Cari Blog Ini

Makna Kalimat لا إله إلا الله


سُئِلَ الشَّيۡخُ مُحَمَّدُ بۡنُ عَبۡدِ الۡوَهَّابِ -رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى- عَنۡ مَعۡنَی (لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ)، فَأَجَابَ بِقَوۡلِهِ: اعۡلَمۡ رَحِمَكَ اللهُ تَعَالَى أَنَّ هَٰذِهِ الۡكَلِمَةَ هِيَ الۡفَارِقَةُ بَیۡنَ الۡكُفۡرِ وَالۡإِسۡلَامِ. 

Syekh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab—rahimahullahu ta’ala—ditanya tentang makna kalimat “laa ilaaha illallaah”. Beliau menjawab dengan ucapan beliau: 

Ketahuilah, semoga Allah taala merahmatimu, bahwa kalimat ini merupakan pemisah antara kekufuran dengan Islam.[1]

وَهِيَ كَلِمَةُ التَّقۡوَى، وَهِيَ الۡعُرۡوَةُ الۡوُثۡقَى، وَهِيَ الَّتِي جَعَلَهَا إِبۡرَاهِيمُ عَلَيۡهِ السَّلَامُ بَاقِيةً فِي عَقِبِهِ لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُونَ.

Kalimat ini juga dinamakan kalimat takwa. Kalimat ini dinamakan pula al-‘urwah al-wutsqa (pegangan yang paling kokoh). Kalimat ini adalah yang dijadikan oleh Nabi Ibrahim—‘alaihis salam—sebagai kalimat yang kekal pada keturunannya supaya mereka kembali.[2]


Syekh Shalih bin Fauzan bin 'Abdullah Al-Fauzan hafizhahullah di dalam syarah Tafsir Kalimat Tauhid berkata:

[1] ﷽ 

الۡحَمۡدُ لِلهِ وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصۡحَابِهِ، وَبَعۡدُ: 

Alhamdulillah. Semoga selawat dan salam senantiasa tercurah kepada Rasulullah, keluarga, dan para sahabatnya. Amabakdu: 

كَلِمَةُ (لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ) كَلِمَةٌ عَظِيمَةٌ خَفِيفَةٌ عَلَى اللِّسَانِ وَهِيَ عَظِيمَةٌ فِي الۡمِيزَانِ؛ لِأَنَّهَا فِي الۡحَقِيقَةِ هِيَ مَضۡمُونُ الۡإِسۡلَامِ، وَلَكِنۡ هَٰذِهِ الۡكَلِمَةُ لَيۡسَتۡ مُجَرَّدَ لَفۡظٍ بَلۡ لَهَا مَعۡنًى وَلَهَا مُقۡتَضًی، وَلَهَا أَرۡكَانٌ وَلَهَا شُرُوطٌ لَابُدَّ مِنۡ مَعۡرِفَتِهَا، وَلَوۡ كَانَ الۡقَصۡدُ مُجَرَّدَ التَّلَفُّظِ بِهَا صَارَ كُلُّ مَنۡ يَقُولُهَا مُسۡلِمًا؛ لِأَنَّهُ سَهُلَ أَنۡ يَقُولَ: (لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ) وَيَصِيرُ مُسۡلِمًا وَلَوۡ لَمۡ يَعۡمَلۡ شَيۡئًا، فَهَٰذِهِ كَلِمَةٌ عَظِيمَةٌ وَلَكِنۡ لَهَا مَعۡنًى، وَلَهَا مُقۡتَضًی، وَلَهَا أَرۡكَانٌ، وَلَهَا شُرُوطٌ لَابُدَّ مِنۡ تَحۡقِيقِهَا، وَلِهَٰذَا فَإِنَّهَا لَا تَنۡفَعُ إِلَّا مَعَ وُجُودِ هَٰذِهِ الۡمَذۡكُورَاتِ. 

