الثَّالِثُ: (إِذَنۡ) مِنَ النَّوَاصِبِ لَكِنۡ بِثَلَاثَةِ
شُرُوطٍ:
الۡأَوَّلُ: أَنۡ تَكُونَ فِي أَوَّلِ الۡجُمۡلَةِ.
الثَّانِي: أَنۡ تَكُونَ مُتَّصِلَةً بِالۡفِعۡلِ، بِحَيۡثُ لَا يَفۡصِلُ
بَيۡنَهَا وَبَيۡنَ الۡفِعۡلِ فَاصِلٌ، إِلَّا أَنۡ يُفۡصَلَ بَيۡنَهُ
وَبَيۡنَهَا بِالۡيَمِينِ.
الثَّالِثُ: أَنۡ يَكُونَ الۡفِعۡلُ بَعۡدَهَا مُسۡتَقۡبِلًا.
Yang ketiga: إِذَنۡ termasuk pe-nashb, akan tetapi dengan tiga syarat.
Pertama: berada di awal kalimat.
Kedua: bersambung dengan fiil, yaitu tidak ada pemisah antara إِذَنۡ dengan
fiil kecuali dipisah dengan sumpah.
Ketiga: fiil setelahnya dikerjakan pada masa yang akan datang.
وَعَلَى هَٰذَا يَقُولُ ابۡنُ مَالِكٍ:
وَنَصَبُوا بِـ(إِذَنِ) الۡمُسۡتَقۡبَلَا إِنۡ صُدِّرَتۡ وَالۡفِعۡلُ بَعۡدُ
مُوصَلَا
أَوۡ قَبۡلَهُ الۡيَمِينُ............ ............
Sejalan dengan ini adalah yang dikatakan oleh Ibnu Malik, “Mereka me-nashb-kan
fiil yang dikerjakan pada masa yang akan datang dengan إِذَنۡ. Jika إِذَنۡ
terletak di awal kalimat dan fiil bersambung setelahnya, atau sebelum fiil itu
ada sumpah.”
مِثَالُ ذٰلِكَ: قَالَ رَجُلٌ لَكَ: (سَأَزُورُكَ غَدًا). فَقُلۡتَ: (إِذَنۡ
أُكۡرِمَكَ). انۡظُرُ الشُّرُوطَ:
أَوَّلًا: هِيَ فِي صَدۡرِ الۡكَلَامِ.
ثَانِيًا: الۡفِعۡلُ بَعۡدَهَا مُسۡتَقۡبِلٌ مَتَى يَكُونُ الۡإِكۡرَامُ؟
غَدًا إِذَا زَارَكَ.
ثَالِثًا: هِيَ مُتَّصِلَةٌ بِالۡفِعۡلِ.
Contohnya: Seorang lelaki berkata kepadamu, “سَأَزُورُكَ غَدًا (Aku akan
mengunjungimu besok.” Lalu engkau katakan, “إِذَنۡ أَكۡرِمَكَ (Jika demikian,
maka aku akan memuliakanmu).” Perhatikan syarat-syarat berikut!
Pertama: إِذَنۡ berada di awal kalimat.
Kedua: Fiil setelahnya dikerjakan di masa yang akan datang. Kapan pemuliaan
itu terjadi? Besok ketika dia sudah mengunjungimu.
Ketiga: إِذَنۡ bersambung dengan fiil.
قَالَ لَكَ قَائِلٌ: (سَأَزُورُكَ غَدًا)، فَقُلۡتَ: (إِنِّي إِذَنۡ
أُكۡرِمَكَ) هَٰذَا خَطَأٌ، بَلۡ أَقُولُ: (إِنِّي إِذَنۡ أُكۡرِمُكَ)
لِمَاذَا؟ لِأَنَّهَا لَيۡسَتۡ مُصَدَّرَةً؛ لِأَنَّهَا جَاءَتۡ فِي أَثۡنَاءِ
الۡجُمۡلَةِ، أَوَّلُ الۡجُمۡلَةِ هِيَ (إِنِّي).
Ada seseorang yang berkata kepadamu, “سَأَزُورُكَ غَدًا,” lalu engkau katakan,
“إِنِّي إِذَنۡ أُكۡرِمَكَ”. Ini keliru. Aku katakan yang benar adalah “إِنِّي
إِذَنۡ أُكۡرِمُكَ.” Mengapa? Karena إِذَنۡ tidak mengawali kalimat karena dia
di tengah-tengah kalimat. Kata pertama dalam kalimat tersebut adalah
إِنِّي.
قُلۡتَ: (إِنۡ زُرۡتَنِي إِذَنۡ أُكۡرِمَكَ) هَٰذَا خَطَأٌ؛ لِأَنَّهَا
لَيۡسَتۡ مُصَدَّرَةً.
إِذَنۡ مَاذَا تَقُولُ؟ الۡجَوَابُ: (إِنۡ زُرۡتَنِي إِذَنۡ أُكۡرِمُكَ)؛
لِأَنَّهَا لَيۡسَتۡ أَوَّلَ الۡجُمۡلَةِ.
Engkau katakan, “إِنۡ زُرۡتَنِي إِذَنۡ أُكۡرِمَكَ.” Ini keliru karena إِذَنۡ
tidak mengawali kalimat. Jadi apa yang seharusnya engkau katakan? Jawabannya,
“إِنۡ زُرۡتَنِي إِذَنۡ أُكۡرِمُكَ” karena إِذَنۡ tidak di awal kalimat.
لَوۡ قَالَ: (سَأَزُورُكَ غَدًا)، فَقُلۡتَ: إِذَنۡ -حَيَّاكَ اللهُ-
أُكۡرِمَكَ خَطَأٌ؛ لِأَجۡلِ الۡفَاصِلِ. إِذَنۡ أَقُولُ: (إِنِّي -حَيَّاكَ
اللهُ- أُكۡرِمُكَ).
