Cari Blog Ini

Kekokohan Iman Ibunda Kalimur Rahman ‘alaihis salam

Sungguh keamanan dari musuh dan kehidupan yang bebas dari teror dan ketakutan adalah nikmat Allah azza wajalla yang sering terabaikan. Nikmat ini barulah terasa ketika hilang dari suatu kaum. Berikut pelajaran tentang ketabahan dan keyakinan yang kuat terhadap janji Allah azza wajalla dari ibunda seorang nabi dan rasul, Musa Kalimur Rahman ‘alaihis salam (orang yang diajak berbicara oleh Allah, -red.).

Wanita, terutama yang jauh dari cahaya ilmu dan iman, seringnya cenderung mengikuti hawa nafsu, sangat cinta terhadap dunia, pendek akal, banyak mengeluh, dan banyak mengingkari nikmat Rabbnya. Ada lagi satu titik lemah yang sering hinggap pada makhluk yang kurang agamanya ini: kurang rasa percaya kepada janji Allah azza wajalla dan tipisnya rasa tawakal pada-Nya.

Di antara sempalan sejarah yang terkait dengan kisah Fir’aun adalah keberadaan seorang wanita mulia yang beriman, yang melahirkan seorang nabi dan rasul yang membawa kehancuran bagi Fir’aun dan pengikutnya. Berikut kisahnya dalam menempuh ujian keimanan yang menjadi kemestian bagi setiap hamba yang taat. Semoga kita bisa mengambil ibrah darinya untuk meningkatkan rasa percaya dan tawakal kepada Rabb kita.

Buah Petaka Kemaksiatan Bani Israil kepada ar-Rahman


Sekian abad telah berlalu dari kezaliman dan kedurjanaan Fir’aun, salah satu penguasa tiran terbesar dari Mesir Kuno. Namun, gaung kezaliman dan kesombongannya masih dapat tergambarkan oleh orang-orang yang mau mengambil pelajaran dari kenestapaan dan akibat buruk yang dituai oleh orang-orang yang ingkar kepada Rabb mereka.

Seluruh orang yang beriman melihat Fir’aun sebagai sumber pelajaran pahit yang tidak lekang oleh masa dan tempat. Kekuasaan dan kerajaannya membawanya melakukan kekufuran--kejahatan terbesar yang bisa dilakukan oleh seorang hamba--dan kesombongan serta kesewenang-wenangan terhadap hamba-hamba Allah azza wajalla. Allah azza wajalla berfirman,
إِنَّ فِرْعَوْنَ عَلَا فِى ٱلْأَرْضِ وَجَعَلَ أَهْلَهَا شِيَعًا يَسْتَضْعِفُ طَآئِفَةً مِّنْهُمْ يُذَبِّحُ أَبْنَآءَهُمْ وَيَسْتَحْىِۦ نِسَآءَهُمْ ۚ إِنَّهُۥ كَانَ مِنَ ٱلْمُفْسِدِينَ ۝٤
“Sesungguhnya Fir’aun telah berlaku sombong di muka bumi, dan ia menjadikan penduduknya bergolong-golong, ia menjadikan lemah segolongan dari manusia dengan menyembelih anak-anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup wanita-wanita mereka. Sesungguhnya Fir’aun termasuk orang-orang yang melakukan kerusakan.” (al-Qashash: 4)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menjelaskan bahwa sepeninggal Yusuf ‘alaihis salam, Bani Israil berjaya di Mesir. Mereka melakukan berbagai kemaksiatan dan berbuat sombong serta sewenang-wenang di tengah-tengah manusia. Allah subhanahu wa taala menghukum mereka dengan menguasakan bangsa Qibthi dengan dinasti raja-rajanya, di antaranya Dinasti Pharaoh/Fir’aun, terhadap Bani Israil.

Sebagian Fir’aun (sebagian ahli tarikh berpendapat bahwa dia adalah Ramesses II) memperbudak umat terbaik di masa itu, Bani Israil. Ia mempekerjakan mereka secara paksa, siang dan malam, untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang sangat berat dan menghinakan. Ia menjadikan mereka berkelompok-kelompok sesuai dengan tujuan pemberdayaannya terhadap mereka, yaitu memakmurkan bangsa Qibthi.

