فَائِدَةٌ: وَفِعۡلُ الۡأَمۡرِ لَهُ فَاعِلٌ يَكُونُ فِي الۡغَالِبِ ضَمِيرًا
مُسۡتَتِرًا، وَيَكُونُ ظَاهِرًا إِذَا أُسۡنِدَ الۡفِعۡلُ إِلَى أَلِفِ
الۡاِثۡنَيۡنِ، وَاوِ الۡجَمَاعَةِ، يَاءِ الۡمُخَاطَبَةِ مِثۡلُ: اكۡتُبَا،
اكۡتُبُوا، اکۡتُبِي.
Fiil amr memiliki fa’il yang sebagian besarnya berupa dhamir mustatir (kata
ganti yang tersembunyi). Fa’il-nya juga bisa tampak apabila fiil itu
dirangkaikan dengan huruf alif itsnain (menunjukkan makna ganda), huruf wawu
jama’ah (menunjukkan makna jamak), atau huruf ya mukhathabah (menunjukkan
makna orang kedua/yang diajak bicara muanas). Contoh: اكۡتُبَا, اكۡتُبُوا, dan
اكۡتُبِي.
قَاعِدَةٌ: كُلُّ فِعۡلِ أَمۡرٍ فَفَاعِلُهُ مُسۡتَتِرٌ وُجُوبًا إِلَّا إِذَا
اتَّصَلَ بِهِ أَلِفُ الاثۡنَيۡنِ، أَوۡ وَاوُ الۡجَمَاعَةِ، أَوۡ يَاءُ
الۡمُخَاطَبَةِ، حَتَّى إِذَا قُلۡتَ: (اضۡرِبَن) فَاتَّصَلَتۡ بِهِ نُونُ
التَّوۡكِيدِ فَهُوَ مُسۡتَتِرٌ وُجُوبًا تَقۡدِيرُهُ أَنۡتَ.
Kaidah: Setiap fiil amr, fa’il-nya mustatir wujuban (wajib disembunyikan)
kecuali ketika disambung oleh huruf alif itsnain, atau wawu jama’ah, atau ya
mukhathabah. Sampai ketika engkau katakan, “اضۡرِبَن”, disambung oleh huruf
nun taukid, maka tetap fa’il-nya mustatir wujuban, asumsinya anta.
الۡآنَ عَرَفۡنَا فِعۡلَ الۡأَمۡرِ هَلۡ هُوَ مَبۡنِيٌّ أَوۡ مُعۡرَبٌ؟ عَلَى
كَلَامِ الۡمُؤَلِّفِ مُعۡرَبٌ مَجۡزُومٌ، وَالصَّحِيحُ أَنَّهُ مَبۡنِيٌّ.
عَلَى أَيِّ شَيۡءٍ يُبۡنَی؟ عَلَى وَاحِدٍ مِنۡ أَرۡبَعَةِ أُمُورٍ:
السُّكُونِ، الۡفَتۡحِ، حَذۡفِ حَرۡفِ الۡعِلَّةِ، حَذۡفِ
النُّونِ.
Sekarang, kita telah mengetahui apakah fiil amr itu mabni (tetap) atau mu’rab
(bisa diikrab)? Jika sesuai ucapan mualif, fiil amr itu mu’rab di-jazm, namun
yang sahih adalah mabni. Di atas hal apa dia mabni? Di atas salah satu dari
empat hal: sukun, fatah, penghapusan huruf ilat, dan penghapusan huruf
nun.
فِعۡلُ الۡأَمۡرِ لَا بُدَّ لَهُ مِنۡ فَاعِلٍ، وَكُلُّ فِعۡلٍ لَا بُدَّ لَهُ
مِنۡ فَاعِلٍ، لَكِنۡ فَاعِلُهُ مُسۡتَتِرٌ وُجُوبًا تَقۡدِيرُهُ (أَنۡتَ)
إِلَّا إِذَا اتَّصَلَ بِهِ أَلِفُ الۡاثۡنَيۡنِ، أَوۡ وَاوُ الۡجَمَاعَةِ،
أَوۡ يَاءُ الۡمُخَاطَبَةِ.