Kalimat “laa ilaaha illallaah” merupakan kalimat yang agung, yang ringan di lisan namun besar dalam timbangan di hari kiamat. Hakikatnya kalimat ini adalah kandungan Islam, akan tetapi kalimat ini bukan lafaz semata, namun memiliki makna dan konsekuensi. Kalimat ini juga memiliki rukun-rukun dan syarat-syarat yang harus diketahui. Apabila maksudnya sekadar mengucapkannya, niscaya setiap orang yang mengucapkannya menjadi seorang muslim. Amat mudah mengucapkan laa ilaaha illallaah lantas menjadi muslim meskipun dia tidak beramal apapun. Jadi kalimat yang agung ini memiliki makna, konsekuensi, rukun, dan syarat yang harus diwujudkan. Oleh karena ini, kalimat ini tidak bermanfaat kecuali jika dibarengi keberadaan hal-hal yang disebutkan ini. 

وَهَٰذِهِ الۡكَلِمَةُ لَهَا أَسۡمَاءٌ، مِنۡهَا أَنَّهَا كَلِمَةُ الۡإِخۡلَاصِ؛ لِأَنَّهَا تَنۡفِي الشِّرۡكَ بِاللهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَتُثۡبِتُ الۡعِبَادَةَ لِلهِ عَزَّ وَجَلَّ، لِذٰلِكَ سُمِّيَتۡ كَلِمَةَ الۡإِخۡلَاصِ، أَيۡ: إِخۡلَاصُ التَّوۡحِيدِ، وَإِخۡلَاصُ الۡعِبَادَةِ، وَتَجَنُّبُ الشِّرۡكِ بِاللهِ عَزَّ وَجَلَّ. 

Kalimat ini memiliki beberapa nama. Di antara namanya adalah kalimat ikhlas karena kalimat ini menafikan kesyirikan kepada Allah—‘azza wa jalla—dan menetapkan ibadah untuk Allah—‘azza wa jalla—. Karena itu, kalimat ini dinamakan kalimat ikhlas yang maksudnya memurnikan tauhid, memurnikan ibadah, dan menjauhkan kesyirikan kepada Allah—‘azza wa jalla. 

وَتُسَمَّى كَلِمَةَ التَّقۡوَى، كَمَا قَالَ تَعَالَى: ﴿إِذۡ جَعَلَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ فِى قُلُوبِهِمُ ٱلۡحَمِيَّةَ حَمِيَّةَ ٱلۡجَـٰهِلِيَّةِ فَأَنزَلَ ٱللَّهُ سَكِينَتَهُۥ عَلَىٰ رَسُولِهِۦ وَعَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ وَأَلۡزَمَهُمۡ كَلِمَةَ ٱلتَّقۡوَىٰ وَكَانُوٓا۟ أَحَقَّ بِهَا وَأَهۡلَهَا ۚ وَكَانَ ٱللَّهُ بِكُلِّ شَىۡءٍ عَلِيمًا﴾ [الفتح: ٢٦]، 

Dinamakan pula dengan kalimat takwa. Sebagaimana firman Allah taala, “Ketika orang-orang kafir menanamkan kesombongan di dalam hati mereka. Yaitu kesombongan jahiliah. Lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman. Allah mewajibkan kalimat takwa untuk mereka. Mereka adalah orang yang paling berhak terhadap kalimat itu dan patut memilikinya. Dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Fath: 29). 

وَكَلِمَةُ التَّقۡوَى، هِيَ : (لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ) لِأَنَّهَا تَقِيَ مَنۡ قَالَهَا مُخۡلِصًا لِلهِ عَزَّ وَجَلَّ تَقِيَهُ مِنَ النَّارِ؛ وَلِأَنَّهَا تَقۡتَضِي أَعۡمَالَ الۡبِرِّ؛ لِأَنَّ التَّقۡوَى هِيَ أَعۡمَالُ الۡبِرِّ وَالطَّاعَاتِ، هَٰذِهِ الۡكَلِمَةُ تَقۡتَضِي كُلَّ أَعۡمَالِ الۡبِرِّ وَالطَّاعَةِ، فَهِيَ كَلِمَةُ التَّقۡوَى. 