Ia juga menyembelih anak-anak laki-laki Bani Israil, tetapi membiarkan wanita-wanita mereka hidup, sebagai sebuah bentuk penghinaan terhadap Bani Israil. Hal ini diawali oleh berita dari Ibrahim ‘alaihis salam yang menjadi pengajaran dan keyakinan turun-temurun di kalangan Bani Israil bahwa akan ada seorang pemuda yang lahir dari tulang rusuk (keturunan) putra Ibrahim ‘alaihis salam, yang menjadi sebab kehancuran dan hilangnya kekuasaan Dinasti Fir’aun atas bangsa Qibthi di Mesir.

Ibrahim ‘alaihis salam menyampaikan hal ini ketika seorang raja leluhur Fir’aun yang ketika itu menguasai Mesir menangkap Sarah untuk memuaskan nafsunya. Keyakinan ini pun sampailah ke telinga bangsa Qibthi sehingga mereka sering memperbincangkannya di sisi Fir’aun. Fir’aun pun menjadi waspada dan mengambil tindakan yang sangat kejam.

Teror dan kenestapaan melanda Bani Israil yang sangat lemah dan tertindas di Mesir kala itu. Tahun demi tahun berlalu dengan ketakutan yang membayangi mereka. Di satu sisi mereka harus menahan derita dan penghinaan menjadi budak bangsa Qibthi, di sisi lain anak-anak mereka dibantai dengan biadabnya. Hingga akhirnya, bangsa Qibthi menyadari berkurangnya tenaga budak Bani Israil dengan pembantaian bayi-bayi mereka. Mereka pun membuat “kebijakan”: satu tahun ditetapkan untuk pembantaian terhadap bayi-bayi yang lahir di tahun tersebut, dan satu tahun kemudian bayi-bayi yang lahir dibiarkan hidup. Meski demikian, terhitung sekitar 7.000 atau 9.000 bayi laki-laki Bani Israil dibunuh pada masa pemerintahan Fir’aun.

Namun, Mahasuci Allah, tidaklah bermanfaat kehati-hatian seseorang ketika Allah azza wajalla telah menggariskan satu keputusan. Kekuasaan Fir’aun yang besar dan seakan-akan absolut itu tidak dapat membendung takdir Allah subhanahu wa taala. Pemuda yang dikhawatirkannya akan menghancurkan kekuasaannya di Mesir hingga ia membantai ribuan bayi Bani Israil itu justru tumbuh dan besar di atas tempat tidurnya, di pangkuan Asiah bintu Muzahim, istrinya. Ia tinggal di istananya dan makan dari hidangannya. Dialah yang akan membebaskan Bani Israil dari belenggu penjajahan Fir’aun dan kaumnya, menuju kebebasan merengkuh cahaya tauhid dan keimanan.

Wanita yang Tegar Melahirkan Rasul, Sang Pemimpin Umat


Siapakah gerangan wanita yang melahirkan Kalimur Rahman ‘alaihis salam yang kelak memimpin Bani Israil dan menjadi umat kedua terbesar setelah ummat muhammadiyyah (umat Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam)? Allah azza wajalla berfirman tentang wanita ini,
وَأَوْحَيْنَآ إِلَىٰٓ أُمِّ مُوسَىٰٓ أَنْ أَرْضِعِيهِ ۖ فَإِذَا خِفْتِ عَلَيْهِ فَأَلْقِيهِ فِى ٱلْيَمِّ وَلَا تَخَافِى وَلَا تَحْزَنِىٓ ۖ إِنَّا رَآدُّوهُ إِلَيْكِ وَجَاعِلُوهُ مِنَ ٱلْمُرْسَلِينَ ۝٧
“Kami mewahyukan kepada ibu Musa, ‘Susuilah Musa. Apabila engkau mengkhawatirkan keselamatannya, lemparkanlah ia ke sungai. Janganlah engkau takut dan jangan pula engkau bersusah hati. Sesungguhnya Kami akan mengembalikan Musa kepadamu dan menjadikannya salah seorang dari para rasul’.” (al-Qashash: 7)

Sebagian ahli tafsir menjelaskan bahwa Allah subhanahu wa taala mengutus malaikat atau Jibril untuk menemui ibunda Musa ‘alaihis salam. Ada juga yang menjelaskan bahwa wahyu tersebut hanya berupa ilham atau berupa mimpi. Seluruh ahli tafsir bersepakat bahwa wahyu ini tidak menjadikan ibu Musa ‘alaihis salam sebagai nabi, sebagaimana pembicaraan malaikat dengan ‘Imran tidak menjadikannya sebagai nabi.

