Cari Blog Ini

Kalimat لا إله إلا الله Tidak Sebatas di Lisan Saja

Syekh Muhammad bin 'Abdul Wahhab--rahimahullah--di dalam karya beliau Tafsir Kalimat Tauhid berkata:

وَلَيۡسَ الۡمُرَادُ قَوۡلَهَا بِاللِّسَانِ مَعَ الۡجَهۡلِ بِمَعۡنَاهَا. 

Yang dimaukan bukanlah mengucapkannya dengan lisan tapi tidak mengerti maknanya.[1]

فَإِنَّ الۡمُنَافِقِينَ يَقُولُونَها وَهُمۡ تَحۡتَ الۡكُفَّارِ ﴿فِى ٱلدَّرۡكِ ٱلۡأَسۡفَلِ مِنَ ٱلنَّارِ﴾ [النساء: ١٤٥]. 

Karena orang-orang munafik pun mengucapkannya, padahal mereka berada di bawah orang-orang kafir “di kerak neraka yang paling dasar.” (QS. An-Nisa`: 145).[2]

مَعَ كَوۡنِهِمۡ يُصَلُّونَ وَيَتَصَدَّقُونَ.

Padahal orang-orang munafik itu ikut salat dan bersedekah.[3]


Syekh Shalih bin Fauzan bin 'Abdullah Al-Fauzan--hafizhahullah--di dalam syarah Tafsir Kalimat Tauhid berkata:

[1] لَيۡسَ الۡمَقۡصُودُ قَوۡلَ: (لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ) بِاللِّسَانِ فَقَطۡ مِنۡ غَيۡرِ فَهۡمٍ لِمَعۡنَاهَا، لَابُدَّ أَنۡ تَتَعَلَّمَ مَا مَعۡنَى (لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ) أَمَّا إِذَا قُلۡتَهَا وَأَنۡتَ لَا تَعۡرِفُ مَعۡنَاهَا، فَإِنَّكَ لَا تَعۡتَقِدُ مَا دَلَّتۡ عَلَيۡهِ، فَكَيۡفَ تَعۡتَقِدُ شَيۡئًا تَجۡهَلُهُ، فَلَا بُدَّ أَنۡ تَعۡرِفَ مَعۡنَاهَا حَتَّى تَعۡتَقِدَهُ، تَعۡتَقِدُ بِقَلۡبِكَ مَا يَلۡفَظُ بِهِ لِسَانُكَ، فَلَازِمٌ أَنۡ تَتَعَلَّمَ مَعۡنَی (لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ)، أَمَّا مُجَرَّدُ نُطۡقِ اللِّسَانِ مِنۡ غَيۡرِ فَهۡمِ مَعۡنَاهَا فَهَٰذَا لَا يُفِيدُ شَيۡئًا. 

Yang dimaksud bukanlah mengucapkan “laa ilaaha illallaah” dengan lisan saja tanpa memahami maknanya. Engkau harus mempelajari makna “laa ilaaha illallaah”. Adapun apabila engkau mengucapkannya dalam keadaan engkau tidak mengerti maknanya, maka berarti engkau tidak meyakini kandungannya. Bagaimana engkau akan meyakini sesuatu yang tidak engkau ketahui? Jadi engkau harus mengerti maknanya sehingga engkau bisa meyakininya. Engkau yakini dengan hatimu apa yang diucapkan oleh lisanmu. Maka, engkau wajib mempelajari makna “laa ilaaha illallaah”. Adapun sekadar mengucapkan dengan lisan tanpa memahami maknanya, ini tidak memberi faedah sedikit pun. 

أَيۡضًا لَا يَكۡفِي الۡاِعۡتِقَادُ بِالۡقَلۡبِ وَنُطۡقُ اللِّسَانِ، بَلۡ لَابُدَّ مِنَ الۡعَمَلِ بِمُقۡتَضَاهَا، وَذٰلِكَ بِإِخۡلَاصِ الۡعِبَادَةِ لِلهِ، وَتَرۡكِ عِبَادَةِ مَنۡ سِوَاهُ سُبۡحَانَهُ وَتَعَالَى، (فَلَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ) كَلِمَةُ نُطۡقٍ وَعِلۡمٍ وَعَمَلٍ، لَيۡسَتۡ كَلِمَةَ لَفۡظٍ فَقَطۡ. 