Fiil amr harus memiliki fa’il. Setiap fiil harus memiliki fa’il (pelaku). Akan
tetapi fa’il dari fiil amr itu mustatir wujuban (wajib disembunyikan),
asumsinya adalah anta. Kecuali apabila disambung oleh huruf alif itsnain atau
huruf wawu jama’ah atau huruf ya mukhathabah.
وَقَوۡلُهُ: (وَالۡمُضَارِعُ مَا كَانَ فِي أَوَّلِهِ إِحۡدَى الزَّوَائِدِ
الۡأَرۡبَعِ يَجۡمَعُهَا قَوۡلُكَ: أَنَيۡتُ).
Ucapan mualif, “Fiil mudhari’ adalah fiil yang diawali oleh salah satu dari
empat huruf yang dikumpulkan oleh ucapanmu: أَنَيۡتُ.”
الۡمُضَارِعُ لَهُ عَلَامَةٌ مُتَّصِلَةٌ وَعَلَامَةٌ مُنۡفَصِلَةٌ.
الۡعَلَامَةُ الۡمُنۡفَصِلَةُ (لَمۡ) فَكُلُّ كَلِمَةٍ تَقۡبَلُ (لَمۡ) فَهِيَ
مُضَارِعٌ، قَالَ ابۡنُ مَالِكٍ:
................... وَفِعۡلٌ مُضَارِعٌ يَلِي (لَمۡ) كَـ(يَشَمّ)
Fiil mudhari’ memiliki tanda yang tersambung dan tanda yang terpisah. Tanda
yang terpisah adalah لَمۡ. Jadi setiap kata yang bisa menerima/didahului لَمۡ,
maka kata tersebut adalah fiil mudhari’. Ibnu Malik berkata, “Fiil mudhari’ bisa mengikuti لَمۡ seperti يَشَمّ.”
فَكُلُّ كَلِمَةٍ تَقۡبَلُ (لَمۡ) فَهِيَ فِعۡلٌ مُضَارِعٌ، إِذَا قُلۡنَا:
(يَقُومُ) تَقۡبَلُ (لَمۡ)، فَنَقُولُ: (لَمۡ يَقُمۡ). أَمَّا (قَامَ) فَلَا
يَقۡبَلُ، فَلَيۡسَ مُضَارِعًا.
Setiap kata yang bisa didahului oleh لَمۡ, maka dia adalah fiil mudhari’.
Apabila kita katakan, “يَقُومُ” bisa menerima لَمۡ, maka kita katakan, “لَمۡ
يَقُمۡ”. Adapun “قَامَ”, maka tidak bisa menerima لَمۡ, jadi dia bukan fiil
mudhari’.
وَهُنَاكَ عَلَامَةٌ مُتَّصِلَةٌ، يَقُولُ الۡمُؤَلِّفُ فِيهَا: (مَا كَانَ
فِي أَوَّلِهِ إِحۡدَى الزَّوَائِدِ). انۡتَبِهۡ لِكَلِمَةِ (إِحۡدَى
الزَّوَائِدِ الۡأَرۡبَعِ يَجۡمَعُهَا قَوۡلُكَ أَنَيۡتُ)، وَاخۡتَارَ
الۡمُؤَلِّفُ (أَنَيۡتُ) لِأَنَّهَا أَحۡسَنُ مِنۡ (نَأَيۡتُ) الَّتِي
بِمَعۡنَى بَعُدۡتُ، لَكِنۡ (أَنَيۡتُ) مِنَ (الۡأَنَى).
Di sana ada tanda yang tersambung. Mualif berkata tentang itu, “Kata yang
diawali oleh salah satu huruf tambahan.” Perhatikan kalimat, “salah satu dari
empat huruf tambahan yang dikumpulkan oleh ucapanmu: أَنَيۡتُ.” Mualif memilih
أَنَيۡتُ karena lebih bagus daripada نَأَيۡتُ yang bermakna aku menjauh. Namun
أَنَيۡتُ dari kata الۡأَنَى (ketidaktergesaan).
