengunjungi kami, supaya kami dapat memuliakanmu?)” 

أَلَا: kata penawaran atau anjuran. 

تَزُورُ: fiil mudhari’ yang di-raf’. Tanda raf’-nya adalah harakat damah yang tampak. Fa’il-nya adalah kata ganti yang disembunyikan. Asumsinya adalah anta. نَا adalah kata ganti yang mabni di atas tanda sukun dalam keadaan nashb maf’ul bih. 

فَنُكۡرِمَكَ: huruf fa untuk sababiyyah. نُكۡرِمَ adalah fiil mudhari’ yang di-nashb dengan huruf fa sababiyyah. Tanda nashb-nya adalah harakat fatah yang tampak. Fa’il-nya adalah kata ganti yang disembunyikan. Asumsinya adalah kami. Huruf kaf adalah kata ganti yang mabni di atas harakat fatah dalam keadaan nashb maf’ul bih. 

(أَلَا تَزُورُنِي فَأُكۡرِمَكَ). 

(أَلَا): أَدَاةُ عَرۡضٍ. 

(تَزُورُنِي): (تَزُورُ): فِعۡلٌ مُضَارِعٌ مَرۡفُوعٌ وَعَلَامَةُ رَفۡعِهِ الضَّمَّةُ الظَّاهِرَةُ عَلَى آخِرِهِ. وَالۡفَاعِلُ ضَمِيرٌ مُسۡتَتِرٌ تَقۡدِيرُهُ (أَنۡتَ) وَ(النُّونُ) لِلۡوِقَايَةِ. وَ(الۡيَاءُ): مَفۡعُولٌ بِهِ. 

(فَأُكۡرِمَكَ): (الۡفَاءُ): لِلسَّبَبِيَّةِ وَهِيَ تَنۡصِبُ الۡفِعۡلَ الۡمُضَارِعَ. (أُكۡرِمَ): فِعۡلٌ مُضَارِعٌ مَنۡصُوبٌ بِالۡفَاءِ وَعَلَامَةُ نَصۡبِهِ الۡفَتۡحَةُ الظَّاهِرَةُ عَلَى آخِرِهِ. وَالۡفَاعِلُ ضَمِيرٌ مُسۡتَتِرٌ تَقۡدِيرُهُ (أَنَا) وَالۡكَافُ ضَمِيرٌ مُتَّصِلٌ فِي مَحَلِّ نَصۡبِ مَفۡعُولٍ بِهِ. 

“أَلَا تَزُورُنِي فَأُكۡرِمَكَ (Maukah engkau mengunjungiku supaya aku bisa memuliakanmu?)” 

أَلَا: kata penawaran. 

تَزُورُنِي: تَزُورُ fiil mudhari’ yang di-raf’. Tanda raf’-nya adalah harakat damah yang tampak di akhir kata. Fa’il-nya adalah kata ganti yang disembunyikan. Asumsinya adalah anta. Huruf nun untuk wiqayah. Huruf ya maf’ul bih. 

فَأُكۡرِمَكَ: huruf fa untuk sababiyyah dan dia me-nashb-kan fiil mudhari’. أُكۡرِمَ adalah fiil mudhari’ yang di-nashb dengan huruf fa. Tanda nashb-nya adalah harakat fatah yang tampak di akhir kata. Fa’il-nya adalah kata ganti yang disembunyikan. Asumsinya adalah ana. Huruf kaf adalah kata ganti yang bersambung dalam keadaan nashb maf’ul bih. 

(هَلَّا أَدَّبۡتَ وَلَدَكَ فَيَحۡتَرِمَكَ). 

(هَلَّا): أَدَاةُ تَحۡضِيضٍ. 

(أَدَّبۡتَ): فِعۡلٌ مَاضٍ مَبۡنِيٌّ عَلَى السُّكُونِ لِاتِّصَالِهِ بِتَاءِ الۡفَاعِلِ. هَلۡ يُبۡنَى فِعۡلٌ مَاضٍ عَلَى غَيۡرِ السُّكُونِ؟ نَعَمۡ؛ عَلَى الۡفَتۡحِ إِذَا لَمۡ يَتَّصِلۡ بِهِ وَاوُ جَمَاعَةٍ أَوۡ يُبۡنَى عَلَى الضَّمِّ عِنۡدَ اتِّصَالِهِ بِوَاوِ الۡجَمَاعَةِ. 

(وَلَدَكَ): (وَلَدَ): مَفۡعُولٌ بِهِ مَنۡصُوبٌ وَعَلَامَةُ نَصۡبِهِ الۡفَتۡحَةُ الظَّاهِرَةُ. (الۡكَافُ): مُضَافٌ إِلَيۡهِ. 

(فَيَحۡتَرِمَكَ): (الۡفَاءُ) لِلسَّبَبِيَّةِ تَنۡصِبُ الۡفِعۡلَ الۡمُضَارِعَ. (يَحۡتَرِمَ): فِعۡلٌ مُضَارِعٌ مَنۡصُوبٌ بِفَاءِ السَّبَبِيَّةِ، وَعَلَامَةُ نَصۡبِهِ الۡفَتۡحَةُ الظَّاهِرَةُ وَالۡفَاعِلُ ضَمِيرٌ مُسۡتَتِرٌ تَقۡدِيرُهُ (هُوَ). (الۡكَافُ) مَفۡعُولٌ بِهِ. 

“هَلَّا أَدَّبۡتَ وَلَدَكَ فَيَحۡتَرِمَكَ (Sebaiknya engkau mendidik putramu, supaya dia memuliakanmu).” 

هَلَّا: kata anjuran. 

أَدَّبۡتَ: fiil madhi mabni di atas tanda sukun karena bersambung dengan huruf ta fa’il. Apakah fiil madhi mabni di atas tanda selain sukun? Ya, di atas harakat fatah apabila tidak bersambung dengan huruf wawu jama’ah atau mabni di atas harakat damah ketika bersambung dengan huruf wawu jama’ah. 

وَلَدَكَ: وَلَدَ adalah maf’ul bih yang di-nashb. Tanda nashb-nya adalah harakat fatah yang tampak. Huruf kaf adalah mudhaf ilaih. 

فَيَحۡتَرِمَكَ: huruf fa untuk sababiyyah yang me-nashb-kan fiil mudhari’. يَحۡتَرِمَ fiil mudhari’ yang di-nashb dengan huruf fa sababiyyah. Tanda nashb-nya adalah harakat fatah yang tampak. Fa’il-nya adalah kata ganti yang disembunyikan. Asumsinya adalah هُوَ (dia [laki-laki]). Huruf kaf adalah maf’ul bih. 

(هَلَّا أَمۡسَكۡتَ السَّارِقَ فَتُقۡطَعَ يَدُهُ). 

(هَلَّا): أَدَاةُ تَحۡضِيضٍ. 

(أَمۡسَكۡتَ): فِعۡلٌ وَفَاعِلٌ. 

(السَّارِقَ): مَفۡعُولٌ بِهِ مَنۡصُوبٌ وَعَلَامَةُ نَصۡبِهِ فَتۡحَةٌ ظَاهِرَةٌ. 

(فَتُقۡطَعَ): (الۡفَاءُ) لِلسَّبَبِيَّةِ، وَ(تُقۡطَعَ): فِعۡلٌ مُضَارِعٌ مَبۡنِيٌّ لِمَا لَمۡ يُسَمَّ فَاعِلُهُ مَنۡصُوبٌ بِفَاءِ السَّبَبِيَّةِ، وَعَلَامَةُ نَصۡبِهِ فَتۡحَةٌ ظَاهِرَةٌ. 

