هَذَا الۡعِلۡمُ الشَّرۡعِيُّ هُوَ أَفۡضَلُ الۡعُلُومِ وَهُوَ الۡجَدِيرُ بِالطَّلَبِ وَالۡحِرۡصِ عَلَى تَحۡصِيلِهِ لأَنَّهُ بِهِ يُعۡرَفُ اللهُ سُبۡحَانَهُ وَتَعَالَى وَبِهِ يُعۡبَدُ.
وَبِهَذَا الۡعِلۡمِ يُعۡرَفُ مَا أَحَلَّ اللهُ وَمَا حَرَّمَ وَمَا يُرۡضِيهِ وَمَا يُسۡخِطُهُ، وَبِهَذَا الۡعِلۡمِ يُعۡرَفُ الۡمَصِيرُ إِلَيۡهِ وَالنِّهَايَةُ مِنۡ هَذِهِ الۡحَيَاةِ، وَأَنَّ قِسۡمًا مِنۡ هَؤُلاَءِ الۡمُكَلَّفِينَ يَنۡتَهُونَ إِلَى الۡجَنَّةِ وَالسَّعَادَةِ، وَأَنَّ الآخَرِينَ وَهُمُ الأَكۡثَرُونَ يَنۡتَهُونَ إِلَى دَارِ الۡهَوَانِ وَالشَّقَاءِ، وَقَدۡ نَبَّهَ أَهۡلُ الۡعِلۡمِ عَلَى هَذَا وَبَيَّنُوا أَنَّ الۡعِلۡمَ يَنۡحَصِرُ فِي هَذَا الۡمَعۡنَى، وَمِمَّنۡ نَبَّهَ عَلَيۡهِ الۡقَاضِي ابۡنُ أَبِي الۡعِزِّ شَارِحُ الطَّحَاوِيَّةِ فِي أَوَّلِ شَرۡحِهِ، وَنَبَّهَ عَلَيۡهِ غَيۡرُهُ كَابۡنِ الۡقَيِّمِ وَشَيۡخِ الإِسۡلاَمِ ابۡنِ تَيۡمِيَّةَ وَجَمَاعَةِ آخَرِينَ.
Ilmu syar’i ini adalah seutama-utama ilmu dan ilmu inilah yang sepantasnya dicari dan diusahakan untuk diperoleh, karena dengan ilmu inilah Allah subhanahu wa ta’ala dikenal dan diibadahi.
Dengan ilmu ini pula diketahui hal-hal yang Allah halalkan dan haramkan, perkara-perkara yang membuat Allah ridha dan yang membuat Allah murka. Dengan ilmu ini pula diketahui tempat kita kembali dan akhir dari kehidupan ini, sesungguhnya satu golongan dari para mukallaf (yang dikenai beban syari’at) ada yang berakhir ke surga dan kebahagiaan, dan selainnya -yang mereka ini paling banyak- berakhir ke negeri kehinaan dan penderitaan. Dan sungguh ulama telah memperingatkan hal ini dan menjelaskan bahwa ilmu ini terbatas pada makna ini. Di antara ulama yang telah memperingatkan hal ini adalah Al Qadhi Ibnu Abil ‘Izz, pensyarah kitab Ath Thohawiyah di permulaan syarahnya. Ulama lain juga telah memperingatkan atasnya, seperti Ibnul Qayyim, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, dan ulama-ulama lainnya.