Syekh Muhammad bin 'Abdul Wahhab--rahimahullah--di dalam
Nawaqidh Al-Islam berkata:
التَّاسِعُ: مَنِ اعۡتَقَدَ أَنَّ بَعۡضَ النَّاسِ يَسَعُهُ الۡخُرُوجُ عَنۡ شَرِيعَةِ مُحَمَّدٍ ﷺ كَمَا وَسِعَ الۡخَضِرُ الۡخُرُوجَ عَنۡ شَرِيعَةِ مُوسَى عَلَيۡهِ السَّلَامُ؛ فَهُوَ كَافِرٌ.
Kesembilan: Barang siapa berkeyakinan bahwa sebagian manusia bebas untuk keluar dari syariat Nabi Muhammad—shallallahu ‘alaihi wa sallam—sebagaimana bolehnya Nabi Khadhir keluar dari syariat Nabi Musa—‘alaihis salam—, maka dia kafir.[1]
Syekh Shalih bin Fauzan bin 'Abdullah Al-Fauzan--hafizhahullah--berkata
di dalam syarahnya:
[1]
التَّاسِعُ: مَنۡ أَجَازَ لِأَحَدٍ أَنۡ يَخۡرُجَ عَنۡ شَرِيعَةِ مُحَمَّدٍ ﷺ؛
لِأَنَّ اللهَ بَعَثَ مُحَمَّدًا ﷺ إِلَى النَّاسِ كَافَّةً، وَأَوۡجَبَ
طَاعَتَهُ عَلَى الۡعَالَمِينَ، ﴿وَمَآ أَرۡسَلۡنَـٰكَ إِلَّا رَحۡمَةً
لِّلۡعَـٰلَمِينَ﴾ [الأنبياء: ١٠٧]، ﴿وَمَآ أَرۡسَلۡنَـٰكَ إِلَّا كَآفَّةً
لِّلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا﴾ [سبأ: ٢٨]. ﴿قُلۡ يَـٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ
إِنِّى رَسُولُ ٱللَّهِ إِلَيۡكُمۡ جَمِيعًا﴾ [الأعراف: ١٥٨]، فَمَنۡ لَمۡ
يَسۡتَجِبۡ لِلرَّسُولِ وَيَتَّبِعۡ هَٰذَا الرَّسُولِ فَهُوَ كَافِرٌ، سَوَاءٌ
أَكَانَ يَهُودِيًّا أَوۡ نَصۡرَانِيًّا أَوۡ مَجُوسِيًّا، أَوۡ أَيَّ مِلَّةٍ
كَانَ؛ لِأَنَّهُ بِبِعۡثَتِهِ أَوۡجَبَ اللهُ طَاعَتَهُ وَاتِّبَاعَهُ، وَمَنۡ
كَانَ عَلَى دِينِ الۡيَهُودِيَّةِ وَالنَّصۡرَانِيَّةِ فَإِنَّهُ قَدۡ نُسِخَ
بِبِعۡثَتِهِ ﷺ، فَلَا يَسَعُ أَحَدًا أَنۡ يَخۡرُجَ عَنۡ
طَاعَتِهِ.
Pembatal keislaman kesembilan adalah sikap membolehkan seseorang untuk keluar
dari syariat Nabi Muhammad—shallallahu ‘alaihi wa sallam—. Sedangkan Allah
mengutus Nabi Muhammad—shallallahu ‘alaihi wa sallam—kepada manusia secara
menyeluruh dan Allah mewajibkan kepada alam semesta untuk taat kepada
beliau.
“Tidaklah Kami mengutus engkau kecuali sebagai rahmat untuk alam semesta.”
(QS. Al-Anbiya`: 107).
“Tidaklah Kami mengutus engkau kecuali kepada manusia secara menyeluruh
sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan.” (QS. Saba`: 28).
“Katakanlah: Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah
kepada kalian seluruhnya.” (QS. Al-A’raf: 158).
