فَائِدَةٌ:
Faedah
إِذَا بُدِئَ الۡمُضَارِعُ بِالۡيَاءِ يَكُونُ لِلۡغَائِبِ، وَفَاعِلُهُ
مُسۡتَتِرٌ جَوَازًا تَقۡدِيرُهُ (هُوَ).
Jika fiil mudhari’ diawali oleh huruf ya, maka dia untuk orang yang tidak
hadir (orang ketiga). Fa’il-nya mustatir wujuban (wajib disembunyikan),
asumsinya adalah huwa (dia [laki-laki]).
وَإِذَا بُدِئَ بِالۡأَلِفِ يَكُونُ لِلۡمُتَكَلِّمِ، وَفَاعِلُهُ ضَمِيرٌ
مُسۡتَتِرٌ وُجُوبًا تَقۡدِيرُهُ (أَنَا).
Apabila diawali oleh huruf alif, maka dia untuk orang yang berbicara (orang
pertama). Fa’il-nya adalah kata ganti yang mustatir wujuban, asumsinya adalah
ana.
إِذَا بُدِئَ بِالتَّاءِ فَهُوَ لِلۡمُخَاطَبِ، وَفَاعِلُهُ مُسۡتَتِرٌ
وُجُوبًا تَقۡدِيرُهُ (أَنۡتَ).
وَقَدۡ يَكُونُ لِلۡغَائِبَةِ الۡمُؤَنَّثَةِ، فَيَكُونُ فَاعِلُهُ
مُسۡتَتِرًا جَوَازًا تَقۡدِيرُهُ (هِيَ). هَٰذَا مَا لَمۡ يَتَّصِلۡ بِهِ
أَلِفُ اثۡنَيۡنِ، أَوۡ وَاوُ جَمَاعَةٍ، أَوۡ يَاءُ مُخَاطَبَةٍ فَيَكُونُ
بَارِزًا.
Apabila diawali oleh huruf ta, maka dia untuk orang yang diajak bicara (orang
kedua). Fa’il-nya mustatir wujuban, asumsinya adalah anta.
Bisa juga untuk orang ketiga muanas, maka fa’il-nya mustatir jawazan (boleh
disembunyikan), asumsinya hiya (dia [wanita]). Ini selama tidak disambung oleh
huruf alif itsnain (bermakna ganda), atau huruf wawu jama’ah (bermakna jamak),
atau huruf ya mukhathabah (bermakna orang kedua muanas). Kalau persyaratan
tersebut tidak dipenuhi, maka fa’il-nya tampak.
إِذَا بُدِئَ بِالنُّونِ مِثَالُهُ: (نَذۡهَبُ) يَكُونُ لِلۡمُتَكَلِّمِينَ،
أَوۡ لِلۡمُتَكَلِّمِ الۡمُعَظِّمِ نَفۡسَهُ. وَفَاعِلُهُ ضَمِيرٌ مُسۡتَتِرٌ
وُجُوبًا تَقۡدِيرُهُ (نَحۡنُ) أَوۡ (أَنَا).
Apabila diawali oleh huruf nun, contohnya: “نَذۡهَبُ”, maka dia untuk
orang-orang yang berbicara (orang pertama) atau satu orang pembicara yang
memuliakan dirinya. Fa’il-nya adalah kata ganti mustatir wujuban, asumsinya
adalah nahnu (kami) atau ana.
إِذَنۡ كُلُّ مَا كَانَ تَقۡدِيرُهُ (أَنَا)، أَوۡ (أَنۡتَ)، أَوۡ (نَحۡنُ)
فَهُوَ مُسۡتَتِرٌ وُجُوبًا، وَمَا كَانَ تَقۡدِيرُهُ (هُوَ)، أَوۡ (هِيَ)
فَهُوَ مُسۡتَتِرٌ جَوَازًا.
Jadi setiap fa’il yang asumsinya ana, atau anta, atau nahnu, maka dia mustatir
wujuban. Adapun fa’il yang asumsinya huwa (dia [laki-laki]) atau hiya (dia
[wanita]), maka dia mustatir jawazan.
(نَرۡقُدُ): فِعۡلٌ مُضَارِعٌ مَرۡفُوعٌ بالضَّمَّةِ الظَّاهِرَةِ،
وَفَاعِلُهُ مُسۡتَتِرٌ وُجُوبًا تَقۡدِيرُهُ (نَحۡنُ).
