Pada tanggal 7 Safar tahun 691 H, di negeri Damaskus, ibukota Syam kala itu, terlahir seorang bayi bernama Muhammad, putra Abu Bakar. Bayi tampan ini kelak menjadi masyhur dengan sebutan Ibnu Qayyim Al Jauziyah atau singkatnya Ibnul Qayyim. Artinya adalah putra seorang qayyim. Sebabnya, sang ayah yang bernama Abu Bakar bin Sa’ad bin Hariz adalah seorang qayyim (pengelola) sebuah sekolah yang berjuluk Madrasah Jauziyyah.
IBNUL QAYYIM & IBNUL JAUZI
Kadang orang keliru menyebut beliau dengan nama Ibnul Jauzi. Pembaca, Ibnul Qayyim bukanlah Ibnul Jauzi. Yang kedua ini adalah seorang alim yang wafat lebih kurang satu abad sebelum Ibnul Qayyim dilahirkan. Dialah Abul Faraj Abdurrahman bin Ali bin Ubaidillah Al Jauzi Al Qurasyi Al Baghdadi. Seorang alim yang hidup di Baghdad.
Konon diceritakan bahwa madrasah yang dikelola ayahanda Ibnul Qayyim adalah waqaf dari Ibnul Jauzi. Makanya disebut dengan madrasah jauziyah. Karena kemiripan nisbah inilah, lisan kadang terpeleset menyebut Ibnu Qayyim Al Jauziyah dengan Ibnul Jauzi.
AKHLAK BELIAU YANG INDAH
Ibnul Qayyim tumbuh dalam rumah tangga yang dihiasi ilmu. Ayahanda beliau adalah seorang alim, begitu pula kakaknya. Tak heran, jika kedua putra dari Ibnul Qayyim yakni Abdullah dan Ibrahim juga kelak menjadi alim di masanya.
Ibnul Qayyim memiliki tekad baja untuk mendapatkan kebaikan. Dia juga dikenal memiliki perangai dan akhlak yang sangat baik.
Ibnu Katsir yang juga sebagai murid Ibnul Qayyim menyaksikan bahwa gurunya memiliki perangai indah dan sangat tekun membaca dan menelaah. Ia juga dikenal sangat mencintai saudara seiman. Manusia pun menaruh kecintaan kepada beliau. Tidak ada rasa hasad pada dirinya kepada siapa pun. Tidak pernah menyakiti atau mencela. Pokoknya, sulit dicari tandingan dalam keluhuran budi, dan ketinggian akhlak.
Ibnu Rajab -murid beliau yang lain- yang masyhur dengan kedalamannya dalam ilmu hadits, menyebutkan bahwa gurunya adalah sosok yang tekun beribadah. Rajin bertahajud. Sangat lama ketika berdiri menghadap Rabb-nya. Lisannya selalu berdzikir. Tampak dari zahirnya bahwa qalbu beliau dipenuhi dengan mahabbah kepada Allah. Banyak bertaubat dan beristighfar, kembali kepada Allah dengan menampakkan segala kelemahan dan kefakirannya di hadapan Ilahi.
Kata Ibnu Rajab selanjutnya, “Aku belum pernah menyaksikan orang yang ilmunya sangat luas, pemahaman terhadap tafsir Al Quran dan As Sunnah dan hakikat-hakikat kehidupan yang sangat detail seperti Ibnul Qayyim. Memang ia bukanlah seorang yang ma’shum (terbebas dari kesalahan). Namun, sungguh aku belum pernah mendapati bandingnya.”
PERJALANAN MENUNTUT ILMU
Pada umur ke-7, beliau mulai menuntut ilmu. Sebagaimana disebutkan oleh beliau sendiri bahwa syaikh pertamanya (setelah ayahandanya) bernama Syaikh Syihab Al ‘Abir. Syaikh ini wafat pada tahun 697, ketika itu umur beliau kurang lebih 7 tahun.
