Syekh Muhammad bin 'Abdul Wahhab--rahimahullah--di dalam
Nawaqidh Al-Islam berkata:
وَلَا فَرۡقَ فِي جَمِيعِ هَٰذِهِ النَّوَاقِضِ بَيۡنَ الۡهَازِلِ وَالۡجَادِّ وَالۡخَائِفِ إِلَّا الۡمُكۡرَهَ، وَكُلُّهَا مِنۡ أَعۡظَمِ مَا يَكُونُ خَطَرًا، وَمِنۡ أَكۡثَرِ مَا يَكُونُ وُقُوعًا فَيَنۡبَغِي لِلۡمُسۡلِمِ أَنۡ يَحۡذَرَهَا وَيَخَافَ مِنۡهَا عَلَى نَفۡسِهِ، نَعُوذُ بِاللهِ مِنۡ مُوجِبَاتِ غَضَبِهِ وَأَلِيمِ عِقَابِهِ.
Tidak ada perbedaan pada keseluruhan pembatal keislaman ini antara orang yang main-main, serius, atau ketakutan, kecuali orang yang dipaksa. Semua pembatal tersebut di antara pembatal keislaman yang paling besar bahayanya dan paling banyak terjadi, sehingga seorang muslim selayaknya waspada dan mengkhawatirkan dirinya dari hal itu. Kita berlindung kepada Allah dari dosa yang menjadi alasan kemurkaan-Nya dan pedihnya hukuman-Nya.[1]
وَصَلَّى اللهُ عَلَى خَيۡرِ خَلۡقِهِ مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحۡبِهِ وَسَلَّمَ.
Semoga Allah limpahkan selawat dan salam kepada makhluk-Nya yang terbaik, yaitu Nabi Muhammad, juga kepada keluarga dan sahabat beliau.
Syekh Shalih bin Fauzan bin 'Abdullah Al-Fauzan--hafizhahullah--di
dalam Syarh Nawaqidh Al-Islam berkata:
[1]
لَا فَرۡقَ فِي هَٰذِهِ النَّوَاقِضِ الۡعَشَرَةِ بَيۡنَ الۡجَادِّ: الَّذِي
يَقۡصُدُ مَا يَقُولُ أَوۡ يَفۡعَلُ، وَالۡهَازِلِ: وَهُوَ الَّذِي لَا
يَقۡصُدُ، وَإِنَّمَا يَفۡعَلُ هَٰذَا مِنۡ بَابِ الۡمَزۡحِ وَاللَّعۡبِ، وَفِي
هَٰذَا رَدٌّ عَلَى الۡمُرۡجِئَةِ الَّذِينَ يَقُولُونَ: لَا يَكۡفُرُ حَتَّى
يَعۡتَقِدَ بِقَلۡبِهِ، لَا فَرۡقَ بَیۡنَ الۡجَادِّ وَالۡهَازِلِ، أَوِ
الۡخَائِفِ الَّذِي يَفۡعَلُ هَٰذِهِ الۡأَشۡيَاءَ دَفۡعًا لِلۡخَوۡفِ،
فَالۡوَاجِبُ عَلَيۡهِ أَنۡ يَصۡبِرَ.
Tidak ada perbedaan dalam sepuluh pembatal keislaman ini antara orang yang
serius yang memang memaksudkan ucapan atau perbuatannya; dengan orang yang
bermain-main yang tidak memaksudkannya, dia hanya melakukannya dalam rangka
bersenda gurau dan main-main. Dalam ucapan beliau ini ada bantahan terhadap
Al-Murji`ah yang mengatakan bahwa seseorang tidak kafir hingga dia meyakini
dengan hatinya.
Jadi, tidak ada perbedaan antara orang yang serius dan orang yang main-main,
atau orang yang takut yang dia melakukan pembatal-pembatal ini untuk
menghilangkan ketakutannya. Yang wajib bagi orang yang takut adalah agar dia
bersabar.
(إِلَّا الۡمُكۡرَهَ) إِذَا أُكۡرِهَ أَنۡ يَقُولَ كَلِمَةً فِيهَا كُفۡرٌ،
وَلَمۡ يُمۡكِنۡهُ التَّخَلُّصُ مِنَ الظُّلۡمِ إِلَّا بِهَا، فَرَخَّصَ لَهُ
اللهُ فِي ذٰلِكَ ﴿مَن كَفَرَ بِٱللَّهِ مِنۢ بَعۡدِ إِيمَـٰنِهِۦٓ إِلَّا مَنۡ
أُكۡرِهَ وَقَلۡبُهُۥ مُطۡمَئِنٌّۢ بِٱلۡإِيمَـٰنِ﴾ [النحل: ١٠٦]. بِهَٰذَا
الشَّرۡطِ، وَيَكُونُ قَصۡدُهُ دَفۡعَ الۡإِكۡرَاهِ فَقَطۡ، إِلَّا أَنَّ
قَلۡبَهُ لَا يَعۡتَقِدُ بِمَا يَتَلَفَّظُ بِهِ.