Demikian pula, keyakinan dengan hati dan ucapan dengan lisan saja tidak cukup. Tetapi harus disertai dengan mengamalkan konsekuensinya. Yaitu dengan mengikhlaskan ibadah untuk Allah, meninggalkan peribadahan dari selain Allah—subhanahu wa ta’ala—. Jadi “laa ilaaha illallaah” adalah kalimat yang harus diucapkan, diilmui, dan diamalkan. Bukan kalimat yang hanya diucapkan. 

أَمَّا الۡمُرۡجِئَةُ فَهُمۡ يَقُولُونَ: يَكۡفِي التَّلَفُّظُ بِـ(لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ)، أَوۡ يَكۡفِي التَّلَفُّظُ بِهَا مَعَ اعۡتِقَادِ مَعۡنَاهَا ، وَالۡعَمَلُ لَيۡسَ بِلَازِمٍ، مَنۡ قَالَهَا وَلَوۡ لَمۡ يَعۡمَلۡ شَيۡئًا مِنۡ لَوَازِمِهَا هُوَ مِنۡ أَهۡلِ الۡجَنَّةِ، وَلَوۡ لَمۡ يُصَلِّ، وَلَمۡ يُزَكِّ، وَلَمۡ يَحُجَّ، وَلَمۡ يَصُمۡ، وَلَوۡ فَعَلَ الۡفَوَاحِشَ وَالۡكَبَائِرَ وَالزِّنَا وَالسَّرَقَةَ وَشُرۡبَ الۡخَمۡرِ، وَفَعَلَ مَا يُرِيدُ مِنَ الۡمَعَاصِي، وَتَرَكَ الطَّاعَاتِ كُلَّهَا؛ لِأَنَّهُ تَكۡفِيهِ (لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ) عِنۡدَهُمۡ، 

Adapun golongan Murji`ah, mereka berpendapat bahwa mengucapkan “laa ilaaha illallaah” sudah cukup, atau cukup mengucapkannya dengan meyakini maknanya. Adapun amalan bukanlah suatu keharusan. Siapa saja yang sudah mengucapkannya dan dia tidak mengamalkan sedikit saja dari konsekuensinya, maka dia termasuk penghuni janah, walaupun dia tidak salat, tidak zakat, tidak haji, tidak saum. Walaupun dia melakukan berbagai perbuatan keji, dosa besar, zina, mencuri, minum khamar, perbuatan maksiat yang dia inginkan, dan meninggalkan seluruh ketaatan. Alasan mereka adalah karena “laa ilaaha illallaah” sudah cukup. 

هَٰذَا مَذۡهَبُ الۡمُرۡجِئَةِ، الَّذِينَ يُخۡرِجُونَ الۡعَمَلَ مِنۡ حَقِيقَةِ الۡإِيمَانِ، وَيَعۡتَبِرُونَ الۡعَمَلَ إِنۡ جَاءَ فَبِهَا وَنِعۡمَتۡ، وَإِنۡ لَمۡ يَجِئۡ، فَإِنَّهَا تَكۡفِي (لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ) عِنۡدَهُمۡ، وَيَسۡتَدِلُّونَ بِأَحَادِیثَ تُفِيدُ أَنَّ مَنۡ قَالَ: لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ، دَخَلَ الۡجَنَّةَ، 

Ini adalah mazhab Murji`ah, yaitu orang-orang yang mengeluarkan amalan dari hakikat keimanan. Mereka menganggap apabila amalan dikerjakan, maka itu baik. Namun apabila tidak dikerjakan, maka menurut mereka ucapan “laa ilaaha illallaah” saja sudah cukup. Mereka berdalih dengan hadis-hadis yang memberi faedah bahwa siapa saja yang sudah mengucapkan “laa ilaaha illallaah”, maka dia masuk janah. 

