Cari Blog Ini

Memetik Obat Mujarab dari Kitab Ad-Da’u wa Ad-Dawa’

“Tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit, melainkan Allah juga menurunkan penawarnya.” [H.R. Al-Bukhari]

Demikianlah makna dari sebuah hadis yang agung. Hadis yang menggambarkan bahwa segala penyakit di muka bumi ini sudah pasti ada penawarnya. Hanya saja, tidak semua manusia tahu cara mengobatinya.

Ibnu Qayyim Al Jauziyah rahimahullah, Muhammad bin Abu Bakar bin Ayyub (lahir 691 H, wafat 751 H), pun meyakini hal ini. Memang, beliau adalah seorang ahli kedokteran waktu itu. Tapi tak hanya penyakit lahiriah, beliau pun sangat mahir dalam urusan penyakit kalbu. Kitab Ad-Da’ wad Dawa’ –yang artinya “penyakit dan obat”- ini menjadi sebuah bukti akan kepiawaian beliau dalam urusan dua jenis penyakit itu. Terbukti, kitab monumental ini menjadi rujukan para ulama dalam berbagai sisinya.

MENJAWAB SEBUAH TANYA


Kitab Ad-Da’u wa Ad-Dawa’ memiliki nama lain. Nama lainnya adalah Al-Jawabul Kafi liman Sa’ala ‘anid Dawa’ Asy-Syafi (Jawaban yang cukup bagi yang bertanya tentang obat penyembuh), sering disingkat menjadi Al-Jawabul Kafi.

Judul yang kedua ini menyiratkan latar belakang penulisan kitab besar ini. Memang, beliau menuliskan kitab ini sebagai jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan kepada beliau. Pertanyaan tersebut, “Apa yang Anda katakan mengenai orang yang diuji dengan sebuah cobaan. Dia tahu, jika cobaan ini terus menderanya, akan merusak dunia akhiratnya. Dia sudah bersungguh-sungguh untuk menolaknya dengan segala cara. Namun, itu justru menambah berkobar dan bertambah parah. Bagaimana cara untuk mengusirnya? Bagaimana cara untuk menyingkapnya? Semoga Allah berkenan untuk merahmati orang yang menolong si sakit. Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba-Nya itu menolong saudaranya. Berilah fatwa kepada kami, semoga Allah memberi Anda pahala.”

Ya, itulah pendorong Sang Imam untuk menggoreskan penanya, memberikan pencerahan kepada si peminta fatwa. Lalu beliau pun menuliskan secara panjang lebar segala hal yang berkaitan dengan penyakit ini. Karena penyakit ini bukan penyakit biasa. Penyakit syahwat adalah penyakit mematikan. Tidak hanya jasad, bahkan kalbu pun juga ikut mati. Kalau yang mati hanya jasad, risikonya hanya kehidupan dunia. Tapi jika yang mati adalah kalbunya, di akhirat pun dia sengsara. Sehingga, penyakit syahwat bukan penyakit biasa. Dunia akhirat menjadi taruhannya.

Demikianlah, Ibnul Qayyim rahimahullah pun membimbing si sakit ini dengan tarbiyah nabawiyah, bimbingan yang bersumber dari jernihnya mata air Al-Quran dan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan begitulah, bimbingan dari ulama yang mumpuni memang sangat dibutuhkan. Layaknya obat harus tepat dosisnya, Al-Quran dan sunnah juga harus tepat kadarnya. Tak ada yang mengetahui kadar yang pas itu kecuali ulama yang membidanginya.

Ibnul Qayyim rahimahullah mengawali arahannya dengan sebuah obat yang sangat mujarab. Obat yang tidak hanya manjur untuk penyakit lahiriah. Penyakit batin pun tak ketinggalan. Tak hanya penyakit ringan yang bisa ditanggulangi. Penyakit kronis dan parah pun bisa hilang tak berbekas. Bahkan tak jarang, obat ini memiliki reaksi lebih cepat daripada obat biasa. Memang obat ini luar biasa. Doa. Namun tidak sembarang doa dikabulkan oleh Yang Mahakuasa. Ada syarat-syarat dan ketentuan agar doa menjadi manjur mujarab. Ibnul Qayyim rahimahullah memaparkannya dalam kitab ini.