Sehingga, barang siapa tidak menyambut ajakan Rasulullah dan tidak mengikuti
Rasulullah, maka dia kafir. Sama saja, baik dia Yahudi, Nasrani, Majusi, atau
kepercayaan lainnya. Karena, dengan diutusnya beliau, Allah mewajibkan untuk
menaatinya dan mengikutinya. Barang siapa yang tadinya berada di atas agama
Yahudi dan Nasrani, maka agama itu telah dihapus dengan diutusnya Nabi
Muhammad—shallallahu ‘alaihi wa sallam—. Jadi tidak boleh bagi seorang pun
untuk keluar dari sikap menaati beliau.
أَمَّا خَرُوجُ الۡخَضِرِ عَنۡ طَاعَةِ مُوسَى، فَلِأَنَّ مُوسَى لَمۡ
يُرۡسَلۡ إِلَى الۡخَضِرِ؛ لِأَنَّ رِسَالَةَ مُوسَى خَاصَّةٌ بِبَنِي
إِسۡرَائِيلَ، ﴿وَإِذۡ قَالَ مُوسَىٰ لِقَوۡمِهِۦ يَـٰقَوۡمِ لِمَ تُؤۡذُونَنِى
وَقَد تَّعۡلَمُونَ أَنِّى رَسُولُ ٱللَّهِ إِلَيۡكُمۡ ۖ﴾ [الصف: ٥]
فَرِسَالَةُ مُوسَی عَلَيۡهِ السَّلَامُ لِبَنِي إِسۡرَائِيلَ، مَا هِيَ
عَامَّةٌ لِجَمِيعِ النَّاسِ، فَلِذٰلِكَ الۡخَضِرُ كَانَ عَلَى عِبَادَةٍ
لِلهِ، وَاخۡتَلَفَ الۡعُلَمَاءُ فِي الۡخَضِرِ: هَلۡ هُوَ نَبِيٌّ أَوۡ رَجُلٌ
صَالِحٌ؟ عَلَى قَوۡلَيۡنِ:
Adapun perbuatan keluarnya Al-Khadhir dari koridor ketaatan kepada Nabi Musa,
penyebabnya adalah bahwa Nabi Musa tidak diutus kepada Al-Khadhir, karena
kerasulan Nabi Musa khusus kepada bani Isra`il.
“Ingatlah ketika Musa berkata kepada kaumnya: Wahai kaumku, mengapa kalian
menyakitiku, padahal kalian mengetahui bahwa aku adalah utusan Allah kepada
kalian.” (QS. Ash-Shaff: 5).
Jadi Nabi Musa—‘alaihis salam—diutus kepada bani Isra`il, tidak umum untuk
seluruh manusia. Karena itulah Al-Khadhir saat itu berada dalam keadaan
beribadah kepada Allah.
Para ulama berselisih menjadi dua pendapat tentang Al-Khadhir. Apakah dia
seorang nabi atau seorang lelaki yang saleh?
الۡقَوۡلُ الۡأَوَّلُ: أَنَّهُ نَبِيٌّ؛ لِأَنَّهُ عَمِلَ أَشۡيَاءَ لَا
تَكُونُ إِلَّا مُعۡجِزَاتٍ، مِثۡلُ خَرۡقِهِ لِلسَّفِينَةِ، وَمِثۡلُ ذَبۡحِهِ
الۡوَلَدَ، وَمِثۡلُ إِقَامَتِهِ الۡجِدَارَ الَّذِي يُرِيدُ أَنۡ يَنۡقَضَّ،
هَٰذِهِ أُمُورٌ مُعۡجِزَةٌ لِأَنَّهَا مَبۡنِيَّةٌ عَلَى أَشۡيَاءَ مَغِيبَةٍ،
وَالۡمُعۡجِزَاتُ لَا تَكُونُ إِلَّا لِنَبِيٍّ،
Pendapat pertama adalah bahwa beliau seorang nabi karena beliau melakukan
beberapa perkara yang merupakan mukjizat, seperti perbuatan beliau melubangi
perahu, seperti perbuatan beliau menyembelih seorang anak, seperti perbuatan
beliau menegakkan dinding yang hendak roboh. Perkara-perkara ini adalah
mukjizat karena dilakukan atas dasar perkara gaib. Sedangkan mukjizat tidak
dimiliki kecuali oleh seorang nabi.
