Cari Blog Ini

Sifat Allah, An-Nafs

Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah (wafat 620 H) di dalam kitab Lum'atul I'tiqad Al-Hadi ila Sabilir Rasyad berkata,
وَقَوۡلُهُ تَعَالَى إِخۡبَارًا عَنۡ عِيسَى عَلَيۡهِ السَّلَامُ أَنَّهُ قَالَ: ﴿تَعۡلَمُ مَا فِى نَفۡسِى وَلَآ أَعۡلَمُ مَا فِى نَفۡسِكَ﴾ [المائدة: ١١٦].
Firman Allah taala mengabarkan tentang ‘Isa ‘alaihis salam, bahwa beliau berkata, “Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri-Mu.” (QS. Al-Ma`idah: 116).[1]


Syekh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin rahimahullah di dalam syarahnya berkata,

[1] الصِّفَةُ الثَّالِثَةُ: النَّفۡسُ: 

النَّفۡسُ ثَابِتَةٌ لِلهِ تَعَالَى بِالۡكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَإِجۡمَاعِ السَّلَفِ. 

قَالَ اللهُ تَعَالَى: ﴿كَتَبَ رَبُّكُمۡ عَلَىٰ نَفۡسِهِ ٱلرَّحۡمَةَ﴾ [الأنعام: ٥٤]، وَقَالَ عَنۡ عِيسَى أَنَّهُ قَالَ: ﴿تَعۡلَمُ مَا فِى نَفۡسِى وَلَآ أَعۡلَمُ مَا فِى نَفۡسِكَ﴾ [المائدة: ١١٦]. 

وَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: (سُبۡحَانَ اللهِ وَبِحَمۡدِهِ عَدَدَ خَلۡقِهِ وَرِضَا نَفۡسِهِ وَزِنَةَ عَرۡشِةِ وَمِدَادَ كَلِمَاتِه) رواه مسلم. 

وَأَجۡمَعَ السَّلَفُ عَلَى ثُبُوتِهَا عَلَى الۡوَجۡهِ اللَّائِقِ بِهِ. 

فَيَجِبُ إِثۡبَاتُهَا لِلهِ مِنۡ غَيۡرِ تَحۡرِيفٍ وَلَا تَعۡطِيلٍ وَلَا تَكۡيِيفٍ وَلَا تَمۡثِيلٍ. 

Sifat ketiga: An-Nafs (Nafsi/Diri). 

Nafsi adalah sifat yang pasti bagi Allah taala berdasarkan Alquran, sunah, dan ijmak ulama salaf. 

Allah taala berfirman yang artinya, “Allah telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang.” (QS. Al-An’am: 54). Allah berfirman tentang ‘Isa, bahwa dia mengatakan, “Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri-Mu.” (QS. Al-Ma`idah: 116). 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mahasuci Allah dan aku menyanjung-Nya dengan pujian sebanyak makhluk-Nya, serida diri-Nya, seberat arasy-Nya, dan sejumlah kalimat-Nya.” (HR. Muslim nomor 2726). 

Para ulama salaf telah bersepakat akan kepastian sifat tersebut sesuai dengan sisi yang layak bagi-Nya. 

Sehingga wajib menetapkan sifat tersebut untuk Allah dengan tanpa tahrif (menyelewengkan makna), ta’thil (menolaknya), takyif (mempertanyakan bagaimananya), dan tamtsil (menyerupakannya).