Syekh Muhammad bin 'Abdul Wahhab--rahimahullah--di dalam
Nawaqidh Al-Islam--berkata:
الرَّابِعُ: مَنِ اعۡتَقَدَ أَنَّ غَيۡرَ هَدۡيِ النَّبِيِّ ﷺ أَكۡمَلُ مِنۡ هَدۡيِهِ، أَوۡ أَنَّ حُكۡمَ غَيۡرِهِ أَحۡسَنُ مِنۡ حُكۡمِهِ، كَالَّذِي يُفَضِّلُ حُكۡمَ الطَّوَاغِيتِ عَلَى حُكۡمِهِ؛ فَهُوَ كَافِرٌ.
Keempat: Barang siapa meyakini bahwa selain petunjuk Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—lebih sempurna daripada petunjuk beliau, atau hukum selain beliau lebih baik daripada hukum beliau, seperti orang yang lebih mengutamakan hukum tagut di atas hukum beliau; maka dia kafir.[1]
Syekh Shalih bin Fauzan bin 'Abdullah Al-Fauzan--hafizhahullah--di
dalam syarahnya berkata:
[1]
مِنۡ أَنۡوَاعِ الرِّدَّةِ: الۡحُكۡمُ بِغَيۡرِ مَا أَنۡزَلَ اللهُ، إِذَا
اعۡتَقَدَ أَنَّ هَٰذَا أَمۡرٌ مُبَاحٌ، وَأَنَّهُ يَجُوزُ أَنۡ يَحۡكُمَ
بِالشَّرِيعَةِ، وَيُجَوِّزُ أَنۡ يَحۡكُمَ بِالۡقَوَانِينَ وَيَقُولُ:
الۡمَقۡصُودُ حِلُّ النِّزَاعَاتِ، وَهَٰذَا يَحۡصُلُ بِالۡقَوَانِينَ،
وَيَحۡصُلُ بِالشَّرِيعَةِ، فَالۡأَمۡرُ مُتَسَاوٍ.
Termasuk jenis kemurtadan adalah berhukum dengan selain hukum yang Allah
turunkan apabila dia berkeyakinan bahwa ini adalah perkara yang dibolehkan dan
bahwa dia boleh selain berhukum dengan syariat, juga berhukum dengan peraturan
(yang bertentangan dengan syariat). Dia mengatakan: Tujuannya adalah menyelesaikan persengketaan. Ini bisa
terwujud dengan peraturan dan bisa terwujud dengan syariat. Jadi perkaranya
sama saja.
نَقُولُ: سُبۡحَانَ اللهِ!! تَجۡعَلُ حُكۡمَ الطَّاغُوتِ مِثۡلَ حُكۡمِ
اللهِ!! تَحۡكِيمُ شَرۡعِ اللهِ هَٰذَا عِبَادَةٌ لِلهِ عَزَّ وَجَلَّ، لَيۡسَ
الۡقَصۡدُ مِنۡهُ فَقَطۡ حِلَّ النِّزَاعِ، الۡقَصۡدُ مِنۡهُ الۡعِبَادَةُ
بِتَحۡكِيمِ شَرۡعِ اللهِ سُبۡحَانَهُ وَتَعَالَى، وَتَحۡكِيمِ غَيۡرِهِ
شِرۡكٌ، شِرۡكٌ فِي الطَّاعَةِ وَشِرۡكٌ فِي الۡحُكۡمِ أَمَّا ﴿أَمۡ لَهُمۡ
شُرَكَـٰٓؤُا۟ شَرَعُوا۟ لَهُم مِّنَ ٱلدِّينِ مَا لَمۡ يَأۡذَنۢ بِهِ
ٱللَّهُۚ﴾ [الشوری: ٢١]، ﴿وَإِنۡ أَطَعۡتُمُوهُمۡ إِنَّكُمۡ لَمُشۡرِكُونَ﴾
[الأنعام: ١٢١]، ﴿ٱتَّخَذُوٓا۟ أَحۡبَارَهُمۡ وَرُهۡبَـٰنَهُمۡ أَرۡبَابًا مِّن
دُونِ ٱللَّهِ وَٱلۡمَسِيحَ ٱبۡنَ مَرۡيَمَ﴾ إِلَى قَوۡلِهِ: ﴿سُبۡحَـٰنَهُۥ
عَمَّا يُشۡرِكُونَ﴾ [التوبة: ۳۱]. فَسَمَّاهُ شِرۡكًا، فَالَّذِي يُسَوِّي
بَيۡنَ حُكۡمِ اللهِ وَحُكۡمِ الطَّاغُوتِ، وَالطَّاغُوتُ الۡمُرَادُ بِهِ:
كُلُّ حُكۡمٍ غَيۡرِ حُكۡمِ اللهِ، سَوَاءٌ عَوَائِدَ الۡبَادِيَةِ أَوۡ
أَنۡظِمَةَ الۡكُفَّارِ، أَوۡ قَوَانِينَ الۡفَرَنۡسِ أَوِ الۡإِنۡجِلِيزِ،
أَوۡ عَادَاتِ الۡقَبَائِلِ، كُلُّ هَٰذَا طَاغُوتٌ، وَكَذَا تَحۡكِيمُ
الۡكُهَّانِ.
