Pada tahun 1869, pemikiran Mu'tazilah semakin mendapatkan tempat di benak para pemuda yang hanya bermodalkan semangat, kala itu bendera Mu'tazilah kembali diangkat oleh seorang reformernya Jamaluddin Al Ironiy Al Afghoni. Kedatangannya ke Mesir benar-benar merusak aqidah para pemudanya, terlebih mahasiswa-mahasiswa Al Azhar di Kairo.
Muhammad Abduh bin Hasan At Turkumaniy, ia lahir di Mesir pada tahun 1849 yang juga salah seorang siswa Al-Azhar. Kegemarannya membaca buku-buku filsafat dan mendalami jalan pikiran kaum rasionalis (Mu'tazilah) membuatnya sangat klop dan cocok dengan Al Afghoni. Dia begitu tertarik dengan pemikiran-pemikirannya. Kemudian setelah menamatkan kuliahnya di Al Azhar tahun 1877 dengan hasil yang "agak" lumayan, dia dan Jamaluddin Al Afghoni yang telah menjadi gurunya serta tokoh-tokoh lainnya seperti Muhammad Rasyid Ridho, Muhammad Musthofa Al Maroghi, Muhammad Farid Al Wajdi, Mahmud Syaltut, dan Abdul Aziz Jawisy serta Ahmad Musthofa Al Maroghi, menjadi corong utama gerakan kaum rasionalis yang kemudian tulisan-tulisannya banyak diadopsi kaum muslimin dewasa ini. Wallahul Musta'an. (Lihat Rududu Ahlil Ilmi: 9-10).
Yang melekat sepanjang sejarah mewarnai gerakan sesat Mu'tazilah ini hingga kemudian nampak di masa sekarang adalah pengagungannya terhadap akal mengalahkan kedudukan naql, tak heran bila kemudian para ahli filsafat, ahli kalam, dan ahli mantiq banyak bercokol dalam gerakan ini, di antara pernyataan-pernyataannya:
- Akal adalah dalil yang paling pokok dan pondasinya.
- Akal mesti didahulukan di atas syariat (naql).
- Dalil-dalil akal bersifat yakiniyyah, pasti, melalui proses pengkajian yang dalam sehingga melahirkan pesan-pesan yang argumentatif, sedangkan nash-nash syar'i hanyalah bersifat sangkaan dan doktrinisasi belaka.
- Pahala dan siksa tergantung pada hukum akal.
- Penilaian terhadap suatu perbuatan, baik atau buruk kembali pada akal.
(Lihat Al Madkhal lid Dirosatil Aqidah Al Islamiyyah: 43).
Itulah sebagian langkah-langkah mereka dalam mengagungkan akal, ditambah lagi dengan adanya pemilahan terhadap hadits-hadits Nabi yang shohih, antara yang ahad dan mutawatir guna menolak sebagian hadits Nabi terutama yang berkaitan dengan aqidah, hanya yang dianggap mutawatir yang diterima.
Namun, pada kenyataannya tak jarang terjadi kekeliruan, dimana yang mutawatir dianggap ahad atau sebaliknya yang ahad dikatakan mutawatir, akhirnya kebingungan sendiri, sebab pada dasarnya acuan utama mereka adalah akal, sehingga yang bertolak belakang dengan ketentuan akal meski mutawatir, ujung-ujungnya dinyatakan ahad.
Sebagai contoh konkritnya, dalam tafsir Al Manar 3/316, penulisnya mengatakan, "Tentang hadits diangkat dan turunnya Isa di akhir zaman, adalah hadits ahad yang berkaitan dengan perkara i'tiqod karena bagian dari perkara-perkara gaib, sementara perkara i'tiqod tidak boleh diambil kecuali dengan dalil yang qoth'i (pasti) sebab yang dituntut di dalamnya adalah keyakinan, namun tidak ada dalam bab ini hadits yang mutawatir." Tentu saja ini kekeliruan yang fatal dimana hadits-hadits tentang turunnya Isa bagi para ahlul ilmi, ahlul hadits adalah mutawatir. (Lihat Rududu Ahlil Ilmi: 22-25).
