Syekh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin--rahimahullah--berkata:
وَقَوۡلُهُ: (وَ(لَا) فِي النَّهۡيِ وَالدُّعَاءِ): لَا النَّاهِيَةُ، وَلَا
الدُّعَائِيَّةُ.
Ucapan mualif, “Dan لَا pada larangan dan doa.” Yaitu لَا yang melarang dan
لَا berupa kalimat doa.
لِمَاذَا فَرَّقَ الۡمُؤَلِّفُ بَيۡنَ التَّعۡبِيرَيۡنِ؟ قَالَ: لَا فِي
النَّهۡيِ وَالدُّعَاءِ، هُنَاكَ قَالَ: لَامُ الۡأَمۡرِ؛ لِأَنَّهُمۡ
يَقُولُونَ: إِذَا كَانَتِ الۡكَلِمَةُ عَلَى حَرۡفٍ وَاحِدٍ، فَإِنَّكَ
تَنۡطِقُ بِاسۡمِهَا، وَإِذَا كَانَتۡ مُكَوَّنَةً مِنۡ حَرۡفَيۡنِ فَأَكۡثَرَ
تَنۡطِقُ بِهِ بِلَفۡظِهِ؛ وَلِهَٰذَا نَقُولُ: (مِنۡ) حَرۡفُ جَرٍّ. وَلَا
نَقُولُ: (الۡمِيمُ) وَ(النُّونُ) حَرۡفُ جَرٍّ؛ لِأَنَّهَا مِنۡ حَرۡفَيۡنِ.
وَنَقُولُ: اللَّامُ حَرۡفُ جَرٍّ، وَ(إِلَى) حَرۡفُ جَرٍّ. لِمَاذَا؟ لِأَنَّ
اللَّامَ حَرۡفٌ وَاحِدٌ، وَ(إِلَى) ثَلَاثَةُ أَحۡرُفٍ، بِخِلَافِ مَا إِذَا
كَانَ فِعۡلًا، فَإِنَّهُ يُنۡطَقُ بِهِ بِلَفۡظِهِ، وَلَوۡ كَانَ عَلَى حَرۡفٍ
وَاحِدٍ، مِثۡلُ: (قِ)، (رَبِّ قِنِي عَذَابَكَ) مَا تَقُولُ: الۡقَافُ فِعۡلُ
دُعَاءٍ، تَقُولُ: (قِ) فِعۡلُ دُعَاءٍ.
Mengapa mualif menggunakan dua ungkapan yang berbeda? Di sini beliau berkata:
لَا dalam larangan dan doa. Di sana beliau berkata: Huruf lam perintah.
Alasannya mereka katakan: Apabila sebuah kata terdiri dari satu huruf, maka
engkau sebut dengan namanya. Namun apabila sebuah kata tersusun dari dua huruf
atau lebih, maka engkau sebut dengan pengucapannya. Oleh karena ini kita
katakan, “مِنۡ adalah huruf jarr.” Kita tidak mengatakan, “Huruf mim dan nun
adalah huruf jarr”, karena kata tersebut tersusun dari dua huruf. Kita
katakan, “Huruf lam adalah huruf jarr dan إِلَى adalah huruf jarr.” Mengapa?
Karena huruf lam adalah satu huruf, sedangkan إِلَى tiga huruf.
Berbeda apabila kata itu berupa fiil. Fiil disebut dengan pengucapannya
walaupun hanya satu huruf. Contoh: قِ. “رَبِّ قِنِي عَذَابَكَ (Ya Rabi,
lindungilah aku dari azab-Mu).” Engkau tidak katakan: huruf qaf adalah fiil
doa. Tetapi engkau katakan, “قِ adalah fiil doa.”
وَتَقُولُ: (رَ زَیۡدًا) وَمَا مَعۡنَاهَا؟ أَيۡ: انۡظُرۡ إِلَى زَيۡدٍ.
تَقُول: (رَ) فِعۡلُ أَمۡرٍ، وَلَا تَقُولُ: الرَّاءُ فِعۡلُ
أَمۡرٍ.
Engkau katakan, “رَ زَيۡدًا.” Apa maknanya? Lihatlah Zaid! Engkau katakan, “رَ
adalah fiil perintah.” Engkau tidak mengatakan, “Huruf ra adalah fiil
perintah.”
إِذَنۡ؛ إِذَا كَانَتِ الۡكَلِمَةُ عَلَى حَرۡفٍ وَاحِدٍ، فَإِنۡ كَانَتۡ
فِعۡلًا فَانۡطِقۡ بِهَا بِلَفۡظِهَا، وَإِنۡ كَانَ حَرۡفًا نَنۡطِقُ بِهَا
بِاسۡمِهَا. هَٰذِهِ الۡقَاعِدَةُ.
Jadi, apabila sebuah kata berupa satu huruf, dan jika merupakan fiil, maka
diucapkan sesuai pengucapannya. Jika merupakan harf/huruf, maka diucapkan
sesuai namanya. Ini kaidahnya.
يَقُولُ: (لَا) فِي النَّهۡيِ. ﴿فَٱحۡكُم بَيۡنَنَا بِٱلۡحَقِّ وَلَا
تُشۡطِطۡ﴾ [ص: ٢٢] نَقُولُ: (لَا): نَاهِيَةٌ. (تُشۡطِطۡ): فِعۡلٌ مُضَارِعٌ
مَجۡزُومٌ بِـ(لَا) النَّاهِيَةِ، وَعَلَامَةُ جَزۡمِهِ
السُّكُونُ.
Mualif berkata, “لَا dalam larangan.”
“فَٱحۡكُم بَيۡنَنَا بِٱلۡحَقِّ وَلَا تُشۡطِطۡ (Maka putuskan di antara kami
dengan kebenaran dan jangan engkau menyimpang!)” (QS. Shad: 22).
Kita katakan: لَا yang melarang. تُشۡطِطۡ adalah fiil mudhari’ yang di-jazm
dengan sebab لَا yang melarang. Tanda jazm-nya adalah sukun.
وَقَوۡلُهُ تَعَالَى: ﴿رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذۡنَآ﴾ [البقرة: ٢٨٦]، (لَا):
دُعَائِيَّةٌ. (تُؤَاخِذۡ): فِعۡلٌ مُضَارِعٌ مَجۡزُومٌ بِـ(لَا
الدُّعَائِيَّةِ)، وَعَلَامَةُ جَزۡمِهِ السُّكُونُ، وَالضَّمِيرُ مَفۡعُولٌ
بِهِ.
Firman Allah taala, “رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذۡنَآ (Ya Tuhan kami, jangan engkau
siksa kami).” (QS. Al-Baqarah: 286).
لَا bersifat doa. تُؤَاخِذۡ adalah fiil mudhari’ yang di-jazm dengan sebab لَا
bersifat doa. Tanda jazm-nya adalah sukun. Kata ganti adalah maf’ul bih.
وَقَالَ تَعَالَى: ﴿وَٱعۡبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَلَا تُشۡرِكُوا۟ بِهِۦ شَيۡـءًا﴾
[النساء: ٣٦]. (لَا): نَاهِيَةٌ. (تُشۡرِكُوا): فِعۡلٌ مُضَارِعٌ مَجۡزُومٌ
بِـ(لَا) النَّاهِيَةِ، وَعَلَامَةُ جَزۡمِهِ حَذۡفُ النُّونِ، لِأَنَّهُ مِنَ
الۡأَفۡعَالِ الۡخَمۡسَةِ، وَالۡوَاوُ فَاعِلٌ.
Allah taala berfirman, “وَٱعۡبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَلَا تُشۡرِكُوا۟ بِهِۦ شَيۡـءًا
(Beribadahlah kepada Allah dan jangan sekutukan sesuatupun dengan-Nya).” (QS.
An-Nisa`: 36).
لَا pelarangan. تُشۡرِكُوا adalah fiil mudhari’ yang di-jazm dengan sebab لَا
yang melarang. Tanda jazm-nya adalah dibuangnya huruf nun karena termasuk
fiil-fiil yang lima. Huruf wawu adalah fa’il.
قَالَ الشَّاعِرُ:
لَا تَنۡهَ عَنۡ خُلُقٍ وَتَأۡتِيَ مِثۡلَهُ عَارٌ عَلَيۡكَ إِذَا فَعَلَتۡ
عَظِيمُ
(لَا): نَاهِيَةٌ. (تَنۡهَ): فِعۡلٌ مُضَارِعٌ مَجۡزُومٌ بِـ(لَا)
النَّاهِيَةِ، وَعَلَامَةُ جَزۡمِهِ حَذۡفُ الۡأَلِفِ، وَالۡفَاعِلُ ضَمِيرٌ
مُسۡتَتِرٌ تَقۡدِيرُهُ أَنۡتَ.
Penyair berkata, “لَا تَنۡهَ عَنۡ خُلُقٍ وَتَأۡتِيَ مِثۡلَهُ عَارٌ عَلَيۡكَ
إِذَا فَعَلَتۡ عَظِيمُ (Jangan engkau melarang dari suatu perangai sementara
engkau sendiri melakukannya. Aib besar bagimu jika engkau
melakukannya).”
لَا pelarangan. تَنۡهَ adalah fiil mudhari’ yang di-jazm dengan sebab لَا yang
melarang. Tanda jazm-nya adalah dibuangnya huruf alif. Fa’il-nya adalah kata
ganti yang tersembunyi. Asumsinya adalah anta.
تَقُولُ أَيۡضًا: (لَا تَضۡرِبۡ وَلَدَكَ الۡمُؤَدَّبَ) (لَا) نَاهِيَةٌ،
فَتَجۡزِمُ الۡفِعۡلَ الۡمُضَارِعَ.
وَلَوۡ قَالَ قَائِلٌ: (لَا تَضۡرِبُ وَلَدَكَ الۡمُؤَدَّبَ) لَقُلۡنَا:
خَطَأٌ.
وَلَوۡ قَالَ: (لَا تَضۡرِبَ وَلَدَكَ) خَطَأٌ، لِأَنَّ (لَا) نَاهِيَةٌ،
وَإِذَا دَخَلَتۡ (لَا) النَّاهِيَةُ عَلَى الۡفِعۡلِ، وَجَبَ
الۡجَزۡمُ.
Engkau katakan pula, “لَا تَضۡرِبۡ وَلَدَكَ الۡمُؤَدِّبَ (Jangan engkau pukul
anakmu yang santun itu!).” لَا di sini melarang, sehingga men-jazm fiil
mudhari’.
Andai ada yang berkata, “لَا تَضۡرِبُ وَلَدَكَ الۡمُؤَدَّبَ,” tentu kita
katakan: Ini keliru.
Andai dia berkata, “لَا تَضۡرِبَ وَلَدَكَ”, ini keliru karena لَا untuk
melarang. Ketika engkau masukkan لَا pelarangan pada fiil, maka wajib
jazm.
(لَا تَضۡرِبۡ).
(لَا): أَدَاةٌ نَاهِيَةٌ تَجۡزِمُ الۡفِعۡلَ الۡمُضَارِعَ.
(تَضۡرِبۡ): فِعۡلٌ مُضَارِعٌ مَجۡزُومٌ بِلَا النَّاهِيَةِ وَعَلَامَةُ
جَزۡمِهِ السُّكُونُ عَلَى آخِرِهِ.
“لَا تَضۡرِبۡ (Jangan engkau pukul!).”
لَا adalah peranti bahasa untuk melarang yang men-jazm-kan fiil
mudhari’.
تَضۡرِبۡ adalah fiil mudhari’ yang di-jazm dengan sebab لَا pelarangan. Tanda
jazm-nya adalah sukun di akhir kata.
وَقَوۡلُهُ: (وَلَامُ الۡأَمۡرِ وَالدُّعَاءِ)، لَا فِي الدُّعَاءِ: هِيَ لَا
النَّاهِيَةُ لَٰكِنَّهُ إِذَا وُجِّهَ الۡخِطَابُ إِلَى الرَّبِّ عَزَّ
وَجَلَّ لَا تَقُلۡ: نَاهِيَةٌ؛ لِأَنَّكَ لَا تَنۡهَى اللهَ، اللهُ هُوَ
الَّذِي يَنۡهَاكَ، وَأَنۡتَ لَا تَنۡهَى اللهَ عَزَّ وَجَلَّ.
إِذَنۡ مَاذَا أُسَمِّيهَا؟ أُسَمِّيهَا (لَا دُعَائِيَّةٌ)، أَوۡ (لَا حَرۡفُ
دُعَاءٍ).
لَا dalam doa adalah seperti لَا pelarangan, namun ketika pembicaraan
ditujukan kepada Allah—‘azza wa jalla—, maka jangan engkau katakan:
pelarangan. Karena engkau tidak bisa melarang Allah. Allah lah yang melarangmu
sementara engkau tidak bisa melarang Allah—‘azza wa jalla.
Lalu aku menamainya apa? Aku menamainya لَا دُعَائِيَّةٌ atau لَا huruf
doa.
مِثۡلُ: قَوۡلِهِ تَعَالَى: ﴿رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذۡنَآ إِن نَّسِينَآ أَوۡ
أَخۡطَأۡنَا﴾ [البقرة: ٢٨٦].
(لَا): حَرۡفُ دُعَاءٍ.
(تُؤَاخِذۡ): فِعۡلٌ مُضَارِعٌ مَجۡزُومٌ بِـ(لَا) وَعَلَامَةُ جَزۡمِهِ
السُّكُونُ، وَالۡفَاعِلُ ضَمِيرٌ مُسۡتَتِيرٌ تَقۡدِيرُهُ أَنۡتَ، وَ(نَا)
ضَمِيرٌ مَبۡنِيٌّ عَلَى السُّكُونِ فِي مَحَلِّ نَصۡبٍ مَفۡعُولٌ
بِهِ.
Contohnya adalah firman Allah taala, “رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذۡنَآ إِن نَّسِينَآ
أَوۡ أَخۡطَأۡنَا (Ya Tuhan kami, jangan Engkau siksa kami apabila kami lupa
atau tersalah).” (QS. Al-Baqarah: 286).
لَا adalah huruf doa.
تُؤَاخِذۡ adalah fiil mudhari’ yang di-jazm dengan sebab لَا. Tanda jazm-nya
adalah sukun. Fa’il-nya adalah kata ganti yang tersembunyi. Asumsinya adalah
anta. نَا adalah kata ganti yang mabni di atas tanda sukun dalam keadaan nashb
sebagai maf’ul bih.
لَوۡ قُلۡتَ: (رَبِّ لَا تَجۡعَلۡنِي أَشۡقَى خَلۡقِكَ) صَحِيحٌ، لَوۡ قُلۡتَ:
(رَبِّ لَا تَجۡعَلُنِي أَشۡقَى خَلۡقِكَ) خَطَأٌ؛ لِأَنَّكَ رَفَعۡتَ
الۡفِعۡلَ، وَلَا الدُّعَائِيَّةُ تَجۡزِمُ الۡفِعۡلَ
الۡمُضَارِعَ.
Kalau engkau berdoa, “رَبِّ لَا تَجۡعَلۡنِي أَشۡقَى خَلۡقِكَ (Ya Rabi, jangan
Engkau jadikan aku sebagai makhluk-Mu yang paling celaka).” Ini benar. Kalau
engau berkata, “رَبِّ لَا تَجۡعَلُنِي أَشۡقَى خَلۡقِكَ,” ini keliru karena
engkau me-raf’-kan fiil, sedangkan لَا huruf doa men-jazm-kan fiil
mudhari’.
(لَا تَقُمۡ).
(لَا): نَاهِيَةٌ.
(تَقُمۡ): فِعۡلٌ مُضَارِعٌ مَجۡزُومٌ بِلَا النَّاهِيَةِ، وَعَلَامَةُ
جَزۡمِهِ السُّكُونُ.
“لَا تَقُمۡ (Jangan engkau berdiri!).”
لَا pelarangan.
تَقُمۡ adalah fiil mudhari’ yang di-jazm dengan sebab لَا pelarangan. Tanda
jazm-nya adalah sukun.
(هِنۡدٌ لَا تَقُومُ) (لَا) هُنَا نَافِيَةٌ؛ لِأَنَّكَ تُخۡبِرُ عَنۡ هِنۡدٍ
أَنَّهَا لَا تَقُومُ، وَلَا تَنۡهَهَا وَ(لَا) النَّافِيَةُ لَا تُغَيِّرُ فِي
الۡفِعۡلِ شَيۡئًا.
إِذَنۡ؛ (لَا): نَافِيَةٌ.
(تَقُومُ): فِعۡلٌ مُضَارِعٌ مَرۡفُوعٌ بِالضَّمَّةِ
الظَّاهِرَةِ.
“هِنۡدٌ لَا تَقُومُ (Hind tidak sedang berdiri).”
لَا di sini penafian, karena engkau mengabarkan tentang Hind bahwa dia tidak
sedang berdiri dan engkau tidak sedang melarangnya. لَا penafian tidak
mengubah fiil sama sekali.
Jadi لَا penafian. تَقُومُ adalah fiil mudhari’ yang di-raf’ dengan harakat
damah yang tampak.