(يَدُهُ): نَائِبٌ عَنِ الۡفَاعِلِ مَرۡفُوعٌ وَعَلَامَةُ رَفۡعِهِ ضَمَّةٌ ظَاهِرَةٌ، وَالۡهَاءُ ضَمِيرٌ مَبۡنِيٌّ عَلَى الضَّمِّ فَي مَحَلِّ جَرٍّ مُضَافٌ إِلَيۡهِ. 

“هَلَّا أَمۡسَكۡتَ السَّارِقَ فَتُقۡطَعَ يَدُهُ (Sebaiknya engkau menangkap pencuri itu supaya tangannya dipotong).” 

هَلَّا: kata anjuran. 

أَمۡسَكۡتَ: fiil dan fa’il. 

السَّارِقَ: maf’ul bih yang di-nashb. Tanda nashb-nya adalah harakat fatah yang tampak. 

فَتُقۡطَعَ: huruf fa untuk sababiyyah. تُقۡطَعَ fiil mudhari’ yang dibentuk untuk kalimat yang tidak disebutkan fa’il-nya; yang di-nashb dengan huruf fa sababiyyah. Tanda nashb-nya adalah harakat fatah yang tampak. 

يَدُهُ: na`ibul fa’il yang di-raf’. Tanda raf’-nya adalah harakat damah yang tampak. Huruf ha adalah kata ganti mabni di atas harakat damah dalam keadaan jarr mudhaf ilaih. 

وَالۡفَرۡقُ بَيۡنَ التَّحۡضِيضِ وَالۡعَرۡضِ: أَنَّ التَّحۡضِيضَ طَلَبٌ بِحَثٍّ وَإِزۡعَاجٍ، وَالۡعَرۡضُ طَلَبٌ بِرِفۡقٍ وَلِينٍ؛ وَلِهَٰذَا يَعۡرِضُ عَلَيۡكَ عَرۡضًا فَيَقُولُ: (أَلَا تَتَفَضَّلُ عِنۡدَنَا فَنُكۡرِمَكَ). أَمَّا هَٰذَا فَيَقُولُ: (هَلَّا أَدَّبۡتَ وَلَدَكَ فَيَسۡتَقِيمَ) فَبَيۡنَهُمَا فَرۡقٌ. التَّحۡضِيضُ حَثٌّ بِقُوَّةٍ بِعَكۡسِ الۡعَرۡضِ. 

Perbedaan antara anjuran dan tawaran adalah bahwa anjuran adalah permintaan disertai imbauan dan arahan. Sedangkan tawaran adalah permintaan dengan lembut dan halus. Oleh karena itu, seseorang yang memberi penawaran kepadamu, maka dia akan mengatakan, “أَلَا تَتَفَضَّلُ عِنۡدَنَا فَنُكۡرِمَكَ (Maukah engkau singgah di tempat kami supaya kami bisa memuliakanmu?)” Adapun anjuran, maka dia akan mengatakan, “هَلَّا أَدَّبۡتَ وَلَدَكَ فَيَسۡتَقِيمَ (Sebaiknya engkau mendidik anakmu, supaya dia bisa istikamah).” Ada perbedaan di antara keduanya. Anjuran adalah imbauan dengan kuat, berlawanan dengan tawaran.

Syarh Al-Ajurrumiyyah - Pe-nashb Fiil Mudhari' - Huruf Fa atau Wawu setelah Pertanyaan

وَ(سَلۡ) بِمَعۡنَی: اسۡأَلۡ يَعۡنِي: الۡاِسۡتِفۡهَامَ. فَإِذَا وَقَعَتۡ فَاءُ السَّبَبِيَّةِ جَوَابًا لِاسۡتِفۡهَامٍ، وَجَبَ نَصۡبُ الۡفِعۡلِ الۡمُضَارِعِ بِهَا، فَتَقُولُ: (هَلِ اعۡتَذَرَ إِلَيۡكَ زَيۡدٌ فَتَعۡذُرَهُ؟). 

4. Pertanyaan. Yakni permintaan penjelasan. 

Apabila huruf fa sababiyyah terletak pada kelanjutan kalimat yang berhubungan dengan pertanyaan sebelumnya, maka wajib untuk me-nashb fiil mudhari’ dengan sebab itu. Maka engkau katakan, “هَلِ اعۡتَذَرَ إِلَيۡكَ زَيۡدٌ فَتَعۡذُرَهُ؟ (Apakah Zaid sudah menyampaikan alasan kepadamu, yang menyebabkan engkau memberinya uzur?)” 

قَالَ اللهُ تَعَالَى: ﴿فَهَل لَّنَا مِن شُفَعَآءَ فَيَشۡفَعُوا۟ لَنَآ﴾ [الأعراف: ٥۳] الۡفَاءُ: وَاقِعَةٌ فِي جَوَابِ الۡاِسۡتِفۡهَامِ؛ وَلِهَٰذَا نَصَبَتِ الۡفِعۡلَ، بِمَاذَا نُصِبَتۡ؟ بِحَذۡفِ النُّونِ؛ لِأَنَّهُ مِنَ الۡأَفۡعَالِ الۡخَمۡسَةِ، وَنَقُولُ فِي إِعۡرَابِهَا: 

Allah taala berfirman, “فَهَل لَّنَا مِن شُفَعَآءَ فَيَشۡفَعُوا۟ لَنَآ (Adakah pemberi syafaat untuk kami, yang akan memberi syafaat untuk kami?)” (QS. Al-A’raf: 53). 

Huruf fa terletak pada kelanjutan pertanyaan. Oleh karenanya, dia me-nashb-kan fiil setelahnya. Dengan apa fiil itu di-nashb? Dengan menghapus huruf nun karena dia termasuk fiil yang lima. Kita katakan dalam mengikrabnya: 

(هَلۡ): حَرۡفُ اسۡتِفۡهَامٍ. 

(لَنَا): جَارٌّ وَمَجۡرُورٌ مُتَعَلِّقٌ بِمَحۡذُوفِ خَبَرٍ مُقَدَّمٍ. 

(مِنۡ): حَرۡفُ جَرٍّ زَائِدٌ إِعۡرَابًا. 

(شُفَعَاءَ): مُبۡتَدَأٌ مُؤَخَّرٌ مَرۡفُوعٌ، وَعَلَامَةُ رَفۡعِهِ ضَمَّةٌ مُقَدَّرَةٌ مَنَعَ مِنۡ ظُهُورِهَا اشۡتِغَالُ الۡمَحَلِّ بِحَرَكَةِ حَرۡفِ الۡجَرِّ الزَّائِدِ. 

(فَيَشۡفَعُوا): (الۡفَاءُ) لِلسَّبَبِيَّةِ، وَ(يَشۡفَعُوا): فِعۡلٌ مُضَارِعٌ مَنۡصُوبٌ بِفَاءِ السَّبَبِيَّةِ، وَعَلَامَةُ نَصۡبِهِ حَذۡفُ النُّونِ لِأَنَّهُ مِنَ الۡأَفۡعَالِ الۡخَمۡسَةِ، وَالۡوَاوُ فَاعِلٌ. 

(لَنَا): جَارٌّ وَمَجۡرُورٌ. 

هَلۡ: huruf pertanyaan. 

لَنَا: jarr dan majrur yang berkaitan dengan khabar yang dikedepankan yang dihapus. 

مِنۡ: huruf jarr tambahan. 

