Cari Blog Ini

Ma Hiya As-Salafiyyah? - Keutamaan Mengikuti Salaf (3)

Tetapi di sini ada peringatan bagi setiap orang yang memperhatikan dan ada pengingat. Peringatan akan memberi manfaat kepada orang-orang mukmin. 

Tidak setiap orang yang mengaku mengikuti salaf jujur dalam pengakuannya. Wahai yang saya cintai, ini bukan dalam rangka mempersempit. Sekali-kali tidak demi Allah. Namun, harus ada bukti yang membenarkan pengakuan ini, berupa amalan yang ditunjukkan oleh ungkapan yang agung dan mulia ini. Bukti yang muncul dari menetapi jalan pertengahan yang lurus. Karena kita membaca dan mendengar ada orang yang mengaitkan dirinya kepada dakwah salaf dengan bohong dan dusta dalam keadaan dia menyelisihi jalan dan metodenya, baik dalam masalah pokok maupun cabang. 

Termasuk hal yang mengherankan adanya penyebutan beberapa nama yang menyesatkan dan mencoreng bersama dengan nama yang mulia ini oleh para pendusta, semisal: As-Salafiyyah Al-Jihadiyyah, As-Salafiyyah Al-‘Ilmiyyah, Al-Jama’ah As-Salafiyyah lid-Da’wah wal-Qital, dan lain sebagainya. Hal ini merupakan bentuk mengikuti jejak pengusung hawa nafsu dan bidah, sedikit demi sedikit. 

Imam Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, 

“Wahai anak Adam, jangan engkau terkecoh dengan ucapan seseorang: Orang itu bersama dengan yang dia cintai[1]. Sesungguhnya siapa saja yang mencintai suatu kaum, seharusnya dia mengikuti jejak mereka. Dia tidak akan digabungkan bersama orang-orang yang baik, hingga dia mengikuti jejak mereka, mengambil petunjuk mereka, meneladani jalan mereka, engkau berada di atas jalan mereka saat pagi maupun petang, engkau bersemangat agar menjadi bagian dari mereka, sehingga engkau pun menempuh jalan mereka dan mengambil metode mereka. Walaupun engkau kurang dalam amalan karena patokan perkara adalah agar engkau berada di atas keistikamahan. 

Tidakkah engkau lihat orang-orang Yahudi, Nasrani, dan pengikut hawa nafsu yang membinasakan, mereka mencintai para Nabi mereka. Bukankah itu yang diaku-aku oleh orang-orang Yahudi, Nasrani, demikian pula pengikut hawa nafsu. Namun hakikatnya mereka tidak bersama para nabi karena mereka menyelisihi para nabi dalam ucapan dan amalan. Mereka menempuh selain jalan para nabi sehingga akibatnya tempat kembali mereka adalah neraka. Kita berlindung kepada Allah dari hal itu.”[2]

Selesai ucapan Al-Hasan Al-Bashri. 

Imam Ibnu Al-Qayyim rahimahullah berkata, 

“Ketika banyak orang-orang mengaku cinta Allah, maka mereka diminta bukti yang menunjukkan kebenaran pengakuannya. Andai setiap orang diberi sesuai pengakuannya, niscaya orang akan mengaku-aku barang milik orang lain, sehingga akan ada orang-orang yang mengaku-aku dalam berbagai macam pengakuan. Maka dikatakan: Pengakuan ini tidak bisa diterima kecuali dengan bukti. 
قُلۡ إِن كُنتُمۡ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِى يُحۡبِبۡكُمُ ٱللَّهُ 
Katakanlah, “Jika kalian mecintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian.” (QS. Ali ‘Imran: 31). 

Maka semua orang-orang akan mundur dan yang tetap adalah orang yang mengikuti Nabi Muhammad ‘alaihish shalatu was salam dalam perbuatan, ucapan, dan akhlak beliau.”[3]

Imam Abu Al-Muzhaffar As-Sam’ani rahimahullah berkata pada nukilan Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Shaun Al-Manthiq[4], “Sesungguhnya kita diperintah dan diseru untuk mengikuti dan kita dilarang dan dicegah dari berbuat bidah. Syiar ahli sunah adalah sikap mengikuti para salaf saleh dan meninggalkan setiap ajaran agama yang dibuat-buat dan diada-adakan.” 