Pada awal mula perjalanan ilmiahnya, Ibnul Qayyim terbawa pemikiran yang melenceng dari al haq. Sampai pada akhirnya Allah takdirkan ia bertemu dengan Syaikh Taqiyudin Ibnu Taimiyah. Maka dengan taufik Allah, Ibnul Qayyim kembali kepada sunnah dan pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Sebagai wujud terimakasihnya kepada sang guru, serta nasihat bagi mereka yang masih terombang-ambing dalam kesesatan, beliau menuliskan bait-bait syair dalam Nuniyahnya yang kurang lebih terjemahnya adalah sebagai berikut:
“Wahai kaumku, demi Allah yang Maha Agung. Ambillah nasihat dari saudaramu yang mencintai.Aku sudah mencoba semua dan mencicipi. Jaring-jaring itu telah menjeratku, sehingga hidupku tak menentu.
Sampai Tuhanku memudahkan pertemuanku dengan seorang alim yang lisan dan tanganku tak mampu membalas segala kebaikannya.Ialah seorang alim yang datang dari negeri Harran. Allah, Dialah yang akan membalasnya. Dengan jannah dan ridha-Nya.”
Setelah pertemuan ini, beliau bermulazamah di sisi Ibnu Taimiyah. Banyak ilmu yang dia ambil dari beliau. Lebih-lebih setelah Syaikhul Islam pulang dari Mesir pada tahun 712 H. Beliau terus bermulazamah dengan Syaikhul Islam hingga sang guru wafat pada tahun 728 H.
Ibnu Rajab berkata, Ibnul Qayyim memperdalam fiqih sesuai dengan mazhab Hanbali hingga mencapai tingkatan berhak memberi fatwa. Bahkan dengan mulazamah yang panjang di sisi Syaikhul Islam, terbentuklah beliau sebagai seorang sosok yang mahir dalam banyak bidang ilmu: ilmu tafsir, ushuludin, ilmu hadits beserta maknanya, fiqih, dan ilmu-ilmu yang lain bermanfaat, baik terkait dengan agama atau kehidupan dunia.
KELUASAN ILMU
Beliau dikenal dengan kelembutan dalam istinbath (menarik hukum dan faedah dari sebuah dalil) yang begitu menakjubkan. Sepertinya tidak ada yang bisa menyusulnya dalam hal ini.
Dan yang menunjukkan keluasan ilmunya adalah banyaknya karangan dan tulisan beliau. Karangan beliau berjilid-jilid. Yang mengherankan, sebagiannya ditulis di sela-sela rihlah/safarnya. Subhanallah. Sungguh umur yang barakah. Di antara kitab yang beliau tulis saat safar adalah:
- Miftah Daris Sa’adah (Kunci Menuju Negeri Kebahagiaan)
- Zadul Ma’ad (Bekal untuk Hari Berpulang)
- Raudhatul Muhibbin (Taman Indah bagi Orang-orang yang Sedang Jatuh Cinta)
- Bada`i’ al Fawaid (Faedah-faedah yang Menakjubkan)
- Tahdzib Sunan Abu Dawud
Ilmunya adalah ibarat danau yang airnya tidak akan keruh oleh timba-timba yang kandas di dasarnya. Di antara yang menunjukkan kedalaman ilmunya adalah kitab Ad Da’u wad Dawa’ (penyakit dan obatnya). Kitab ini ditulisnya sebagai jawaban dari pertanyaan seseorang yang sedang murung karena ditimpa bala. Orang ini telah berusaha membebaskan diri dari petaka ini, namun selalu menemui kebuntuan. Dia khawatir jika keadaan ini dibiarkan, akan membahayakan dunia dan agamanya. Lalu beliau jawab pertanyaan ini dalam sebuah kitab yang tebal.
UJIAN BAGI SANG IMAM
Imam Asy Syafi’i pernah ditanya apakah seorang itu diberi kedudukan dan kemuliaan, atau akan diuji dengan berbagai kesulitan?
Beliau menjawab bahwa seorang itu jika akan mendapatkan kedudukan, ia pasti mendapat ujian terlebih dahulu. Begitu pula Ibnul Qayyim. Tidaklah beliau mendapatkan kedudukan yang mulia ini, kecuali setelah melalui ujian yang berlika-liku. Ujian yang berat dan menempa kesabaran.