إِذَنۡ هَٰذِهِ الزَّوَائِدُ الۡأَرۡبَعُ إِذَا كَانَتۡ فِي كَلِمَةٍ فَهِيَ
فِعۡلٌ مُضَارِعٌ، هَٰذَا كَلَامُ الۡمُؤَلِّفِ، وَنُمَثِّلُ لَهُ
بِالۡآتِي:
Jadi empat huruf tambahan ini apabila salah satunya ada di awal kata, maka dia
adalah fiil mudhari’. Ini adalah ucapan mualif. Kita akan mencontohkannya
berikut ini:
(أَقُومُ) مُضَارِعٌ؟ فِي أَوَّلِهَا الۡهَمۡزَةُ. (نَقُومُ) مُضَارِعٌ؟
نَعَمۡ. مَا الَّذِي فِي أَوَّلِهَا مِنَ الۡحُرُوفِ الزَّوَائِدِ؟ النُّونُ.
(يَقُومُ) مُضَارِعٌ مَا الَّذِي فِي أَوَّلِهَا؟ الۡيَاءُ. (تَقُومُ)
مُضَارِعٌ. وَالَّذِي فِي أَوَّلِهَا؟ التَّاءُ.
(تَعِبَ) فِي أَوَّلِهَا تَاءٌ لَكِنَّهَا لَيۡسَتۡ بِزَائِدَةٍ، هَيِ
أَصۡلِيَّةٌ وَالۡمُؤَلِّفُ يَقُولُ: (إِحۡدَى الزَّوَائِدِ)، أَمَّا (تَعِبَ)
فَالتَّاءُ أَصۡلِيَةٌ؛ لِأَنَّكَ تَقُولُ: وَزۡنُ (تَعِبَ)
(فَعِلَ).
“أَقُومُ” apakah fiil mudhari’? Iya, di awalnya ada huruf hamzah.
“نَقُومُ” apakah fiil mudhari’? Iya. Huruf tambahan apa yang ada di awal
katanya? Huruf nun.
“يَقُومُ” adalah fiil mudhari’. Huruf apa yang di awalnya? Huruf ya.
“تَقُومُ” adalah fiil mudhari’. Huruf pertamanya adalah huruf ta.
“تَعِبَ” huruf pertamanya adalah huruf ta. Tapi dia bukan huruf tambahan. Dia
adalah huruf asli. Sementara mualif berkata, “Salah satu dari huruf tambahan.”
Adapun “تَعِبَ”, maka huruf ta di sini asli, karena engkau katakan bahwa wazan
تَعِبَ adalah فَعِلَ.
(يَبِسَ) أَوَّلُهَا يَاءٌ لَكِنَّهَا أَصۡلِيَّةٌ، وَالۡمُؤَلِّفُ يَقُولُ:
(إِحۡدَى الزَّوَائِدِ الۡأَرۡبَعَةِ).
(أَيِسَ) هَٰذِهِ هَمۡزَةٌ أَصۡلِيَّةٌ وَالۡمُؤَلِّفُ يَقُولُ:
(زَائِدَةٌ).
(نَعَسَ) لَا نَقُولُ مُضَارِعًا؛ لِأَنَّ النُّونَ أَصۡلِيَّةٌ،
وَالۡمُؤَلِّفُ يَقُولُ: (إِحۡدَى الزَّوَائِدِ).
“يَبِسَ” huruf pertamanya adalah ya. Akan tetapi dia asli. Sedangkan mualif
mengatakan, “Salah satu dari empat huruf tambahan.”
“أَيِسَ” huruf hamzah ini asli, sedang mualif mengatakan, “tambahan.”
“نَعَسَ” tidak kita katakan fiil mudhari’ karena huruf nun-nya asli, sedang
mualif mengatakan, “Salah satu huruf tambahan.”
قَدۡ يَقُولُ قَائِلٌ: مَا تَقُولُونَ فِي (أَكۡرَمَ)؟ نَقُولُ: فِعۡلٌ مَاضٍ
وَالۡهَمۡزَةُ زَائِدَةٌ؛ لِأَنَّهَا مِنۡ (كَرُمَ).
(نَصَرَ) فِعۡلٌ مَاضٍ مَعَ أَنَّ أَوَّلَهُ نُونٌ، لِأَنَّ النُّونَ
أَصۡلِيَّةٌ.
(تَعِبَ) فِعۡلٌ مَاضٍ مَعَ أَنَّ أَوَّلَهُ تَاءٌ، لِأَنَّ التَّاءَ
أَصۡلِيَّةٌ.