“نَرۡقُدُ” adalah fiil mudhari’ yang di-raf’ menggunakan harakat damah yang
tampak. Fa’il-nya mustatir wujuban, asumsinya adalah nahnu.
(أَخَذَ) فِعۡلٌ مَاضٍ، لِمَاذَا الۡكَلِمَةُ مَبۡدُوءَةٌ بِالۡهَمۡزَةِ؟
لِأَنَّ الۡهَمۡزَةَ هَا هُنَا أَصۡلِيَّةٌ مِنۡ بِنۡيَةِ
الۡكَلِمَةِ.
وَإِعۡرَابُهَا: (أَخَذَ): فِعۡلٌ مَاضٍ مَبۡنِيٌّ عَلَى الۡفَتۡحِ،
وَفَاعِلُهُ مُسۡتَتِرٌ جَوَازًا تَقۡدِیرُهُ (هُوَ). لِمَاذَا قُلۡنَا:
جَوَازًا؟ لِأَنَّ تَقۡدِيرَهُ (هُوَ).
“أَخَذَ” adalah fiil madhi. Mengapa kata ini diawali oleh huruf hamzah?
Jawabannya, karena huruf hamzah di sini asli termasuk huruf penyusun
kata.
Ikrabnya “أَخَذَ” fiil madhi mabni di atas harakat fatah. Fa’il-nya mustatir
jawazan, asumsinya adalah huwa. Mengapa kita katakan jawazan? Karena asumsi
fa’il-nya adalah huwa.
(نَبَعَ الۡمَاءُ).
(نَبَعَ): فِعۡلٌ مَاضٍ مَبۡنِيٌّ عَلَى الۡفَتۡحِ.
(الۡمَاءُ): فَاعِلٌ مَرۡفُوعٌ بِالضَّمَّةِ الظَّاهِرَةِ.
“نَبَعَ الۡمَاءُ (Air itu keluar dari mata air).”
نَبَعَ fiil madhi mabni di atas harakat fatah.
الۡمَاءُ fa’il yang di-raf’ menggunakan harakat damah yang tampak.
(يَبِسَ الثَّمَرُ)
(يَبِسَ): فِعۡلٌ مَاضٍ مَبۡنِيٌّ عَلَى الۡفَتۡحِ.
(الثَّمَرُ): فَاعِلٌ مَرۡفُوعٌ عَلَامَةُ رَفۡعِهِ الضَّمَّةُ
الظَّاهِرَةُ.
“يَبِسَ الثَّمَرُ (Buah itu telah kering).”
يَبِسَ fiil madhi mabni di atas harakat fatah.
الثَّمَرُ fa’il yang di-raf’. Tanda raf’-nya adalah harakat damah yang
tampak.
(نَأۡكُلُ الۡخُبۡزَ) (نَأۡكُلُ): فِعۡلٌ مُضَارِعٌ. وَمَا الدَّلِيلُ؟
لِأَنَّ أَوَّلَهُ نُونٌ زَائِدَةٌ. فِعۡلٌ مُضَارِعٌ مَرۡفُوعٌ بِالضَّمَّةِ.
وَالۡفَاعِلُ ضَمِيرٌ مُسۡتَتِرٌ وُجُوبًا تَقۡدِيرُهُ (نَحۡنُ). (الۡخُبۡزَ):
مَفۡعُولٌ بِهِ مَنۡصُوبٌ بِالۡفَتۡحَةِ الظَّاهِرَةِ.
(نَرَی) فِعۡلٌ مُضَارِعٌ وَعَلَامَةُ رَفۡعِهِ ضَمَّةٌ مُقَدَّرَةٌ عَلَى
آخِرِهِ مَنَعَ مِنۡ ظُهُورِهَا التَّعَذُّرُ، وَالۡفَاعِلُ ضَمِيرٌ مُسۡتَتِرٌ
وُجُوبًا تَقۡدِيرُهُ (نَحۡنُ).
“نَأۡكُلُ الۡخُبۡزَ (Kami sedang makan roti).” نَأۡكُلُ fiil mudhari’. Apa
dalilnya? Jawabannya, karena huruf pertamanya adalah huruf nun tambahan. Fiil
mudhari’ yang di-raf’ menggunakan harakat damah. Fa’il-nya adalah kata ganti
mustatir wujuban, asumsinya adalah nahnu. الۡخُبۡزَ maf’ul bih yang di-nashb
menggunakan harakat fatah yang tampak.