Kalau dia berkata, “سَأَزُورُكَ غَدً”, lalu engkau katakan, “إِذَنۡ –حَيَّاكَ
اللهُ- أُكۡرِمَكَ”. Ini keliru karena ada pemisahnya. Jadi aku katakan yang
benar adalah “إِنِّي –حَيَّاكَ اللهُ- أُكۡرِمُكَ”.
لَوۡ قَالَ: (سَأَزُورُكَ غَدًا). فَقُلۡتَ: (إِذَنۡ -وَاللهِ- أُكۡرِمَكَ)
صَحِيحٌ؛ لِأَنَّ الۡفَصۡلَ هُنَا بِالۡيَمِينِ، وَإِذَا كَانَ الۡفَصۡلُ
بِالۡيَمِينِ، فَإِنَّهُ لَا يَمۡنَعُ النَّصۡبَ.
Kalau dia berkata, “سَأَزُورُكَ غَدًا”, lalu engkau katakan, “إِذَنۡ –وَاللهِ-
أُكۡرِمَكَ”. Ini benar karena pemisah di sini berupa sumpah. Jika pemisahnya
berupa sumpah, maka hal itu tidak menghalangi nashb.
وَلَوۡ قَالَ: إِذَا ذَاكَرۡتُ دُرُوسِي نَجَحۡتُ، فَقَالَ لَهُ زَمِيلُهُ:
إِذَنۡ تَفۡرَحَ.
وَمِنۡهُ قَوۡلُ الشَّاعِرِ:
إِذَنۡ وَاللهِ نَرۡمِيَهُمۡ بِحَرۡبٍ تُشِيبُ الطِّفۡلَ مِنۡ قَبۡلِ
الۡمَشِيبِ
فَنَصَبَ (نَرۡمِيَهُمۡ).
Kalau dia berkata, “إِذَا ذَاكَرۡتُ دُرُوسِي نَجَحۡتُ (Apabila aku menghafal
pelajaran-pelajaranku, maka aku bisa lulus)” lalu temannya berkata kepadanya,
“إِذَنۡ تَفۡرَحَ (Kalau begitu, engkau akan gembira)”.
Termasuk bab ini adalah ucapan penyair, “إِذَنۡ وَاللهِ نَرۡمِيَهُمۡ بِحَرۡبٍ
تُشِيبُ الطِّفۡلَ مِنۡ قَبۡلِ الۡمَشِيبِ (Kalau begitu, demi Allah, kita akan
melancarkan peperangan kepada mereka dengan perang yang membuat anak kecil
beruban sebelum waktunya).” Penyair ini me-nashb kata “نَرۡمِيَهُمۡ”.
إِذَا قَالَ لَكَ قَائِلٌ: (أَنَا مُشۡتَاقٌ إِلَيۡكَ أُحِبُّ أَنۡ
أَزُورَكَ)، فَقُلۡتَ: (إِذَنۡ الۡآنَ أُكۡرِمَكَ) خَطَأٌ؛ لِأَنَّ الۡفِعۡلَ
غَيۡرُ مُسۡتَقۡبَلٍ، وَالصَّحِيحُ: (أُكۡرِمُكَ)؛ لِأَنَّ الۡفِعۡلَ الۡآنَ
غَيۡرُ مُسۡتَقۡبَلٍ، وَهِيَ لَا تَنۡصِبُ إِلَّا إِذَا كَانَ الۡفِعۡلُ
مُسۡتَقۡبِلًا.
Jika ada yang berkata kepadamu, “أَنَا مُشۡتَاقٌ إِلَيۡكَ أُحِبُّ أَنۡ
أَزُورُكَ (Aku rindu kepadamu. Aku ingin mengunjungimu.)” lalu engkau katakan,
“إِذَنۡ الۡآنَ أُكۡرِمَكَ (Kalau begitu, aku muliakan engkau sekarang)”. Ini
keliru, karena fiil tidak dilakukan di masa yang akan datang. Yang benar,
“أُكۡرِمُكَ” karena fiil dilakukan sekarang, bukan di masa yang akan datang.
إِذَنۡ tidak me-nashb kecuali ketika fiil dilakukan di masa yang akan
datang.
وَلَوۡ حَدَّثَكَ شَخۡصٌ حَدِيثًا فَقُلۡتَ لَهُ: (إِذَنۡ تَصۡدُقُ)
بِالرَّفۡعِ، كَانَ صَحِيحًا لِأَنَّ الۡفِعۡلَ لَيۡسَ فِي الۡمُسۡتَقۡبَلِ،
فَيَجِبُ أَنۡ يَكُونَ مَرۡفُوعًا.
Kalau ada orang yang menceritakan suatu cerita kepadamu, lalu engkau katakan
kepadanya, “إِذَنۡ تَصۡدُقُ (Jika demikian, engkau jujur)” dengan raf’. Ini
benar karena fiil (yakni perbuatan bicara jujur) tidak dilakukan di masa yang
akan datang, sehingga wajib fiil tersebut di-raf’.
إِذَا قُلۡتَ: (إِذَنۡ أُكۡرِمَكَ) (إِذَنۡ): حَرۡفُ جَوَابٍ وَنَصۡبٍ؛
لِأَنَّهَا تَدُلُّ عَلَى الۡجَوَابِ، وَتَنۡصِبُ الۡفِعۡلَ
الۡمُضَارِعَ.
Ketika engkau katakan, “إِذَنۡ أُكۡرِمَكَ”, maka ikrabnya adalah إِذَنۡ huruf
jawab dan nashb karena menunjukkan jawaban dan me-nashb-kan fiil mudhari’.