Terkadang ada yang bertanya, “Apa yang engkau katakan tentang أَكۡرَمَ?” Kita
jawab, “Fiil madhi. Huruf hamzah adalah tambahan karena berasal dari kata
كَرُمَ.”
“نَصَرَ” adalah fiil madhi meskipun huruf pertamanya adalah nun, karena nun
ini huruf asli.
“تَعِبَ” adalah fiil madhi meskipun huruf pertamanya adalah ta, karena huruf
ta di sini asli.
نَقُولُ: إِلَّا إِذَا كَانَتِ الزَّائِدَةُ لِلتَّعۡدِيَةِ مِثۡلُ:
(أَكۡرَمَ). (أَنۡجَدَ) أَيۡ: دَخَلَ فِي نَجۡدٍ. وَمَا أَشۡبَهَهَا فَلَا
تَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ مُضَارِعٌ؛ لِأَنَّ هُنَاكَ عَلَامَةً لِلۡمَاضِي
دَاخِلَةً عَلَيۡهِ، وَهِيَ تَاءُ التَّأۡنِيثِ، فَنَقُولُ: (أَكۡرَمَتۡ
هِنۡدٌ) أَوۡ تَاءُ الۡفَاعِلِ (أَكۡرَمۡتُ) هَٰذَا يَمۡنَعُ أَنۡ يَكُونَ
فِعۡلًا مُضَارِعًا، لَكِنۡ كَمَا قُلۡتُ: إِنَّ هَٰذَا الۡكِتَابَ مُخۡتَصَرٌ
لِلۡمُبۡتَدِئِينَ، وَالۡمُبۡتَدِئُ يَعۡقِلُ الۡعِلۡمَ شَيۡئًا فَشَيۡئًا،
لَوۡ أَخَذَهُ مَرَّةً وَاحِدَةً غَصَّ، يَقُولُ الۡعَامَّةُ -مَثَلًا
حَقِيقِيًّا-: (مَنۡ كَبَّرَ اللُّقۡمَةَ غَصَّ، وَمَنۡ صَغَّرَ
شَبِعَ).
Kita katakan: Kecuali jika huruf tambahannya untuk mengubah makna fiil menjadi
transitif, contoh: أَكۡرَمَ (memuliakan). “أَنۡجَدَ” artinya masuk ke Najd.
Dan lain sebagainya. Maka huruf tambahan ini tidak menunjukkan bahwa fiil
tersebut mudhari’. Alasannya karena di sana ada tanda untuk fiil madhi yang
bisa masuk padanya, yaitu:
- huruf ta ta`nits (menunjukkan makna muanas). Kita bisa mengatakan, “أَكۡرَمَتۡ هِنۡدٌ”, atau
- huruf ta fa’il seperti “أَكۡرَمۡتُ”.
Tanda ini menghalangi fiil ini menjadi fiil mudhari’. Akan tetapi, sebagaimana
sudah aku katakan bahwa kitab ini adalah kitab yang ringkas untuk para pemula.
Pemula memahami ilmu setahap demi setahap. Andai dia mengambilnya sekaligus,
niscaya dia tersedak. Keumuman orang mengatakan—sebuah contoh nyata—, “Siapa
saja yang makan dengan suapan yang banyak, niscaya dia akan tersedak. Namun
siapa saja yang makan dengan suapan sedikit-sedikit, niscaya dia akan
kenyang.”
عَلَى كُلِّ حَالٍ، الۡمُضَارِعُ مَا كَانَ فِي أَوَّلِهِ إِحۡدَى
الزَّوَائِدِ الۡأَرۡبَعَةِ يَجۡمَعُهَا قَوۡلُكَ: (أَنَيۡتُ) وَعَرَفۡتُمُ
الۡأَمۡثِلَةَ، وَلَهُ عَلَامَةٌ مُنۡفَصِلَةٌ وَهِيَ: (لَمۡ) وَ(السِّينُ)
وَ(سَوۡفَ). فَإِذَا وَجَدۡتَ كَلِمَةً مُبۡتَدَئَةً بِـ(لَمۡ) فَهِيَ
مُضَارِعٌ، أَوۡ مُبۡتَدَئَةً بِـ(السِّينِ) فَهِيَ مُضَارِعٌ، أَوۡ
مُبۡتَدَئَةً بِـ(سَوۡفَ) فَهِيَ مُضَارِعٌ.