شُفَعَاءَ: mubtada` yang diakhirkan yang di-raf’. Tanda raf’-nya adalah harakat damah yang tersembunyi. Yang menghalangi dari kemunculannya adalah tempatnya digunakan oleh harakat huruf jarr tambahan. 

فَيَشۡفَعُوا: huruf fa untuk sababiyyah. يَشۡفَعُوا adalah fiil mudhari’ yang di-nashb dengan huruf fa sababiyyah. Tanda nashb-nya adalah dihapusnya huruf nun karena dia termasuk fiil yang lima. Huruf wawu adalah fa’il. 

لَنَا: jarr dan majrur. 

(هَلۡ تَأۡتِي إِلَى الۡبَيۡتِ فَأُعَلِّمَكَ). 

(هَلۡ): أَدَاةُ اسۡتِفۡهَامٍ. 

(تَأۡتِي): فِعۡلٌ مُضَارِعٌ مَرۡفُوعٌ وَعَلَامَةُ رَفۡعِهِ الضَّمَّةُ الۡمُقَدَّرَةُ عَلَى الۡيَاءِ مَنَعَ مِنۡ ظُهُورِهَا الثِّقَلُ. 

(إِلَى): حَرۡفُ جَرٍّ. 

(الۡبَيۡتِ): اسۡمٌ مَجۡرُورٌ بِـ(إِلَى) وَعَلَامَةُ جَرِّهِ الۡكَسۡرَةُ الظَّاهِرَةُ عَلَى آخِرِهِ. 

(فَأُعَلِّمَكَ): (الۡفَاءُ) لِلسَّبَبِيَّةِ وَهِيَ تَنۡصِبُ الۡفِعۡلَ الۡمُضَارِعَ. (أُعَلِّمَ): فِعۡلٌ مُضَارِعٌ مَنۡصُوبٌ بِالۡفَاءِ وَعَلَامَةُ نَصۡبِهِ الۡفَتۡحَةُ الظَّاهِرَةُ عَلَى آخِرِهِ. وَ(الۡكَافُ) مَفۡعُولٌ بِهِ. 

“هَلۡ تَأۡتِي إِلَى الۡبَيۡتِ فَأُعَلِّمَكَ (Apakah engkau bisa datang ke rumah itu supaya aku bisa mengajarimu?)” 

هَلۡ: kata tanya. 

تَأۡتِي: fiil mudhari’ yang di-raf’. Tanda raf’-nya adalah harakat damah yang tersembunyi pada huruf ya. Yang menghalangi dari munculnya adalah berat diucapkan. 

إِلَى: huruf jarr. 

الۡبَيۡتِ: isim yang di-jarr dengan إِلَى. Tanda jarr-nya adalah harakat kasrah yang tampak di akhir kata. 

فَأُعَلِّمَكَ: huruf fa untuk sababiyyah dan dia me-nashb-kan fiil mudhari’. أُعَلِّمَ adalah fiil mudhari’ yang di-nashb dengan huruf fa. Tanda nashb-nya adalah harakat fatah yang tampak di akhir kata. Huruf kaf adalah maf’ul bih.

Syarh Al-Ajurrumiyyah - Pe-nashb Fiil Mudhari' - Huruf Fa atau Wawu setelah Larangan

(وَانۡهَ) يَعۡنِي النَّهۡيَ. (لَا تَسۡرَحۡ فِي الدَّرۡسِ فَيَفُوتَكَ) هَٰذِهِ بَعۡدَ النَّهۡيِ، وَفِي الۡقُرۡآنِ: ﴿وَلَا تَطۡغَوۡا۟ فِيهِ فَيَحِلَّ عَلَيۡكُمۡ غَضَبِى﴾[طه: ٨١]. 

3. Larangan. 

“لَا تَسۡرَحۡ فِي الدَّرۡسِ فَيَفُوتَكَ (Jangan keluar ketika pelajaran yang menyebabkan pelajaran itu terluput darimu!).” Huruf fa ini setelah larangan. 

Di dalam Alquran, “وَلَا تَطۡغَوۡا۟ فِيهِ فَيَحِلَّ عَلَيۡكُمۡ غَضَبِى (Jangan kalian melampaui batas padanya yang menyebabkan kemurkaan-Ku menimpa kalian!)” (QS. Thaha: 81). 

وَتَقُولُ: (لَا تَقۡرَبِ الۡأَسَدَ فَيَأۡكُلَكَ). 

(لَا): نَاهِيَةٌ. 

(تَقۡرَبِ): فِعۡلٌ مُضَارِعٌ مَجۡزُومٌ بِلَا النَّاهِيَةِ، وَعَلَامَةُ جَزۡمِهِ السُّكُونُ، وَكُسِرَتِ الۡبَاءُ لِالۡتِقَاءِ السَّاكِنَيۡنِ، وَالۡفَاعِلُ ضَمِيرٌ مُسۡتَتِرٌ وُجُوبًا تَقۡدِيرُهُ أَنۡتَ. 

(الۡأَسَدَ): مَفۡعُولٌ بِهِ مَنۡصُوبٌ وَعَلَامَةُ نَصۡبِهِ الۡفَتۡحَةُ الظَّاهِرَةُ. 

(فَيَأۡكُلَكَ): (الۡفَاءُ) لِلسَّبَبِيَّةِ، وَ(يَأۡكُلَ): فِعۡلٌ مُضَارِعٌ مَنۡصُوبٌ بِفَاءِ السَّبَبِيَّةِ، وَعَلَامَةُ نَصۡبِهِ فَتۡحَةٌ ظَاهِرَةٌ، وَالۡفَاعِلُ ضَمِيرٌ مُسۡتَتِرٌ جَوَازًا تَقۡدِيرُهُ هُوَ، وَ(الۡكَافُ) ضَمِيرٌ مَبۡنِيٌّ عَلَى الۡفَتۡحِ فِي مَحَلِّ نَصۡبٍ مَفۡعُولٌ بِهِ. 

Engkau mengatakan, “لَا تَقۡرَبِ الۡأَسَدَ فَيَأۡكُلَكَ (Jangan engkau dekati singa itu! Nanti dia memakanmu).” 

لَا untuk melarang. 

تَقۡرَبِ adalah fiil mudhari’ yang di-jazm dengan لَا an-nahiyah. Tanda jazm-nya adalah sukun. Huruf ba dikasrah karena bertemunya dua sukun. Fa’il-nya kata ganti yang wajib disembunyikan. Asumsinya adalah anta. 

الۡأَسَدَ maf’ul bih yang di-nashb. Tanda nashb-nya adalah harakat fatah yang tampak. 

فَيَأۡكُلَكَ: huruf fa untuk sababiyyah. يَأۡكُلَ adalah fiil mudhari’ yang di-nashb dengan huruf fa sababiyyah. Tanda nashb-nya adalah harakat fatah yang tampak. Fa’il-nya adalah kata ganti yang boleh disembunyikan. Asumsinya adalah هُوَ (dia laki-laki). Huruf kaf adalah kata ganti yang mabni di atas harakat fatah dalam keadaan nashb maf’ul bih.

Permisalan di dalam Alquran yang Menunjukkan Batilnya Kesyirikan

Syekh Shalih bin Fauzan bin 'Abdullah Al-Fauzan--hafizhahullah--berkata:

﷽ 

الۡحَمۡدُ لِلهِ رَبِّ الۡعَالَمِينَ، وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِهِ وَأَصۡحَابِهِ أَجۡمَعِينَ. 