وَلَكِنِ الَّرُسولُ ﷺ مَا اقۡتَصَرَ عَلَى هَٰذِهِ الۡأَحَادِيثِ، فَالرَّسُولُ ﷺ لَهُ أَحَادِيثُ أُخۡرَى تُقَيِّدُ هَٰذِهِ الۡأَحَادِيثَ، وَلَا بُدَّ أَنۡ تَجۡمَعَ بَيۡنَ كَلَامِ الرَّسُولِ ﷺ بَعۡضِهِ إِلَى بَعۡضٍ، لَا أَنۡ تَأۡخُذَ مِنۡهُ طَرۡفًا وَتَتۡرُكَ طَرۡفًا؛ لِأَنَّ کَلَامَ الرَّسُولِ ﷺ يُفَسِّرُ بَعۡضُهُ بَعۡضًا، وَيُبَيِّنُ بَعۡضُهُ بَعۡضًا، 

Akan tetapi Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—tidak mencukupkan dengan hadis-hadis ini saja. Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—memiliki hadis-hadis lain yang membatasi hadis-hadis tadi. Engkau harus menggabungkan ucapan Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—satu dengan yang lainnya. Engkau tidak boleh mengambil satu sisi darinya lalu meninggalkan sisi lainnya, karena ucapan Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—satu sama lain saling merinci dan saling menerangkan. 

أَمَّا الَّذِي يَأۡخُذُ طَرَفًا وَيَتۡرُكُ طَرَفًا فَإِنَّهُ مِنۡ أَهۡلِ الزَّيۡغِ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ ﴿مَا تَشَـٰبَهَ مِنۡهُ ٱبۡتِغَآءَ ٱلۡفِتۡنَةِ وَٱبۡتِغَآءَ تَأۡوِيلِهِۦۗ﴾ [آل عمران : ٧] الرَّسُولُ ﷺ قَالَ: (مَنۡ قَالَ: لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ وَكَفَرَ بِمَا عُبِدَ مِنۡ دُونِ اللهِ). 

Adapun orang yang mengambil satu sisi ucapan beliau dan meninggalkan sisi lainnya, maka dia termasuk orang yang memiliki penyakit hati yang mengikuti “dalil yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya.” (QS. Ali ‘Imran: 7). 

Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—bersabda, “Barang siapa yang mengucapkan: laa ilaaha illallaah; dan mengingkari semua yang disembah selain Allah.” 

وَهَٰذَا حَدِيثٌ صَحِيحٌ، فَلِمَاذَا غَفَلۡتُمۡ عَنۡهُ؟ وَقَالَ ﷺ: (فَإِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنۡ قَالَ: لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ، يَبۡتَغِي بِذٰلِكَ وَجۡهَ اللهِ). 

Ini adalah hadis yang sahih, lalu mengapa kalian mengabaikannya? 

Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—juga bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan neraka bagi siapa saja yang mengucapkan: laa ilaaha illallaah, dengan mengharap wajah Allah.” 

أَمَّا الَّذِي يَقُولُ: لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ، وَلَا يَكۡفُرُ بِمَا يُعۡبَدُ مِنۡ دُونِ اللهِ، وَيَدۡعُو الۡأَوۡلِيَاءَ وَالصَّالِحِينَ، فَإِنَّ هَٰذَا لَا تَنۡفَعُهُ (لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ) لِأَنَّ کَلَامَ الرَّسُولِ ﷺ يُفَسِّرُ بَعۡضُهُ بَعۡضًا، وَيُقَيِّدُ بَعۡضُهُ بَعۡضًا، فَلَا تَأۡخُذۡ بَعۡضَهُ وَتَتۡرُكۡ بَعۡضَهُ، 

Adapun orang yang mengatakan “laa ilaaha illallaah” namun dia tidak mengingkari sesembahan yang diibadahi selain Allah dan dia berdoa kepada para wali dan orang saleh, maka ucapan “laa ilaaha illallaah” ini tidak memberinya manfaat. Sabda Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—menjelaskan satu dengan yang lain dan membatasi satu dengan yang lain. Jadi jangan engkau mengambil sebagiannya dan meninggalkan sebagian lainnya. 