“نَرَى” fiil mudhari’. Tanda raf’-nya adalah harakat damah yang tersembunyi di
huruf terakhirnya. Yang menghalangi dari kemunculannya adalah ta’adzdzur
(tidak bisa diucapkan). Fa’il-nya adalah kata ganti mustatir wujuban,
asumsinya adalah nahnu.
قَوۡلُهُ: (يَجۡمَعُهَا قَوۡلُكَ: أَنَيۡتُ): إِذَا كَانَ مَبۡدُوءًا
بِالۡهَمۡزَةِ فَتَقۡدِيرُ الۡفَاعِلِ فِيهِ (أَنَا) وَهُوَ مُسۡتَتِرٌ
وُجُوبًا، وَإِذَا كَانَ مَبۡدُوءًا بِالنُّونِ فَتَقۡدِيرُ الۡفَاعِلِ فِيهِ
(نَحۡنُ) وَهُوَ أَيۡضًا مُسۡتَتِرٌ وُجُوبًا، إِذَا كَانَ مَبۡدُوءًا
بِالۡيَاءِ فَتَقۡدِيرُهُ (هُوَ) وَهُوَ مُسۡتَتِرٌ جَوَازًا، إِذَا كَانَ
مَبۡدُوءً بِالتَّاءِ تَقۡدِيرُهُ (أَنۡتَ) وَهُوَ مُسۡتَتِرٌ
وُجُوبًا.
Ucapan mualif, “Yang dikumpulkan oleh ucapanmu: أَنَيۡتُ.” Apabila fiil
mudhari’ diawali oleh huruf hamzah, maka asumsi fa’il-nya adalah ana dan dia
mustatir wujuban. Apabila diawali oleh huruf nun, maka asumsi fa’il-nya adalah
nahnu dan dia juga mustatir wujuban. Apabila diawali oleh huruf ya, maka
asumsi fa’il-nya adalah dia [laki-laki] dan dia mustatir jawazan. Apabila
diawali oleh huruf ta, maka asumsi fa’il-nya adalah engkau [laki-laki] dan dia
mustatir wujuban.
وَقَوۡلُهُ: (وَهُوَ مَرۡفُوعٌ أَبَدًا): حَتَّى يَدۡخُلَ عَلَيۡهِ نَاصِبٌ
أَوۡ جَازِمٌ، أَخَذۡنَاهَا. وَلَمۡ يَقُلِ الۡمُؤَلِّفُ: أَوۡ رَافِعٌ
لِمَاذَا؟ لِأَنَّهُ الۡأَصۡلُ، وَلَمۡ يَقُلِ الۡخَافِضُ؟ لِأَنَّ الۡخَفۡضَ
لَا يَدۡخُلُ عَلَى الۡأَفۡعَالِ، إِذَنۡ کَلَامُ الۡمُؤَلِّفِ
مُحۡکَمٌ.
وَقَالَ الۡمُؤَلِّفُ –رَحِمَهُ اللهُ-: (حَتَّى يَدۡخُلَ عَلَيۡهِ نَاصِبٌ
أَوۡ جَازِمٌ)، وَلَمۡ يَقُلۡ: أَوۡ رَافِعٌ؛ لِأَنَّهُ الۡأَصۡلُ وَلَمۡ
يَقُلۡ: أَوۡ خَافِضٌ؛ لِأَنَّ الۡخَفۡضَ لَا يَدۡخُلُ
الۡأَفۡعَالَ.
Ucapan mualif, “Dia (fiil mudhari’) selamanya di-raf’.” Sampai ada yang
me-nashb-kan atau men-jazm-kan masuk padanya. Kita sudah memahaminya. Namun
mualif tidak mengatakan: atau yang me-raf’-kan. Mengapa? Jawabannya, karena
raf’ adalah asalnya. Mualif juga tidak mengatakan: atau yang me-khafdh-kan;
karena khafdh tidak masuk kepada fiil-fiil. Jadi ucapan mualif telah
jelas.
Mualif—rahimahullah—berkata, “Sampai ada yang me-nashb-kan atau men-jazm-kan
masuk padanya.” Mualif tidak mengatakan: atau yang me-raf’-kan; karena raf’
merupakan asal. Mualif juga tidak mengatakan: atau yang me-khafdh-kan; karena
khafdh tidak masuk pada fiil-fiil.