Cari Blog Ini

URWAH BIN ZUBAIR

“Kami menjumpai nikmatnya hidup ini dengan kesabaran.” Inilah salah satu permata salaf yang benar-benar mereka aplikasikan dalam kehidupan dunia yang fana ini. Dengan komitmen yang mulia nan agung ini, ujian duniawi seberat apa pun terasa ringan bagi mereka. Subhanallah, ya Allah anugerahkanlah kepada kami akhlak mulia seperti yang mereka miliki.

Adalah Urwah bin Zubair, putra Az Zubair, sang hawariy (penolong) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Urwah adalah sosok pemilik kesabaran yang kokoh nan tegar. Beliau adalah salah satu dari tujuh ahli fikih di kota Madinah saat itu. Secara keilmuan, beliau mempunyai kapasitas yang tidak diragukan lagi. Terbukti beliau dijadikan sebagai rujukan kaum muslimin padahal masih banyak sahabat yang hidup saat itu. Bahkan para sahabat pun pernah bertanya kepadanya tentang berbagai permasalahan.

Suatu saat, Allah subhanahu wa ta’ala hendak menguji Urwah dengan suatu cobaan yang begitu berat. Putranya, Hisyam bin Urwah, menuturkan, bahwa sautu hari ayahnya pergi meninggalkan kota Madinah menuju ke Damaskus di negeri Syam. Tujuannya saat itu adalah bertemu dengan Al-Walid bin Abdul Malik yang saat itu menjadi khalifah di sana. Di tengah perjalanan, tepatnya di sebuah tempat yang bernama Wadil Qura, Urwah dikejutkan dengan luka yang ada di kaki kirinya. Pada mulanya ia menganggapnya sebagai luka biasa karena sayatan atau benturan benda tajam. Namun ternyata luka tersebut lambat laun membusuk dan menjalar di kakinya. Kondisi demikian ini membuat Urwah harus dibawa dengan tandu untuk menghadap Al-Walid bin Abdul Malik.

Sesampainya di sana, Sang Khalifah menyarankan supaya kakinya yang luka tersebut diamputasi. Hal ini untuk mencegah supaya pembusukan luka tersebut tidak menjalar ke bagian tubuh yang lainnya. Dengan ketenangan yang laur biasa, Urwah mempersilahkan tindakan tersebut dilakukan pada dirinya. Maka dipanggillah para tabib untuk berkonsultasi, tindakan apa yang tepat demi kesembuhannya. Benar saja, vonis para tabib tersebut sejalan dengan prediksi sang khalifah. Mereka sepakat tidak ada solusi lain kecuali harus dipotong supaya infeksinya tidak menjalar ke anggota tubuh yang lain. Tatkala sang tabib datang lengkap dengan gergaji dan alat pemotong lainnya, ia menyuruh Urwah agar minum obat pati rasa. Yang demikian ini supaya ia tidak merasakan sakitnya diamputasi. Sungguh di luar dugaan, ternyata Urwah menolaknya dan memilih dipotong secara alami. Dengan tegas ia menyatakan, “Lakukan saja terhadapku, aku tidak menyangka ada seseorang yang mau minum sesuatu yang bisa menghilangkan akalnya sehingga ia tidak lagi mengenal Rabbnya.” Mulailah tim tabib itu mengamputasi kaki kiri Urwah dari pertengahan betisnya. Subhanallah, semenjak dari peletakan gergaji hingga selesainya proses amputasi, tidak sedikit pun terlihat adanya kesedihan atau rasa takut pada wajahnya. Apalagi teriakan atau tangisan yang keluar dari lisannya. Maksimalnya ia hanya mengatakan ‘uh’ dan tidak lebih dari itu. Setelah selesai, dioleskanlah minyak yang telah dipanaskan untuk menghentikan pendarahan dan meringankan rasa sakitnya. Melihat kejadian ini, Al-Walid berkata, “Belum pernah sekali pun aku melihat ada seseorang yang lebih sabar darinya.” Bahkan setelahnya Urwah mengatakan, “Ya Allah, jikalau Engkau mengambil salah satu anggota tubuhku, maka Engkau masih menyisakan yang lainnya. Jikalau Engkau memberikan ujian, maka sungguh Engkau telah memberikan kesehatan kepadaku.”