Keluar masuk penjara bersama gurunya, Syaikhul Islam. Bahkan menjelang wafat sang guru, dia dipindahkan ke dalam bui khusus, terpisah dari gurunya. Barulah dia dibebaskan setelah Ibnu Taimiyah meninggal.
Sebagai seorang mufti yang alim dan tidak begitu saja membabi buta, mengekor terhadap semua pendapat mazhab hanbali. Kadang ia memfatwakan sesuatu yang menyelisihi tokoh-tokoh mazhab di negerinya. Dengan fatwa itu, sebenarnya al haq menjadi terang benderang. Namun di sisi lain, karena berseberangan dengan kebijakan kerajaan atau para mufti kerajaan, maka jadilah Ibnul Qayyim sebagai korban kezaliman mereka.
Di antara fatwanya, ia mengingkari syaddur rihal, menyengaja bersafar ke Madinah hanya untuk menziarahi kuburan Nabi. Karena fatwa ini, -menurut Ibnu Rajab- ia berkali-kali masuk bui.
Beliau juga berfatwa bahwa seorang suami yang menjatuhkan talak dengan ucapan “aku jatuhkan untukmu talak 3 sekaligus” sebagai talak satu. Sementara menurut ulama negerinya, ucapan itu telah memisahkan suami istri tanpa ada kesempatan lagi untuk rujuk, kecuali mantan istrinya menikah lagi dengan lelaki lain lalu dicerai.
Walaupun begitu, beliau tetap memiliki sikap ihtiram (penghormatan) kepada para imam dan ulama yang pendapatnya diselisihi. Beliau masih sebutkan pendapat-pendapat mereka dan kadang-kadang beliau memakainya sebagai penguat dari apa yang beliau fatwakan dalam berbagai permasalahan.
Beliau berkata bahwa tidak sedikit masalah keyakinan yang beliau harus berseberangan dengan pendapat mazhab. “Maka saya tidak mampu untuk tetap bersikukuh memegangi pendapat mazhab, sementara pendapat tersebut nyata-nyata bertolak belakang dengan keyakinan saya. Betapa kebenaran lebih berhak diikuti daripada menuruti pendapat mazhab.”
Dalam menulis, beliau menjunjung tinggi dalil. Tidak pernah merendahkan dan mencacatinya, atau beranggapan bahwa dalam masalah tertentu mengambil ucapan seseorang dari manusia lebih sesuai daripada menjadikan sebuah ayat/hadits sebagai dalil. Tidak demikian metode beliau dalam setiap kitab.
Setelah ayat dan hadits, beliau mendahulukan ucapan shahabat daripada yang lain. Pada tataran berikutnya, pendapat tabiin, para ulama berikutnya, demikian seterusnya.
KEAJAIBAN DALAM BUKU-BUKU KARANGANNYA
Di antara keajaiban karangan beliau adalah keindahan kerangka dan metode penyampaian yang begitu menawan. Tatkala memecahkan sebuah masalah atau mendudukkan sebuah kaidah, dia tampak sebagai seorang penulis yang paling mahir dalam bidang ini.
Sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Abdurrazaq Afifi, bahwa tulisan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam membantah ahlul batil begitu telak. Membuat musuhnya tak lagi bisa berkutik dalam tempo singkat. Ibarat seorang yang membawa godam besar, lalu meluluh lantakkan pagar tembok hanya dengan beberapa ayunan.
Berbeda dengan gurunya, Ibnul Qayyim berusaha menghancurkan tembok itu dengan perlahan tapi pasti. Batu demi batu. Walaupun demikian, tidak berarti bahwa karangan Ibnu Taimiyah tidak serapi Ibnu Qayyim. Bahkan kalau kita mau membaca kitab Ibnu Taimiyah yang berjudul Minhajus Sunnah Nabawiyah atau Al Jawab Ash Shahih, maka kita akan mendapati keindahan kata dan gaya penyampaiannya.