Bagaimanapun, fiil mudhari’ adalah fiil yang huruf pertamanya adalah salah
satu dari empat huruf tambahan yang dikumpulkan oleh ucapanmu: أَنَيۡتُ.
Engkau telah mengetahui contoh-contohnya. Fiil mudhari’ juga memiliki tanda
yang terpisah, yaitu: لَمۡ, huruf sin, dan سَوۡفَ. Jadi, jika engkau dapati
suatu kata yang didahului oleh لَمۡ, maka kata tersebut adalah fiil mudhari’.
Atau didahului oleh huruf sin, maka dia adalah fiil mudhari’. Atau didahului
oleh سَوۡفَ, maka dia adalah fiil mudhari’.
وَهُنَاكَ عَلَامَاتٌ أُخۡرَى لَمۡ يَذۡكُرۡهَا الۡمُؤَلِّفُ، فَلَا
نَذۡكُرُهَا هُنَا اخۡتِصَارًا.
Di sana ada tanda-tanda lain yang tidak disebutkan oleh mualif. Kita pun tidak
menyebutkan di sini untuk meringkas pembahasan.
وَقَوۡلُهُ: (وَهُوَ مَرۡفُوعٌ أَبَدًا) انۡتَبِهۡ حَتَّى لَا يَتَغَيَّرَ
لِسَانُكَ (مَرۡفُوعٌ أَبَدًا) كُلُّ مُضَارِعٍ مَرۡفُوعٌ، وَلَكِنۡ عَلَامَاتُ
الرَّفۡعِ إِمَّا لَفۡظًا، وَإِمَّا تَقۡدِيرًا، وَإِمَّا بِالۡحَرَكَةِ،
وَإِمَّا بِالۡحَرۡفِ.
فَالۡمُضَارِعُ مَرۡفُوعٌ أَبَدًا، وَعَلَامَاتُ الرَّفۡعِ سَبَقَتۡ؛ لِأَنَّ
هَٰذَا الۡكِتَابَ مَبۡنِيٌّ بَعۡضُهُ عَلَى بَعۡضٍ.
Ucapan mualif, “Fiil mudhari’ selalu di-raf’.” Perhatikan hingga lisanmu tidak
berubah. “Selalu di-raf’.” Setiap fiil mudhari’ di-raf’, akan tetapi
tanda-tanda raf’ bisa terlafalkan atau bisa pula disembunyikan. Bisa
menggunakan harakat dan bisa menggunakan huruf.
Jadi fiil mudhari’ selamanya di-raf’. Adapun tanda-tanda raf’ sudah berlalu
karena kitab ini sebagian (penjelasan)nya dibangun di atas sebagian
lainnya.
فَـ(يَضۡرِبُ) آخِرُهُ صَحِيحٌ، وَلَمۡ يَتَّصِلۡ بِآخِرِهِ شَيۡءٌ،
فَيُرۡفَعُ بِالضَّمَّةِ الظَّاهِرَةِ.
(يَخۡشَى) لَمۡ يَتَّصِلۡ بِآخِرِهِ شَيۡءٌ، لَكِنَّهُ مُعۡتَلٌّ، فَيُرۡفَعُ
بِضَمَّةٍ مُقَدَّرَةٍ.
(يَفۡعَلَانِ) اتَّصَلَ بِهِ أَلِفُ اثۡنَيۡنِ، فَلَا يُرۡفَعُ بِالضَّمَّةِ،
وَإِنَّمَا يُرۡفَعُ بِثُبُوتِ النُّونِ، وَالۡأَلِفُ فَاعِلٌ فِي
(يَفۡعَلَانِ)، وَالۡوَاوُ فَاعِلٌ فِي (يَفۡعَلُونَ)، وَالۡيَاءُ فَاعِلٌ فِي
(تَفۡعَلِينَ).
“يَضۡرِبُ” huruf akhirnya sahih dan tidak ada sesuatupun yang bersambung di
akhirnya, maka dia di-raf’ menggunakan harakat damah yang tampak.
“يَخۡشَى” tidak ada sesuatupun yang bersambung di akhirnya, akan tetapi dia
diakhiri huruf ilat, sehingga dia di-raf’ menggunakan harakat damah yang
disembunyikan.
