Syekh Muhammad bin 'Abdul Wahhab--rahimahullah--di dalam
Tafsir Kalimat Tauhid berkata:
وَلَكِنَّ الۡمُرَادَ قَوۡلُهَا مَعَ مَعۡرِفَتِهَا بِالۡقَلۡبِ،
وَمَحَبَّتِهَا وَمَحَبَّةِ أَهۡلِهَا وَبُغۡضِ مَنۡ خَالَفَهَا
وَمُعَادَاتِهِ.
Akan tetapi yang dimaukan adalah mengucapkannya disertai memahaminya dalam
hati, mencintainya dan mencintai orang-orang yang bertauhid, serta membenci
dan memusuhi orang-orang yang menyelisihi kalimat tersebut.[1]
كَمَا قَالَ النَّبِيُّ ﷺ: (مَنۡ قَالَ: لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ،
مُخۡلِصًا)، وَفِي رِوَايَةٍ: (خَالِصًا مِنۡ قَلۡبِهِ)، وَفِي رِوَايَةٍ:
(صَادِقًا مِنۡ قَلۡبِهِ) وَفِي حَدِيثٍ آخَرَ: (مَنۡ قَالَ: لَا إِلَٰهَ
إِلَّا اللهُ، وَكَفَرَ بِمَا يُعۡبَدُ مِنۡ دُونِ اللهِ).
إِلَى غَيۡرِ ذٰلِكَ مِنَ الۡأَحَادِيثِ الدَّالَّةِ عَلَى جَهَالَةِ أَكۡثَرِ
النَّاسِ بِهَٰذِهِ الشَّهَادَةِ.
Sebagaimana sabda Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—, “Siapa saja yang
mengucapkan, ‘laa ilaaha illallaah’ dengan ikhlas.” Dalam riwayat lain,
“dengan ikhlas dari hatinya.” Dalam riwayat lain, “dengan jujur dari hatinya.”
Dalam hadis yang lain, “Siapa saja yang mengucapkan, ‘laa ilaaha illallaah’
dan mengingkari segala yang disembah selain Allah.”[2]
Serta hadis-hadis selain itu yang menunjukkan betapa banyak orang yang tidak
mengerti apa yang dimaukan dari persaksian ini.[3]
Syekh Shalih bin Fauzan bin 'Abdullah Al-Fauzan--hafizhahullah--di
dalam syarahnya berkata:
[1]
الۡمُرَادُ مِنۡ (لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ): قَوۡلُهَا بِاللِّسَانِ مَعَ
اعۡتِقَادِ الۡقَلۡبِ بِهَا، وَالۡعَمَلُ بِمُقۡتَضَاهَا، وَمُوَالَاةُ
أَهۡلِهَا وَمُعَادَاةُ مَنۡ خَالَفَهَا، وَهَٰذَا هُوَ الۡحُبُّ فِي اللهِ،
وَالۡبُغۡضُ فِي اللهِ، هَٰذِهِ كُلُّهَا مِنۡ مُقۡتَضَی (لَا إِلَٰهَ إِلَّا
اللهُ) وَلِهَٰذَا قَالُوا: (لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ) لَهَا سَبۡعَةُ
شُرُوطٍ، نَظَمَهَا بَعۡضُ الۡعُلَمَاءِ بِقَوۡلِهِ:
عِلۡمٌ يَقِينٌ وَإِخۡلَاصٌ وَصِدۡقُكَ مَعَ مَحَبَّةٍ وَانۡقِيَادٍ
وَالۡقَبُولِ لَهَا
Yang dimaukan dari kalimat “laa ilaaha illallaah” adalah agar seseorang
mengucapkannya dengan lisan serta meyakininya dengan hati dan mengamalkan
konsekuensinya. Juga mencintai orang yang menjunjung tinggi kalimat tersebut
dan memusuhi orang yang menyelisihinya. Inilah cinta karena Allah dan benci
karena Allah. Ini semua termasuk konsekuensi kalimat “laa ilaaha
illallaah”.
Karena itu, para ulama mengatakan bahwa kalimat “laa ilaaha illallaah”
memiliki tujuh syarat yang terangkai dalam bait syair yang digubah oleh
sebagian ulama dengan ucapannya, “عِلۡمٌ يَقِينٌ وَإِخۡلَاصٌ وَصِدۡقُكَ مَعَ
مَحَبَّةٍ وَانۡقِيَادٍ وَالۡقَبُولِ لَهَا (Ilmu, yakin, ikhlas, jujur, cinta,
tunduk, dan menerima).”