وَاللهُ سُبۡحَانَهُ وَتَعَالَى يَقُولُ: ﴿هُوَ ٱلَّذِىٓ أَنزَلَ عَلَيۡكَ ٱلۡكِتَـٰبَ مِنۡهُ ءَايَـٰتٌ مُّحۡكَمَـٰتٌ هُنَّ أُمُّ ٱلۡكِتَـٰبِ وَأُخَرُ مُتَشَـٰبِهَـٰتٌ ۖ فَأَمَّا ٱلَّذِينَ فِى قُلُوبِهِمۡ زَيۡغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَـٰبَهَ مِنۡهُ﴾ [آل عمران : ٧] يَأۡخُذُونَ الَّذِي يَصۡلُحُ لَهُمۡ، وَيَتۡرُكُونَ الَّذِي لَا يَصۡلُحُ لَهُمۡ. 

Allah—subhanahu wa ta’ala—berfirman, “Dialah yang telah menurunkan Alquran kepadamu. Di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamat. Itulah induk Alquran. Dan yang lain ada yang mutasyabihat. Adapun orang-orang yang di dalam hatinya ada penyimpangan, maka dia akan mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat.” (QS. Ali ‘Imran: 7). 

Mereka mengambil dalil yang cocok untuk mereka dan meninggalkan dalil yang tidak cocok untuk mereka. 

وَيَقُولُونَ: اسۡتَدۡلَلۡنَا بِالۡقُرۡآنِ، نَقُولُ: مَا اسۡتَدۡلَلۡتُمۡ بِالۡقُرآنِ، الۡقُرۡآنُ إِنۡ قَالَ كَذَا فَقَدۡ قَالَ كَذَا، فَلِمَاذَا تَأۡخُذُونَ بَعۡضًا وَتَتۡرُكُونَ بَعۡضًا 

﴿وَٱلرَّٰسِخُونَ فِى ٱلۡعِلۡمِ يَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِۦ كُلٌّ مِّنۡ عِندِ رَبِّنَا ۗ﴾ [ال عمران: ۷]، الۡمُحۡكَمُ وَالۡمُتَشَابِهُ، فَيَرُدُّونَ الۡمُتَشَابِهَ إِلَى الۡمُحۡكَمِ، وَيُفَسِّرُونَهُ بِهِ وَيُقَيِّدُونَهُ بِهِ، وَيُفَصِّلُونَهُ، أَمَّا إِنَّهُمۡ يَأۡخُذُونَ الۡمُتَشَابِهَ وَيَتۡرُكُونَ الۡمُحۡكَمَ، فَهَٰذِهِ طَرِيقَةُ أَهۡلِ الزَّيۡغِ، 

Mereka mengatakan, “Kami berdalil dengan Alquran.” 

Kita katakan, “Kalian tidak berdalil dengan Alquran. Alquran itu jika Allah berfirman demikian (dalam suatu ayat), maka Allah juga berfirman demikian (di ayat lain). Mengapa kalian mengambil sebagian dan meninggalkan sebagian yang lain?” 

“Orang-orang yang mendalam ilmunya mengatakan: Kami beriman dengannya, semua itu dari sisi Tuhan kami.” (QS. Ali ‘Imran: 7). (Yang dimaksud semua itu) adalah ayat yang muhkamat dan yang mutasyabihat. 

Mereka mengembalikan, menafsirkan, membatasi, dan merinci ayat mutasyabihat kepada ayat muhkamat. Adapun (orang yang hatinya condong kepada kesesatan), mereka mengambil ayat mutasyabihat dan meninggalkan ayat muhkamat. Inilah jalan orang yang hatinya condong kepada kesesatan. 