Segala puji bagi Allah Tuhan alam semesta. Semoga Allah senantiasa curahkan selawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, kepada keluarga dan sahabat beliau seluruhnya. 

قَالَ اللهُ سُبۡحَانَهُ وَتَعَالَى: ﴿إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَسۡتَحۡىِۦٓ أَن يَضۡرِبَ مَثَلًا مَّا بَعُوضَةً فَمَا فَوۡقَهَا ۚ فَأَمَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ فَيَعۡلَمُونَ أَنَّهُ ٱلۡحَقُّ مِن رَّبِّهِمۡ ۖ وَأَمَّا ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ فَيَقُولُونَ مَاذَآ أَرَادَ ٱللَّهُ بِهَـٰذَا مَثَلًا ۘ يُضِلُّ بِهِۦ كَثِيرًا وَيَهۡدِى بِهِۦ كَثِيرًا ۚ وَمَا يُضِلُّ بِهِۦٓ إِلَّا ٱلۡفَـٰسِقِينَ ۝٢٦ ٱلَّذِينَ يَنقُضُونَ عَهۡدَ ٱللَّهِ مِنۢ بَعۡدِ مِيثَـٰقِهِۦ وَيَقۡطَعُونَ مَآ أَمَرَ ٱللَّهُ بِهِۦٓ أَن يُوصَلَ وَيُفۡسِدُونَ فِى ٱلۡأَرۡضِ ۚ أُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡخَـٰسِرُونَ﴾ [البقرة : ٢٦-٢٧]. 

Allah—subhanahu wa ta’ala—berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak malu untuk membuat permisalan berupa nyamuk atau di atas itu. Adapun orang-orang yang beriman, mereka mengetahui bahwa itu adalah kebenaran dari Tuhan mereka. Adapun orang-orang kafir, mereka berkata, ‘Apa yang Allah inginkan dengan permisalan ini?’ Allah menyesatkan banyak orang dengannya dan memberi petunjuk banyak orang dengannya. Tidaklah yang Allah sesatkan dengannya kecuali orang-orang yang fasik. Yaitu orang-orang yang membatalkan perjanjian dengan Allah setelah perjanjian itu teguh, mereka memutuskan hubungan yang Allah perintahkan untuk disambung, dan mereka berbuat kerusakan di bumi. Mereka itu adalah orang-orang yang rugi.” (QS. Al-Baqarah: 26-27). 

ضَرَبَ اللهُ -جَلَّ وَعَلَا- مَثَلًا لِلۡمُوَحِّدِ وَالۡمُشۡرِكِ، فَقَالَ سُبۡحَانَهُ وَتَعَالَى: ﴿ضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلًا رَّجُلًا فِيهِ شُرَكَآءُ مُتَشَـٰكِسُونَ وَرَجُلًا سَلَمًا لِّرَجُلٍ هَلۡ يَسۡتَوِيَانِ مَثَلًا ۚ ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ ۚ بَلۡ أَكۡثَرُهُمۡ لَا يَعۡلَمُونَ﴾ [الزمر: ۲۹] 

Allah—jalla wa ‘ala—membuat permisalan untuk muwahid dan musyrik. Allah—subhanahu wa ta’ala—berfirman, “Allah membuat sebuah permisalan seorang lelaki (budak) yang dikuasai oleh beberapa orang yang saling berselisih dan seorang lelaki (budak) yang dikuasai penuh oleh seseorang saja. Apakah permisalan keduanya sama? Segala puji bagi Allah. Akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Az-Zumar: 29). 

الۡمُشۡرِكُ لَهُ عِدَّةُ آلِهَةٍ، يَعۡبُدُ أَصۡنَامًا كَثِيرَةً وَلَا يَدۡرِي مَاذَا يُرۡضِي مِنۡهَا، مِثۡلُ الۡمَمۡلُوكِ الَّذِي لَهُ أَسۡيَادٌ كَثِيرُونَ يَمۡلِكُونَهُ، كُلُّ وَاحِدٍ يُرِيدُهُ عَلَى مَا يُوَافِقُ هَوَاهُ، وَكُلُّ وَاحِدٍ لَهُ رَغۡبَةٌ تُخَالِفُ رَغۡبَةَ الۡآخَرِ، فَيُصۡبِحُ هَٰذَا الۡمَمۡلُوكُ الۡمِسۡكِينُ مُزَعۡزِعًا بَيۡنَ هَٰؤُلَاءِ الشُّرَكَاءِ، لَا يَدۡرِي مَنۡ يُرۡضِي مِنۡهُمۡ. 

Seorang musyrik memiliki beberapa tuhan. Dia menyembah banyak berhala dan dia tidak tahu berhala mana yang harus dia buat rida. Seperti seorang budak yang dimiliki oleh banyak tuan. Setiap tuan menginginkan budak itu melakukan sesuai keinginannya dan setiap tuannya memiliki keinginan yang menyelisihi keinginan tuannya yang lain, sehingga budak yang malang itu pun mondar-mandir di antara beberapa tuan itu. Dia tidak tahu siapa yang harus dia layani dari mereka. 

وَأَمَّا الۡمُوَحِّدُ فَهُوَ مِثۡلُ الَّذِي يَمۡلِکُهُ رَجُلٌ وَاحِدٌ يَعۡرِفُ مَطۡلُوبَهُ وَيَعۡرِفُ هَوَاهُ، فَهُوَ فِي رَاحَةٍ مَعَهُ، لَيۡسَ هُوَ مَعَهُ فِي نِزَاعٍ وَلَا فِي شِقَاقٍ وَلَا فِي تَعۡبٍ، هُوَ رَجُلٌ مَمۡلُوكٌ لِرَجُلٍ وَاحِدٍ. 

Adapun muwahid seperti budak yang dikuasai oleh satu tuan saja. Dia mengetahui yang dituntut oleh tuannya dan mengetahui kemauan tuannya, sehingga dia tenang bersama tuannya. Dia tidak menghadapi perselisihan, pertengkaran, dan tidak pula merasa kepayahan. Dia adalah seorang budak yang dimiliki oleh seorang tuan. 

كَذٰلِكَ الۡمُوَحِّدُ هُوَ عَبۡدٌ لِرَبٍّ وَاحِدٍ، وَهُوَ اللهُ سُبۡحَانَهُ وَتَعَالَى، يَقُومُ بِطَاعَتِهِ وَيَجۡتَنِبُ مَعۡصِيَتَهُ ﴿وَرَجُلًا سَلَمًا لِّرَجُلٍ﴾ يَعۡنِي: خَالِصًا لِرَجُلٍ، يَمۡلِکُهُ رَجُلٌ وَاحِدٌ، هَلِ الۡمَمۡلُوكُ الَّذِي يَمۡلِکُهُ عِدَّةُ شُرَكَاءَ مِثۡلُ الۡمَمۡلُوكِ الَّذِي يَمۡلِکُهُ رَجُلٌ وَاحِدٌ؟! لَا... هَٰذَا مَثَلٌ لِلۡمُشۡرِكِ.... 

Seperti itulah seorang muwahid. Dia adalah hamba Tuhan yang Mahaesa, yaitu Allah—subhanahu wa ta’ala—. Dia mengerjakan ketaatan kepada-Nya dan menjauhi maksiat terhadap-Nya. 

“Dan seorang lelaki (budak) yang dikuasai penuh oleh seseorang saja.” Yakni, murni milik seseorang. Dikuasai oleh seorang tuan. 

Apakah budak yang dimiliki beberapa orang yang berserikat sama dengan budak yang dimiliki satu tuan?! Tidak. Inilah permisalan untuk orang musyrik. 