“يَفۡعَلَانِ” disambung oleh huruf alif itsnain (menunjukkan makna ganda),
jadi tidak di-raf’ menggunakan harakat damah, akan tetapi di-raf’ dengan
tetapnya huruf nun. Adapun huruf alif adalah fa’il pada kata
“يَفۡعَلَانِ”.
Huruf wawu adalah fa’il pada kata “يَفۡعَلُونَ”.
Huruf ya adalah fa’il pada kata “تَفۡعَلِينَ”.
وَقَوۡلُ الۡمُؤَلِّفُ: هُوَ (مَرۡفُوعٌ أَبَدًا) ظَاهِرُ كَلَامِهِ أَنَّهُ
حَتَّى الۡمَبۡنِيِّ مَرۡفُوعٌ، وَلَكِنۡ لَيۡسَ بِصَحِيحٍ، يَعۡنِي: لَيۡسَ
عَلَى الۡمَشۡهُورِ عِنۡدَ النَّحۡوِيِّينَ، فَیُسۡتَثۡنَی مِنۡ قَوۡلِنَا:
(وَهُوَ مَرۡفُوعٌ أَبَدًا) مَسۡأَلَتَانِ:
Mualif berkata bahwa fiil mudhari’ “selamanya di-raf’”. Yang tampak dari
ucapan beliau adalah sampai pun fiil mudhari’ yang mabni juga di-raf’. Akan
tetapi ini tidak benar. Yakni ini bukan pendapat yang masyhur menurut para
ilmu nahwu. Sehingga ada dua permasalahan yang dikecualikan dari ucapan kita
“fiil mudhari’ selamanya di-raf’”:
إِذَا اتَّصَلَ بِهِ نُونُ التَّوۡكِيدِ، أَوۡ نُونُ النِّسۡوَةِ، فَإِذَا
اتَّصَلَ بِهِ نُونُ التَّوۡكِيدِ صَارَ مَبۡنِيًّا عَلَى الۡفَتۡحِ، وَإِذَا
اتَّصَلَ بِهِ نُونُ النِّسۡوَةِ صَارَ مَبۡنِيًّا عَلَى
السُّكُونِ.
Ketika disambung oleh huruf nun taukid (penekanan makna) atau nun niswah
(menunjukkan makna muanas). Apabila disambung oleh huruf nun taukid, maka
menjadi mabni di atas harakat fatah. Apabila disambung oleh huruf nun niswah,
maka menjadi mabni di atas sukun.
قَالَ اللهُ تَعَالَى: ﴿وَٱلۡمُطَلَّقَـٰتُ يَتَرَبَّصۡنَ﴾ [القرة: ٢٢٨]،
(يَتَرَبَّصۡنَ): مُضَارِعٌ، لِمَاذَا لَمۡ يُرۡفَعۡ؟ لِأَنَّهُ اتَّصَلَتۡ
بِهِ نُونُ النِّسۡوَةِ.
وَمِنۡهُ قَوۡلُكَ: (النِّسَاءُ يَقُمۡنَ)، (يَقُمۡنَ): فِعۡلٌ مُضَارِعٌ
مَبۡنِيٌّ عَلَى السُّكُونِ لِاتِّصَالِهِ بِنُونِ النِّسۡوَةِ، وَنُونُ
النِّسۡوَةِ فَاعِلٌ.
وَقَوۡلُهُ تَعَالَى: ﴿وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَن يَكۡتُمۡنَ﴾ [البقرة: ٢٢٨]،
(یَكۡتُمۡنَ): اتَّصَلَتۡ بِهِ أَيۡضًا نُونُ النِّسۡوَةِ؛ وَلِهَٰذَا لَمۡ
يُنۡصَبۡ بِالۡفَتۡحَةِ.
Allah taala berfirman, “وَٱلۡمُطَلَّقَـٰتُ يَتَرَبَّصۡنَ (Wanita-wanita yang
ditalak menahan)” (QS. Al-Baqarah: 228). “يَتَرَبَّصۡنَ” adalah fiil mudhari’.
Mengapa tidak di-raf’? Karena dia disambung oleh huruf nun niswah.
Termasuk darinya adalah ucapanmu, “النِّسَاءُ يَقُمۡنَ (Para wanita itu sedang
berdiri).” يَقُمۡنَ adalah fiil mudhari’ mabni di atas sukun karena bersambung
dengan nun niswah. Nun niswah adalah fa’il.
