Cari Blog Ini

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah

Di tengah berkecamuknya gelombang ekspansi bangsa Tartar ke berbagai wilayah Timur Tengah, lahirlah seorang bayi yang kelak akan menjadi seorang ulama dan mujaddid yang sangat terkenal. Dialah Abul Abbas Ahmad bin Abdul Halim Al-Harrani Ad-Dimasyqi yang terkenal dengan sebutan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Di bawah kepemimpinan Jengis Khan, bangsa ini tidak hanya berambisi untuk menguasai dataran Cina. Namun, mereka juga menyerang berbagai wilayah Timur Tengah. Tentara Tartar bukan hanya para penyembah berhala. Mereka sujud kepada matahari ketika terbit, juga menghalalkan segala hal. Termasuk memakan semua binatang yang diharamkan dalam syariat Islam. Seperti anjing, babi, dan yang lainnya. Mereka bertindak semena-mena dan tidak mengenal belas kasih.

Sungguh, kemunculan mereka menjadi ujian yang begitu berat bagi kaum muslimin saat itu. Tatkala Ibnu Taimiyah berusia enam tahun, agresi yang dilancarkan oleh bangsa Tartar semakin meluas di wilayah Timur Tengah. Bahkan, sudah mendekati wilayah Harran, tempat kelahiran beliau. Sehingga beliau pun dibawa oleh keluarganya pindah ke Damaskus. Agar terhindar dari kebiadaban tentara Tartar.

Mereka berhijrah pada malam hari dengan memakai gerobak besar untuk membawa kitab-kitab yang jumlahnya cukup banyak. Sungguh, perhatian mereka terhadap kitab-kitab tersebut lebih besar dari harta benda yang dimiliki. Oleh karenanya, mereka tidaklah menyertakan harta benda melainkan seperlunya saja.

Di tengah perjalanan, gerobak tersebut mengalami kerusakan. Padahal, sebagian orang-orang Tartar tengah menuju ke tempat mereka. Dalam kondisi genting seperti ini, mereka pun berdoa memohon keselamatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Akhirnya, Allah pun menyelamatkan mereka beserta seluruh kitab-kitab yang dibawa.

Semenjak kecil sudah nampak tanda-tanda kecerdasan pada diri Ibnu Taimiyah. Kecerdasan dan kejeniusan otaknya membuat para tokoh di negeri setempat mereka sangat kagum. Beliau tumbuh di lingkungan keluarga yang sangat mencintai ilmu agama. Terbukti banyak saudara-saudara beliau yang menjadi ulama terkenal di zamannya. Seperti misalnya kakek beliau urutan keempat yaitu Muhammad Al-Khadr, Abdul Halim bin Muhammad, dan bahkan kakek beliau yang pertama (ayahnya ayah beliau), yaitu Abdus Salam bin Abdullah Majduddin. Nama terakhir ini adalah salah satu tokoh ulama hanbali, dan mempunyai beberapa karya tulis yang cukup terkenal. Seperti Al-Muntaqa, Al-Muharrar, atau Al-Musawadah dalam bidang ilmu Ushul fiqh, dan kitab yang lainnya. Juga ayahanda beliau yang bernama Abdul Halim Syihabuddin dan saudara beliau yang bernama Abdurrahman, serta yang lainnya.

Begitu tiba di Damaskus, beliau serius menghafalkan Al-Qur’an dan mencari berbagai cabang ilmu pada para ulama, huffazh, dan para ahli hadits negeri itu. Setelah hafal Al-Qur’an dalam usianya yang masih sangat muda, beliau pun mempelajari berbagai disiplin ilmu seperti hadits, fiqh, tafsir, ilmu ushul, bahasa, dan yang lainnya. Karena kecerdasan yang sangat luar biasa, dan kuatnya hafalan yang dimiliki, Ibnu Taimiyah tidak membutuhkan waktu lama untuk bisa menguasai berbagai cabang ilmu tersebut.

Diriwayatkan oleh Al-Bazzar, bahwa dalam perjalanannya menuntut ilmu, kemampuan Ibnu Taimiyah telah membuat banyak orang terkesima. Tidak terkecuali seorang Yahudi yang selalu menghadang beliau setiap kali hendak menuju ke tempat belajarnya. Orang Yahudi itu benar-benar mengetahui kecerdasan Ibnu Taimiyah. Setiap pertemuan pula ia menyodorkan sejumlah pertanyaan yang selalu dijawab dengan tepat oleh bliau. Kemudian, beliau menggunakan kesempatan itu untuk mendakwahinya. Akhirnya, si Yahudi pun masuk Islam.