﴿هَلۡ يَسۡتَوِيَانِ مَثَلًا﴾ الۡاِسۡتِفۡهَامُ لِلۡإِنۡكَارِ، لَا يَسۡتَوِي هَٰذَا وَهَٰذَا، وَهَٰذَا أَيۡضًا مَثَلٌ ضَرَبَهُ اللهُ لِلشِّرۡكِ وَالتَّوۡحِيدِ. 

“Apakah keduanya sama permisalannya?” Ini adalah pertanyaan untuk pengingkaran. Tidak sama antara ini dengan itu. Ini juga salah satu permisalan yang Allah buat untuk syirik dan tauhid. 

وَضَرَبَ اللهُ مَثَلًا لِلشِّرۡكِ وَبُطۡلَانِهِ فِي قَوۡلِهِ تَعَالَى: ﴿وَمَن يُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَكَأَنَّمَا خَرَّ مِنَ ٱلسَّمَآءِ فَتَخۡطَفُهُ ٱلطَّيۡرُ أَوۡ تَهۡوِى بِهِ ٱلرِّيحُ فِى مَكَانٍ سَحِيقٍ﴾ [الحج: ٣١]. 

Allah juga membuat sebuah permisalan untuk kesyirikan dan kebatilannya di dalam firman Allah taala, “Barang siapa yang menyekutukan Allah maka seakan-akan dia jatuh dari langit, lalu disambar oleh burung atau diterbangkan oleh angin ke tempat yang jauh.” (QS. Al-Hajj: 31). 

الۡمُوَحِّدُ فِي رِفۡعَةِ مَكَانَتِهِ وَسُمُوِّ مَنۡزِلَتِهِ مِثۡلُ الَّذِي فِي السَّمَاءِ مُرۡتَفِعُ الۡمَكَانَةِ سَامِيُ الۡمَكَانَةِ عِنۡدَ اللهِ سُبۡحَانَهُ وَتَعَالَى، وَأَمَّا الۡمُشۡرِكُ فَإِنَّهُ مَثَلُهُ مَثَلُ الَّذِي يَسۡقُطُ مِنَ الۡعُلُوِّ، لَمَّا أَشۡرَكَ بِاللهِ سَقَطَ مِنَ الۡاِرۡتِفَاعِ الَّذِي فِيهِ أَهۡلُ التَّوۡحِيدِ، وَالسُّمُوِّ الَّذِي فِيهِ أَهۡلُ التَّوۡحِيدِ، وَالۡمَكَانَةِ الۡمُرۡتَفِعَةِ الۡعَالِيَةِ الَّتِي فِيهَا أَهۡلُ التَّوۡحِيدِ، الۡمُشۡرِكُ لَمَّا أَشۡرَكَ بِاللهِ سَقَطَ مِنۡ مُرۡتَفِعٍ بَعِيدَ الۡاِرۡتِفَاعِ. 

Seorang muwahid berada di kedudukan yang tinggi seperti berada di langit. Tinggi kedudukannya di sisi Allah—subhanahu wa ta’ala—. 

Adapun permisalan orang musyrik seperti orang yang jatuh dari ketinggian. Ketika dia menyekutukan Allah, jatuhlah dia dari ketinggian yang merupakan tempat ahli tauhid. Orang musyrik, ketika menyekutukan Allah, jatuh dari tempat yang tinggi ke tempat yang paling jauh. 

مَاذَا تَكُونُ حَالُهُ فِي حَالَةِ السُّقُوطِ وَالۡعِيَاذُ بِاللهِ؟ إِمَّا أَنۡ تَعۡتَرِضَهُ جَوَارِحُ الطَّيۡرِ فَتُمَزِّقَ لَحۡمَهُ وَتَأۡكُلَهُ فِي الۡهَوَاءِ، وَإِمَّا أَنۡ يَسۡلَمَ مِنَ الۡجَوَارِحِ لَٰكِنَّ الرِّيحَ تَحۡمِلُهُ وَتَرۡمِي بِهِ فِي مَكَانٍ بَعِيدٍ عَنِ الۡأُنۡسِ، وَتُلۡقِيهِ فِي مَكَانٍ خَالٍ مُوحَشٌ مَا فِيهِ شَرَابٌ وَلَا فِيهِ شَيۡءٌ. 

Bagaimana jadinya ketika dia sedang jatuh—kita berlindung kepada Allah—? Bisa jadi burung pemangsa menangkapnya, lalu mencabik dagingnya dan memakannya di udara. Bisa pula dia selamat dari burung pemangsa, akan tetapi angin menerbangkannya dan melemparkannya di suatu tempat yang jauh dari kenyamanan dan melemparkannya di tempat yang sepi nan tandus. Tidak ada minuman dan tidak ada apa-apa di situ. 

كَذٰلِكَ الۡمُشۡرِكِ هُوَ عُرۡضَةٌ لِهَٰذِهِ الۡأَشۡيَاءِ، وَهَٰذِهِ الۡأَهۡوَاءِ، وَهَٰذِهِ الۡمَنَاهِجِ، وَهَٰذِهِ الۡمَذَاهِبِ الَّتِي تَقۡطَعُهُ وَتُشَتِّتُهُ وَتُهۡلِكُهُ فِي النِّهَايَةِ. 

Seperti itulah orang musyrik. Dia dihadapkan kepada segala hal ini, hawa nafsu, jalan-jalan, mazhab-mazhab yang mencabiknya, menceraiberaikannya, dan membinasakannya di akhir nanti. 

فَهَٰذَا مَثَلٌ لِلۡمُؤۡمِنِ وَمَثَلٌ لِلۡمُوَحِّدِ، الۡمُؤۡمِنُ فِي عُلُوٍّ وَارۡتِفَاعٍ وَسُمُوٍّ عِنۡدَ اللهِ -جَلَّ وَعَلَا- لِتَوۡحِيدِهِ وَإِخۡلَاصِهِ، وَالۡمُشۡرِكُ سَاقِطٌ مِنَ الۡعُلُوِّ سَاقِطٌ مِنَ التَّوۡحِيدِ، مُعَرَّضٌ لِكُلِّ هَلَاكٍ وَلِكُلِّ ضَلَالٍ، وَهَٰذِهِ حَالُ الۡمُشۡرِكِينَ وَالۡعِيَاذُ بِاللهِ، مُعَرَّضِينَ لِكُلِّ بَلَاءٍ وَلِكُلِّ هَلَاكٍ وَلِكُلِّ هَوًى وَلِكُلِّ شَيۡطَانٍ يَتَنَازَعُهُمۡ كُلُّ بَلَاءٍ، هَلۡ يَسۡتَوِي هَٰذَا وَهَٰذَا؟! 

Inilah permisalan untuk orang mukmin dan muwahid. Orang mukmin memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Allah—jalla wa ‘ala—karena ketauhidan dan keikhlasannya. Sedangkan orang musyrik, dia jatuh dari ketinggian, jatuh dari ketauhidan, dan dia akan menghadapi segala kebinasaan dan kesesatan. Ini keadaan orang-orang musyrik. Kita berlindung kepada Allah. Mereka adalah orang-orang yang akan dihadapkan kepada segala macam bencana, kebinasaan, hawa nafsu, dan para setan. Segala bencana akan membuat mereka kepayahan. Apakah sama antara ini dengan itu?! 