Kalimat takwa adalah “laa ilaaha illallaah”, karena kalimat ini melindungi orang yang mengucapkannya dengan ikhlas untuk Allah—‘azza wa jalla—dari neraka. Juga karena kalimat ini menuntut adanya amalan-amalan kebajikan. Takwa adalah amalan-amalan kebajikan dan ketaatan. Kalimat ini menuntut setiap amalan kebajikan dan ketaatan. Jadi dia adalah kalimat takwa. 

وَأَيۡضًا هِيَ الۡعُرۡوَةُ الۡوُثۡقَى، كَمَا قَالَ تَعَالَى: ﴿فَمَن يَكۡفُرۡ بِٱلطَّـٰغُوتِ وَيُؤۡمِنۢ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱسۡتَمۡسَكَ بِٱلۡعُرۡوَةِ ٱلۡوُثۡقَىٰ لَا ٱنفِصَامَ لَهَا ۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ﴾ [البقرة: ٢٥٦]. 

(یَکۡفُرۡ بِالطَّاغُوتِ، وَيُؤۡمِنۡ بِاللهِ) هَٰذَا هُوَ مَعۡنَی (لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ)، أَنَّهُ يَكۡفُرُ بِالطَّاغُوتِ هَٰذَا هُوَ مَعۡنَی (لَا إِلَٰهَ)، وَيُؤۡمِنُ بِاللهِ هَٰذَا هُوَ مَعۡنَى (إِلَّا اللهُ) فَمَعۡنَی يَكۡفُرُ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤۡمِنُ بِاللهِ هُوَ مُقۡتَضَی (لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ) وَلِذٰلِكَ سُمِّيَتۡ الۡعُرۡوَةَ الۡوُثۡقَی. 

Kalimat ini juga disebut al-‘urwah al-wutsqa (pegangan yang paling kokoh), sebagaimana Allah taala berfirman, “Maka barang siapa yang kufur terhadap tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh dia telah berpegang dengan pegangan yang paling kokoh yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 256). 

Kufur terhadap tagut dan beriman kepada Allah merupakan makna kalimat “laa ilaaha illallaah”. Kufur terhadap tagut-tagut adalah makna “laa ilaaha”. Beriman kepada Allah adalah makna “illallaah”. Jadi makna kufur terhadap tagut dan beriman kepada Allah adalah konsekuensi “laa ilaaha illallaah”. Karena itulah kalimat ini dinamakan al-‘urwah al-wutsqa. 

وَأَيۡضًا هِيَ كَمَا قَالَ الشَّيۡخُ: الۡفَارِقَةُ بَيۡنَ الۡكُفۡرِ وَالۡإِسۡلَامِ، فَمَنۡ قَالَهَا عَالِمًا بِمَعۡنَاهَا، عَامِلًا بِمُقۡتَضَاهَا صَارَ مُسۡلِمًا، وَمَنۡ أَبَی أَنۡ يَقُولَهَا، أَوۡ قَالَهَا وَلَكِنۡ لَمۡ يَعۡلَمۡ مَعۡنَاهَا، أَوۡ قَالَهَا وَلَمۡ يَعۡمَلۡ بِمُقۡتَضَاهَا، لَمۡ يَكُنۡ مُسۡلِمًا حَتَّى يَعۡرِفَ مَعۡنَاهَا وَيَعۡمَلَ بِمُقۡتَضَاهَا ظَاهِرًا وَبَاطِنًا. 

Dinamakan pula sebagaimana syekh katakan “pemisah antara kekufuran dengan keislaman”. Siapa saja yang mengucapkan dalam keadaan mengilmui maknanya dan mengamalkan konsekuensinya, maka jadilah dia seorang muslim. Siapa saja yang enggan mengucapkannya atau dia mengucapkannya namun tidak mengerti maknanya atau dia mengucapkannya namun tidak mengamalkan konsekuensinya, maka dia tidak menjadi muslim sampai dia mengerti maknanya dan mengamalkan konsekuensinya secara lahir dan batin. 