فَالَّذِينَ يَأۡخُذُونَ بِحَدِيثِ أَنَّ (مَنۡ قَالَ: لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ دَخَلَ الۡجَنَّةَ)، وَيَقۡتَصِرُونَ عَلَى هَٰذَا، وَلَا يُوَرِّدُونَ الۡأَحَادِيثَ الۡوَاضِحَةَ الَّتِي فِيهَا الۡقُيُودُ، وَفِيهَا التَّفۡصِيلُ، فَهَٰؤُلَاءِ أَهۡلُ زَیۡغٍ. 

Orang-orang yang mengambil hadis bahwa barang siapa yang mengucapkan “laa ilaaha illallaah” akan masuk janah; mencukupkan dengan hadis ini dan tidak mendatangkan hadis-hadis yang jelas yang padanya ada batasan dan perincian, maka mereka ini adalah orang yang hatinya condong kepada kesesatan. 

فَيَجِبُ عَلَى طَالِبِ الۡعِلۡمِ أَنۡ يَعۡرِفَ هَٰذِهِ الۡقَاعِدَةَ الۡعَظِيمَةَ؛ لِأَنَّهَا هِيَ جِمَاعُ الدِّينِ وَهِيَ أَسَاسُ الۡمِلَّةِ، لَيۡسَ الۡمَقۡصُودُ أَنَّكَ تَأۡخُذُ آيَةً أَوۡ حَدِيثًا وَتَتۡرُكُ غَيۡرَهُ، بَلِ الۡمَقۡصُودُ أَنَّكَ تَأۡخُذُ الۡقُرۡآنَ كُلَّهُ، وَتَأۡخُذُ السُّنَّةَ كُلَّهَا، وَكَذٰلِكَ كَلَامَ أَهۡلِ الۡعِلۡمِ، 

Penuntut ilmu wajib mengetahui kaidah yang agung ini karena ini adalah kaidah yang mengumpulkan agama ini dan asas agama ini. Bukanlah yang dimaksud bahwa engkau mengambil sebuah ayat atau sebuah hadis lalu engkau tinggalkan yang lainnya. Akan tetapi maksudnya adalah engkau mengambil Alquran seluruhnya, engkau ambil sunah seluruhnya, demikian pula ucapan ulama. 

الۡعَالِمُ إِذَا قَالَ كَلَامًا لَا تَأۡخُذۡهُ وَحۡدَهُ حَتَّى تَرُدَّهُ إِلَى كَلَامِهِ الۡكَامِلِ، وَتَتۡبَعُ كَلَامَهُ فِي مُؤَلَّفَاتِهِ؛ لِأَنَّهُ يُقَيِّدُ بَعۡضُهُ بَعۡضًا؛ لِأَنَّهُمۡ عَلَى سُنَنِ کِتَابِ اللهِ وَسُنَّةِ رَسُولِهِ، فَتَرُدُّ الۡمُطۡلَقَ إِلَى الۡمُقَيَّدِ مِنۡ كَلَامِهِمۡ، 

Seorang alim apabila dia mengucapkan suatu perkataan, maka jangan engkau mengambil itu saja hingga engkau mengembalikannya kepada perkataannya yang lengkap dan engkau ikuti perkataannya di dalam tulisan-tulisannya. Karena sebagian ucapan alim itu membatasi ucapan lainnya. Para ulama mengikuti ajaran di dalam kitab Allah dan sunah Rasul-Nya, sehingga ucapan mereka yang mutlak dikembalikan kepada ucapan yang membatasi. 