Pemikiran Ibnu Qayyim sangat tertata, baik saat beliau membantah atau meletakkan kaidah. Sebagai contoh ketika beliau ingin menyebutkan keutamaan ilmu. Beliau sebutkan 150 sisi dan fadhilah ilmu, baru kemudian beliau sebutkan dalil-dalilnya. Beliau sebutkan dari yang paling penting, lalu yang berikutnya, dan berikutnya.
SIKAP INSHAF YANG PERLU DITELADANI
Beliau juga adil dalam memosisikan musuh. Bantahan-bantahannya bukanlah dimaksudkan untuk bagaimana menjatuhkan lawan. Namun, yang beliau tuju dalam bantahannya adalah bagaimana meluruskan ketergelincirannya.
Dalam sebuah kesempatan beliau membantah Syaikhul Islam Al Imam Al Harawi dalam karangannya Manazil As Sa`irin. Al Harawi berkata dalam bukunya di atas, “Sikap roja` (berharap rahmat Allah), adalah selemah-lemah kedudukan orang yang berjalan menuju Allah.” Masih kata Al Harawi, “Orang yang memiliki sikap roja’ berarti telah terjatuh dalam kerendahan. Hanya ada satu faedah dari sikap ini yang disebutkan dalam At Tanzil dan As Sunnah, yaitu meredam rasa takut yang berlebihan, yang dikhawatirkan bakal mengantarkan kepada sikap putus asa dari rahmat-Nya.”
Cobalah perhatikan bagaimana Ibnul Qayyim membantah ucapan ini dengan penuh kelembutan. Ia berkata, “Al Harawi termasuk orang yang kita cintai. Namun setiap muslim tentu lebih cinta kepada kebenaran daripada beliau. Kita meyakini bahwa setiap manusia -terkecuali Rasulullah- ucapannya bisa diambil, bisa pula ditinggalkan. Dan barangkali Al Harawi mengucapkan hal ini karena ada hal-hal tertentu yang melatari.”
Lanjut Ibnul Qayyim, “Ucapan Al Harawi bahwa roja’ adalah kedudukan yang paling lemah bagi orang yang berjalan menuju Allah adalah ucapan yang keliru. Justru roja’ adalah termasuk setinggi-tinggi, semulia-mulia, dan seagung-agung kedudukan mereka yang sedang meniti jalan menuju Allah Ta’ala. Dengan sikap roja` (berharap) dan khauf (takut) inilah seorang muslim berjalan menuju Allah. Perhatikanlah bagaimana Allah memuji dan menyanjung orang yang memiliki sikap roja`.”
Setelah itu Ibnul Qayyim menyebutkan ayat:
لَّقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِى رَسُولِ ٱللهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرۡجُوا۟ ٱللهَ وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡءَاخِرَ وَذَكَرَ ٱللهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya bagi kalian dalam diri Rasulullah terdapat teladan yang baik. Tentunya bagi orang yang memiliki sikap roja` (berharap kepada rahmat Allah) dan (mengharap kebahagiaan) di Hari Akhir, serta banyak berdzikir kepada-Nya.” [Q.S. Al Ahzab:21].
Di tempat lain, Ibnul Qayyim mengatakan tentang Al Harawi, “Beliau adalah orang yang kita cintai. Namun, kebenaran lebih kita cintai dari dirinya. Guru saya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah menyatakan bahwa amalan Al Harawi lebih unggul daripada bobot keilmuannya. Sungguh tepat apa yang dituturkan oleh Ibnu Taimiyah. Kita tidak bisa melupakan bagaimana kesungguhannya dalam amar ma’ruf nahi munkar, kegigihan berjihad melawan ahli bid’ah. Sungguh dia memiliki peran yang penting dalam menolong agama Allah ini. Namun kita harus sadar, bahwa Allah telah enggan untuk menjamin siapa pun dengan ‘ishmah (keselamatan dari kesalahan) melainkan terhadap diri Ash Shadiq Al Mashduq, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Para pembaca, apa yang anda bayangkan, sekiranya kesalahan-kesalahan Al Harawi didapati oleh mereka para pemula, anak-anak muda yang dangkal ilmu namun terbakar semangat. Barangkali, mereka akan jadikan kesalahan ini sebagai bahan berita besar. Dibangun bahan material ini, menara yang tinggi menjulang yang dari puncak menara itu Al Harawi dijatuhkan dan dibuang sia-sia.