Makanya, tidak setiap orang yang menampakkan syiar lantas dia jujur. 

Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Kami tidak memaksudkan ahli hadis dengan orang-orang yang mencukupkan diri hanya mendengar hadis, mencatat, atau meriwayatkannya. Namun yang kita maksud dengan ahli hadis adalah setiap orang yang memang pantas menghafalnya, mengilmuinya, dan memahaminya secara lahir dan batin. Serta mengikuti hadis itu secara batin dan lahir.” 

Suatu peristiwa yang dapat menjadi pengingat terhadap peristiwa yang serupa; aku katakan: 

Barangkali kalian mengetahui peristiwa yang pernah terjadi di negeri yang diberkahi ini “Makkah Al-Mukarramah”—semoga Allah memuliakannya—di awal abad empat belas hijriah. Berupa munculnya firkah jahat yang menghalalkan rumah Allah yang suci, yaitu masjid Kakbah yang mulia, selama beberapa hari. Firkah jahat itu menyematkan nama pada dirinya—dengan bohong dan dusta—bahwa mereka adalah salafiyyun. Peristiwa ini telah ditulis oleh syekh kami Al-‘Allamah Muhammad Aman rahimahullah di dalam Majallah Al-Jami’ah Al-Islamiyyah[5]—ketika itu beliau adalah pemimpin redaksinya—. 

Beliau rahimahullah berkata, 

“Sesungguhya azan pertama yang ada setelah kejadian itu dianggap sebagai pemberitahuan bahwa cobaan yang membawa kesedihan, kekhawatiran, dan kedukaan telah berakhir. Rasa gembira dan senang menggantikannya. Gembira dengan nikmat Allah, dengan nikmat ketentraman, yaitu penyucian masjid yang suci dari perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang Juhaiman yang bodoh. 

Di sini ada perkara penting yang perlu ditekankan, yaitu: bahwa orang-orang muda yang bodoh ini menyebutkan tentang jati diri mereka—sesuai kabar yang sampai kepadaku—bahwa mereka adalah salafiyyun (pengikut salaf). Alangkah buruknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; tidaklah yang mereka katakan kecuali kedustaan. Penyematan nama ini pada diri mereka tidak keluar dari dua perkara: 

  1. Bahwa mereka tidak mengetahui dengan pemahaman yang sahih terhadap ajaran salafiyyah, sehingga penyematan nama itu kepada mereka adalah buah dari kebodohan yang bisa jadi merupakan kebodohan yang berlapis-lapis.
  2. Atau bisa jadi mereka menghendaki pemutarbalikan dan penyesatan, sehingga penamaan ini adalah buah dari tujuan yang buruk untuk mencoreng nama yang dicintai ini. Nama yang sebenarnya ditujukan untuk generasi awal umat ini dan siapa saja yang menempuh jalan mereka. 

Hal ini agar para pembaca yang mulia mengetahui bahwa orang-orang Juhaiman itu bukanlah salafiyyun (pengikut salaf) dan mereka bukan orang yang pantas untuk mengampu dakwah ini. Akan tetapi mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mengikuti salaf, mengaku-aku mengikuti ajaran salaf, dan mengklaim berdakwah kepada Islam. Padahal mereka orang-orang yang jauh dari Islam itu sendiri, terlebih dari dakwah kepada Islam.”


[1] Ini adalah bagian dari hadis muttafaq ‘alaih, akan tetapi sebagian orang berdalih dengannya dalam keadaan dia menyelisihi Rasulullah shallallahu ‘alaih wa sallam dalam ucapan dan perbuatannya. Bahkan jika engkau teliti lebih lanjut, juga menyelisihi dalam keyakinannya. Inilah yang dimaukan oleh Imam Al-Hasan rahimahullah
[2] Syarh Musnad Tsulatsiyat Al-Imam Ahmad karya As-Safarini (1/617). 
[3] Madarij As-Salikin (3/8). 
[4] Halaman 158. 
[5] Nomor 45 tahun 12/1400H.