فَطَالِبُ الۡعِلۡمِ يَجِبُ عَلَيۡهِ أَنۡ يَأۡخُذَ هَٰذِهِ الۡقَاعِدَةَ مَعَهُ دَائِمًا، وَيَحۡذَرُ مِنۡ طَرِيقَةِ أَهۡلِ الزَّيۡغِ الَّذِينَ يَأۡخُذُونَ الَّذِي يَصۡلُحُ لَهُمۡ، وَيَتۡرُكُونَ الَّذِي لَا يَصۡلُحُ لَهُمۡ مِنَ الۡكِتَابِ، وَمِنَ السُّنَّةِ، وَمِنۡ كَلَامِ أَهۡلِ الۡعِلۡمِ، وَيَبۡتُرُونَ النُّقُولَ، وَيَتۡرُكُونَ بَاقِيَ الۡكَلَامِ، أَوۡ يَتۡرُكُونَ الۡكَلَامَ الثَّانِيَ الَّذِي يُوَضِّحُهُ، وَيَأۡخُذُونَ الۡكَلَامَ الۡمُشۡتَبِهَ وَيَتۡرُكُونَ الۡكَلَامَ الۡبَيِّنَ، 

Penuntut ilmu wajib untuk selalu mengambil kaidah ini dan mewaspadai metode orang yang cenderung kepada kesesatan, yaitu orang-orang yang mengambil dalil dari Alquran, sunah, dan ucapan ulama yang cocok untuk mereka dan meninggalkan yang tidak mencocoki mereka. Mereka mengutip nukilan perkataan dan meninggalkan perkataan lainnya, atau meninggalkan perkataan kedua yang memperjelasnya. Mereka mengambil perkataan yang samar dan meninggalkan perkataan yang jelas. 

كَثِيرٌ مِنَ الَّذِينَ يَدَّعُونَ الۡعِلۡمَ غَفَلُوا عَنۡ هَٰذَا الشَّيۡءِ، إِمَّا عَنۡ قَصۡدِ التَّضۡلِيلِ، وَإِمَّا عَنۡ جَهۡلٍ، فَيَجِبُ مَعۡرِفَةُ هَٰذِهِ الۡأُمُورِ، وَأَنۡ تَكُونَ أُصُولًا وَقَوَاعِدَ عِنۡدَ طَالِبِ الۡعِلۡمِ. 

Banyak di antara orang yang mengaku berilmu namun melalaikan hal ini. Bisa jadi memang bermaksud menyesatkan, bisa jadi karena kebodohan. Maka, wajib untuk mengerti perkara-perkara ini dan menjadikannya sebagai prinsip dan kaedah bagi penuntut ilmu. 


[2] الۡمُنَافِقُونَ الَّذِينَ هُمۡ ﴿فِى ٱلدَّرۡكِ ٱلۡأَسۡفَلِ مِنَ ٱلنَّارِ﴾ [النساء: ١٤٥] هُمُ الَّذِينَ يُظۡهِرُونَ الۡإِسۡلَامَ وَيُبۡطِنُونَ الۡكُفۡرَ؛ لِأَنَّهُ لَمَّا هَاجَرَ النَّبِيُّ ﷺ إِلَى الۡمَدِينَةِ وَصَارَ حَوۡلَهُ الۡمُهَاجِرُونَ وَالۡأَنۡصَارُ وَقَوِيَ الۡإِسۡلَامُ، وَانۡتَصَرَ الدِّينُ فِي بَدۡرٍ، تِلۡكَ الۡوَاقِعَةُ الۡعَظِيمَةُ الَّتِي طَارَ خَبَرُهَا فِي الۡمَشَارِقِ وَالۡمَغَارِبِ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ انۡتَصَرَ عَلَى صَنَادِيدِ قُرَيۡشٍ، وَقُرَيۡشٌ كَانَتۡ تَاجَ الۡعَرَبِ، وَكَانَ النَّاسُ يَنۡظُرُونَ إِلَيۡهَا، 

Orang-orang munafik, yang mereka itu nantinya berada “di kerak neraka yang paling bawah”, mereka adalah orang-orang yang menampakkan Islam dan menyembunyikan kekafiran. Ketika Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—hijrah ke Madinah, kaum muhajirin dan ansar berada di sekeliling beliau, Islam menjadi kuat, dan agama ini menang dalam perang Badr. Itu adalah peristiwa besar yang kabarnya menyebar ke timur dan barat karena Nabi bisa menang atas para pembesar Quraisy, padahal Quraisy waktu itu adalah mahkota kebanggaan Arab. Waktu itu pandangan orang-orang mengarah pada mereka. 