Juga merupakan salah satu keistimewaan yang dimiliki oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah adalah semangat menuntut ilmu. Beliau sangat antusias untuk membaca dan mempelajari ilmu agama dalam kondisi apapun. Karakter beliau ini kemudian didukung oleh hafalan yang sangat kuat dan cemerlang.

Kita simak persaksian Ibnu Abdil Hadi yang merupakan salah seorang murid Ibnu Taimiyah, “Beliau tidak pernah merasa kenyang dengan ilmu syar’i. Tidak pernah puas dalam membaca dan tidak pernah lelah atau bosan dalam melakukan penelitian terhadap suatu permasalahan ilmiah. Tidaklah beliau mendalami suatu permasalahan, melainkan pasti beliau diberi pemahaman tentang sekian permasalahan. Kemudian beliau koreksi kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh para ulama dalam bidang ilmu tersebut.”

Ibnu Abdil Hadi juga menuturkan bahwa jika Syaikhul Islam menghadapi kesulitan dalam suatu permasalahan, atau sulit memahami faidah dalam sebuah ayat. Beliau pun datang ke tempat yang sepi dalam masjid, lalu bersujud seraya berdoa, “Wahai Rabb yang mengajari Ibrahim, pahamkanlah diriku.”

Saat beliau sakit pun, tidaklah hal itu menyurutkan semangat beliau untuk terus mempelajari ilmu agama. Sebagaimana hal ini dikisahkan oleh Ibnul Qayyim dalam Raudhatul Muhibbin, bahwa ketika Syaikhul Islam sakit, ada seorang Thabib mengatakan, “Perbuatan anda membaca buku dan mengajarkan ilmu akan semakin membuat sakit anda bertambah parah.” Beliau rahimahullah pun mengatakan kepadanya, “Saya tidak akan kuat meninggalkannya. Saya mengajak anda untuk mengambil kesimpulan berdasarkan pengetahuan yang anda miliki. Bukankah ketika jiwa merasa senang dan gembira serta semangat, tubuh menguat, lalu keadaan yang seperti itu akan bisa menghilangkan penyakit?” Dokter itu menjawab, “Ya benar.” Beliau pun berkata kepadanya, “Sesungguhnya jiwaku merasa gembira dengan ilmu agama. Dengan ilmu tersebut, semangatku akan semakin menguat, sehingga aku merasa sangat nyaman dengan keberadaannya.” Dokter itu berkata, “Itu di luar metode pengobatan kami?!”

Memang sungguh luar biasa semangat beliau dalam mempelajari dan mengajarkan ilmu kepada umat manusia. Ilmu agama menjadi bagian hidup beliau yang tidak bisa terpisahkan dalam kondisi apapun. Bahkan ketika sakit pun akhirnya, beliau masih bisa merasakan nikmat menuntut ilmu. Sungguh hari-hari beliau sarat dengan ilmu agama, belajar, mengajar, dan berfatwa.

Bahkan, ketika beliau mendekam di penjara sekali pun, sama sekali hal itu tidak berpengaruh pada aktivitas beliau. Ketika beliau ditangkap lantas dipenjara, beliau justru menampakkan kegembiraan. Dan memang itulah yang beliau nantikan. Akhirnya situasi penjara beliau rubah menjadi majlis ilmu dan ibadah. Sehingga, tidak sedikit mantan narapidana yang telah selesai menjalani masa hukumannya lebih memilih tinggal bersama beliau untuk terus mengambil faedah dan menimba ilmu dari beliau. Allah subhanahu wa ta’ala telah menjadikan beliau penuh barakah di mana pun berada.

Keistimewaan lain yang pernah disaksikan oleh para ulama adalah kekuatan hafalan beliau yang sangat luar biasa. Sehingga, sesuatu yang telah dibaca sekali langsung menempel dan terpatri dalam ingatannya. Abu Thahir As-Sarmari menuturkan, “Di antara keajaiban hafalan di zaman kami adalah kekuatan hafalan Abul Abbas Ibnu Taimiyah. Beliau pernah melihat sebuah kitab lalu membacanya sekali. Saat itu pula, isi kitab tersebut telah tercetak dalam ingatannya. Kemudian setelahnya beliau mengulang dan menukilkannya dalam berbagai karya tulis secara tekstual maupun maknanya.

