Cari Blog Ini

At-Tuhfatul Wushabiyyah - Pengertian Kalam

تَعۡرِيفُ الۡكَلَامِ

قَالَ الۡمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللهُ: بِسۡمِ اللهِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِيمِ الۡكَلَامُ هُوَ اللَّفۡظُ الۡمُرَكَّبُ الۡمُفِيدُ بِالۡوَضۡعِ.
Ibnu Aajrum rahimahullah berkata: Bismillahirrahmanirrahim. Kalam adalah lafazh yang tersusun, berfaidah, dengan wadh'.
أَقُولُ وَبِاللهِ التَّوۡفِيقُ: بَدَأَ الۡمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللهُ بِالۡبَسۡمَلَةِ عَلَى الۡقَوۡلِ بِأَنَّهَا مِنۡ كَلَامِهِ؛ اقۡتِدَاءً بِالۡكِتَابِ الۡعَزِيزِ وَتَأَسِّيًا بِالنَّبِيِّ ﷺ فِي مُكَاتَبَاتِهِ وَمُرَاسَلَاتِهِ.
Ahmad bin Tsabit berkata wa billahit taufiq: Penulis rahimahullah memulai dengan basmalah berdasar pendapat bahwa basmalah ini termasuk ucapan beliau. Beliau melakukan ini dalam rangka mencontoh Al-Qur`an dan meneladani Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam surat-menyurat beliau.
وَالۡكَلَامُ عِنۡدَ النَّحۡوِيِّينَ هُوَ مَا اجۡتَمَعَ فِيهِ أَرۡبَعَةُ أُمُورٍ:
الۡأَوَّلُ: أَنۡ يَكُونَ لَفۡظًا. الثَّانِي: أَنۡ يَكُونَ مُرَكَّبًا. الثَّالِثُ: أَنۡ يَكُونَ مُفِيدًا. الرَّابِعُ: أَنۡ يَكُونَ مَوۡضُوعًا، أَيۡ: بِالۡوَضۡعِ الۡعَرَبِيِّ.
Kalam menurut ahli nahwu adalah setiap yang empat perkara terkumpul padanya: 
  1. Berupa lafazh 
  2. Tersusun 
  3. Berfaidah 
  4. Ditetapkan oleh orang Arab. 
فَمَعۡنَى (اللَّفۡظُ): الصَّوۡتُ الۡمُشۡتَمِلُ عَلَى بَعۡضِ الۡحُرُوفِ الۡهِجَائِيَّةِ، الَّتِي أَوَّلُهَا الۡأَلِفُ وَآخِرُهَا الۡيَاءُ. وَذٰلِكَ نَحۡوُ: (زَيۡدٌ) فَإِنَّهُ لَفۡظٌ؛ لِأَنَّهُ صَوۡتٌ مُشۡتَمِلٌ عَلَى بَعۡضِ الۡحُرُوفِ الۡهِجَائِيَّةِ وَهِيَ -الزَّاي وَالۡيَاءُ وَالدَّالُ-.
فَخَرَجَ (بِاللَّفۡظِ): الۡإِشَارَةُ وَالۡكِتَابَةُ وَنَحۡوُهُمَا مِمَّا لَيۡسَ بِلَفۡظٍ؛ فَلَا تُسَمَّى كَلَامًا عِنۡدَ الۡنُّحَاةِ.
Makna “lafazh” adalah suara yang mengandung sebagian huruf hijaiyyah, yang huruf pertamanya alif dan huruf terakhirnya ya`. Contohnya: زَيۡدٌ adalah lafazh, karena ia merupakan suara yang mengandung sebagian huruf hijaiyyah, yaitu: huruf zay, ya`, dan dal. Sehingga keluar dari makna “lafazh” adalah isyarat, tulisan, dan yang seperti keduanya yang bukan lafazh; sehingga tidak disebut kalam menurut ahli nahwu.
وَمَعۡنَى (الۡمُرَكَّبُ): مَا تَرَكَّبَ مِنۡ كَلِمَتَيۡنِ فَأَكۡثَرُ، نَحۡوُ: (سَافَرَ مُحَمَّدٌ) وَ(الۡعِلۡمُ خَيۡرُ تِجَارَةٍ) فَالۡمِثَالُ الۡأَوَّلُ لَفۡظٌ مُرَكَّبٌ مِنۡ كَلِمَتَيۡنِ: الۡأُولَى (سَافَرَ) وَالثَّانِيَةِ (مُحَمَّدٌ)، وَالۡمِثَالُ الثَّانِي لَفۡظٌ مُرَكَّبٌ مِنۡ ثَلَاثِ كَلِمَاتٍ: الۡأُولَى: (الۡعِلۡمُ) وَالثَّانِيَةِ: (خَيۡرُ) وَالثَّالِثَةِ: (تِجَارَةٍ). فَخرَجَ (بِالۡمُرَكَّبِ) الۡمُفۡرَدُ نَحۡوُ: (زَيۡدٍ)؛ فَلَا يُقَالُ لَهُ كَلَامٌ عِنۡدَ النُّحَاةِ.