Lalu, beliau pun masuk pada cara pengobatan secara spesifik. Beliau mengatakan, mengobati hal ini harus dari dua jalan: memutus sebab terjadinya, dan mencabut penyakit setelah terjadi. Keduanya harus dijalankan demi suksesnya penyembuhan si sakit.

Memutus sebab terjadinya bisa dilaksanakan dari tiga sisi:
  1. Ghadhdhul bashar, merendahkan pandangan, tidak melihat apa yang menariknya kepada kubangan penyakit syahwat itu.
  2. Menyibukkan hati dengan cinta hakiki. Karena, jatuh hati kepada syahwat bisa terjadi saat hati itu kosong. Belum ada cinta yang bersemi indah di hatinya. Saat itulah, cinta syahwat pun menguasai dirinya. Tidak akan hilang cinta syahwat itu hingga datang cinta yang lebih dahsyat lagi. Maka dari itu, dia tidak akan selamat jika tidak mengambil langkah untuk mencintai Dzat yang Maha Pengasih.
  3. Menjaga bersitan hati. Memang ini sulit. Namun inilah permulaan kebaikan dan kejelekan. Jika bersitan hati terkendali, anggota badan pun aman terkendali.
Ketiga hal ini harus dilakukan jika ingin sembuh dari penyakit ini. Usaha menghilangkan penyakit sekuat apa pun tidak akan berarti jika sebab terjadinya penyakit tidak dipatahkan. Namun tidak hanya mereka yang sudah terkena penyakit, yang masih sehat wal afiat dan tetap ingin seperti itu juga wajib melaksanakan semua ini.

Beliau juga memberikan sebuah contoh kasus penyakit syahwat yang berhasil ditanggulangi. Kasus ini telah Allah subhanahu wa ta’ala abadikan di dalam Kitab-Nya. Kisah Nabi Yusuf ‘alaihis salam, sang pemuda tampan yang digoda oleh wanita jelita nan memikat. Beliau berhasil menundukkan syahwatnya. Karena qalbu beliau telah terisi cinta kepada Sang Khalik dengan keyakinan dan iman. Beliau juga memiliki kesabaran yang tinggi. Keyakinan dan kesabaran inilah, kunci keberhasilan seseorang untuk menjadi panutan.

Di sisi lain, Ibnul Qayyim rahimahullah juga menyampaikan jenis penyakit syahwat lainnya. Luthiyah, penyakit kaum Nabi Luth, homoseksual. Yang mana, penyakit ini lebih berbahaya daripada yang pertama.

Yang jelas, banyak sekali faedah yang bisa dipetik dari kitab yang monumental ini. Sarat kandungan hakikat-hakikat ilmu, serta penjelasan tentang introspeksi dan muraqabah jiwa. Tidak sepantasnya seorang penuntut ilmu untuk tidak membaca kitab ini.

Karena itulah –Lajnah Ad-Daimah, yang waktu itu diketuai oleh Syaikh Ibnu Baz rahimahullah- ketika seorang pemuda meminta nasihat buku bacaan yang tepat untuknya, maka Lajnah pun (fatwa no. 5253) merekomendasikan di antaranya adalah kitab Ad-Da’u wa Ad-Dawa’.

Begitulah pembaca, kitab ini memang mencerminkan luas dan dalamnya ilmu yang dimiliki Sang Imam. Untuk sekadar kembali mengingat biografi Ibnul Qayyim rahimahullah, silakan pembaca merujuk ke Majalah Qudwah edisi 8. Rahimahullah rahmatan wasi’atan, semoga Allah merahmatinya dengan rahmat yang luas.

Sumber: Majalah Qudwah edisi 25 vol. 03 1436 H/ 2015 M, rubrik Maktabah. Pemateri: Ustadz Abu Yusuf Abdurrahman.