زَادَ الشَّيۡخُ سَعۡدُ بۡنُ عَتِيقٍ رَحِمَهُ اللهُ شَرۡطًا ثَامِنًا
فَقَالَ:
وَزِیدَ ثَامِنُهَا الۡكُفۡرَانُ مِنۡكَ بِمَا سِوَى الۡإِلَٰهِ مِنَ
الۡأَشۡيَاءِ قَدۡ أُلِّهَا
Syekh Sa’d bin ‘Atiq—rahimahullah—menambahkan dengan mengatakan, “Ditambah
yang kedelapan, yaitu engkau mengingkari segala sesuatu yang disembah selain
Allah.”
وَرُکۡنَا (لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ) هُمَا النَّفۡيُ وَالۡإِثۡبَاتُ، فَلَا
يَكۡفِي النَّفۡيُ، وَلَا يَكۡفِي الۡإِثۡبَاتُ، بَلۡ لَابُدَّ مِنَ
الۡاِثۡنَيۡنِ.
Dua rukun “laa ilaaha illallaah” adalah nafi/peniadaan dan isbat/penetapan.
Nafi saja tidak cukup, begitu pula isbat saja tidak cukup. Kedua rukun
tersebut harus terpenuhi.
[2]
(مَنۡ قَالَ: لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ مُخۡلِصًا) هَٰذَا قَيۡدٌ، لَمۡ
يَقۡتَصِرۡ عَلَى قَوۡلِهِ: (مَنۡ قَالَ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ) بَلۡ قَالَ:
(مُخۡلِصًا مِنۡ قَلۡبِهِ)، لَا يَكۡفِي أَنَّهُ يَقُولُ: (لَا إِلَٰهَ إِلَّا
اللهُ) حَتَّى يَكُونَ ذٰلِكَ خَالِصًا مِنۡ قَلۡبِهِ؛ لِئَلَّا يَكُونَ مِنَ
الۡمُنَافِقِينَ الَّذِينَ يَقُولُونَهَا بِأَلۡسِنَتِهِمۡ وَلَٰكِنۡ لَا
يَقُولُونَهَا بِقُلُوبِهِمۡ.
“Siapa saja yang mengucapkan, ‘laa ilaaha illallaah’ dengan ikhlas.” Hadis ini
membatasi. Tidak cukup pada sabda beliau, “Siapa saja yang mengucapkan, ‘laa
ilaaha illallaah’”, namun beliau melanjutkan, “dengan ikhlas dari hatinya.”
Tidak cukup dia mengucapkan, “laa ilaaha illallaah”, sampai ucapan itu
terdorong oleh rasa ikhlas dari hatinya sehingga dia tidak termasuk
orang-orang munafik yang mengucapkan kalimat tersebut dengan lisan tetapi
tidak mengucapkannya dari hati.
وَ(مَنۡ قَالَ: لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ، وَكَفَرَ بِمَا عُبِدَ مِنۡ دُونِ
اللهِ) هَٰذَا قَيۡدٌ عَظِيمٌ وَهُوَ قَوۡلُهُ: (وَکَفَرَ بِمَا عُبِدَ مِنۡ
دُونِ اللهِ، لِأَنَّ كَثِيرًا يَقُولُونَ: (لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ) وَلَا
يَتۡرُكُونَ عِبَادَةَ الۡقُبُورِ، وَدُعَاءَ الۡأَمۡوَاتِ، وَالۡاِسۡتِغَاثَةَ
بِهِمۡ، وَطَلَبَ الۡحَاجَاتِ مِنۡ غَيۡرِ اللهِ، هَٰؤُلَاءِ لَا تَنۡفَعُهُمۡ
(لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ)؛ لِأَنَّهُمۡ لَمۡ يَكۡفُرُوا بِمَا يُعۡبَدُ مِنۡ
دُونِ اللهِ.
Dan hadis “Siapa saja yang mengucapkan ‘laa ilaaha illallaah’ dan mengingkari
segala yang disembah selain Allah.” Ini adalah batasan yang agung, yakni sabda
beliau, “dan mengingkari segala yang disembah selain Allah.” Karena banyak
orang mengatakan “laa ilaaha illallaah”, namun tidak meninggalkan peribadahan
kepada kuburan, berdoa kepada orang-orang yang sudah mati, beristigasah kepada
mereka, meminta kebutuhan dari selain Allah. Kalimat “laa ilaaha illallaah”
tidak bermanfaat untuk mereka karena mereka tidak mengingkari sesembahan
selain Allah.