Kita katakan: Mahasuci Allah. Engkau menjadikan hukum tagut semisal hukum
Allah. Berhukum dengan syariat Allah adalah bentuk peribadahan kepada
Allah—‘azza wa jalla—. Tujuannya bukan hanya menyelesaikan persengketaan.
Tujuan darinya adalah ibadah berhukum dengan syariat Allah—subhanahu wa
ta’ala—. Berhukum dengan selainnya adalah kesyirikan. Yaitu, kesyirikan dalam
ketaatan dan kesyirikan dalam hukum.
“Apakah mereka memiliki sekutu-sekutu yang mensyariatkan agama untuk mereka
yang tidak diizinkan oleh Allah.” (QS. Asy-Syura: 21).
“Jika kalian menaati mereka, maka sungguh kalian benar-benar orang-orang yang
musyrik.” (QS. Al-An’am: 121).
“Mereka menjadikan pendeta-pendeta dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain
Allah, juga Al-Masih bin Maryam,” hingga firman-Nya, “Mahasuci Dia dari apa
yang mereka persekutukan.” (QS. At-Taubah: 31).
Allah menamai perbuatan tersebut sebagai kesyirikan. Jadi orang yang
menyamakan antara hukum Allah dengan hukum tagut (adalah musyrik). Yang
dimaksud tagut adalah setiap hukum yang bukan hukum Allah. Sama saja baik adat
badui, peraturan orang-orang kafir, undang-undang Prancis atau Inggris, atau
adat istiadat kabilah. Semua ini tagut. Demikian pula berhukum kepada para
dukun.
فَالَّذِي يَقُولُ: إِنَّهُمَا سَوَاءٌ؛ كَافِرٌ، وَأَشَدُّ مِنۡهُ مَنۡ
يَقُولُ: إِنَّ الۡحُكۡمَ بِغَيۡرِ مَا أَنۡزَلَ اللهُ أَحۡسَنُ مِنَ الۡحُكۡمِ
بِمَا أَنۡزَلَ اللهُ، هَٰذَا أَشَدُّ.
Orang yang mengatakan bahwa keduanya (hukum Allah dengan hukum tagut) sama,
maka dia kafir. Yang lebih parah daripadanya adalah orang yang berkata bahwa
berhukum dengan selain yang Allah turunkan adalah lebih baik daripada hukum
yang Allah turunkan. Ini lebih parah kekafirannya.
فَالَّذِي يَقُولُ: النَّاسُ مَا يَصۡلُحُ لَهُمُ الۡيَوۡمَ إِلَّا هَٰذِهِ
الۡأَنۡظِمَةُ، مَا يَصۡلُحُ لَهُمُ الشَّرۡعُ، الشَّرۡعُ مَا يُطَابِقُ
لِهَٰذَا الزَّمَانِ، وَلَا يُسَایِرُ الۡحَضَارَةَ، مَا يَصۡلُحُ إِلَّا
تَحۡكِيمُ الۡقَوَانِينَ، وَمُسَايَرَةُ الۡعَالَمِ، تَكُونُ مَحَاكِمُنَا
مِثۡلَ مَحَاكِمِ الۡعَالَمِ، هَٰذَا أَحۡسَنُ مِنۡ حُكۡمِ اللهِ، هَٰذَا
أَشَدُّ كُفۡرًا مِنَ الَّذِي يَقُولُ: إِنَّ حُكۡمَ اللهِ وَحُكۡمَ غَيۡرِهِ
مُتَسَاوِيَانِ.
Orang yang mengatakan: manusia pada hari ini tidak cocok kecuali dengan
peraturan-peraturan ini, syariat tidak cocok untuk mereka, syariat tidak
sesuai dengan zaman ini dan tidak selaras dengan peradaban, tidak cocok
kecuali berhukum dengan undang-undang dan mengikuti perkembangan dunia,
sehingga pengadilan-pengadilan kita semisal dengan pengadilan dunia, ini lebih
baik daripada hukum Allah; maka orang ini lebih parah kekafirannya daripada
orang yang berkata: Sesungguhnya hukum Allah dan hukum selain-Nya sama
saja.
أَمَّا إِذَا حَكَّمَ بِغَيۡرِ مَا أَنۡزَلَ اللهُ لِهَوًى فِي نَفۡسِهِ، أَوۡ
جَهۡلٍ بِمَا أَنۡزَلَ اللهُ، وَهُوَ يَعۡتَقِدُ أَنَّ حُكۡمَ اللهِ هُوَ
الۡحَقُّ، وَهُوَ الۡوَاجِبُ، فَهَٰذَا فَعَلَ كَبِيرَةً مِنۡ كَبَائِرِ
الذُّنُوبِ وَذٰلِكَ كُفۡرٌ دُونَ كُفۡرٍ.
Adapun apabila dia berhukum dengan selain yang Allah turunkan karena hawa
nafsu, atau jahil terhadap yang Allah turunkan, dalam keadaan dia berkeyakinan
bahwa hukum Allah adalah benar dan itulah yang diwajibkan, maka orang yang
seperti ini telah melakukan salah satu dosa besar dan itu merupakan perbuatan
kufur tetapi tidak sampai kufur akbar.