هَٰذِهِ أَسۡمَاءٌ لِـ(لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ): كَلِمَةُ الۡإِخۡلَاصِ، كَلِمَةُ التَّقۡوَی، الۡعُرۡوَةُ الۡوُثۡقَی، الۡكَلِمَةُ الۡفَاصِلَةُ بَيۡنَ الۡكُفۡرِ وَالۡإِسۡلَامِ؛ لِأَنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَا يَهۡتَمُّونَ بِمُقۡتَضَى هَٰذِهِ الۡكَلِمَةِ، مَعَ أَنَّهُمۡ يُكۡثِرُونَ مِنَ النُّطۡقِ بِهَا وَذِكۡرِ اللهِ بِهَا كَالصُّوفِيَّةِ، 

Ini adalah nama-nama kalimat “laa ilaaha illallaah”: kalimat ikhlas, kalimat takwa, al-‘urwah al-wutsqa, dan kalimat pemisah antara kekufuran dan keislaman. Karena kebanyakan orang tidak memperhatikan konsekuensi kalimat ini. Mereka banyak mengucapkannya dan berzikir kepada Allah dengan kalimat tersebut seperti kelompok sufi. 

فَلَهُمۡ أَوۡرَادٌ صَبَاحِيَّةٌ وَمَسَائِيَّةٌ فِيهَا (لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ) آلَافَ الۡمَرَّاتِ، وَلَٰكِنَّهُمۡ يَدۡعُونَ غَيۡرَ اللهِ، فَهِيَ لَا تُفِيدُهُمۡ شَيۡئًا؛ لِأَنَّهُمۡ لَمۡ يَعۡمَلُوا بِمُقۡتَضَاهَا، فَهُمۡ يَقُولُونَهَا، وَيَقۡرَءُونَهَا فِي أَوۡرَادِهِمۡ وَيُكَرِّرُونَهَا، وَلَكِنۡ يَدۡعُونَ الۡمَوۡتَى، وَيَسۡتَغِيثُونَ بِالۡمَقۡبُورِينَ، وَيُطِيعُونَ مَشَايِخَ الطُّرُقِ الَّذِينَ يُشَرِّعُونَ لَهُمۡ عِبَادَاتٍ لَمۡ يَشۡرَعۡهَا اللهُ وَلَا رَسُولُهُ، 

Mereka memiliki amaliah zikir pagi dan sore yang ada kalimat “laa ilaaha illallaah” sebanyak seribu kali. Akan tetapi mereka berdoa kepada selain Allah. Kalimat itu tidak memberi faedah sedikit pun kepada mereka karena mereka tidak mengamalkan konsekuensinya. Mereka mengucapkannya dan membacanya dalam wirid-wirid mereka dengan mengulang-ulangnya. Akan tetapi mereka berdoa kepada orang yang sudah mati, beristigasah kepada orang-orang yang sudah dikubur, dan mereka menaati syekh-syekh tarekat yang mensyariatkan kepada mereka ibadah-ibadah yang tidak disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya. 

فَلَا يَتَلَقَّوۡنَ التَّشۡرِيعَ عَنِ الرَّسُولِ ﷺ، وَإِنَّمَا يَتَلَقَّوۡنَهُ عَنۡ مَشَايِخِهِمۡ، فَهَٰؤُلَاءِ يُكۡثِرُونَ النُّطۡقَ بِـ(لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ) صَبَاحًا وَمَسَاءً وَلَا يُغۡنِي عَنۡهُمۡ نُطۡقُهُمۡ بِهَا شَيۡئًا، وَلَا يُفِيدُهُمۡ شَيۡئًا. 

Jadi mereka tidak menerima penyampaian syariat dari Rasulullah. Mereka menerimanya dari syekh-syekh mereka, padahal mereka sering mengucapkan “laa ilaaha illallaah” di pagi dan sore hari. Namun ucapan mereka itu tidak berguna dan tidak berfaedah untuk mereka. 

