الثَّانِي: (لَنۡ): (لَنۡ) أَيۡضًا حَرۡفُ نَصۡبٍ. يَنۡصِبُ الۡفِعۡلَ
    الۡمُضَارِعَ، وَلَكِنۡ لِنَنۡظُر (لَنۡ أَقُومَ) أَوَّلًا: هَلِ الۡجُمۡلَةُ
    مَنۡفِيَّةٌ أَمۡ مُثۡبِتَةٌ؟ مَنۡفِيَّةٌ. ثَانِيًا: (لَنۡ أَقُومَ) يَعۡنِي:
    الۡآنَ. يَعۡنِي: لَسۡتُ قَائِمًا الۡآنَ، أَوۡ لَنۡ أَقُومَ فِي
    الۡمُسۡتَقۡبَلِ؟ فِي الۡمُسۡتَقۡبَلِ. (لَنۡ أَقُومَ)، أَوۡ (لَنۡ أَقُومُ)
    الصَّحِيحُ: (لَنۡ أَقُومَ). 
  Yang kedua adalah لَنۡ. لَنۡ juga merupakan huruf nashb. Dia me-nashb-kan fiil
  mudhari’. 
  Pertama-tama, mari kita melihat contoh, “لَنۡ أَقُومَ (Aku tidak akan
  berdiri).” Apakah ini kalimat peniadaan atau penetapan? Jawabnya:
  Peniadaan. 
  Kedua, “لَنۡ أَقُومَ”, apakah maksudnya: Aku tidak berdiri sekarang atau aku
  tidak akan berdiri di waktu yang akan datang? Jawabnya: Di waktu yang akan
  datang. 
  “لَنۡ أَقُومَ” atau “لَنۡ أَقُومَ”? Yang benar adalah “لَنۡ أَقُومَ”. 
  وَتَقُولُ: (لَنۡ يَفۡهَمَ الۡبَلِيدُ) كَانَتۡ قَبۡلَ دُخُولِ (لَنۡ)
    (يَفۡهَمُ الۡبَلِيدُ) بِالرَّفۡعِ، فَلَمَّا دَخَلَ عَلَى الۡفِعۡلِ (لَنۡ)
    نَصَبَتۡهُ. 
  Engkau katakan, “لَنۡ يَفۡهَمَ الۡبَلِيدُ (Orang yang dungu tidak akan bisa
  memahami).” Sebelum dimasuki oleh huruf لَنۡ, kalimat tersebut adalah
  “يَفۡهَمُ الۡبَلِيدُ” dengan raf’. Ketika لَنۡ masuk ke fiil, maka dia
  me-nashb-kan fiil tersebut. 
  (لَنۡ تَنَالَ) (لَنۡ): أَدَاةُ نَصۡبٍ وَنَفۡيٍ وَاسۡتِقۡبَالٍ. (تَنَالَ):
    فِعۡلٌ مُضَارِعٌ مَنۡصُوبٌ بِـ(لَنۡ) وَعَلَامَةُ نَصۡبِهِ الۡفَتۡحَةُ
    الظَّاهِرَةُ عَلَى آخِرِهِ. 
  “لَنۡ تَنَالَ (Engkau tidak akan memperoleh).” لَنۡ adalah perangkat nashb,
  nafi, dan istiqbal (masa depan). تَنَالَ adalah fiil mudhari’ yang di-nashb
  dengan لَنۡ. Tanda nashb-nya adalah harakat fatah yang tampak di akhir
  kata. 
  إِذَنۡ؛ (لَنۡ) صَارَ لَهَا ثَلَاثَةُ أُمُورٍ: حَرۡفُ نَفۡيٍ وَنَصۡبٍ
    وَاسۡتِقۡبَالٍ. 
  حَرۡفُ نَفۡيٍ؛ لِأَنَّهَا نَفَتِ الۡفِعۡلَ. وَنَصۡبٍ؛ لِأَنَّهَا
    نَصَبَتۡهُ. وَاسۡتِقۡبَالٍ؛ لِأَنَّهَا حَوَّلَتِ الۡمُضَارِعَ الَّذِي
    لِلۡحَالِ إِلَى مُسۡتَقۡبَلٍ. يَعۡنِي: فِي الۡمُسۡتَقۡبَلِ. وَلِهَٰذَا
    نَقُولُ فِي إِعۡرَابِ (لَنۡ) حَرۡفُ نَفۡيٍ وَنَصۡبٍ
    وَاسۡتِقۡبَالٍ. 