Syaikhul Islam juga dikenal sebagai pribadi yang sangat penyantun kepada orang lain. Bahkan, terhadap orang-orang yang membenci dan memusuhinya sekali pun. Simak penuturan Ibnu Katsir berikut ini, “Tatkala Sultan An-Nashir Al-Qalawun kembali menguasai kerajaan untuk yang kedua kalinya, tekad terbesarnya saat itu adalah bertemu dengan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Setelah bertemu, maka keduanya pun berpelukan dan berbincang-bincang. Kemudian Sultan meminta Syaikhul Islam agar berfatwa supaya menangkap dan menghukum mati beberapa qadhi (hakim) yang pernah menjelek-jelekkan beliau. Sultan terus mendesak beliau agar mengeluarkan fatwa tersebut. Yang demikian ini karena Sultan juga merasa sakit hati terhadap orang-orang yang telah menggulingkan kekuasannya dan membaiat Jengis Khan. Setelah Jengis Khan dan para pengikutnya berhasil ditumpas, Sultan berencana menangkap beberapa qadhi yang terlibat dalam pemberontakan tersebut. Bahkan, mereka pernah mengeluarkan fatwa supaya Syaikhul Islam dihukum mati.

Namun, bagaimana tanggapan Syaikhul Islam terhadap rencana tersebut? Sungguh mengagumkan! Beliau justru membiarkan para qadhi tersebut dan tetap menghormati mereka. Beliau jelaskan kepada Sultan tentang kedudukan dan keutamaan mereka. Beliau pun menentang ucapan-ucapan miring tentang mereka.

Syaikhul Islam mengatakan kepada Sultan, “Jika anda membunuh orang-orang itu, niscaya anda tidak akan menjumpai lagi orang-orang seperti mereka setelahnya. Adapun mereka yang telah menyakiti saya, maka saya halalkan (tidak akan menuntut apapun). Saya tidak akan berusaha untuk mencari pembelaan untuk diri saya.” Subhanallah, inilah sifat hilm (penyantun) yang merupakan salah satu akhlak mulia dalam agama Islam.

Hilm sebagaimana didefinisikan oleh Raghib Al-Asfahani dalam kitabnya Mufradat Fi Gharibil Qur’an, adalah pengendalian jiwa dan tabiat ketika kemarahan sedang bergejolak. Hilm adalah sebuah keadaan di antara marah dan lemah. Jika seseorang menuruti nafsu kemarahannya tanpa pikir panjang, dia akan terjatuh dalam berbagai keburukan. Seperti celaan, penganiayaan, bahkan pembunuhan. Adapun dengan sikap lemah, berarti ia telah menyia-nyiakan haknya dan rela dengan kezaliman terhadap dirinya. Akan tetapi, apabila seseorang menghiasi dirinya dengan sifat santun, padahal ia mampu melampiaskan amarahnya, maka kesantunan ini akan menjadikannya mulia di hadapan manusia, sekaligus di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala. Sungguh sebuah suri tauladan yang pantas ditiru oleh setiap muslim.

Hanya dengan taufik dari Allah sajalah, seseorang mampu menghiasi diri dengan akhlak yang mulia ini. Oleh karenanya, sikap beliau yang mulia ini berbuah banyak pujian dari para ulama, tak terkecuali dari orang-orang yang dahulu membenci beliau.

Maka perhatikanlah bagaimana komentar Ibnu Makhluf, salah seorang qadhi bermadzhab Maliki, merupakan seteru Ibnu Taimiyah rahimahullah yang pernah memerintahkan supaya beliau dipenjara, “Semoga Allah subhanahu wa ta’ala merahmati Ibnu Taimiyah. Di saat dia berkuasa dan mampu atas kami, dia justru melimpahkan kebaikan kepada kami. Sementara kami, ketika kami berkuasa terhadapnya, kami justru senantiasa berbuat jahat dan melakukan tipu daya terhadapnya.”

Semoga Allah subhanahu wa ta’ala membalas seluruh jasa-jasa beliau terhadap Islam dan kaum muslimin, serta menempatkan beliau pada kedudukan yang mulia di sisi-Nya. Allahu a’lam.

Sumber: Majalah Qudwah edisi 8 vol.01 1434H/2013M, rubrik Ulama. Pemateri: Ustadz Abu Hafiy Abdullah.