***
Para pembaca, tak lama kemudian angin berhembus begitu kencang dari arah Turmudz, tepatnya di negeri Khurosan, membawa bid'ah baru di sela-sela guncangan bid'ah Mu'tazilah. Jahmiyyah, itulah bid'ah berikutnya yang mengoyak keutuhan ajaran Islam yang telah dijalani dan diperagakan manusia-manusia terbaik dari umat ini, para sahabat, tabi'in, dan tabi'ut tabi'in.
Berkat kiprah dan ulah sang jagoan debat dan ahli kalam Al Jahm bin Shafwan bid'ah ini tersebar, bahkan ia tercatat sebagai tokoh utamanya. Faham yang mencolok dari gerakan bid'ah ini di antaranya, bahwa Allah tidak berbicara kepada Musa, Al Qur`an adalah makhluk, Allah tidak dapat berbicara tidak pula dapat dilihat, dan Allah azza wajalla tidak beristiwa di atas arsyNya.
Faham ini terus diumbar ke berbagai tempat oleh Jahm bin Shafwan, ia mengadopsi ideologi sampah ini pertama kalinya dari gurunya Al Ja'ad bin Dirham. Dikatakan oleh para ahlil ilmi bahwa Ja'ad bin Dirham mengambilnya dari Abaan bin Sam'an, kemudian Abaan mengambilnya dari Tholuut anak Sauda perempuan Labid bin Al A'shom dan Tholuut mengambilnya dari Labid bin Al A'shom sang penyihir, yang telah menyihir Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. (Lihat Mauqif Ahlis Sunnah min Ahlil Ahwa wal Bida': 153-154, Al Farqu bainal Firoq: 211, tahqiq Muhammad Muhyidin Abdul Hamid).
Agaknya gambaran radikalisme begitu melekat pada gerakan bid'ah ini, pimpinannya Jahm bin Shafwan pun dicap sebagai gembong pelaku kejahatan dan kerusakan, ia menyatukan tiga kebid'ahan di antara bid'ah-bid'ah lainnya.
Pertama: Ta'thil, meniadakan sifat-sifat bagi Allah, dan baginya Allah tidak boleh disifati dengan sifat apapun, karena menurutnya akan terjadi kesamaan dengan makhlukNya.
Kedua: Al Jabr, menurutnya manusia tidak mempunyai kekuasaan atas sesuatu apapun, tidak disifati dengan sifat kemampuan, akan tetapi manusia dipaksa dalam perbuatan-perbuatannya, tidak diberikan kemampuan, keinginan, dan ikhtiyar / pilihan.
Ketiga: Al Irja`, menurutnya iman adalah ma'rifat, tidak akan berkurang dan tidak bertingkat-tingkat. (Al Milal wan Nihal: 1/86-88, Al Farqu bainal Firaq: 211).
Para salaf mengkategorikan pernyataan Jahm ini sebagai pernyataan-pernyataan kufur, sampai-sampai Salim bin Abi Mu'thi berkata, "Al Jahmiyyah kuffar, tidak boleh sholat di belakang mereka." Sufyan Ats Tsauri berkata, "Siapa yang mengira bahwa firman Allah azza wajalla kepada Musa, yang artinya: "(Allah berfirman) Hai Musa, sesungguhnya Akulah Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS An Naml: 9) adalah makhluk, maka dia kafir, zindiq, halal darahnya." Demikian juga dengan Al Imam Ahmad bin Hanbal, beliau berkata, "Siapa yang mengatakan Al Qur`an adalah makhluk, maka bagi kami dia kafir, karena Al Qur`an adalah ilmunya Allah azza wajalla dan di dalamnya terdapat nama-nama Allah azza wajalla."
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah beliau menghikayatkan pengkafiran mayoritas ahlul ilmi terhadap mereka, katanya, "Yang masyhur dari madzhab Ahmad dan mayoritas para aimmah sunnah pengkafiran terhadap Jahmiyyah, mereka orang-orang yang meniadakan sifat-sifat Rahman, sesungguhnya ucapan mereka jelas-jelas bertentangan dengan apa yang telah dibawa oleh para rosul dari Al Kitab." Ibnul Qoyyim juga menukil pengkafiran terhadap mereka dari lima ratus ulama salaf, dalam Nuniyah-nya: 1/115. (Mauqif Ahlis Sunnah wal Jama'ah: 155-156).
