Allah Jalla Sya`nuhu telah mengutus Muhammad dengan petunjuk dan agama yang benar agar dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang-orang musyrikin benci. Dia menurunkan kitabNya yang berisikan petunjuk dan cahaya bagi siapa yang mengikutinya. Kemudian Dia membebaninya untuk menerangkannya seraya berfirman,
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ
"Dan kami turunkan kepadamu Al Qur`an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka." (QS An Nahl: 44).
Beliaupun melaksanakannya dengan baik dan sempurna, beliaulah pengungkap Kitabullah, penunjuk akan makna-maknanya, hal itu dipersaksikan para sahabat-sahabatnya yang Allah telah meridhai dan memilih mereka untuk NabiNya, sehingga merekalah orang-orang yang pertama yang menukilnya.
Menjadi sebuah aksioma bila kemudian mereka adalah manusia-manusia yang paling tahu terhadap Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan terhadap apa yang diinginkan Allah dalam kitabNya, tampil sebagai peran pengganti dalam mengungkap isi-isinya setelah Rasulullah, selaras dengan penuturan salah seorang di antaranya sahabat Jabir bin Abdillah, "Rasulullah ada di hadapan kami sedang Al Qur`an turun kepadanya, beliau mengetahui tafsirnya, maka apa yang beliau amalkan kami pun mengamalkannya." (HR Muslim, Abu Daud). Karenanya para sahabat Nabi paling berpegang teguh dengan syariat dan berpijak di atas nash-nash sebab mereka tahu kalau agama telah sempurna tidak membutuhkan tambahan dan syariat pun telah terang lagi gamblang tidak butuh penjelasan ulang perkaranya hanyalah taslim (penyerahan) dan patuh.
Para pembaca, fenomena kepribadian yang seperti itu sangatlah nadir (sedikit / sukar dicari) di zaman kita ini, di dalam memahami agama orang lebih cenderung berusaha menambah penjelasan baru apalagi kalau dirasa bertolak belakang dengan amalannya atau bahkan tuturut munding. Kumaha kalolobaan jelema atawa kumaha ceuk nu ditokohkeun bari jeung teu nyaho hujahna lantaran kadung mercayakeun alias taqlid, tanpa sedikitpun melirik kitab ataupun sunnah apalagi faham para sahabat dalam menginterpretasikan keduanya. Wa ilallahil musytaka.
***
Taqlid secara bahasa artinya memasang qiladah (kalung) di leher, sedangkan menurut istilah "taqlid adalah merujuk pada satu pendapat dimana tidak ada hujjah bagi si pencetusnya", atau dengan ungkapan lain: "setiap orang yang engkau ikuti ucapannya tanpa engkau haruskan dirimu menerimanya dengan dalil yang mendukungnya, maka engkaulah pentaqlidnya". Adapun ittiba' adalah "apa yang di atasnya hujjah", dengan kata lain, setiap yang menuntutmu adanya dalil untuk mengikuti ucapannya maka engkau ittiba' kepadanya.
Ittiba' di dalam agama adalah hal yang dibolehkan, sementara taqlid perkara yang sangat tercela. Allah berfirman,
أَمْ ءَاتَيْنَـٰهُمْ كِتَـٰبًا مِّن قَبْلِهِۦ فَهُم بِهِۦ مُسْتَمْسِكُونَ ٢١ بَلْ قَالُوٓا۟ إِنَّا وَجَدْنَآ ءَابَآءَنَا عَلَىٰٓ أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَىٰٓ ءَاثَـٰرِهِم مُّهْتَدُونَ ٢٢ وَكَذَٰلِكَ مَآ أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ فِى قَرْيَةٍ مِّن نَّذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتْرَفُوهَآ إِنَّا وَجَدْنَآ ءَابَآءَنَا عَلَىٰٓ أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَىٰٓ ءَاثَـٰرِهِم مُّقْتَدُونَ ٢٣ قَـٰلَ أَوَلَوْ جِئْتُكُم بِأَهْدَىٰ مِمَّا وَجَدتُّمْ عَلَيْهِ ءَابَآءَكُمْ ۖ قَالُوٓا۟ إِنَّا بِمَآ أُرْسِلْتُم بِهِۦ كَـٰفِرُونَ ٢٤ فَٱنتَقَمْنَا مِنْهُمْ ۖ فَٱنظُرْ كَيْفَ كَانَ عَـٰقِبَةُ ٱلْمُكَذِّبِينَ
Atau adakah Kami memberikan sebuah kitab kepada mereka sebelum Al Qur`an lalu mereka berpegang dengan kitab itu? Bahkan mereka berkata: "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka." Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka." (Rosul itu) berkata: "Apakah (kamu akan mengikuti juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih nyata memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapakmu menganutnya?" Mereka menjawab, "Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya." Maka Kami binasakan mereka maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu. (QS Az Zukhruf: 21-25).
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. (QS At Taubah: 31).