Firman Allah taala, “وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَن يَكۡتُمۡنَ (Tidak halal bagi
mereka untuk menyembunyikan).” (QS. Al-Baqarah: 228). يَكۡتُمۡنَ juga
disambung oleh huruf nun niswah. Oleh karena ini, dia tidak di-nashb
menggunakan harakat fatah.
وَإِذَا اتَّصَلَتۡ بِهِ نُونُ التَّوۡكِيدِ يُبۡنَى عَلَى الۡفَتۡحِ، سَوَاءٌ
كَانَتۡ نُونُ التَّوۡكِيدِ شَدِيدَةً أَوۡ خَفِيفَةً، (شَدِيدَةً) یَعۡنِی:
مُشَدَّدَةً. خَفِيفَةً: مُخَفَّفَةً.
Apabila disambung oleh huruf nun taukid, maka dia mabni di atas harakat fatah.
Sama saja apakah huruf nun taukid-nya syadidah atau khafifah. Syadidah artinya
ditasydid. Khafifah artinya tidak ditasydid.
قَالَ اللهُ تَعَالَى: ﴿لَيُسۡجَنَنَّ وَلَيَكُونًا مِّنَ ٱلصَّـٰغِرِينَ﴾
[يوسف: ٣٢]، هَٰذِهِ الۡآيَةُ اجۡتَمَعَتۡ فِيهَا نُونُ التَّوۡكِيدِ
الۡخَفِيفَةِ وَالشَّدِيدَةِ، (لَيُسۡجَنَنَّ) الثَّقِيلَةُ، (لَيَكُونَنۡ)
خَفِيفَةٌ.
وَفِي قَوۡلِهِ تَعَالَى: ﴿كَلَّا ۖ لَيُنۢبَذَنَّ فِى ٱلۡحُطَمَةِ﴾ [الهمزة:
٤] الثَّقِيلَةُ.
Allah taala berfirman, “لَيُسۡجَنَنَّ وَلَيَكُونًا مِّنَ ٱلصَّـٰغِرِينَ (Pasti
dia benar-benar akan dipenjara dan dia termasuk orang-orang yang hina).” (QS.
Yusuf: 32). Di ayat ini terkumpul huruf nun taukid khafifah dan syadidah.
لَيُسۡجَنَنَّ tsaqilah/syadidah. لَيَكُونَنۡ khafifah.
Di dalam firman Allah taala, “كَلَّا ۖ لَيُنۢبَذَنَّ فِى ٱلۡحُطَمَةِ
(Sekali-kali tidak, niscaya dia pasti akan dilemparkan ke dalam Huthamah).”
(QS. Al-Humazah: 4). Ada nun taukid tsaqilah/syadidah.
لَوۡ قُلۡتَ: (لِيَقُومَنۡ زَيۡدٌ) خَفِيفَةٌ، وَالۡفِعۡلُ مَبۡنِيٌّ عَلَى
الۡفَتۡحِ.
(لِيَضۡرِبَنَّ زَيۡدٌ) ثَقِيلَةٌ، وَهِيَ مَبۡنِيَةٌ عَلَى
الۡفَتۡحِ.
قَالَ اللهُ تَعَالَى: ﴿إِلَّآ أَن يَعۡفُونَ﴾ [البقرة: ٢٣٧]، نُونُ نِسۡوَةٍ؛
وَلِهَٰذَا بُنِيَ الۡفِعۡلُ عَلَى السُّكُونِ.
Andai engkau katakan, “لِيَقُومَنۡ زَيۡدٌ (Hendaknya Zaid harus berdiri)”,
maka ini adalah huruf nun taukid khafifah. Fiil di sini mabni di atas harakat
fatah.
“لِيَضۡرِبَنَّ زَيۡدٌ (Hendaknya Zaid benar-benar memukul)” ini huruf nun
taukid tsaqilah. Dia mabni di atas harakat fatah.
Allah taala berfirman, “إِلَّآ أَن يَعۡفُونَ (Kecuali jika mereka memaafkan).”
(QS. Al-Baqarah: 237). Ini adalah huruf nun niswah, maka dari itu, fiil di
sini mabni di atas sukun.