Diriwayatkan bahwa nama ibu Musa adalah Lauha bintu Hanid bin Lavi bin Ya’kub. Ada juga yang menyebutkan bahwa namanya adalah Ayarikha atau Ayarikhat. Namun, yang jelas, ia adalah keturunan Ya’qub ‘alaihis salam.

Harun ‘alaihis salam, saudara Musa, dilahirkan pada tahun ketika algojo-algojo Fir’aun “berlibur”, sedangkan Musa ‘alaihis salam dilahirkan pada tahun berikutnya, ketika para dukun bayi Fir’aun berkeliling mencari wanita-wanita yang hamil. Mereka akan memanggil para algojo itu apabila yang dilahirkan adalah bayi laki-laki.

Ketika ibunda Musa hamil, tidak tampak padanya tanda-tanda wanita hamil sehingga para bidan bangsa Qibthi tidak mengetahuinya. Sebuah riwayat menceritakan bahwa ibunda Musa ‘alaihis salam bersahabat dengan salah seorang dukun bayi tersebut. Tampaknya, sang bunda memiliki kecerdasan dan siasat yang akan diturunkannya kepada putranya kelak. Ia mencari perlindungan dan manfaat dari persahabatannya dengan dukun bayi tersebut demi melindungi anaknya.

Ketika rasa sakit hendak melahirkan menimpanya, ia berkata kepada sahabatnya, “Semoga rasa sayangmu (kepadaku) bermanfaat bagiku pada hari ini.”

Sahabatnya pun menolongnya bersalin. Ketika Musa dikeluarkan dari perut ibunya, bidan tersebut dikejutkan oleh cahaya yang bersinar di hadapannya. Gemetarlah seluruh persendiannya. Rasa cinta yang kuat kepada orok mungil itu merasuk ke relung kalbunya.

Si dukun bayi pun berkata, mengakui tipu daya yang disembunyikannya dari sang sahabat, “Tidaklah aku datang kepadamu melainkan untuk membunuh bayimu dan mengabarkannya kepada Fir’aun. Namun, aku mendapati rasa sayang kepada anakmu yang tidak pernah kudapati perasaan yang semisal ini sebelumnya. Peliharalah dia.”

Tidak urung, ibu Musa pun berduka, merasa tidak kuasa menanggung beban derita dengan jenis kelamin putranya. Menjadi sempitlah dadanya. Ia pun ketakutan karena mengkhawatirkan keselamatannya.

Kasih Sayang dan Hiburan Allah azza wajalla kepada Ibunda Musa ‘alaihis salam


Allah azza wajalla memerintah ibu Musa ‘alaihis salam untuk menyusui Musa ‘alaihis salam. Perintah ini datang setelah kelahiran Musa karena rasa panik dan takut yang melanda sang bunda.

Pertama kali melihat Musa ‘alaihis salam, ia langsung mencintainya seperti yang terjadi pada dukun bayi, sahabatnya. Demikianlah, Allah azza wajalla menetapkan cinta bagi setiap orang yang melihat Musa ‘alaihis salam. Sungguh, orang yang berbahagia adalah yang mencintai Musa, baik dengan cinta yang bersifat tabiat maupun cinta yang syar’i. Allah azza wajalla berfirman,
وَأَلْقَيْتُ عَلَيْكَ مَحَبَّةً مِّنِّى
“Dan Aku lemparkan kepadamu kecintaan dari-Ku.” (Thaha: 39)

Ibunda Musa adalah wanita yang beriman kepada Allah azza wajalla. Ketika ia ketakutan bahwa bayinya akan diketahui oleh dayang-dayang Fir’aun, Allah mengilhamkan kepadanya, “Susuilah Musa. Apabila engkau mengkhawatirkan keselamatannya, lemparkanlah ia ke sungai, dan janganlah engkau takut, jangan pula engkau bersusah hati.”

Allah berfirman memerintahkan kepadanya bahwa ketika rasa khawatir mendatanginya, ia harus meletakkan bayinya di sungai. Allah melarangnya dari merasa takut dan meyakinkannya bahwa bayinya tidak akan tenggelam atau hilang. Ia juga dilarang bersedih hati karena Allah berjanji bahwa ia tidak akan berpisah dengan putranya, dan bayinya itu tidak akan dibunuh.