[3]
أَكۡثَرُ النَّاسِ يَجۡهَلُونَ هَٰذِهِ الشَّهَادَةَ يَحۡسَبُونَهَا مُجَرَّدَ
لَفۡظٍ يُقَالُ بِاللِّسَانِ، وَكَثِيرٌ مِنَ الۡعُلَمَاءِ لَا يَفۡهَمُونَ
مَعۡنَى (لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ) وَهُمۡ عُلَمَاءُ الۡفِقۡهِ، عُلَمَاءُ فِي
النَّحۡوِ، عُلَمَاءُ فِي الۡحَدِيثِ، وَلَكِنۡ أَكۡثَرُهُمۡ لَيۡسَ لَهُ
عِنَايَةٌ بِالتَّوۡحِيدِ، أَوۡ يَتَعَلَّمُ عَقِيدَةَ الۡأَشَاعِرَةِ
وَعُلَمَاءِ الۡكَلَامِ، الَّتِي تَقۡتَصِرُ عَلَى تَوۡحِيدِ
الرُّبُوبِيَّةِ.
Banyak orang tidak mengerti syahadat ini. Mereka menyangkanya hanya untuk
diucapkan dengan lisan. Begitu pula, banyak di antara ulama yang tidak
memahami makna “laa ilaaha illallaah” padahal mereka adalah ulama di bidang
fikih, ulama dalam bidang nahwu, ulama dalam bidang hadis. Akan tetapi banyak
dari mereka yang tidak memiliki perhatian dengan tauhid, atau dia mempelajari
akidah pengikut pemahaman Asy’ariyyah dan ulama ahli kalam yang hanya
mencukupkan diri dengan tauhid rububiyyah.
وَيَقُولُونَ: (لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ) وَيُفَسِّرُونَهَا: لَا خَالِقَ
إِلَّا اللهُ، لَا يُقَدِّرُ عَلَى الۡاِخۡتِرَاعِ إِلَّا اللهُ، هَٰذَا
تَفۡسِيرُهُمۡ لَهَا، فَهُمۡ لَا يَتَعَدُّونَ تَوۡحِیدَ الرُّبُوبِيَّةِ،
وَيُفَسِّرُونَ (لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ) بِمَا لَا يَزِيدُ عَنۡ تَوۡحِيدِ
الرُّبُوبِيَّةِ، وَلَا يَتَعَرَّضُونَ لِتَوۡحِيدِ الۡأُلُوهِيَّةِ الَّذِي
هُوَ مَطۡلُوبٌ لِـ(لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ).
Mereka mengatakan “laa ilaaha illallaah” dan menafsirkannya: tidak ada
pencipta kecuali Allah, tidak ada yang mampu membuat sesuatu yang baru kecuali
Allah. Ini tafsir mereka terhadap kalimat tersebut. Jadi tafsir mereka hanya
dalam lingkup tauhid rububiyyah.
Mereka menafsirkan “laa ilaaha illallaah” dengan tafsiran yang tidak lebih
dari makna tauhid rububiyyah dan tafsiran mereka tidak menyinggung tauhid
uluhiyyah, padahal inilah tuntutan dari kalimat “laa ilaaha illallaah”.
اقۡرَءُوا عَقَائِدَ الۡمُتَكَلِّمِينَ تَجِدُونَ أَنَّهُمۡ يُرَكِّزُونَ
عَلَى إِثۡبَاتِ وُجُودِ اللهِ، كَأَنَّ اللهَ فِيهِ شَكٌّ، وَالۡاِعۡتِرَافُ
بِأَنَّهُ هُوَ الۡخَالِقُ الرَّازِقُ الۡمُحۡيِي الۡمُمِيتُ... إِلَى آخِرِهِ،
وَلَا يَذۡكُرُونَ الۡعِبَادَةَ، وَلَا يَذۡكُرُونَ الۡأُلُوهِيَّةَ أَبَدًا،
هَٰذَا لَا يَزِيدُ عَلَى دِينِ الۡمُشۡرِكِينَ الَّذِينَ قَالَ اللهُ فِيهِمۡ:
﴿قُلۡ مَن يَرۡزُقُكُم مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلۡأَرۡضِ أَمَّن يَمۡلِكُ ٱلسَّمۡعَ
وَٱلۡأَبۡصَـٰرَ وَمَن يُخۡرِجُ ٱلۡحَىَّ مِنَ ٱلۡمَيِّتِ وَيُخۡرِجُ
ٱلۡمَيِّتَ مِنَ ٱلۡحَىِّ وَمَن يُدَبِّرُ ٱلۡأَمۡرَ ۚ فَسَيَقُولُونَ
ٱللَّهُۚ﴾ [يونس : ۳۱]. يُثۡبِتُونَ الرَّبَّ وَلَكِنۡ يَعۡبُدُونَ غَيۡرَهُ،
﴿وَيَعۡبُدُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمۡ وَلَا يَنفَعُهُمۡ
وَيَقُولُونَ هَـٰٓؤُلَآءِ شُفَعَـٰٓؤُنَا عِندَ ٱللَّهِۚ﴾ [يونس:
۱۸].