  Jadi, لَنۡ memiliki tiga fungsi, yaitu huruf nafi, nashb, dan istiqbal. 
  Huruf nafi karena dia menafikan perbuatan. Huruf nashb karena dia me-nashb-kan
  fiil. Huruf istiqbal karena dia mengubah fiil mudhari’ yang asalnya untuk fiil
  yang sedang berlangsung menjadi yang akan datang. Yakni: masa depan. Oleh
  karena ini, kita katakan ketika mengikrab لَنۡ: huruf nafi, nashb, dan
  istiqbal. 
  فَإِذَا قُلۡتَ: (لَنۡ أَقُومَ). 
  (لَنۡ): حَرۡفُ نَفۡيٍ وَنَصۡبٍ وَاسۡتِقۡبَالٍ. 
  (أَقُومَ): فِعۡلٌ مُضَارِعٌ مَنۡصُوبٌ بِـ(لَنۡ) وَعَلَامَةُ نَصۡبِهِ
    فَتۡحَةٌ ظَاهِرَةٌ فِي آخِرِهِ وَفَاعِلُهُ مُسۡتَتِرٌ وُجُوبًا تَقۡدِيرُهُ
    (أَنَا). 
  Apabila engkau katakan, “لَنۡ أَقُومَ”, maka ikrabnya: 
  لَنۡ adalah huruf nafi, nashb, dan istiqbal. 
  أَقُومَ adalah fiil mudhari’ yang di-nashb dengan لَنۡ. Tanda nashb-nya adalah
  harakat fatah yang tampak di akhir kata. Fa’il-nya mustatir wujuban (harus
  disembunyikan), asumsinya adalah ana. 
  (لَنۡ يُفۡلِحَ الظَّالِمُ). 
  (لَنۡ): حَرۡفُ نَفۡيٍ وَنَصۡبٍ وَاسۡتِقۡبَالٍ. 
  (يُفۡلِحَ): فِعۡلٌ مُضَارِعٌ مَنۡصُوبٌ بِـ(لَنۡ) وَعَلَامَةُ نَصۡبِهِ
    فَتۡحَةٌ ظَاهِرَةٌ فِي آخِرِهِ. 
  (الظَّالِمُ): فَاعِلٌ مَرۡفُوعٌ وَعَلَامَةُ رَفۡعِهِ الضَّمَّةُ
    الظَّاهِرَةُ. 
  “لَنۡ يُفۡلِحَ الظَّالِمُ (Orang zalim tidak akan sukses).” 
  لَنۡ adalah huruf nafi, nashb, dan istiqbal. 
  يُفۡلِحَ adalah fiil mudhari’ yang di-nashb dengan لَنۡ. Tanda nashb-nya
  adalah harakat fatah yang tampak di akhir kata. 
  الظَّالِمُ adalah fa’il yang di-raf’. Tanda raf’-nya adalah harakat damah yang
  tampak. 
  قَالَ اللهُ تَعَالَى: ﴿وَلَن يَنفَعَكُمُ ٱلۡيَوۡمَ إِذ ظَّلَمۡتُمۡ أَنَّكُمۡ
  فِى ٱلۡعَذَابِ مُشۡتَرِكُونَ﴾ [الزخروف: ٣٩]، يَنۡفَعَكُمۡ: لِمَاذَا نُصِبَ؟
  لِدُخُولِ (لَنۡ). 
  Allah taala berfirman, “(Harapan kalian itu) tidak akan memberi manfaat kepada
  kalian di hari itu karena kalian telah berbuat zalim. Sesungguhnya kalian
  bersekutu dalam azab itu.” (QS. Az-Zukhruf: 39). 
  يَنۡفَعَكُمۡ kenapa di-nashb? Karena masuknya kata لَنۡ. 