Ibnul Qayyim memiliki nasihat khusus dalam bab ini. Beliau berkata, “Saat kalian menelaah sebuah ucapan. Lalu kalian ingin menghukumi apakah ucapan tersebut sesuai dengan kebenaran atau justru menyelisihinya, maka tanggalkan dari ucapan tersebut ungkapan-ungkapan yang belum jelas. Di lain sisi, bersihkan pula qalbumu dari sikap berat sebelah. Perhatikanlah ucapan tersebut dengan pandangan mata yang adil. Tidak seperti orang yang selalu menilai baik setiap ucapan yang muncul dari mazhabnya. Jangan pula seperti orang yang selalu menganggap salah setiap ucapan yang muncul dari golongan lain. Orang yang menilai sesuatu dengan pandangan kebencian akan melihat yang baik sebagai kejelekan. Dan sebaliknya, orang yang menilai sesuatu dengan keridhaan akan melihat yang jelek sebagai kebaikan. Dan, tidak ada yang bisa selamat dari ketidakadilan dalam menilai ucapan seseorang, melainkan mereka yang Allah kehendaki mendapatkan kemuliaan dan keridhaan untuk menerima kebenaran.
Betapa butuhnya kita dengan adab yang diingatkan oleh beliau, terkhusus mereka yang giat mencari ilmu dan para pembawanya.
WARISAN SANG IMAM
Ibnul Qayyim meninggalkan warisan ilmu yang besar. Dalam tafsir, ilmu Al Quran, hadits, ‘ilal hadits, rijal hadits, fiqih dan ushulnya, lughah, suluk, dan akhlak. Beliau memiliki karangan berjudul Syifa`ul ‘alil dalam permasalahan Qadha dan Qadar, kitab yang sangat bermanfaat dan belum pernah ada yang mendahuluinya. Dan masih banyak lagi.
Beliau juga meninggalkan murid-murid berbakat yang juga memiliki peran penting dalam sejarah Islam. Di antara mereka adalah Ibnu Katsir, Ibnu Rajab Al Hanbali, dan Adz Dzahabi.
Beliau juga seorang pujangga dan penyair yang sangat ulung. Beliau juga memiliki qashidah (syair) yang semua baitnya berakhiran dengan huruf nun. Qashidah ini beliau beri judul Al Kafiyah Asy Syafiyah fil Intishar lil firqah an Najiyah. Dan masih banyak lagi karya-karya beliau dalam bentuk qashidah.
MENUJU RAHMAT ALLAH
Setelah menghabiskan jatah umur dan rezekinya, berjuang dengan jiwa raga dan ilmunya, Ibnul Qayyim meninggalkan alam fana. Kurang lebih di penghujung waktu Isya pada malam kamis, tanggal 23 Rajab 751 H, beliau dijemput malaikat maut. Di siang harinya, selepas shalat Zhuhur, beliau dishalatkan di masjid Jami’ Al Umawy. Kemudian dishalatkan lagi di masjid Jami’ Jarrah dan diantarkan oleh ribuan pelayat. Tidak diketahui jumlah mereka kecuali oleh Allah. Kemudian beliau dikuburkan di pekuburan Babush Shaghir.
Selamat jalan wahai Syaikhul Islam. Semoga Allah membangkitkan engkau bersama para Nabi, para shiddiqin, syuhada, dan orang-orang shalih. Ya Allah, bangkitkanlah kami bersama mereka dengan rahmat-Mu. Amin.
Sumber: Majalah Qudwah edisi 9 vol.01 1434H/2013M rubrik Biografi. Pemateri: Ustadz Abu Hamid Fauzi bin Isnaini.