Bacalah akidah-akidah para ahli ilmu kalam, niscaya engkau dapati mereka
memusatkan perhatian pada penetapan keberadaan Allah—seakan-akan ada keraguan
terhadap Allah—. Mereka juga fokus pada pengakuan bahwa Allah yang mencipta,
memberi rezeki, menghidupkan, mematikan, dan seterusnya. Mereka tidak menyebut
perihal ibadah. Mereka selama-lamanya tidak pernah menyebutkan perihal
pengesaan penyembahan kepada Allah.
Akidah yang demikian tidak melebihi agama orang-orang musyrik. Yaitu
orang-orang yang Allah firmankan tentang mereka, “Katakan: Siapa yang memberi
rezeki kalian dari langit dan bumi? Siapa yang menguasai pendengaran dan
penglihatan? Siapa yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan
mengeluarkan yang mati dari yang hidup? Siapa yang mengatur segala urusan?
Niscaya mereka akan menjawab: Allah.” (QS. Yunus: 31).
Mereka menetapkan Allah, akan tetapi mereka juga menyembah selain-Nya.
“Mereka menyembah selain Allah, sesembahan yang tidak bisa mendatangkan
mudarat dan memberi manfaat kepada mereka; dan mereka berkata bahwa sesembahan
ini adalah pemberi syafaat untuk kami di sisi Allah.” (QS. Yunus: 18).
مَا يَقُولُونَ: إِنَّهُمۡ يَخۡلُقُونَ وَیَرۡزُقُونَ، وَلَكِنۡ يَقُولُونَ:
إِنَّهُمۡ شُفَعَاءُ وُسَطَاءُ لَنَا عِنۡدَ اللهِ، فَالۡأَمۡرُ خَطِيرٌ
جِدًّا، فَهُنَاكَ لُبۡسٌ كَثِيرٌ فِي هَٰذَا الۡأَمۡرِ، وَضَلَّ كَثِيرٌ مِنَ
النَّاسِ بِهَٰذَا اللُّبۡسِ، الَّذِي يُخۡلِصُ التَّوۡحِيدَ وَيُبَيِّنُ
مَعۡنَى (لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ) يَقُولُونَ: هَٰذَا يُكَفِّرُ
الۡمُسۡلِمِينَ، نَحۡنُ نُبَرِّأُ إِلَى اللهِ مِنَ الَّذِي يُكَفِّرُ
الۡمُسۡلِمِينَ، نَحۡنُ مَا نُكَفِّرُ إِلَّا مَنۡ كَفَّرَهُ اللهُ
وَرَسُولُهُ، فَالَّذِي لَا يُحَقِّقُ (لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ) قَدۡ
کَفَّرَهُ اللهُ وَرَسُولُهُ.
Mereka tidak mengatakan bahwa sesembahan selain Allah itu menciptakan dan
memberi rezeki, akan tetapi mereka mengatakan bahwa mereka adalah pemberi
syafaat dan perantara untuk kami di sisi Allah. Jadi perkara ini sungguh
serius. Di sana banyak kerancuan dalam perkara ini sehingga banyak orang yang
tersesat akibat kerancuan ini. Orang yang memurnikan tauhid dan menerangkan
makna “laa ilaaha illallaah”, dikatakan mengafirkan kaum muslimin.
Kita berlepas diri kepada Allah dari orang-orang yang mengafirkan kaum
muslimin. Kita tidak mengafirkan kecuali orang yang dikafirkan oleh Allah dan
Rasul-Nya. Orang yang tidak merealisasikan kalimat “laa ilaaha illallaah”
telah dinyatakan kafir oleh Allah dan Rasul-Nya.