ثُمَّ فِي آخِرِ السُّورَةِ ضَرَبَ اللهُ مَثَلًا لِبُطۡلَانِ الشِّرۡكِ فَقَالَ: ﴿يَـٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ضُرِبَ مَثَلٌ فَٱسۡتَمِعُوا۟ لَهُۥٓ ۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ تَدۡعُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ لَن يَخۡلُقُوا۟ ذُبَابًا وَلَوِ ٱجۡتَمَعُوا۟ لَهُۥ ۖ وَإِن يَسۡلُبۡهُمُ ٱلذُّبَابُ شَيۡـءًا لَّا يَسۡتَنقِذُوهُ مِنۡهُ ۚ ضَعُفَ ٱلطَّالِبُ وَٱلۡمَطۡلُوبُ﴾ [الحج : ۷۳] 

Kemudian di akhir surah, Allah membuat sebuah permisalan tentang batilnya kesyirikan. Allah berfirman, “Wahai sekalian manusia, suatu permisalan telah dibuat, maka simaklah permisalan itu! Sesungguhnya segala yang kalian seru dari selain Allah, mereka tidak dapat menciptakan seekor lalat meskipun mereka bersatu padu melakukannya. Dan apabila lalat itu merampas sesuatu dari mereka, maka mereka tidak bisa merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemah yang menyembah dan yang disembah.” (QS. Al-Hajj: 73). 

جَمِيعُ الۡأَصۡنَامِ وَجَمِيعُ الۡمَعۡبُودَاتِ مِنۡ دُونِ اللهِ، كُلُّهَا لَا تَسۡتَطِيعُ أَنۡ تَخۡلُقَ الذُّبَابَ، فَكَيۡفَ تُعۡبَدُ مِنۡ دُونِ اللهِ، وَهِيَ لَا تَسۡتَطِيعُ أَنۡ تَخۡلُقَ الذُّبَابَ الَّذِي هُوَ أَصۡغَرُ شَيۡءٍ وَأَحۡقَرُ شَيۡءٍ؟! مَا طُلِبَ مِنۡهُمۡ أَنۡ يَخۡلُقُوا بَلَدًا أَوۡ يَخۡلُقُوا جَبَلًا أَوۡ يَخۡلُقُوا إِبِلًا أَوۡ بَقَرًا أَوۡ آدَمِيِّينَ، بَلۡ ذُبَابٌ، أَقَلُّ شَيۡءٍ!! 

Semua berhala dan seluruh sesembahan selain Allah tidak mampu untuk menciptakan lalat. Lalu bagaimana yang selain Allah itu disembah sementara dia tidak mampu untuk menciptakan lalat yang merupakan makhluk yang paling kecil dan paling rendah?! Sesembahan selain Allah itu tidak diminta untuk menciptakan sebuah negeri atau untuk menciptakan sebuah gunung atau untuk menciptakan seekor unta, sapi, atau manusia. Namun, hanya seekor lalat, makhluk yang paling kecil. 

هَٰذَا تَعۡجِيزٌ مِنَ اللهِ –جَلَّ وَعَلَا- لِآلِهَةِ الۡمُشۡرِكِينَ، فَإِذَا كَانَتۡ لَا تَسۡتَطِيعُ أَنۡ تَخۡلُقَ الذُّبَابَ فَكَيۡفَ تُعۡبَدُ مَعَ الۡخَالِقِ الَّذِي هُوَ خَالِقُ كُلِّ شَيۡءٍ سُبۡحَانَهُ وَتَعَالَى؟ اللهُ خَالِقُ كُلِّ شَيۡءٍ، الۡخَلَّاقُ الۡعَلِيمُ الَّذِي لَا يُعۡجِزُهُ شَيۡءٌ، كَيۡفَ يُقَاسُ هَٰذَا بِهَٰذَا؟ 

Ini adalah keterangan yang tidak terbantahkan dari Allah—jalla wa ‘ala—terhadap ilah-ilah kaum musyrikin. Apabila ilah-ilah itu tidak mampu menciptakan lalat, lalu bagaimana bisa dia diibadahi bersama Allah yang menciptakan segala sesuatu—subhanahu wa ta’ala—? Allah adalah pencipta segala sesuatu, Maha Pencipta lagi Maha mengetahui, tidak ada sesuatu pun yang dapat melemahkan-Nya. Bagaimana yang ini bisa dikiaskan dengan yang itu? 

فَهَٰذَا مَثَلٌ وَاضِحٌ لِبُطۡلَانِ الشِّرۡكِ، وَأَنَّهُ لَا مُسۡتَنَدَ لَهُ، وَلَا أَصۡلَ لَهُ وَلَا فَرۡعَ، ﴿لَن يَخۡلُقُوا۟﴾ وَلَاحِظُوا كَلِمَةَ (لَنۡ يَخۡلُقُوا) هَٰذَا لِلۡمُسۡتَقۡبَلِ إِلَى يَوۡمِ الۡقِيَامَةِ، فَالتَّعۡجِيزُ مُسۡتَمِرٌّ إِلَى يَوۡمِ الۡقِيَامَةِ، أَيُّ مُشۡرِكٍ يَدۡعُو غَيۡرَ اللهِ يُقَالُ لَهُ: هَلِ الَّذِي تَعۡبُدُهُ خَلَقَ ذُبَابَةً؟ 

Ini adalah permisalan yang jelas akan batilnya kesyirikan. Perbuatan kesyirikan tidak ada sandaran dalilnya, tidak memiliki dasar, dan tidak memiliki kemuliaan. 

“Mereka tidak akan dapat menciptakan.” Perhatikan ungkapan ini! Ungkapan ini menunjukkan masa yang akan datang hingga hari kiamat. Jadi pernyataan akan ketidakmampuan mereka ini terus berlaku hingga hari kiamat. Tanyakan kepada orang musyrik yang manapun yang menyeru selain Allah: Apakah yang engkau ibadahi bisa menciptakan seekor lalat? 

كُلُّ هَٰذِهِ الَّتِي يَعۡبُدُونَ مِنَ الۡمَعۡبُودَاتِ وَالۡأَصۡنَامِ وَالتَّمَاثِيلِ وَالۡأَوۡلِيَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَالۡقُبُورِ وَالۡأَشۡجَارِ وَالۡأَحۡجَارِ، كُلُّهُمۡ مُوَجَّهٌ إِلَيۡهِمۡ هَٰذَا الۡمَثَلُ. فَمَا دَامَ أَنَّهُمۡ لَا يَقۡدِرُونَ عَلَى خَلۡقِ الذُّبَابِ فَكَيۡفَ يَصۡلُحُونَ لِلۡعِبَادَةِ؟! 

Permisalan ini tertuju kepada seluruh yang mereka ibadahi, berupa sesembahan, berhala-berhala, patung-patung, wali-wali, orang-orang saleh, kuburan, pepohonan, dan bebatuan. 

Sesembahan itu selamanya tidak akan mampu menciptakan lalat. Lalu bagaimana mereka boleh untuk diibadahi?! 

﴿أَفَمَن يَخۡلُقُ كَمَن لَّا يَخۡلُقُ ۗ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ﴾ [النحل: ۱۷]، ﴿وَٱلَّذِينَ يَدۡعُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ لَا يَخۡلُقُونَ شَيۡـءًا وَهُمۡ يُخۡلَقُونَ ۝٢٠ أَمۡوَٰتٌ غَيۡرُ أَحۡيَآءٍ ۖ﴾ [النحل: ٢٠-٢١]، ﴿أَرَءَيۡتُمۡ شُرَكَآءَكُمُ ٱلَّذِينَ تَدۡعُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ أَرُونِى مَاذَا خَلَقُوا۟ مِنَ ٱلۡأَرۡضِ أَمۡ لَهُمۡ شِرۡكٌ فِى ٱلسَّمَـٰوَٰتِ﴾ [فاطر: ٤٠]. 