Kediaman ibunda Musa kala itu ada di tepi Sungai Nil yang sangat lebar dan besar. Ia mengambil tabut, sebuah kotak yang diriwayatkan berukuran panjang dan lebar lima jengkal. Ia memberikan tutup dan kunci pada peti itu serta menyiapkan hamparan buaian di dalamnya. Kemudian, ia pun mulai menyusui Musa. Jika ada orang mencurigakan yang masuk menemuinya, ia segera meletakkan bayinya di dalam peti dan menghanyutkannya ke sungai. Ia mengaitkan peti yang hanyut itu dengan tali yang diikatnya di tempat yang tersembunyi. Apabila orang yang mencurigakan itu pergi, ia akan menarik tali peti Musa ‘alaihis salam dari tengah Nil dan mengambil bayinya kembali.

Demikianlah besarnya keimanan seorang wanita yang taat kepada perintah Allah azza wajalla dan menjadikan perintah-Nya sebagai rambu-rambu penuntun langkahnya.

Kelalaian yang Tersurat


Pada suatu ketika, datanglah orang-orang yang ditakutinya. Ibunda Musa segera menghanyutkan bayi Musa ‘alaihis salam ke tengah sungai seperti ilham yang diberikan oleh Allah azza wajalla kepadanya. Ia taat kepada Allah azza wajalla dan yakin dengan janji-Nya. Namun, dengan takdir Allah azza wajalla, ia lupa mengikatkan tali peti itu. Akibatnya, hanyutlah tabut bayi Musa ‘alaihis salam dibawa arus deras sungai besar yang membelah Mesir tersebut.

Kita sudah menyimak kisah Asiah bintu Muzahim, istri Fir’aun, di Qonitah edisi 3 dan 4. Singkat cerita, di salah satu kastel Fir’aun di tepi Nil, Asiah, istri sang Raja Pongah, melihat tabut Musa dari kejauhan. Ia pun memerintah dayang-dayang Fir’aun untuk memungutnya. Seperti sang bunda, Asiah pun langsung jatuh sayang kepada Musa.

Asiah membujuk suaminya agar tidak membunuhnya karena bayi ini diyakininya terdampar dari negeri yang jauh, bukan dari Bani Israil. Ia juga meminta agar suaminya bersedia memelihara dan membesarkan Musa--sehingga barangkali Musa akan memberikan manfaat kepada mereka--atau bahkan mengangkatnya sebagai anak karena Asiah tidak bisa melahirkan putra. Asiah meminta agar Fir’aun menghadiahkan Musa kepadanya, dan Fir’aun pun meluluskan permohonan sang istri.

Dada yang Hampa


Bagaimana dengan ibunda Musa ‘alaihis salam, yang putranya menjadi hiburan dan cahaya mata bagi sang permaisuri Mesir? Allah azza wajalla mengisahkan kesedihannya,
وَأَصْبَحَ فُؤَادُ أُمِّ مُوسَىٰ فَـٰرِغًا ۖ إِن كَادَتْ لَتُبْدِى بِهِۦ لَوْلَآ أَن رَّبَطْنَا عَلَىٰ قَلْبِهَا لِتَكُونَ مِنَ ٱلْمُؤْمِنِينَ ۝١٠ وَقَالَتْ لِأُخْتِهِۦ قُصِّيهِ ۖ فَبَصُرَتْ بِهِۦ عَن جُنُبٍ وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ ۝١١
“Lalu menjadi kosonglah kalbu ibunda Musa. Hampir saja ia membuka rahasia Musa, andaikata Kami tidak meneguhkan kalbunya, supaya ia termasuk ke dalam golongan orang-orang yang percaya kepada janji Allah. Sang bunda berkata kepada kakak perempuan Musa, ‘Ikutilah dia.’ Sang kakak pun melihat Musa dari kejauhan, dalam keadaan mereka tidak menyadarinya.” (al-Qashash: 10-11)

Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, dan para ulama tafsir lain menjelaskan, kalbu ibu Musa ‘kosong’ karena ia tidak mengingat urusan apa pun di dunia ini kecuali bayinya.

Sedih, rasa bersalah, gundah, dan ketakutan pun menyesakkan dada, sampai akhirnya, dadanya kosong dan tidak bisa merasakan apa-apa lagi kecuali mengingat Musa. Bagaimana tidak, bayi yang sangat disayanginya menghilang dari pandangan dan dekapannya.

Ini pergulatan antara cinta yang bersifat naluri dan keimanannya kepada janji Allah subhanahu wa taala. Seluruh peradaban manusia mengakui bahwa di antara bentuk cinta insani yang paling kuat ikatannya adalah kasih sayang seorang ibu kepada anaknya. Adalah manusiawi ketika kesedihan dan kebingungan menyergapnya. Ibnu Ishaq menjelaskan, kalbu ibunda Musa sejenak kosong dari mengingat janji Allah dan hiburan-Nya agar ia tidak merasa takut dan tidak bersusah hati.