  وَقَالَ تَعَالَى: ﴿قَالُوا۟ لَن نَّبۡرَحَ عَلَيۡهِ عَـٰكِفِينَ﴾ [طه: ٩١]،
    (نَبۡرَحَ): مَنۡصُوبٌ لِدُخُولِ (لَنۡ) عَلَيۡهِ. 
  وَقَالَ تَعَالَى: ﴿لَآ أَبۡرَحُ حَتَّىٰٓ أَبۡلُغَ مَجۡمَعَ ٱلۡبَحۡرَيۡنِ
    أَوۡ أَمۡضِىَ حُقُبًا﴾ [الكهف: ٦٠]، وَهُنَا الۡفِعۡلُ (أَبۡرَحُ) مَرۡفُوعٌ،
    لِأَنَّهُ لَمۡ يَسۡبِقۡهُ نَاصِبٌ وَلَا جَازِمٌ. 
  Allah taala berfirman, “Mereka berkata: Kami akan terus menyembah patung anak
  lembu ini.” (QS. Thaha: 91). 
  نَبۡرَحَ di-nashb karena masuknya kata لَنۡ padanya. 
  Allah taala berfirman, “Aku tidak akan berhenti sampai aku tiba di tempat
  bertemunya dua lautan atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun.” (QS.
  Al-Kahfi: 60). 
  Di sini fiil أَبۡرَحُ di-raf’ karena tidak didahului oleh pe-nashb, tidak pula
  pen-jazm. 
  وَقَالَ اللهُ تَعَالَى فِي الۡحَدِيثِ الۡقُدۡسِيِّ: (يَا عِبَادِي إِنَّكُمۡ
    لَنۡ تَبۡلُغُوا ضُرِّي)، (لَنۡ تَبۡلُغُوا) بِمَا نُصِبَ؟ نُصِبَ بِحَذۡفِ
    النُّونِ؛ لِأَنَّ (تَبۡلُغُوا) مِنَ الۡأَفۡعَالِ الۡخَمۡسَةِ أَصۡلُهَا:
    (تَبۡلُغُونَ)، لَكِنۡ لَمَّا دَخَلَ عَلَيۡهَا (لَنۡ) حُذِفَتِ النُّونُ،
    فَصَارَتۡ (لَنۡ تَبۡلُغُوا). 
  Allah taala berfirman dalam hadis qudsi, “Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya
  kalian tidak akan dapat menimpakan mudarat kepada-Ku.” 
  لَنۡ تَبۡلُغُوا dengan apa di-nashb? Jawabnya: Di-nashb dengan membuang huruf
  nun karena تَبۡلُغُوا termasuk fiil yang lima. Asalnya adalah تَبۡلُغُونَ.
  Akan tetapi ketika لَنۡ masuk ke fiil tersebut, maka huruf nun-nya dibuang
  sehingga menjadi لَنۡ تَبۡلُغُوا. 
  إِذَا قُلۡتَ: (لَنۡ نَتَکَلَّمَ) (لَنۡ): حَرۡفُ نَفۡيٍ وَنَصۡبٍ
    وَاسۡتِقۡبَالٍ، (نَتَكَلَّمَ): فِعۡلٌ مُضَارِعٌ مَنۡصُوبٌ بِـ(لَنۡ)
    وَعَلَامَةُ نَصۡبِهِ الۡفَتۡحَةُ الظَّاهِرَةُ وَالۡفَاعِلُ ضَمِيرٌ
    مُسۡتَتِرٌ وُجُوبًا تَقۡدِيرُهُ (نَحۡنُ). 
  Apabila engkau katakan, “لَنۡ نَتَكَلَّمَ (Kita tidak akan berbicara),” maka
  ikrabnya: 
  لَنۡ adalah huruf nafi, nashb, dan istiqbal. 
  نَتَكَلَّمَ adalah fiil mudhari’ yang di-nashb dengan لَنۡ. Tanda nashb-nya
  adalah harakat fatah yang tampak. Fa’il-nya adalah kata ganti yang wajib
  disembunyikan, asumsinya adalah kita. 