Akibat dari kebodohan akan prinsip-prinsip mengkaji dan mengamalkan ajaran agama dengan benar, banyak kalangan kaum muslimin yang akhirnya terjerumus dalam lingkaran taqlid dan fanatik, lebih mengunggulkan ucapan gurunya, tokohnya ataupun madzhabnya ketimbang mengedepankan Al Qur`an dan sunnah serta faham salaf (para pendahulu), gilanya lagi mereka yang ekstrim berkeyakinan bahwa mengambil dalil adalah haknya seorang mujtahid, kemudian mensifati mujtahid dengan sifat-sifat yang pada sosok Abu Bakar Ash Shiddiq sekalipun tidak didapati, malahan dengan tegas menyatakan para tokoh-tokoh madzhab kami, dewan ulama kami lebih paham terhadap dalil daripada kita, walhasil ketika ada yang menyampaikan dalil yang shahih, mereka tidak mau menerimanya bahkan mencela orang yang mengamalkannya dengan dalih tidak sesuai dengan madzhab atau tidak ada keputusan "sang dewan". Apa yang ada pada mereka sangatlah nampak dimana seruan-seruan dakwahnya semata ajakan tuk bermadzhab dan manut sama tokoh tertentu tidak peduli meski dalil yang diselisihi.
***
Tokoh gerakan pembaharu taqlid abad ini adalah Muhammad Zahid Al Kautsary, ia seorang yang fanatik hanafy, sekaligus pembawa bendera aqidah Jahmiyyah zaman ini, celaannya luar biasa terhadap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qoyyim, dan juga Muhammad bin Abdul Wahhab. Ia mengatakan, "Jika Ibnu Taimiyyah masih dianggap syaikhul Islam, maka semoga keselamatan menyertai Islam." Dalam salah satu tulisannya ia kembali berkata, "Kalau kita bilang tidaklah Islam di masa akhir-akhir ini ditimpa musibah yang lebih berat kecuali karena adanya Ibnu Taimiyyah yang telah memporak-porandakan kesatuan muslimin, tentu hal itu tidaklah berlebihan."
Al Kautsary ini, pengetahuannya dalam bidang ilmu hadits dan rijalnya boleh dikata mumpuni, namun disayangkan ternyata itu semua menjadi hujjah atasnya dan malapetaka baginya, ilmu tidak menambahnya petunjuk dan cahaya baik dalam masalah furu (cabang), apalagi ushul (pokok), ia seorang yang berakidah Jahmiyyah, kebenciannya sangat nyata terhadap ahli hadits, para imam-imam sunnah dan terhadap seluruh ahli sunnah. Di antara a`immah yang kena sentilannya adalah Ibnu Khuzaimah, penulis kitab "At Tauhid". Al Kautsary mengatakan, "Ini kitab syirik!". Imam Malik, Syafi'i dan Ahmad pun tak luput dari sentilannya wallahul musta'an.
Kefanatikan terhadap Hanafy, membuatnya buta, dia menshohihkan salah satu hadits, yang semua ahli hadits mengerti dan menyatakan kalau hadits itu palsu -sebagai sikap pembelaan di atas ashobiyyah madzhabiyyah-, yakni, "Abu Hanifah adalah pelita umatku." Bukan suatu yang aneh pula bila dia mendho'ifkan puluhan hadits Bukhori dan Muslim dalam keadaan tanpa didapati pada keduanya cacat yang berarti. Walhamdulillah Al Allamah 'Abdurrahman Al Mu'allimy Al Yamaniy telah membantahnya dan membongkar kebobrokannya dalam kitab "Tholi'atut Tankil" dan "At Tankil bima fi tanibi Al Kautsary minal Abathil". (Silahkan merujuk pada keduanya bagi yang menggeluti bidang ilmu hadits - penting!).
***
Para pembaca, seperti dikatakan, "Tiap kaum mesti ada saja yang menjadi pewaris kaum sebelumnya." Abdullah Al Ghimary dan Abdul Fatah Abu Guddah. Dua "syeikh" sejoli ini betul-betul turunannya Al Kautsary dari sisi akidah maupun madzhab, mereka berdua adalah muridnya yang menyanjung bebeakan alias habis pisan dengan sanjungan setinggi langit, seperti: Al Faqih, Al Muhaddits, Al Hujjah, Ats Tsiqoh..., Al Muhaqqiq, Al Allamah, Al Kabir, atau juga roh ... ustadz Muhaqqiq, Al Hujjah..., Annimah Al Kubro, dan sanjungan lainnya, dalam keadaan permusuhan Al Kautsary terhadap sunnah dan ahli sunnah sangat keras di samping akidahnya bejat.
Lain daripada itu Abdul Fatah Abu Guddah sangat bangga terhadapnya, dia sangat fanatik dan taqlid kepada gurunya itu, sedikitpun dia tidak pernah berkomentar tentang gurunya, malah nampak begitu terkesan. Hal itu amat kentara ketika dia namai anak yang paling besarnya dengan nama "Zahid" dalam rangka tabarruk dan mengenang sang guru pujaannya.
Seperti halnya Al Kautsary yang celaan dan tuduhannya terhadap ahli hadits dan sunnah amat sangat keji, maka tak jauh beda apa yang ada pada diri Abdul Fatah Abu Guddah maupun Abdullah Al Ghimary, celaan dan tuduhannya tak kalah keji dilontarkan kepada ahli hadits dan ahli sunnah.
Bersambung
Ditulis oleh Abu Hamzah Al Atsary.
Sumber: Buletin Al-Wala` Wal-Bara` edisi ke-41 Tahun ke-2 / 03 September 2004 M / 18 Rajab 1425 H.