وَمِنَ الصُّوفِيَّةِ مَنۡ لَا يَنۡطِقُ بِهَا كَامِلَةً، وَهَٰؤُلَاءِ بِزَعۡمِهِمۡ أَنَّهُمۡ صَارُوا خَوَاصَ الۡخَوَاصِ، لَا يَقُولُونَ: لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ، بَلۡ يَقُولُونَ: اللهُ اللهُ، هَٰذَا ذِكۡرُهُمۡ، يُرَدِّدُونَ: اللهُ اللهُ اللهُ، مَعَ أَنَّهُ لَابُدَّ أَنۡ تَأۡتِيَ بِجُمۡلَةٍ مُفِيدَةٍ، أَمَّا اللهُ اللهُ، فَهُوَ اسۡمٌ مُجَرَّدٌ فَهُوَ لَا يُفِيدُ شَيۡئًا، وَبَعۡضُهُمۡ لَا يَقُولُ لَفۡظَ الۡجَلَالَةِ بَلۡ يَقُولُ: هُوَ هُوَ هُوَ، 

Sebagian kelompok sufi itu ada yang tidak mengucapkannya dengan lengkap. Menurut sangkaan mereka, mereka sudah menjadi orang-orang yang paling khusus. Mereka tidak mengatakan “laa ilaaha illallaah”, namun hanya mengatakan, “Allah Allah.” Ini bentuk zikir mereka. Mereka mengulang-ulang, “Allah Allah Allah.” Padahal seharusnya dia mengatakan suatu kalimat yang berfaedah. Adapun “Allah Allah”, maka dia hanya menyebut nama. Dia tidak menyebutkan zikir atau doa yang lengkap sehingga tidak memberi faedah apa-apa. Sebagian mereka bahkan tidak menyebutkan lafzh al-jalalah, namun hanya mengucapkan, “Huwa huwa huwa (Dia Dia Dia).” 

ضَمِيرٌ غَائِبٌ، وَهَٰذَا لَا يُفِيدُ شَيۡئًا، لِأَنَّهُ تَلَاعُبٌ بِهَٰذِهِ الۡكَلِمَةِ، فَيَجِبُ التَّنَبُّهُ لِهَٰذِهِ الۡأُمُورِ؛ لِأَنَّ الشَّيۡطَانَ لَمَّا عَلِمَ أَنَّ هَٰذِهِ الۡكَلِمَةَ هِيَ كَلِمَةُ الۡإِسۡلَامِ، وَكَانَ عِنۡدَ النَّاسِ رَغۡبَةٌ فِي النُّطۡقِ بِهَا وَالذِّكۡرِ بِهَا، صَرَفَهُمۡ عَنۡهَا بِهَٰذِهِ الۡحِيَلِ، وَأَتَی لَهُمۡ بِهَٰذِهِ الۡوَسَاوِسِ، وَقَالَ 

لَهُمۡ: قُولُوا: اللهُ اللهُ، أَوۡ قُولُوا: هُوَ هُوَ، وَبَعۡضُهُمۡ لَا يَتَلَفَّظُ لَا بِاللهِ وَلَا بِهُوَ، وَإِنَّمَا يَقُولَهَا بِقَلۡبِهِ فَقَطۡ، كُلُّ هَٰذَا تَلَاعُبٌ مِنَ الشَّيۡطَانِ، فَيَجِبُ التَّنَبُّهُ لِهَٰذَا. 

Yaitu dhamir ghaib. Inipun tidak memberi faedah apa-apa karena dia mempermainkan kalimat ini. Jadi wajib memperhatikan perkara ini karena ketika setan tahu bahwa kalimat ini adalah kalimat keislaman dan orang-orang senang untuk mengucapkannya dan berzikir dengannya, maka dia berusaha memalingkan dari kalimat ini dengan trik-trik ini. Setan menyusupkan bisikan-bisikan ini kepada mereka. Dia berkata kepada mereka: Ucapkanlah, “Allah Allah.” Atau ucapkan, “Huwa huwa.” Sebagian mereka tidak melafazkan. Tidak dengan lafaz Allah, tidak pula huwa. Mereka hanya mengatakan di dalam hati. Semua ini adalah sikap mempermainkan yang berasal dari setan sehingga wajib untuk waspada darinya. 