“Apakah yang menciptakan sama seperti yang tidak bisa menciptakan?! Apa kalian tidak mengambil pelajaran?” (QS. An-Nahl: 17). 

“Segala yang mereka seru selain Allah tidak bisa menciptakan sesuatu pun, bahkan mereka itu diciptakan. (Berhala-berhala itu) benda mati tidak hidup.” (QS. An-Nahl: 20-21). 

“Kabarkanlah tentang sekutu-sekutu yang kalian seru selain Allah. Perlihatkan kepadaku, bagian bumi mana yang telah mereka ciptakan? Ataukah mereka memiliki andil dalam (penciptaan) langit?” (QS. Fathir: 40). 

مَا يَسۡتَطِيعُ الۡمُشۡرِكُونَ أَنۡ يَقُولُوا: إِنَّ مَعۡبُودَاتِهِمۡ خَلَقَتۡ وَلَوۡ ذُبَابَةً، وَلَا يَسۡتَطِيعُونَ هَٰذَا فِي الۡمُسۡتَقۡبَلِ، حَتَّى فِي زَمَانِ تَقَدُّمِ الصِّنَاعَةِ الۡآنَ وَتَفَنُّنِ الصِّنَاعَةِ، مَا يَسۡتَطِيعُ صُنَّاعُ الۡعَالَمِ وَمَهَرَةُ الۡعَالَمِ وَأَطِبَّاءُ الۡعَالَمِ أَنۡ يَخۡلُقُوا ذُبَابًا، 

Orang-orang musyrik itu tidak mampu untuk mengatakan bahwa sesembahan mereka telah menciptakan sesuatu meski sekadar lalat. Mereka pun tidak mampu mengatakannya di masa yang akan datang. Sampai pun di zaman industri sudah semakin maju dan beraneka ragam seperti sekarang. Para pencipta, para ahli, para dokter sealam raya tidak mampu untuk menciptakan seekor lalat. 

يَصۡنَعُونَ طَيَّارَةً، يُرَكِّبُونَ بَعۡضَهَا فِي بَعۡضٍ، طَائِرَةٌ تَحۡمِلُ الرُّكَّابَ، هَٰذِهِ صِنَاعَةٌ مُمۡكِنَةٌ يَتَعَلَّمُهَا الۡإِنۡسَانُ وَيَعۡرِفُهَا، وَاللهُ هُوَ الَّذِي سَخَّرَهَا لَنَا، وَهُوَ الَّذِي أَلۡهَمۡنَا أَنۡ نَسۡتَعۡمِلَهَا وَأَنۡ نَسۡتَخۡدِمَهَا رَحۡمَةً بِنَا، يُمۡكِنُ أَنۡ يَصۡنَعَ الۡبَشَرُ طَيَّارَةً وَيَصۡنَعُوا بَاخِرَةً، لَكِنَّ الۡخَلۡقَ لَا يَخۡلُقُ ذُبَابَةً! لِأَنَّ هَٰذَا مِنۡ خَصَائِصِ اللهِ سُبۡحَانَهُ وَتَعَالَى. 

Mereka bisa membuat pesawat terbang dengan cara merakit komponen-komponennya. Pesawat terbang itu bisa mengangkut penumpang. Ini merupakan barang produksi yang mungkin dipelajari dan diilmui oleh manusia. Namun, Allah lah yang menundukkan pesawat itu untuk kita. Allah yang mengilhamkan kepada kita untuk bisa menggunakannya dan memanfaatkannya sebagai rahmat untuk kita. 

Mungkin saja manusia membuat pesawat terbang dan membuat kapal. Akan tetapi seluruh makhluk tidak bisa menciptakan seekor lalat, karena ini termasuk kekhususan Allah—subhanahu wa ta’ala. 

فَالۡعِبَادَةُ إِنَّمَا يَسۡتَحِقُّهَا الۡخَالِقُ سُبۡحَانَهُ وَتَعَالَى: ﴿أَفَمَن يَخۡلُقُ كَمَن لَّا يَخۡلُقُ ۗ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ﴾ [النحل : ١٧]. ثُمَّ قَالَ: ﴿وَإِن يَسۡلُبۡهُمُ ٱلذُّبَابُ شَيۡـءًا﴾ الذُّبَابُ الَّذِي هُوَ أَضۡعَفُ شَيۡءٍ لَوۡ يَأۡخُذُ مِنۡ هَٰذَا الصَّنَمِ الَّذِي يُعۡبَدُ، لَوۡ يَأۡخُذُ مِنۡهُ شَيۡئًا مِمَّا يُوضَعُ عَلَيۡهِ مِنَ الطِّيبِ أَوۡ مِنَ الذَّهَبِ؛ لِأَنَّهُمۡ يَضَعُونَ عَلَى هَٰذِهِ الۡمَعۡبُودَاتِ أَشۡيَاءَ مِنَ الۡحُلِيِّ وَمِنَ الذَّهَبِ وَمِنَ الطِّيبِ وَالۡبُخُورِ، لَوۡ جَاءَ الذُّبَابُ وَأَخَذَ مِمَّا عَلَيۡهَا شَيۡئًا يَسِيرًا، هَلۡ تَسۡتَطِيعُ هَٰذِهِ الۡأَصۡنَامُ أَنۡ تَسۡتَرِدَّ مَا أَخَذَهُ الذُّبَابُ؟ لَا تَسۡتَطِيعُ أَنۡ تَنۡتَصِرَ لِنَفۡسِهَا مِنَ الذُّبَابِ: ﴿وَإِن يَسۡلُبۡهُمُ ٱلذُّبَابُ شَيۡـءًا لَّا يَسۡتَنقِذُوهُ مِنۡهُ ۚ ضَعُفَ ٱلطَّالِبُ﴾ الَّذِي هُوَ الۡمُشۡرِكُ ﴿وَٱلۡمَطۡلُوبُ﴾ الَّذِي هُوَ الۡمَعۡبُودُ مِنۡ دُونِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، ذُبَابٌ أَعۡجَزَ الۡجَمِيعَ. فَهَٰذَا مِنۡ أَعۡظَمِ الۡأَمۡثِلَةِ عَلَى بُطۡلَانِ الشِّرۡكِ بِاللهِ عَزَّ وَجَلَّ. 

Jadi hanya Allah Maha Pencipta—subhanahu wa taala—yang berhak untuk diibadahi. “Apakah (Allah) yang menciptakan sama seperti yang tidak menciptakan?! Mengapa kalian tidak mengambil pelajaran?” (QS. An-Nahl: 17). 

Kemudian Allah berfirman, “Jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka.” Lalat yang merupakan makhluk terlemah, andai dia mengambil sesuatu yang diletakkan di atas berhala yang diibadahi, berupa wewangian atau emas—karena para penyembah berhala itu meletakkan perhiasan, emas, wewangian, dupa di atas sesembahan itu—. Andai lalat datang lalu mengambil sedikit darinya, apakah berhala ini mampu untuk merebut kembali barang yang diambil lalat itu? Berhala itu tidak mampu untuk membela dirinya dari lalat. 