Makna “tersusun” adalah setiap lafazh yang tersusun dari dua kata atau lebih. Contoh: سَافَرَ مُحَمَّدٌ dan الۡعِلۡمُ خَيۡرُ تِجَارَةٍ. Contoh pertama adalah lafazh tersusun dari dua kata: سَافَرَ dan مُحَمَّدٌ. Contoh kedua adalah lafazh tersusun dari tiga kata: pertama الۡعِلۡمُ, kedua خَيۡرُ, dan ketiga تِجَارَةٍ. Jadi, kata tunggal tidak masuk makna “tersusun”, contoh: زَيۡدٌ, sehingga ia tidak disebut kalam menurut ahli nahwu.
وَمَعۡنَى (الۡمُفِيدُ): مَا أَفَادَ فَائِدَةً تَامَّةً يَحۡسُنُ سُكُوتُ الۡمُتَكَلِّمُ عَلَيۡهَا، بِحَيۡثُ لَا يَبۡقَى السَّامِعُ مُنۡتَظِرًا لِشَيۡءٍ آخَرَ، نَحۡوُ: (حَضَرَ زَيۡدٌ) فَهٰذَا الۡكَلَامُ مُفِيدٌ؛ لِأَنَّهُ أَفَادَ فَائِدَةً تَامَّةً يَحۡسُنُ سُكُوتُ الۡمُتَكَلِّمِ عَلَيۡهَا. وَهِيَ الۡإِخۡبَارُ بِحُضُورِ زَيۡدٍ.
فَإِنَّ السَّامِعَ إِذَا سَمِعَ ذٰلِكَ لَا يَنۡتَظِرُ شَيۡئًا آخَرَ، وَيَعُدُّ سُكُوتَهُ حَسَنًا.
فَخَرَجَ (بِالۡمُفِيدِ) غَيۡرُ الۡمُفِيدِ كَـ(عَبۡدِ اللهِ، وَزَيۡدٍ، وَإِنۡ قَامَ زَيۡدٌ) وَنَحۡوِ ذٰلِكَ مِمَّا لَا فَائِدَةَ فِيهِ.
Makna “berfaidah” adalah setiap lafazh yang memberikan faidah sempurna yang si pembicara sudah bisa diam padanya, dimana si pendengar tidak lagi menunggu-nunggu perkataan lain. Contoh: حَضَرَ زَيۡدٌ ini adalah kalam yang berfaidah, karena ia memberikan faidah sempurna yang si pembicara sudah tidak perlu mengucapkan perkataan lain. Maknanya adalah mengabarkan dengan kedatangan Zaid. Karena si pendengar jika mendengar ucapan itu, ia tidak lagi menunggu ucapan berikutnya, dan si pendengar akan menganggap bahwa diamnya si pembicara sudah benar. Sehingga keluar dari makna “berfaidah” adalah ucapan yang tidak berfaidah, seperti: عَبۡدِ اللهِ, زَيۡدٍ, dan إِنۡ قَامَ زَيۡدٌ, serta contoh lain ucapan yang tidak ada faidahnya.
وَمَعۡنَى (الۡوَضۡعُ الۡعَرَبِيُّ): أَنۡ تَكُونَ الۡأَلۡفَاظُ الَّتِي نَتَكَلَّمُ بِهَا مِنَ الۡأَلۡفَاظِ الَّتِي وَضَعَتۡهَا الۡعَرَبُ لِلدَّلَالَةِ عَلَى مَعۡنًى مِنَ الۡمَعَانِي نَحۡوُ: (قَامَ) -مَثَلًا- فَإِنَّهُ لَفۡظٌ عَرَبِيٌّ جَعَلَتۡهُ الۡعَرَبُ دَالًّا عَلَى مَعۡنًى، وَهُوَ الۡقِيَامُ فِي الزَّمَنِ الۡمَاضِي.