وَمِنَ النَّاسِ مَنۡ يُغۡفِلُهُ الشَّيۡطَانُ عَنۡ قَوۡلِ: (لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ)، فَلَا يَقُولَهَا إِلَّا نَادِرًا، وَلَا يَذۡكُرُ اللهَ بِهَا إِلَّا قَلِيلًا وَلَا يُكَرِّرُهَا مَعَ أَنَّهَا ثَقِيلَةٌ فِي الۡمِيزَانِ، كَمَا جَاءَ فِي (كِتَابِ التَّوۡحِيدِ) أَنَّهَا لَوۡ وُضِعَتۡ فِي كِفَّةٍ، وَوُضِعَتِ السَّمَوَاتُ وَمَنۡ فِيهَا غَيۡرُ اللهِ وَالۡأَرۡضُ وَمَنۡ فِيهَا فِي كِفَّةٍ لَمَالَتۡ بِهِنَّ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ، فَهِيَ تَثۡقُلُ بِمَنۡ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنۡ فِيهَا غَيۡرِ اللهِ وَالۡأَرۡضِ وَبِمَنۡ فِيهَا، فَهِيَ كَلِمَةٌ عَظِيمَةٌ، وَلَكِنۡ قَلَّ مَنۡ يَتَنَّبَهُ لَهَا وَيَسۡتَحۡضِرُهَا، وَيُعَوِّدُ لِسَانَهُ عَلَى النُّطۡقِ بِهَا وَتِكۡرَارِهَا، إِلَّا مَنۡ وَفَّقَهُ اللهُ سُبۡحَانَهُ وَتَعَالَى. 

Sebagian orang ada yang dilalaikan oleh setan dari ucapan, “laa ilaaha illallaah.” Sehingga dia jarang mengucapkannya. Dia tidak berzikir kepada Allah dengannya kecuali sedikit. Dia pun tidak mengulang-ulangnya padahal kalimat itu berat di timbangan. Sebagaimana riwayat yang disebutkan dalam Kitab At-Tauhid bahwa andai kalimat ini diletakkan di satu daun timbangan, lalu langit-langit beserta isinya—selain Allah—dan bumi seisinya diletakkan di daun timbangan satunya, niscaya kalimat “laa ilaaha illallaah” akan mengalahkannya. Jadi kalimat tersebut lebih berat daripada segala apa yang ada di langit selain Allah dan bumi seisinya. Jadi ini adalah kalimat yang sangat agung. Akan tetapi sedikit orang yang menyadarinya, memusatkan perhatian, dan membiasakan lisannya untuk mengucapkannya dan mengulang-ulanginya kecuali siapa saja yang diberi taufik oleh Allah—subhanahu wa ta’ala. 


[2] وَهَٰذِهِ الۡكَلِمَةُ (لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ) هِيَ الَّتِي عَنَاهَا إِبۡرَاهِيمُ عَلَيۡهِ السَّلَامُ فِي قَوۡلِهِ : ﴿إِنَّنِى بَرَآءٌ مِّمَّا تَعۡبُدُونَ ۝٢٦ إِلَّا ٱلَّذِى فَطَرَنِى﴾ [الزخرف: ٢٦-٢٧] هَٰذَا هُوَ مَعۡنَى (لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ)، ﴿إِنَّنِى بَرَآءٌ﴾ هَٰذَا مَعۡنَى النَّفۡيِ (لَا إِلَٰهَ)، ﴿إِلَّا ٱلَّذِى فَطَرَنِى﴾ هَٰذَا مَعۡنَى الۡإِثۡبَاتِ (إِلَّا اللهُ) ﴿وَجَعَلَهَا﴾ أَيۡ : إِبۡرَاهِيمُ -عَلَيۡهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ- جَعَلَ هَٰذِهِ الۡكَلِمَةَ ﴿كَلِمَةًۢ بَاقِيَةً فِى عَقِبِهِۦ﴾ فِي ذُرِّيَّتِهِ، فَلَا يَزَالُ فِيهِمۡ مَنۡ يَقُولُ: (لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ) لَمۡ يَتۡرُكُوهَا كُلُّهُمۡ، وَلَمۡ يُشۡرِكُوا كُلُّهُمۡ، بَلۡ فِيهِمۡ مَنۡ قَالَهَا وَاسۡتَقَامَ عَلَيۡهَا، وَلَوۡ كَانَ عَدَدًا قَلِيلًا أَوۡ أَفۡرَادًا، فَلَمَّا بُعِثَ مُحَمَّدٌ ﷺ، بُعِثَ بِهَٰذِهِ الۡكَلِمَةِ، قَالَ ﷺ: (أُمِرۡتُ أَنۡ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوا: لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ؛ فَإِذَا قَالُوهَا عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمۡ وَأَمۡوَالَهُمۡ إِلَّا بِحَقِّهَا وَحِسَابُهُمۡ عَلَى اللهِ). 