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menjelaskan di dalam tafsir beliau, ketika Musa ditelan ombak Nil dan menghilang dari pandangan sang bunda, setan menjadikannya menyesal. Setan berbisik, “Wahai Ibunda Musa, engkau tidak suka Fir’aun menyembelih Musa, tetapi justru engkau sendiri yang menenggelamkannya!” Ibunda Musa pun berkata di hatinya, “Duhai, sekiranya ia disembelih di hadapanku sehingga aku masih bisa mengafani dan menguburkannya. Yang demikian ini lebih kusukai daripada melemparkannya ke lautan.”

Allah azza wajalla pun menurunkan firman-Nya, “Sesungguhnya Kami akan mengembalikan Musa kepadamu dan menjadikannya salah seorang dari para rasul.”

Menguatlah keyakinan sang bunda dengan ilham tersebut. Ia memerintah kakak perempuan Musa ‘alaihis salam untuk mengikuti tabut Musa ‘alaihis salam dari kejauhan.

Namun, bagaimana ketika berita Musa ‘alaihis salam terdampar di istana Fir’aun sampai di telinganya? Bayi kecilnya justru jatuh ke tangan musuh yang hendak membantainya pertama kali! Sekali lagi ia guncang. Duhai, sungguh ini adalah tekanan besar yang mengimpit dadanya. Ia kehilangan akal, linglung, dan bingung. Ini semua karena besarnya rasa sayang yang diukir oleh Allah di dada sang ibu kepada anaknya. Besarnya cobaan ini menjadikannya lupa lagi dengan janji Allah azza wajalla kepadanya.

Allah azza wajalla mengisahkan bahwa ketika mendengar berita tersebut, ia hampir-hampir membongkar rahasia asal-usul Musa ‘alaihis salam kepada orang-orang istana. Ia juga hampir buka mulut ketika dijemput untuk menyusui sang putra. Terlebih ketika manusia pada masa itu menisbahkan Musa kepada Fir’aun, “Musa Putra Fir’aun”, ia ingin berteriak dan menyatakan, “Dia putraku!”

Namun, Allah azza wajalla meneguhkan kalbunya sekali lagi. Allah mengilhamkan kepadanya untuk bersabar dan menahan diri. Allah azza wajalla menjadikannya termasuk orang yang memilih percaya kepada janji-Nya, karena berulang-ulang Allah azza wajalla membuktikan bahwa janji-Nya selalu benar. Musa tidak tenggelam ketika sang bunda teledor dari mengikat tali tabutnya. Musa juga tidak hilang. Satu lagi janji-Nya, Allah akan mengembalikannya ke ribaan sang bunda.

Ibunda Musa sekali lagi bersabar dan menguatkan keimanannya, menanti kembalinya sang pelita hati.

Janji yang Tertunaikan


وَحَرَّمْنَا عَلَيْهِ ٱلْمَرَاضِعَ مِن قَبْلُ فَقَالَتْ هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَىٰٓ أَهْلِ بَيْتٍ يَكْفُلُونَهُۥ لَكُمْ وَهُمْ لَهُۥ نَـٰصِحُونَ ۝١٢
“Kemudian, Kami mencegah Musa dari wanita-wanita yang hendak menyusuinya sebelumnya. Sang kakak pun (menampakkan diri dan) berkata, ‘Maukah kalian aku tunjukkan kepada keluarga yang dapat memeliharanya untuk kalian, yang mereka akan berbuat baik kepadanya?’.” (al-Qashash: 12)

Pada awalnya, orang-orang Fir’aun curiga dengan tawaran tersebut. Akan tetapi, kakak Musa berhasil meyakinkan mereka. Ia menjelaskan bahwa ibunya memiliki air susu karena sedang menyusui Harun ‘alaihis salam yang lahir pada tahun sebelumnya. Mereka pun menjadi yakin bahwa ia hanya seorang wanita yang mencari upah.

Ini cara Allah azza wajalla memperjalankan faktor/sebab yang akan membawa Musa kembali ke pangkuan sang bunda. Ibunda Musa ‘alaihis salam pun dipanggil untuk menyusui bayi yang meraung-raung kelaparan tersebut.