فَلَمَّا انۡتَصَرَ عَلَيۡهَا ﷺ فِي بَدۡرٍ، وَقُتِلَ رُءُوسُهَا، عِنۡدَ ذٰلِكَ قَالَ الۡمُنَافِقُونَ: نَحۡنُ وَقَعۡنَا فِي الۡمَدِينَةِ بَيۡنَ الۡمُهَاجِرِينَ وَالۡأَنۡصَارِ وَمَعَهُمُ الرَّسُولُ، وَمَاذَا نَعۡمَلُ؟ لَجَئُوا إِلَى حِيلَةٍ، وَهِيَ أَنَّهُمۡ يُظۡهِرُونَ الۡإِسۡلَامَ مِنۡ أَجۡلِ أَنۡ يَعِيشُوا مَعَ الۡمُسۡلِمِينَ وَيُحَافِظُوا عَلَى دِمَائِهِمۡ وَأَمۡوَالِهِمۡ، 

Ketika Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—menang atas mereka dan pemimpin-pemimpin mereka terbunuh pada perang Badr, maka setelah itu orang-orang munafik berkata, “Kita tinggal di Madinah di antara orang-orang muhajirin dan ansar. Rasul pun bersama mereka. Apa yang kita lakukan?” 

Mereka pun melindungi diri mereka dengan muslihat. Yaitu dengan cara mereka menampakkan keislaman agar mereka bisa hidup bersama kaum muslimin serta agar darah dan harta mereka terjaga. 

وَالرَّسُولُ ﷺ لَيۡسَ لَهُ إِلَّا الظَّاهِرُ، لَا يَدۡرِي عَنِ الۡقُلُوبِ إِلَّا اللهُ سُبۡحَانَهُ وَتَعَالَى، فَمَنۡ أَظۡهَرَ الۡإِسۡلَامَ قَبِلۡنَاهُ مِنۡهُ حَتَّى يَظۡهَرَ مِنۡهُ مَا يُخَالِفُ ظَاهِرَهُ. 

Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—hanya menyikapi lahirnya. Tidak ada yang mengetahui hati-hati kecuali Allah—subhanahu wa ta’ala—. Sehingga, siapa saja yang menampakkan keislaman, maka kita terima keislamannya sampai muncul darinya hal-hal yang menyelisihi lahirnya. 

وَقَالُوا: (لَا إِلَٰهَ إِلَّا الله) وَشَهِدُوا لِلرَّسُولِ بِالرِّسَالَةِ ظَاهِرًا كَمَا قَالَ اللهُ تَعَالَى: ﴿إِذَا جَآءَكَ ٱلۡمُنَـٰفِقُونَ قَالُوا۟ نَشۡهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ ٱللَّهِ ۗ وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ إِنَّكَ لَرَسُولُهُۥ وَٱللَّهُ يَشۡهَدُ إِنَّ ٱلۡمُنَـٰفِقِينَ لَكَـٰذِبُونَ ۝١ ٱتَّخَذُوٓا۟ أَيۡمَـٰنَهُمۡ جُنَّةً﴾ [المنافقون : ۱-۲]. 

Mereka mengucapkan, “laa ilaaha illallaah” dan lahirnya bersaksi akan kerasulan Rasulullah, sebagaimana firman Allah taala, “Jika orang-orang munafik datang kepadamu seraya berkata, ‘Kami bersaksi bahwa engkau adalah benar-benar Rasul Allah.’ Allah mengetahui bahwa engkau benar-benar rasul-Nya dan Allah mengetahui bahwa orang-orang munafik itu benar-benar orang-orang yang berdusta. Mereka menjadikan sumpah-sumpah mereka sebagai tameng.” (QS. Al-Munafiqun: 1-2). 