Ibnu Syaudzab mengatakan, “Urwah bin Zubair punya kebiasaan membaca seperempat Al-Qur’an di setiap harinya lalu membaca ketika shalat malam. Inilah satu-satunya hari di mana beliau tidak bisa melakukan kebiasaan yang senantiasa dijaga semenjak remaja (karena kakinya telah terpotong, ed.).” Selang beberapa waktu setelah proses amputasi tersebut selesai, Urwah pun melihat kepada potongan kakinya yang diletakkan di sebuah bejana. Ia pun berkata, “Sesungguhnya Allah mengetahui bahwa aku belum pernah sama sekali melangkahkanmu untuk bermaksiat kepada-Nya dalam keadaan aku menyadarinya.”

Ternyata cobaan yang Allah berikan kepada Urwah bin Zubair dalam safar tersebut tidak sampai di situ. Putra beliau yang bernama Muhammad meninggal karena disepak dengan keras oleh seekor kuda. Tidak sepatah kata pun terucap dari lisannya. Namun dalam perjalanan pulang ke Madinah tepatnya di Wadil Qura, Urwah bin Zubair membaca firman Allah subhanahu wa ta’ala,
لَقَدْ لَقِينَا مِن سَفَرِنَا هَـٰذَا نَصَبًا
“Sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini.” [Q.S. Al-Kahfi: 62].
Selanjutnya ia berkata, “Ya Allah, aku mempunyai tujuh anak lalu Engkau mengambil satu dan menyisakan enam untukku. Aku mempunyai empat anggota tubuh lalu Engkau mengambil satu dan menyisakan tiga untukku. Apabila Engkau mengujiku, maka sungguh Engkau telah memberikan kesehatan kepadaku. Jika Engkau mengambil maka Engkau masih menyisakannya.”

Di lain pihak, tidak sedikit kaum muslimin yang datang untuk bertakziah dan mengucapkan bela sungkawa.

Urwah bin Zubair adalah ulama besar dengan akhlak yang mulia. Beliau adalah seorang yang dermawan dan gemar bersedekah. Di sela-sela kesibukannya sebagai ulama besar dalam mengajar dan berdakwah, ia masih bisa menyempatkan diri untuk memberi manfaat kepada kaum muslimin dengan hartanya. Yaitu dengan kebun kurma miliknya yang berlokasi di kota Madinah. Di kebun itu terdapat pepohononan kurma dan air sumur yang tawar. Tatkala tiba masa panen dan buah-buahan telah masak, Urwah pun mempersilakan orang-orang untuk masuk dan menikmati buahnya. Ada pula sebagian yang membawanya untuk oleh-oleh keluarga. Begitulah, orang-orang dipersilakan keluar masuk kebun Urwah untuk menikmati dan mengambil buah-buahan sesuai keinginannya. Adapun Urwah, setiap kali masuk kebun sering membaca ayat:
وَلَوْلَآ إِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَآءَ ٱللَّهُ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِٱللَّهِ
“Dan mengapa kamu tidak mengucapkan tatkala kamu masuk kebun ‘Masya Allah, laa quwwata illa billah’ (sesungguhnya atas kehendak Allah semua ini terjadi, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah).” [Q.S. Al Kahfi: 39]

Bahkan menurut penuturan putranya, Hisyam bin Urwah, ia tidak pernah mendengar seorang ahli bid’ah pun yang mencela dan menghinanya. Al-‘Ijli menuturkan bahwa Urwah adalah seorang tabi’in yang terpercaya, shalih, dan tidak pernah sekali pun terlibat dalam fitnah. Maka tidak mengherankan jika kaum muslimin terutama penduduk Madinah berduka cita atas musibah yang menimpanya. Salah satu ungkapan takziah terbaik adalah apa yang disampaikan oleh Ibrahim bin Muhammad, “Demi Allah, kami mengetahui bahwa engkau tidak membutuhkan perjalanan dan usahaku ke sini. Sungguh, sebagian anggota tubuh dan putramu telah mendahuluimu menuju surga. Insya Allah yang lainnya akan menyusul kemudian. Dan sungguh, Allah masih menyisakan sesuatu yang sangat kami butuhkan darimu, yaitu ilmu dan pendapatmu. Allah yang akan menjamin pahala untukmu dan menanggung kebaikan hisabmu.”

Demikianlah curahan air mata hikmah dari kesabaran membaja Urwah bin Zubair. Semoga Allah mencurahkan kesabaran kepada kita semua dalam menghadapi berbagai ujian dalam kehidupan ini. Amin Ya Rabbal ‘alamin.

Sumber: Majalah Qudwah edisi 19 vol.02 1435 H/ 2014 M, rubrik Ulama. Pemateri: Ustadz Abu Hafy Abdullah.