“Jika lalat itu merampas sesuatu dari berhala-berhala itu, niscaya mereka tidak dapat merebutnya kembali. Amat lemah yang menyembah,” yaitu orang musyrik. “(Dan lemah pula) yang disembah,” yaitu sesembahan selain Allah—‘azza wa jalla—. Seekor lalat bisa membuat semua sesembahan selain Allah itu lemah tak berdaya. 

Ini termasuk perumpamaan yang paling agung akan batilnya kesyirikan kepada Allah—‘azza wa jalla. 

يُمۡكِنُ أَنۡ يَقُولُوا: نَحۡنُ مَا نَقُولُ: إِنَّ مَعۡبُودَاتِنَا تَخۡلُقُ مَعَ اللهِ، اللهُ هُوَ الۡخَالِقُ وَحۡدَهُ وَنَحۡنُ نَعۡتَرِفُ بِذٰلِكَ، هُوَ الۡخَالِقُ الرَّازِقُ الۡمُحۡيِي الۡمُمِيتُ الۡمُدَبِّرُ، نَحۡنُ نَعۡتَقِدُ هَٰذَا، لَكِنۡ هَٰؤُلَاءِ عُبَّادٌ صَالِحُونَ وَنُرِیدُ مِنۡهُمۡ أَنۡ يَشۡفَعُوا لَنَا عِنۡدَ اللهِ، نَتَّخِذُهُمۡ وَسَائِلَ، فَنَحۡنُ نَعۡبُدُهُمۡ مِنۡ أَجۡلِ أَنۡ يُقَرِّبُونَا إِلَى اللهِ زُلۡفَى، وَإِلَّا نَحۡنُ نَعۡلَمُ أَنَّهُمۡ مَا يَخۡلُقُونَ وَلَا يَرۡزُقُونَ، لَكِنۡ لِأَنَّهُمۡ عُبَّادٌ صَالِحُونَ لَهُمۡ مَنۡزِلَةٌ عِنۡدَ اللهِ نُرِيدُ مِنۡهُمۡ أَنۡ يُقَرِّبُونَا وَيَشۡفَعُوا لَنَا إِلَى اللهِ، أَنۡ يَتَوَسَّطُوا لَنَا عِنۡدَ اللهِ. وَيَذۡبَحُونَ لَهُمۡ وَيَنۡذُرُونَ لَهُمۡ وَيَطُوفُونَ بِقُبُورِهِمۡ وَيَعۡكُفُونَ عِنۡدَهَا، وَيَصۡرِفُونَ لَهُمُ الۡعِبَادَاتِ، وَهُمۡ يَعۡتَرِفُونَ أَنَّهُمۡ مَا يَخۡلُقُونَ وَلَا يَرۡزُقُونَ وَلَا يُدَبِّرُونَ مِنَ الۡأَمۡرِ شَيۡئًا، وَإِنَّمَا يُرِيدُونَ مِنۡهُمُ الۡوَسَاطَةَ عِنۡدَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ. 

Mungkin saja mereka berkata: Kami tidak mengatakan bahwa sesembahan kami bisa menciptakan bersama Allah. Allah sajalah yang menciptakan dan kami mengakuinya. Dia adalah pencipta, pemberi rezeki, yang menghidupkan, yang mematikan, dan yang mengatur urusan. Kami pun meyakininya, tetapi mereka adalah hamba-hamba yang saleh. Kami ingin agar mereka memberi syafaat untuk kami di sisi Allah. Kami menjadikan mereka sebagai wasilah. Kami beribadah kepada mereka agar mereka mendekatkan kami kepada Allah sedekat-dekatnya. 

Kalau bukan karena itu (niscaya kami tidak akan beribadah kepada mereka), karena kami tahu bahwa mereka tidak menciptakan dan tidak dapat memberi rezeki. Namun, karena mereka hamba-hamba yang saleh, maka mereka memiliki kedudukan di sisi Allah sehingga kami ingin dari mereka agar mereka mendekatkan kami dan memberi syafaat untuk kami kepada Allah, serta agar mereka menjadi perantara untuk kami di sisi Allah. 

Orang-orang musyrik itu menyembelih untuk mereka, bernazar untuk mereka, tawaf di kuburan mereka, dan beriktikaf di dekatnya. Mereka memalingkan ibadah-ibadah kepada sesembahan selain Allah itu dalam keadaan mereka mengetahui bahwa sesembahan itu tidak bisa menciptakan, tidak memberi rezeki, dan tidak mengatur sedikit urusanpun. Mereka hanya menginginkan sesembahan itu sebagai perantara di sisi Allah—‘azza wa jalla. 

اللهُ عَزَّ وَجَلَّ أَبۡطَلَ هَٰذَا بِالۡمَثَلِ: ﴿ضَرَبَ لَكُم مَّثَلًا مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ ۖ هَل لَّكُم مِّن مَّا مَلَكَتۡ أَيۡمَـٰنُكُم مِّن شُرَكَآءَ فِى مَا رَزَقۡنَـٰكُمۡ فَأَنتُمۡ فِيهِ سَوَآءٌ تَخَافُونَهُمۡ كَخِيفَتِكُمۡ أَنفُسَكُمۡ ۚ كَذَٰلِكَ نُفَصِّلُ ٱلۡءَايَـٰتِ لِقَوۡمٍ يَعۡقِلُونَ﴾ [الروم: ۲۸] فَإِذَا كُنۡتُمۡ لَا تَرۡضَوۡنَ أَنۡ يُشَارِكَكُمۡ أَحَدُ عَبِیدِکُمۡ، فَكَيۡفَ تَرۡضَوۡنَ لِلهِ أَنۡ يُشَارِكَهُ عَبۡدٌ مِنۡ عَبِيدِهِ؟ فَكَيۡفَ تَصِفُونَ اللهَ بِمَا تُنَزِّهُونَ مِنۡهُ أَنۡفُسَكُمۡ؟!! 

Allah—‘azza wa jalla—menggugurkan alasan ini dengan sebuah perumpamaan, “Allah telah membuat permisalan untuk kalian dari diri kalian sendiri. Apakah kalian memiliki budak-budak yang berserikat dalam rezeki yang Kami berikan kepada kalian, lalu kalian sama rata dalam pembagiannya? Kalian mengkhawatirkan mereka seperti kekhawatiran kalian terhadap diri-diri kalian. Demikianlah kami jelaskan ayat-ayat untuk kaum yang berakal.” (QS. Ar-Rum: 28). 

Apabila kalian tidak rida apabila salah satu budak kalian berserikat (dalam harta) dengan kalian, maka bagaimana kalian bisa rida apabila salah seorang dari hamba Allah berserikat dengan Allah? Bagaimana kalian menyifati Allah dengan sifat yang dijauhi oleh diri kalian sendiri?! 

وَكَانُوا يَقُولُونَ فِي تَلۡبِيَتِهِمۡ: (لَبَّيۡكَ لَا شَرِيكَ لَكَ، إِلَّا شَرِیكًا هُوَ لَكَ، تَمۡلِکُهُ وَمَا مَلَكَ) فَضَرَبَ اللهُ لَهُمۡ هَٰذَا الۡمَثَلَ. 

Dahulu orang-orang musyrik berkata dalam talbiah mereka, “Kami penuhi panggilan-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu kecuali sekutu yang Engkau miliki. Engkau memilikinya, sedangkan dia tidak memiliki.” Lalu Allah membuat permisalan ini untuk mereka. 

وَبِاللهِ التَّوۡفِيقُ، وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحۡبِهِ أَجۡمَعِينَ. 

Taufik hanya dari Allah. Semoga Allah mencurahkan selawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, kepada keluarga dan sahabat beliau seluruhnya.