جُنَّةٌ: يَعۡنِي سِتۡرَةً يَسۡتَتِرُونَ بِهَا، فَالۡمُنَافِقُونَ دَخَلُوا فِي الۡإِسۡلَامِ -لَمَّا رَأَوۡا قُوَّةَ الۡمُسۡلِمِينَ- ظَاهِرًا، وَبَقَوۡا عَلَى الۡكُفۡرِ بَاطِنًا -وَالۡعِيَاذُ بِاللهِ-، وَلِذٰلِكَ جَعَلَهُمُ اللهُ فِي الدَّرۡكِ الۡأَسۡفَلِ مِنَ النَّارِ تَحۡتَ الۡمُشۡرِكِينَ، عَبَدَةِ الۡأَوۡثَانِ، تَحۡتَ الۡمَلَاحِدَةِ، لِعَظِيمِ جُرۡمِهِمۡ وَخِدَاعِهِمۡ وَمَكۡرِهِمۡ ﴿يُخَـٰدِعُونَ ٱللَّهَ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَمَا يَخۡدَعُونَ إِلَّآ أَنفُسَهُمۡ وَمَا يَشۡعُرُونَ﴾ [البقرة: ٩]. 

Tameng yakni penghalang yang mereka bersembunyi dengannya. Orang-orang munafik itu lahirnya masuk ke dalam Islam—ketika mereka melihat kekuatan kaum muslimin—. Adapun batinnya mereka tetap dalam kekafiran. Kita berlindung kepada Allah. Oleh karenanya, Allah menjadikan mereka kelak berada di kerak neraka paling bawah, di bawah orang-orang musyrik, para penyembah patung, di bawah orang-orang mulhid, saking besarnya dosa, tipu daya, dan makar mereka. 

“Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman. Padahal tidak ada yang mereka tipu kecuali diri mereka sendiri dalam keadaan mereka tidak menyadari.” (QS. Al-Baqarah: 9). 

فَالۡمُنَافِقُ يَقُولُ: لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ، وَهُوَ فِي الدَّرۡكِ الۡأَسۡفَلِ مِنَ النَّارِ، فَكَيۡفَ تَقُولُونَ: إِنَّ (لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ) يَكۡفِي مُجَرَّدَ التَّلَفُّظِ بِهَا، وَهَٰؤُلَاءِ الۡمُنَافِقُونَ فِي الدَّرۡكِ الۡأَسۡفَلِ مِنَ النَّارِ، وَهُمۡ يَقُولُونَ: (لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ)؟! فَدَلَّ أَنَّ مُجَرَّدَ النُّطۡقِ بِهَا لَا يَكۡفِي إِلَّا بِاعۡتِقَادِ الۡقَلۡبِ وَعَمَلِ الۡجَوَارِحِ. 

Orang munafik mengatakan “laa ilaaha illallaah”, namun dia kelak berada di kerak neraka paling bawah. Jadi bagaimana kalian mengatakan bahwa “laa ilaaha illallaah” cukup sekadar diucapkan? Sementara orang-orang munafik itu berada di kerak neraka paling bawah dalam keadaan mereka mengucapkan “laa ilaaha illallaah”. Ini menunjukkan bahwa sekadar mengucapkannya tidak cukup kecuali disertai dengan keyakinan hati dan amalan anggota badan. 


[3] الۡمُنَافِقُونَ يُصَلُّونَ وَيَتَصَدَّقُونَ وَيَخۡرُجُونَ لِلۡجِهَادِ مَعَ الرَّسُولِ ﷺ فِي الظَّاهِرِ، وَلَٰكِنَّهُمۡ مُنَافِقُونَ فِي قُلُوبِهِمۡ، وَهُمۡ يَقُولُونَ: (لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ) وَلَمۡ تَنۡفَعۡهُمۡ. 

Orang-orang munafik itu lahirnya juga salat, bersedekah, keluar berjihad bersama Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—, akan tetapi mereka munafik di dalam hati. Mereka mengucapkan “laa ilaaha illallaah” namun ucapan itu tidak bermanfaat untuk mereka.