وَمِثۡلُهُ (زَيۡدٌ) فَإِنَّهُ لَفۡظٌ عَرَبِيٌّ جَعَلَتۡهُ الۡعَرَبُ دَالًّا عَلَى مَعۡنًى وَهُوَ الذَّاتُ الَّتِي وَضَعَ عَلَيۡهَا لَفۡظُ (زَيۡدٍ). فَإِذَا قُلۡتَ (قَامَ زَيۡدٌ)، كُنۡتَ قَدۡ اسۡتَعۡمَلۡتَ كَلَامًا عَرَبِيًّا اسۡتَعۡمَلَتۡهُ الۡعَرَبُ فِي كَلَامِهَا.
فَخَرَجَ (بِالۡوَضۡعِ الۡعَرَبِيِّ): كَلَامُ الۡعَجَمِ كَالۡتُّرۡكِ وَالۡبَرۡبَرِ وَنَحۡوِهِمَا؛ فَلَا يُقَالُ لَهُ كَلَامٌ عِنۡدَ النُّحَاةِ.
Makna “ditetapkan oleh orang 'Arab” adalah lafazh-lafazh yang kita ucapkan termasuk dari lafazh-lafazh yang ditetapkan oleh orang 'Arab yang menunjukkan suatu makna. Contoh: قَامَ adalah lafazh 'Arab yang orang 'Arab gunakan untuk menunjukkan sebuah makna, yaitu berdiri di waktu lampau. Contoh lain: زَيۡدٌ, ini adalah lafazh 'Arab yang orang 'Arab gunakan untuk menunjukkan sebuah makna, yaitu suatu dzat yang dikenakan padanya lafazh Zaid. Sehingga, apabila engkau katakan قَامَ زَيۡدٌ, maka engkau telah menggunakan kalam 'Arab yang orang 'Arab gunakan dalam pembicaraan. Keluar dari makna “ditetapkan oleh orang 'Arab” ini adalah pembicaraan selain orang 'Arab, seperti Turki, Barbar, dan semisal keduanya. Sehingga ia tidak disebut kalam menurut ahli nahwu.
مِثَالُ الۡكَلَامِ الۡجَامِعِ لِلۡأُمُورِ الۡأَرۡبَعَةِ قَوۡلُكَ: (يَنۡجَحُ الۡمُجۡتَهِدُ)، وَقَوۡلُهُ تَعَالَى: ﴿اسۡتَعِينُوا بِالصَّبۡرِ وَالصَّلَٰوةِ﴾ [البقرة: ١٥٣] فَكُلُّ وَاحِدٍ مِنۡ هٰذَيۡنِ الۡمِثَالَيۡنِ يُسَمَّى كَلَامًا فِي اصۡطِلَاحِ النُّحَاةِ؛ لِأَنَّهُ جَمَعَ الۡأُمُورَ الۡأَرۡبَعَةَ فَهُوَ (لَفۡظٌ)؛ لِأَنَّهُ صَوۡتٌ مُشۡتَمِلٌ عَلَى بَعۡضِ الۡحُرُوفِ الۡهِجَائِيَّةِ. وَ(مُرَكَّبٌ)؛ لِتَرَكُّبِهِ مِنۡ كَلِمَتَيۡنِ أَوۡ أَكۡثَرَ. وَ(مُفِيدٌ)؛ لِأَنَّهُ أَفَادَ فَائِدَةً تَامَّةً يَحۡسُنُ السُّكُوتُ عَلَيۡهَا، وَ(مَوۡضُوعٌ بِالۡوَضۡعِ الۡعَرَبِيِّ)؛ لِأَنَّهُ مِمَّا اسۡتَعۡمَلَتۡهُ الۡعَرَبُ فِي كَلَامِهَا.
Contoh kalam yang mengumpulkan empat perkara tersebut adalah ucapanmu: يَنۡجَحُ الۡمُجۡتَهِدُ dan firman Allah ta'ala: اسۡتَعِينُوا بِالصَّبۡرِ وَالصَّلَٰوةِ (QS. Al-Baqarah: 153). Jadi setiap dari dua contoh ini disebut kalam menurut istilah ahli nahwu. Karena ia mengumpulkan empat perkara. Yaitu “lafazh” karena ia adalah suara yang mengandung sebagian huruf hijaiyyah. “Tersusun” karena susunannya dari dua kata atau lebih. “Berfaidah” karena ia memberi faidah sempurna dimana diamnya si pembicara sudah benar. Dan “ditetapkan dengan kaidah orang 'Arab” karena orang 'Arab menggunakannya di dalam pembicaraan.


Lihat juga: