Cari Blog Ini

Pembatal Keislaman - 6. Mengolok-olok Syariat

Syekh Muhammad bin 'Abdul Wahhab--rahimahullah--di dalam Nawaqidh Al-Islam berkata:
السَّادِسُ: مَنِ اسۡتَهۡزَأَ بِشَيۡءٍ مِنۡ دِينِ الرَّسُولِ أَوۡ ثَوَابِ اللهِ أَوۡ عِقَابِهِ؛ کَفَرَ.
وَالدَّلِيلُ قَوۡلُهُ تَعَالَى: ﴿قُلۡ أَبِٱللَّهِ وَءَايَـٰتِهِۦ وَرَسُولِهِۦ كُنتُمۡ تَسۡتَهۡزِءُونَ ۝٦٥ لَا تَعۡتَذِرُوا۟ قَدۡ كَفَرۡتُم بَعۡدَ إِيمَـٰنِكُمۡ ۚ﴾ [التوبة: ٦٥-٦٦]. 
Keenam: Barang siapa mengolok-olok sedikit saja dari agama rasul, pahala dan siksa Allah, maka dia kafir.[1]
Dalilnya adalah firman Allah, “Katakan: Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan rasul-Nya, kalian mengolok-olok? Jangan beralasan! Kalian telah kafir setelah tadinya kalian beriman.” (QS. At-Taubah: 65-66).[2]


Syekh Shalih bin Fauzan bin 'Abdullah Al-Fauzan--hafizhahullah--di dalam syarahnya berkata:

[1] السَّادِسُ مِنۡ أَنۡوَاعِ الرِّدَّةِ: الۡاِسۡتِهۡزَاءُ بِمَا أَنۡزَلَ اللهُ، أَوۡ بِشَيۡءٍ مِمَّا جَاءَ بِهِ الرَّسُولُ، وَلَوۡ كَانَ مِنَ السُّنَنِ وَالۡمُسۡتَحَبَّاتِ، کَالسِّوَاكِ وَقَصِّ الشَّارِبِ وَأَخۡذِ شَعۡرِ الۡإِبۡطِ وَتَقۡلِيمِ الۡأَظَافِرِ، إِذَا اسۡتَهۡزَأَ بِهِ صَارَ كَافِرًا، الدَّلِيلُ عَلَى ذٰلِكَ قَوۡلُهُ تَعَالَى: ﴿وَلَئِن سَأَلۡتَهُمۡ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلۡعَبُ ۚ قُلۡ أَبِٱللَّهِ وَءَايَـٰتِهِۦ وَرَسُولِهِۦ كُنتُمۡ تَسۡتَهۡزِءُونَ ۝٦٥ لَا تَعۡتَذِرُوا۟ قَدۡ كَفَرۡتُم بَعۡدَ إِيمَـٰنِكُمۡۚ﴾ [التوبة: ٦٥-٦٦] فَالَّذِي يَسۡتَهۡزِئُ بِشَيۡءٍ بِمَا جَاءَ بِهِ الرَّسُولُ فَرۡضًا أَوۡ وَاجِبًا أَوۡ سُنَّةً فَإِنَّهُ يَكُونُ مُرۡتَدًّا عَنۡ دِينِ الۡإِسۡلَامِ. 

Jenis kemurtadan yang keenam adalah sikap mengolok-olok terhadap apa yang Allah turunkan atau sebagian dari ajaran yang Rasulullah bawa, walaupun ajaran itu bersifat sunah dan tidak sampai wajib, seperti gosok gigi menggunakan siwak, mencukur kumis, mencabut bulu ketiak, atau memotong kuku. Apabila dia mengolok-oloknya, maka dia menjadi kafir. 

Dalil akan hal itu adalah firman Allah taala, “Apabila engkau bertanya kepada mereka, niscaya mereka akan mengatakan: Kami hanya bersenda gurau dan bermain-main. Katakanlah: Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, Rasul-Nya, kalian mengolok-olok?! Jangan kalian beralasan! Kalian telah kafir setelah sebelumnya beriman.” (QS. At-Taubah: 65-66). 

Jadi orang yang mengolok-olok sebagian dari ajaran Rasulullah, baik yang fardu, atau wajib, atau sunah, maka dia menjadi murtad/keluar dari agama Islam. 

مَا بَالُكُمۡ بِالَّذِي يَقُولُ: إِعۡفَاءُ اللِّحۡيَةِ وَحَفُّ الشَّارِبِ وَأَخۡذُ الۡآبَاطِ وَغَسۡلُ الۡبَرَاجِمِ هَٰذِهِ قُشُورٌ، هَٰذَا هُوَ الۡاِسۡتِهۡزَاءُ بِدِينِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، إِذَا قَالُوا هَٰذَا الشَّيۡءَ وَلَوۡ كَانُوا هُمۡ يَعۡمَلُونَهُ فَإِنَّهُمۡ يَرۡتَدُّونَ عَنِ الدِّينِ؛ لِأَنَّ هَٰذَا تَنَقُّصٌ بِمَا جَاءَ بِهِ الرَّسُولُ ﷺ، فَالۡوَاجِبُ تَعۡظِيمُ سُنَّةِ الرَّسُولِ ﷺ، وَاحۡتِرَامُهَا، وَحَتَّى لَوۡ أَنَّ الۡإِنۡسَانَ وَقَعَ فِي شَيۡءٍ مِنَ الۡمُخَالَفَةِ لَهُوَى فِي نَفۡسِهِ فَإِنَّهُ يَحۡتَرِمُ سُنَّةَ الرَّسُولِ ﷺ، وَيَحۡتَرِمُ السُّنَنَ، وَيَحۡتَرِمُ الۡأَحَادِيثَ، وَلَا يَقُولُ: هَٰذِهِ قُشُورٌ. 

Apa pendapat kalian dengan orang yang mengatakan bahwa membiarkan jenggot, mencukur kumis, mencabut bulu ketiak, dan membasuh ruas-ruas jari merupakan perkara ‘kulit’ (bukan inti agama). Ini bentuk sikap mengolok-olok agama Allah—‘azza wa jalla—. 

Jika mereka mengatakan ucapan ini, walaupun mereka mengamalkannya, maka sungguh mereka murtad dari agama Islam. Karena ini bentuk pelecehan terhadap ajaran Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—. 

Yang wajib adalah mengagungkan sunah Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—dan menghormatinya. Sampaipun andai seseorang jatuh dalam sikap menyelisihi sunah beliau karena hawa nafsu, namun dia tetap harus menghormati sunah Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—, menghormati ajaran beliau, dan menghormati hadis-hadis. Tidak boleh dia mengatakan bahwa ini adalah perkara ‘kulit’. 


[2] سَبَبُ نُزُولِ الۡآيَةِ: أَنَّ جَمَاعَةً كَانُوا مَعَ الرَّسُولِ ﷺ فِي غَزۡوَةِ تَبُوكٍ، وَهُمۡ مُسۡلِمُونَ، ثُمَّ فِي مَجۡلِسٍ صَارُوا يَقُولُونَ: مَا رَأَيۡنَا مِثۡلَ قُرَّائِنَا هَٰؤُلَاءِ، أَكۡذَبُ أَلۡسِنَةٍ، وَأَرۡغَبُ بُطُونًا، وَأَجۡبَنُ عِنۡدَ اللِّقَاءِ، يَعۡنُونَ رَسُولَ اللهِ ﷺ وَأَصۡحَابَهُ، وَكَانَ مَعَهُمۡ شَابٌّ مِنَ الصَّحَابَةِ فَاغۡتَاظَ مِنۡ هَٰذَا الۡكَلَامِ، وَذَهَبَ يَبۡلُغُ الرَّسُولَ ﷺ بِمَا قَالَهُ الۡقَوۡمُ، فَوَجَدَ الۡوَحۡيَ قَدۡ سَبَقَ، فَجَاءَ الۡقَوۡمُ يَعۡتَذِرُونَ لَمَّا عَلِمُوا أَنَّ الرَّسُولَ اطَّلَعَ عَلَى مَا دَارَ فِي مَجۡلِسِهِمۡ وَقَامَ: وَاحِدٌ مِنۡهُمۡ وَتَعَلَّقَ بِنِسۡعَةِ نَاقَةِ النَّبِيِّ ﷺ وَهُوَ رَاكِبٌ، وَقَالَ: یَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّنَا نَتَحَدَّثُ حَدِيثَ الرَّكۡبِ، نَقۡطَعُ بِهِ عَنَّا السَّفَرَ، مَا قَصَدۡنَا الۡاِسۡتِهۡزَاءَ، وَإِنَّمَا قَصَدۡنَا الۡمَزۡحَ، وَالرَّسُولُ ﷺ لَا يَلۡتَفِتُ إِلَيۡهِ، وَإِنَّمَا يَقۡرَأُ عَلَيۡهِ هَٰذِهِ الۡآيَةَ: ﴿وَلَئِن سَأَلۡتَهُمۡ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلۡعَبُ ۚ قُلۡ أَبِٱللَّهِ وَءَايَـٰتِهِۦ وَرَسُولِهِۦ كُنتُمۡ تَسۡتَهۡزِءُونَ ۝٦٥ لَا تَعۡتَذِرُوا۟ قَدۡ كَفَرۡتُم بَعۡدَ إِيمَـٰنِكُمۡ ۚ﴾ لَاحِظۡ قَوۡلَهُ: ﴿قَدۡ كَفَرۡتُم بَعۡدَ إِيمَـٰنِكُمۡ ۚ﴾ فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُمۡ قَبۡلَ هَٰذِهِ الۡمَقَالَةِ كَانُوا مُؤۡمِنِينَ، فَلَمَّا قَالُوهَا ارۡتَدُّوا عَنِ الۡإِسۡلَامِ. 

Sebab turunnya ayat ini adalah bahwa ada sekelompok orang dahulu bersama Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—pada perang Tabuk, ketika itu mereka adalah kaum muslimin. Kemudian pada suatu majelis, mereka berkata: Kami tidak melihat orang yang paling dusta lisannya, paling banyak makannya, paling pengecut ketika bertemu musuh seperti ahli qiraah kita ini. Mereka maksudkan adalah Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—dan para sahabat beliau. Ketika itu ada seorang pemuda dari kalangan sahabat Nabi yang bersama mereka. Mendengar ucapan itu, dia marah lalu pergi untuk menyampaikan kepada Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—ucapan orang-orang itu. Namun ternyata wahyu sudah mendahuluinya. 

Orang-orang tadi datang sambil mengajukan alasan ketika mereka tahu bahwa Rasulullah mengetahui apa yang terjadi pada majelis mereka. Salah seorang dari mereka bangkit dan memegangi tali pengikat barang pada unta Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—ketika beliau sedang menaikinya. Orang itu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami mengucapkan perkataan orang yang bepergian supaya kami mengusir kepenatan safar dari kami. Kami tidak bermaksud berolok-olok. Kami hanya bermaksud bercanda.” 

Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—tidak menoleh kepadanya. Beliau hanya membaca ayat ini kepadanya, “Apabila engkau bertanya kepada mereka, pasti mereka akan menjawab, ‘Kami hanya bersenda gurau dan bermain-main.’ Katakanlah, ‘Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya, kalian berolok-olok?! Kalian tidak usah beralasan. Kalian telah kafir setelah sebelumnya kalian beriman.’” Perhatikan firman-Nya, “Kalian telah kafir setelah kalian sebelumnya beriman”! Ini menunjukkan bahwa mereka sebelum melontarkan ucapan tersebut adalah orang-orang yang beriman. Ketika mereka telah mengatakannya, mereka murtad keluar dari Islam. 

وَهُمۡ يَقُولُونَ: هَٰذَا مَزۡحٌ، لِأَنَّ أُمُورَ الدِّينِ لَا يُمۡزَحُ فِيهَا، فَقَدۡ كَفَّرَهُمُ اللهُ بَعۡدَ إِيمَانِهِمۡ، نَسۡأَلُ اللهَ الۡعَافِيَةَ. 

(Mereka murtad) walaupun mereka mengatakan, “Ini senda gurau”; karena perkara agama tidak boleh untuk jadi bahan senda gurau. Allah telah mengafirkan mereka setelah sebelumnya mereka beriman. Kita meminta keselamatan kepada Allah. 

فَهَٰذَا دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ مَنۡ سَبَّ اللهَ أَوۡ رَسُولَهُ أَوۡ كِتَابَهُ أَوۡ شَيۡئًا مِنَ الۡقُرۡآنِ أَوۡ شَيۡئًا مِنۡ سُنَّةِ الرَّسُولِ ﷺ، أَنَّهُ يَرۡتَدُّ عَنِ الۡإِسۡلَامِ وَإِنۡ كَانَ يَمۡزَحُ، وَأَيۡنَ الَّذِينَ يَقُولُونَ: إِنَّهُ لَا يَرۡتَدُّ إِلَّا إِذَا نَوَى مِنۡ قَلۡبِهِ؟ فَلَوۡ سَبَّ اللهَ وَالرَّسُولَ أَوِ الۡقُرۡآنَ، مَا نَحۡكُمُ عَلَيۡهِ إِلَّا إِذَا كَانَ اعۡتَقَدَهُ، مَا نَحۡكُمُ عَلَيۡهِمۡ بِمُجَرَّدِ التَّكَلُّمِ أَوِ التَّلَفُّظِ أَوِ الۡفِعۡلِ، مِنۡ أَيۡنَ أَتَوۡا بِهَٰذَا الۡكَلَامِ وَهَٰذَا الۡقَيۡدِ؟ اللهُ حَكَمَ عَلَيۡهِمۡ بِالرِّدَّةِ وَهُمۡ يَقُولُونَ: ﴿كُنَّا نَخُوضُ وَنَلۡعَبُۚ﴾، هُمۡ مُؤۡمِنُونَ بِاللهِ وَرَسُولِهِ، مُوَحِّدُونَ، وَلَكِنۡ لَمَّا قَالُوا هَٰذِهِ الۡمَقَالَةَ اللهُ –جَلَّ وَعَلَا- قَالَ: ﴿قَدۡ كَفَرۡتُم بَعۡدَ إِيمَـٰنِكُمۡ ۚ﴾ وَلَمۡ يَقُلۡ: إِنۡ کُنۡتُمۡ تَعۡتَقِدُونَ هَٰذَا، نَسۡأَلُ اللهَ الۡعَافِيَةَ، فَيَجِبُ أَنَّ الۡأُمُورَ تُنۡزَلُ مَنَازِلَهَا وَلَا نَتَدَخَّلُ فِيهَا بِزِيَادَاتٍ أَوۡ نَقۡصٍ أَوۡ تَقۡيِيدَاتٍ مِنۡ عِنۡدِ أَنۡفُسِنَا، اللهُ مَا سَأَلَ عَنۡ عَقِيدَتِهِمۡ، مَا ذَكَرَ أَنَّهُمۡ يَعۡتَقِدُونَ، بَلۡ حَكَمَ عَلَيۡهِمۡ بِالرِّدَّةِ بَعۡدَ الۡإِيمَانِ ﴿قَدۡ كَفَرۡتُم بَعۡدَ إِيمَـٰنِكُمۡ ۚ﴾ رَتَبَ هَٰذَا عَلَى الۡقَوۡلِ، رَتَبَ هَٰذَا عَلَى الۡاِسۡتِهۡزَاءِ، وَلَمۡ يُقَيِّدۡهُ بِهَٰذِهِ الۡقُيُودِ، الۡإِنۡسَانُ إِذَا تَكَلَّمَ بِكَلِمَةِ الۡكُفۡرِ وَهُوَ غَيۡرُ مُكۡرَهٍ يُحۡکَمُ عَلَيۡهِ بِالرِّدَّةِ، أَمَّا إِنۡ كَانَ مُكۡرَهًا فَهَٰذَا لَا يَرۡتَدُّ. 

Sebab turunnya ayat ini merupakan dalil bahwa siapa saja yang mencaci Allah, Rasul-Nya, kitab-Nya, atau sebagian Alquran, atau sebagian sunah Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—maka dia murtad dari Islam walaupun dia bersenda gurau. 

Lalu apa alasan orang-orang yang berpendapat bahwa dia tidak murtad kecuali apabila dia berniat dari hatinya? Sehingga, andai dia mencela Allah, Rasulullah, atau Alquran, maka kita tidak bisa menghukuminya kecuali apabila dia meyakininya. Kita tidak bisa menghukumi mereka dengan semata-mata ucapan, atau perkataan, atau perbuatan. 

Dari mana mereka melontarkan ucapan dan pembatasan ini? Padahal Allah telah menghukumi mereka dengan kemurtadan dalam keadaan mereka mengatakan, “Kami hanya bersenda gurau dan bermain-main.” 

Mereka tadinya adalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka tadinya bertauhid. Akan tetapi ketika mereka mengucapkan ucapan tersebut, Allah—jalla wa ‘ala—berfirman, “Kalian telah kafir setelah sebelumnya kalian beriman.” Allah tidak berfirman, “Apabila kalian meyakini ucapan ini.” Kita meminta keselamatan kepada Allah. 

Jadi seluruh perkara agama wajib diletakkan pada tempatnya. Kita tidak boleh mencoba untuk memasukkan penambahan, atau pengurangan, atau pembatasan dari diri pribadi kita. Allah tidak mempertanyakan keyakinan mereka. Tidak pula disebutkan bahwa mereka meyakininya. Bahkan, Allah menghukumi mereka dengan kemurtadan setelah sebelumnya mereka beriman. “Kalian telah kafir setelah sebelumnya kalian beriman.” 

Allah menetapkannya setelah ucapan tersebut, setelah perbuatan olok-olok tersebut. Allah tidak memberi pembatasan dengan pembatasan tadi. Seseorang apabila mengucapkan perkataan kufur dalam keadaan tidak dipaksa, maka dia dihukumi dengan kemurtadan. Adapun apabila dia dipaksa, maka orang yang seperti ini tidak murtad.