Kalimat “laa ilaaha illallaah” ini adalah kalimat yang dimaksud oleh Nabi Ibrahim—‘alaihis salam—dalam ucapannya, “Sesungguhnya aku berlepas diri dari semua apa yang kalian sembah kecuali yang telah menciptakanku.” (QS. Az-Zukhruf: 26-27). Ini adalah makna “laa ilaaha illallaah”. “Sesungguhnya aku berlepas diri” adalah makna nafi pada potongan kalimat “laa ilaaha”. “Kecuali yang telah menciptakanku” ini adalah makna isbat dari potongan kalimat “illallaah”. “Beliau menjadikannya” artinya Nabi Ibrahim—‘alaihish shalatu was salam—menjadikan kalimat ini sebagai “kalimat yang kekal pada keturunannya”. Maka, akan senantiasa ada di tengah keturunan beliau, orang yang mengucapkan, “laa ilaaha illallaah.” Mereka tidak semuanya akan meninggalkan kalimat ini. Mereka tidak semuanya akan berbuat syirik. Namun, di tengah mereka ada yang mengucapkannya dan istikamah walaupun jumlahnya hanya sedikit atau beberapa orang saja. Ketika Nabi Muhammad—shallallahu ‘alaihi wa sallam—diutus, beliau diutus dengan kalimat ini. Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam—bersabda, “Aku diperintah untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan ‘laa ilaaha illallaah’. Apabila mereka telah mengucapkannya, maka darah dan harta mereka terlindungi dariku kecuali dengan haknya. Adapun perhitungan mereka diserahkan kepada Allah.” 

فَالرَّسُولُ بُعِثَ بِـ (لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ) وَهِيَ الۡكَلِمَةُ الَّتِي جَعَلَهَا جَدُّهُ إِبۡرَاهِيمُ –عَلَيۡهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ- بَاقِيَةً فِي عَقِبِهِ، وَكَانَ مُحَمَّدٌ ﷺ مِنۡ عَقِبِ إِبۡرَاهِيمَ، وَبَعَثَهُ اللهُ بِهَا يَدۡعُو النَّاسَ إِلَيۡهَا وَيُقَاتِلُهُمۡ عَلَيۡهَا، فَهِيَ كَلِمَةٌ عَظِيمَةٌ، ﴿لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُونَ﴾ أَيۡ: يَرۡجِعُونَ إِلَيۡهَا، وَبِبِعۡثَةِ مُحَمَّدٍ ﷺ رَجَعَ إِلَيۡهَا الۡكَثِيرُ مِنۡ ذُرِّيَّةِ إِبۡرَاهِيمَ، فَالرَّسُولُ ﷺ بُعِثَ بِهَٰذِهِ الۡكَلِمَةِ وَالدَّعۡوَةِ إِلَيۡهَا وَتَحۡقِيقِهَا وَالۡعَمَلِ بِهَا، بَلۡ إِنَّ كُلَّ الرُّسُلِ بُعِثُوا بِهَا، قَالَ تَعَالَى: ﴿وَلَقَدۡ بَعَثۡنَا فِى كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولًا أَنِ ٱعۡبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَٱجۡتَنِبُوا۟ ٱلطَّـٰغُوتَۖ﴾ [النحل: ٣٦]. 