Para pembaca, Al Jahm bin Shafwan, di samping kesesatan-kesesatannya yang telah kita sebutkan, ia juga seorang tokoh pemberontak. Ketika Hisyam bin Abdul Malik mengangkat Nasher bin Sayaar sebagai pemimpin di Khurosan, maka dia (Al Jahm) bersama Suraij bin Harits (atau Harits bin Suraij) memberontak pemerintahannya, kemudian Nasher bin Sayaar memerintahkan Salim bin Ahwaz sebagai panglima perangnya berikut beberapa pasukan untuk menghadangnya. Akhirnya Salim bin Ahwaz berhasil membunuhnya di akhir masa Bani Marwan. (Al Farqu bainal Firaq: 36 dan 212).
ADAKAH JAHMIYYAH DI MASA SEKARANG?
Al Allamah Jamaluddin Al Qosimi, mengatakan, "Terkadang telah dikira bahwa Jahmiyyah telah lenyap ditelan masa, padahal Mu'tazilah adalah cabang dari (bid'ahnya) Jahmiyyah, dan Mu'tazilah sangatlah banyak (sekarang ini), lagi pula orang-orang yang menisbatkan kepada faham asy'ariyah pun dalam banyak permasalahan merujuk kepada madzhab Jahmiyyah." (Tarikh Jahmiyyah wal Mu'tazilah: 6, dari Mauqif Ahlissunnah: 156).
Memang benar apa yang dikatakan beliau Al Allamah Jamaluddin Al Qosimi kalau Mu'tazilah cabang dari Jahmiyyah, karena Jahmiyyah di dalam meniadakan sifat-sifat Allah bertolak dari akal. (Syarh Al Aqidah Al Wasithiyyah: 21). Ini semua menunjukkan bahwa model-model pemikiran Jahmiyyah masih tetap ada hingga hari ini di zaman kita ini.
Demikian itulah bid'ah demi bid'ah muncul bertahap dari yang parah hingga yang terparah bermuara pada pembicaraan tentang dzat Allah. Wal 'iyadzubillah. Maka, sudah sepatutnya bagi kita untuk selalu memohon ketetapan dan kekokohan di atas al haq kepada Allah ta'ala dan agar tidak memalingkan hati-hati kita setelah mendapat petunjuk, karena ini adalah perkara yang berbahaya, sementara syaithon masuk kepada Bani Adam dari segala arah, membuat keragu-raguan dalam aqidahnya, dienNya dan terhadap kitabNya (Al Qur`an) serta sunnah rosulNya. Inilah pada hakekatnya kebid'ahan yang merebak di tengah-tengah umat Islam.
Para pelaku bid'ah itu tidak melakukan suatu kebid'ahan kecuali karena sedikit ilmunya, atau dangkal pemahamannya atau juga karena didorong dengan tujuan-tujuan yang jelek, dengan bid'ahnya itu mereka merusak dunia.
Akan tetapi -segala puji bagi Allah- tak ada seorang pun yang membuat suatu kebid'ahan, melainkan telah Allah siapkan dengan hikmahNya dan karuniaNya orang-orang yang menerangkan kebid'ahan itu, membongkar kedok para pelakunya, dan menghancurkannya dengan al haq. Allah berfirman, "Sebenarnya Kami melontarkan yang haq kepada yang batil, lalu yang haq itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang batil itu lenyap. Dan kecelakaanlah bagimu disebabkan kamu mensifati (Allah dengan sifat-sifat yang tidak layak bagiNya)." (QS Al Anbiyaa: 18).
Ini merupakan kesempurnaan firman Allah, "Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur`an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya." (QS Al Hijr: 9). Innahu Waliyyu dzalika wal Qodir 'alaih. Wal 'ilmu 'indallah.
Ditulis oleh Abu Hamzah Al Atsary.
Sumber: Buletin Al-Wala` Wal-Bara` edisi ke-38 Tahun ke-2 / 13 Agustus 2004 M / 26 Jumadits Tsani 1425 H.