  هَلۡ (لَنۡ) تُفِيدُ: النَّفۡيَ دَائِمًا، أَيۡ عَلَى سَبِيلِ التَّأۡبِيدِ
    أَوۡ تَنۡفِي نَفۡيًا يُمۡكِنُ أَنۡ يُثۡبَتَ؟ 
  الۡجَوَابُ: إِذَا نَفَتۡ لَا تَنۡفِي دَائِمًا، وَلِهَٰذَا بَطَلَ
    اسۡتِدۡلَالُ أَهۡلِ التَّعۡطِيلِ بِقَوۡلِهِ تَعَالَى: ﴿لَن تَرَىٰنِى﴾
    [الأعراف: ١٤٣]، عَلَى انۡتِفَاءِ رُؤۡيَةِ اللهِ فِي الۡآخِرَةِ، فَـ(لَنۡ)
    لَيۡسَتۡ لِلنَّفۡيِ الۡمُؤَبَّدِ، وَدَلِيلُ ذٰلِكَ أَنَّ اللهَ قَالَ فِي
    أَهۡلِ النَّارِ: ﴿وَلَن يَتَمَنَّوۡهُ أَبَدًۢا بِمَا قَدَّمَتۡ أَيۡدِيهِمۡ﴾
    [البقرة: ٩٥]، وَقَالَ عَنۡهُمۡ وَهُمۡ فِي النَّارِ: ﴿يَـٰمَـٰلِكُ لِيَقۡضِ
    عَلَيۡنَا رَبُّكَ﴾ [الزخروف: ٧٧]، وَمَعۡنَی: (لِيَقۡضِ): لِيُمِتۡنَا، إِذَنۡ
    تَمَنَّوۡهُ وَدَعَوۡا بِهِ، وَاللهُ تَعَالَى قَالَ: ﴿وَلَن يَتَمَنَّوۡهُ﴾
    [البقرة: ٩٥]، إِذَنۡ دَلَّتِ الۡآيَتَانِ عَلَى أَنَّ (لَنۡ) لَا تَقۡتَضِي
    التَّأۡبِيدَ، وَعَلَى هَٰذَا قَوۡلُ ابۡنُ مَالِكٍ: 
  وَمَنۡ رَأَى النَّفۡيَ بِـ(لَنۡ) مُؤَبَّدًا فَقَوۡلَهُ ارۡدُدۡ وَسِوَاهُ
    فَاعۡضُدَا 
  Apakah لَنۡ berarti penafian selama-lamanya atau penafian yang masih ada
  kemungkinan untuk ditetapkan? 
  Jawab: لَنۡ ini tidak menafikan selama-lamanya. Karena ini, maka gugurlah
  pengambilan argumen yang dilakukan para pengingkar (rukyat Allah di akhirat)
  dari firman Allah taala, “Engkau tidak akan bisa melihat-Ku.” (QS. Al-A’raf:
  143), atas penafian rukyat Allah di akhirat kelak. 
  Alasannya karena لَنۡ bukan berarti peniadaan selama-lamanya. Dalil akan hal
  itu, bahwa Allah berkata tentang penduduk neraka, “Mereka tidak akan
  mengangankan kematian itu selama-lamanya dengan sebab kesalahan yang telah
  diperbuat oleh tangan mereka sendiri.” (QS. Al-Baqarah: 95). Allah berkata
  tentang mereka ketika mereka berada di neraka, “Wahai Malik, biarlah Tuhanmu
  mematikan kami saja.” (QS. Az-Zukhruf: 77). Makna liyaqdhi adalah agar
  mematikan kami. Jadi mereka mengangankan kematian dan berdoa agar mati,
  sedangkan Allah berfirman, “Mereka tidak akan mengangankan kematian itu.” (QS.
  Al-Baqarah: 95). 
  Jadi kedua ayat ini menunjukkan bahwa لَنۡ tidak mesti berarti selama-lamanya.
  Yang selaras dengan ini adalah ucapan Ibnu Malik, “Barang siapa berpandangan
  bahwa لَنۡ berarti selama-lamanya, maka tolaklah pendapatnya dan dukunglah
  pendapat yang selain itu.”