فَرَدَدْنَـٰهُ إِلَىٰٓ أُمِّهِۦ كَىْ تَقَرَّ عَيْنُهَا وَلَا تَحْزَنَ وَلِتَعْلَمَ أَنَّ وَعْدَ ٱللَّهِ حَقٌّ وَلَـٰكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ ۝١٣
“Maka demikianlah Kami kembalikan Musa kepada ibunya agar senang hatinya dan tidak berduka, dan supaya ia mengetahui bahwa janji Allah itu benar, tetapi kebanyakan manusia itu tidak mengetahuinya.” (al-Qashash: 13)

Betapa bahagianya hati sang ibu mendengar dirinya dipanggil, justru untuk menyusui sang putra. Putranya selamat, termuliakan, dilindungi, bahkan dijamin kesejahteraannya, meskipun ironisnya, oleh musuhnya.

Ketika Fir’aun bertanya mengapa Musa tidak mau menyusu selain kepadanya, ibunda Musa ‘alaihis salam menjelaskan bahwa ia adalah wanita yang baunya harum dan susunya juga bagus, yang hampir-hampir setiap kali ia diberi bayi, pasti bayi itu mau menyusu kepadanya.

Allah azza wajalla mengembalikan Musa kepadanya agar ia bahagia dan tidak berduka, dalam keadaan seluruh penghuni istana, termasuk Fir’aun, sudah cenderung kepada Musa dan mengasihinya. Allah mengembalikan Musa kepadanya agar ia menyaksikan terwujudnya janji Allah karena ia adalah wanita yang beriman kepada-Nya. Ia mengetahui bahwa dikembalikannya Musa kepadanya adalah sebuah keniscayaan.

Di kemudian hari, ibunda Musa ‘alaihis salam menyaksikan sekali lagi kebenaran perkataan Allah subhanahu wa taala. Allah azza wajalla mengangkat putranya menjadi Rasul-Nya dan orang yang diajak-Nya berbicara (Kalimur Rahman). Allah azza wajalla menjadikan Musa ‘alaihis salam sebagai nabi terbesar Bani Israil, yang menyelamatkan mereka dari kegelapan kekufuran dan kekejaman penindasan Fir’aun, menuju kemuliaan menjadi umat terbaik pada masa mereka. Allah memenuhi janji-Nya sekali lagi dan sekali lagi. Ibu Musa ‘alaihis salam adalah wanita yang beriman kepada Rabbnya meskipun kebanyakan manusia, bahkan kebanyakan wanita, tidak yakin dengan benarnya setiap janji Allah subhanahu wa taala.

Sebagian Pelajaran Kisah Ibunda Musa ‘alaihis salam


  • Allah subhanahu wa taala mengatur dan mengurusi urusan hamba-hamba-Nya yang saleh, sebagaimana Allah memerintah ibu Musa ‘alaihis salam untuk menyusuinya, melemparkannya ke sungai, dan membesarkannya di tengah musuhnya dalam keadaan dimuliakan.
  • Allah azza wajalla menyebutkan sifat kasih sayang ibu-yang masih berada di atas fitrahnya-kepada sang anak, sebagaimana ibunda Musa merasa hampa dengan hanyutnya Musa di aliran Sungai Nil.
  • Allah menunjukkan perhatian dan pemeliharaan-Nya kepada hamba-Nya yang bertakwa, sebagaimana ketika Ia meneguhkan kalbu ibu Musa untuk bersabar dan yakin dengan janji-Nya.
  • Janji dan ucapan Allah azza wajalla selalu benar, dan Allah azza wajalla tidak pernah menyelisihinya sekali pun.
  • Allah azza wajalla menunjukkan keutamaan ibunda Musa ‘alaihis salam karena keimanan yang menetap di kalbunya, dengan turunnya ilham, pemberian janji, peneguhan hati, penjagaan, dan pemenuhan janji.
  • Setiap orang yang beriman pasti mendapatkan ujian dan cobaan untuk membuktikan keimanannya.
  • Hendaknya seorang wanita yang beriman selalu teguh di atas syariat Allah azza wajalla dan percaya dengan janji-janji-Nya.

Wallahu a’lam.

(Disarikan dari al-Jami’ li Ahkamil Qur’an dan Tafsir al-Qur’an al-’Azhim)

Sumber: Majalah Qonitah edisi 13/ vol. 02/ 1435H - 2014M rubrik Kisah. Pemateri: Al-Ustadzah Ummu Maryam Lathifah.