“Kecuali orang yang dipaksa,” ketika dia dipaksa untuk mengucapkan suatu
kalimat yang mengandung kekufuran dan tidak mungkin baginya untuk bebas dari
kezaliman kecuali dengan melakukannya, maka Allah memberi keringanan untuknya
dalam perkara itu. “Barang siapa yang kufur kepada Allah setelah sebelumnya
dia beriman kecuali orang yang dipaksa, sementara hatinya tetap tenang dengan
keimanan.” (QS. An-Nahl: 106).
Keringanan ini diberikan dengan syarat ini. Tujuan dia hanya untuk melepaskan
diri dari pemaksaan ini, hanya saja hatinya harus tidak menyakini apa yang dia
ucapkan.
كَمَا حَصَلَ لِعَمَّارِ بۡنِ يَاسِرٍ الَّذِي سَبَّبَ نُزُولَ الۡآيَةِ فِيهِ
رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ، لَمَّا أَخَذَهُ الۡكُفَّارُ وَعَذَّبُوهُ حَتَّى يَقُولَ
فِي مُحَمَّدٍ ﷺ، أَيۡ: يَسُبُّ الرَّسُولَ ﷺ ، فَوَافَقَهُمۡ وَسَبَّ
الرَّسُولَ، وَجَاءَ نَادِمًا إِلَى الرَّسُولِ ﷺ خَائِفًا مِمَّا حَصَلَ لَهُ
، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ ﷺ: (كَيۡفَ تَجِدُ قَلۡبَكَ) قَالَ: مُطۡمَئِنًّا
بِالۡإِيمَانِ، قَالَ: (فَإِنۡ عَادُوا فَعُدۡ)، وَأَنۡزَلَ اللهُ تَعَالَى:
﴿إِلَّا مَنۡ أُكۡرِهَ وَقَلۡبُهُۥ مُطۡمَئِنٌّۢ بِٱلۡإِيمَـٰنِ﴾ [النحل: ١٠٦]
﴿لَّا يَتَّخِذِ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ٱلۡكَـٰفِرِينَ أَوۡلِيَآءَ مِن دُونِ
ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ۖ وَمَن يَفۡعَلۡ ذَٰلِكَ فَلَيۡسَ مِنَ ٱللَّهِ فِى شَىۡءٍ
إِلَّآ أَن تَتَّقُوا۟ مِنۡهُمۡ تُقَىٰةً ﴾ۗ [ال عمران: ۲۸].
Sebagaiman peristiwa yang dialami oleh ‘Ammar bin Yasir—radhiyallahu
‘anhu—yang menjadi sebab turunnya ayat ini. Ketika orang-orang kafir menangkap
dan terus menyiksanya sampai dia mau mengucapkan celaan terhadap Nabi
Muhammad—shallallahu ‘alaihi wa sallam—. ‘Ammar pun terpaksa memenuhi
keinginan mereka dan mencela Rasulullah. Setelah itu ‘Ammar datang dengan
penuh penyesalan kepada Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—dalam keadaan
takut dari peristiwa yang dia alami.
Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—bertanya kepadanya, “Bagaimana engkau
dapati hatimu?”
‘Ammar menjawab, “Hatiku tetap tenang dengan keimanan.”
Nabi bersabda, “Jika mereka mengulangi, maka ulangilah!” (HR. ‘Abdurrazzaq di
dalam Al-Mushannaf 1/360, Ibnu Sa’d 3/249, Ath-Thabari di dalam At-Tafsir
14/374, Al-Hakim 2/357, Al-Baihaqi di dalam Dala`il An-Nubuwwah 8/208, Ibnu
‘Asakir di dalam Tarikh Dimasyq 43/373. As-Suyuthi membawakan riwayat tersebut
di dalam Ad-Durr Al-Mantsur 4/132).
Allah taala menurunkan ayat, “Kecuali orang yang dipaksa dalam keadaan hatinya
tetap tenang dengan keimanan.” (QS. An-Nahl: 106).
“Orang-orang yang beriman tidak boleh menjadikan orang-orang kafir dari selain
kaum mukminin sebagai teman setia. Siapa saja yang melakukan hal itu, maka dia
tidak akan mendapatkan pertolongan dari Allah, kecuali apabila dia melindungi
diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka.” (QS. Ali ‘Imran: 28).
(نَعُوذُ بِاللهِ مِنۡ مُوجِبَاتِ غَضَبِهِ، وَأَلِيمِ عِقَابِهِ)
آمِین.
“Kita berlindung kepada Allah dari dosa yang menyebabkan datangnya
kemurkaan-Nya dan dari pedihnya hukuman-Nya.” Amin.