Jadi Rasulullah diutus dengan kalimat “laa ilaaha illallaah”. Itu adalah kalimat yang oleh kakek moyang beliau Ibrahim—‘alaihish shalatu was salam—dijadikan sebagai kalimat yang kekal pada keturunannya. Nabi Muhammad—shallallahu ‘alaihi wa sallam—adalah termasuk keturunan Nabi Ibrahim. Allah mengutus beliau untuk mengajak manusia kepada kalimat tersebut dan memerangi mereka atas dasar kalimat tersebut. Ini adalah kalimat yang agung. 

“Agar mereka kembali.” Yakni agar mereka kembali kepada kalimat tersebut. Dengan diutusnya Nabi Muhammad—shallallahu ‘alaihi wa sallam—, banyak dari keturunan Nabi Ibrahim kembali kepada kalimat tersebut. Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—diutus dengan kalimat ini, agar mengajak kepadanya, mewujudkannya, dan mengamalkannya. 

Bahkan sesungguhnya seluruh rasul diutus dengan kalimat ini. Allah taala berfirman, “Sungguh Kami telah utus rasul pada setiap umat yang menyeru: Sembahlah Allah dan jauhilah tagut!” (QS. An-Nahl: 36). 

هَٰذَا مَعۡنَى (لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ) ﴿ٱعۡبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَٱجۡتَنِبُوا۟ ٱلطَّـٰغُوتَۖ﴾ هَٰذَا مَعۡنَى النَّفۡيِ وَالۡإِثۡبَاتِ ﴿وَمَآ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِىٓ إِلَيۡهِ أَنَّهُۥ لَآ إِلَـٰهَ إِلَّآ أَنَا۠ فَٱعۡبُدُونِ﴾ [الأنبياء: ٢٥]، ﴿يُنَزِّلُ ٱلۡمَلَـٰٓئِكَةَ بِٱلرُّوحِ مِنۡ أَمۡرِهِۦ عَلَىٰ مَن يَشَآءُ مِنۡ عِبَادِهِۦٓ﴾ الۡأَنۡبِيَاءِ وَالرُّسُلِ ﴿أَنۡ أَنذِرُوٓا۟ أَنَّهُۥ لَآ إِلَـٰهَ إِلَّآ أَنَا۠ فَٱتَّقُونِ﴾ [النحل: ٢]. 

Ini adalah makna laa ilaaha illallaah, yaitu “sembahlah Allah dan jauhilah tagut!” Ini makna nafi (peniadaan) dan isbat (penetapan). 

“Tidaklah Kami mengutus seorang rasul pun sebelummu kecuali Kami telah wahyukan kepadanya bahwa: Tidak ada sesembahan yang benar kecuali Aku, maka sembahlah Aku!” (QS. Al-Anbiya`: 25). 

“Dia menurunkan malaikat membawa wahyu dengan perintah-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya,” yaitu para nabi dan rasul, “agar peringatkan oleh kalian bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Aku, maka bertakwalah kalian kepadaku!” (QS. An-Nahl: 2). 

كُلُّ الرُّسُلِ بُعِثُوا بِـ (لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ)، وَلَكِنۡ إِبۡرَاهِيمُ -عَلَيۡهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ- جَعَلَهَا كَلِمَةً بَاقِيَةً فِي عَقِبِهِ إِلَى أَنۡ تَقُومَ السَّاعَةُ، وَلَا يَزَالُ فِي ذُرِّيَّةِ إِبۡرَاهِيمَ مَنۡ يَتَوَارَثُ هَٰذِهِ الۡكَلِمَةَ عِلۡمًا وَعَمَلًا وَتَحۡقِيقًا، وَإِنۡ أَعۡرَضَ عَنۡهَا الۡأَكۡثَرُونُ. 

Setiap rasul diutus dengan laa ilaaha illallaah. Akan tetapi Nabi Ibrahim—‘alaihish shalatu was salam—menjadikan kalimat tersebut sebagai sebuah kalimat yang tetap ada pada keturunan beliau hingga hari kiamat. Akan senantiasa ada pada keturunan Ibrahim, orang yang saling mewarisi kalimat ini secara ilmu, amal, dan realisasi, walaupun mayoritas orang berpaling darinya.