وَأَصۡلُ قِصَّةِ مُوسَى مَعَ الۡخَضِرِ، أَنَّ مُوسَى –عَلَيۡهِ الصَّلَاةُ
وَالسَّلَامُ– خَطَبَ فِي بَنِي إِسۡرَائِيلَ، فَسَأَلُوهُ: هَلۡ هُنَاكَ
أَعۡلَمُ مِنۡهُ، فَقَالَ: لَا، فَأَوۡحَى اللهُ إِلَيۡهِ أَنَّ هُنَاكَ
عَبۡدًا فِي أَرۡضِ كَذَا وَكَذَا عِنۡدَهُ مِنَ الۡعِلۡمِ مَا لَيۡسَ
عِنۡدَكَ، فَذَهَبَ مُوسَى –عَلَيۡهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ- إِلَى هَٰذَا
الرَّجُلِ يَطۡلُبُ ذٰلِكَ الۡعِلۡمَ، قَالَ تَعَالَى: ﴿وَإِذۡ قَالَ مُوسَىٰ
لِفَتَىٰهُ لَآ أَبۡرَحُ حَتَّىٰٓ أَبۡلُغَ مَجۡمَعَ ٱلۡبَحۡرَيۡنِ أَوۡ
أَمۡضِىَ حُقُبًا﴾ سَافَرَ ﴿فَلَمَّا بَلَغَا مَجۡمَعَ بَيۡنِهِمَا﴾ إِلَى
آخِرِهِ، ﴿فَوَجَدَا عَبۡدًا مِّنۡ عِبَادِنَآ ءَاتَيۡنَـٰهُ رَحۡمَةً مِّنۡ
عِندِنَا وَعَلَّمۡنَـٰهُ مِن لَّدُنَّا عِلۡمًا ٦٥ قَالَ لَهُۥ مُوسَىٰ هَلۡ
أَتَّبِعُكَ عَلَىٰٓ أَن تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمۡتَ رُشۡدًا﴾ [الكهف:
٦٠-٦٦]. إِلَى آخِرِ الۡقِصَّةِ الَّتِي ذَكَرَهَا اللهُ فِي سُورَةِ
(الۡكَهۡفِ)
Asal muasal kisah Nabi Musa dengan Al-Khadhir adalah bahwa Nabi Musa—‘alaihish
shalatu was salam—berkhotbah di tengah-tengah bani Isra`il. Mereka bertanya
kepada beliau, apakah di sana ada yang lebih mengetahui daripada beliau.
Nabi Musa menjawab, “Tidak.”
Allah pun mewahyukan kepada beliau bahwa di sana ada seorang hamba di daerah
ini yang memiliki ilmu yang tidak engkau miliki. Nabi Musa—‘alaihish shalatu
was salam—pergi ke pria tersebut untuk menuntut ilmu itu.
Allah taala berfirman, “Ingatlah, ketika Nabi Musa berkata kepada muridnya:
Aku tidak akan berhenti hingga aku tiba di tempat pertemuan dua laut atau aku
akan terus melanjutkan perjalanan sampai bertahun-tahun. Ketika keduanya
sampai tempat pertemuan dua laut itu,” sampai akhir ayat. “Keduanya mendapati
seorang hamba di antara hamba-hamba Kami yang Kami berikan rahmat kepadanya
dari sisi Kami dan Kami ajari ilmu kepadanya dari sisi Kami. Musa berkata
kepadanya: Apa boleh aku mengikuti engkau dengan syarat engkau mengajariku
ilmu yang telah engkau ketahui.” (QS. Al-Kahf: 60-66). Sampai akhir kisah yang
Allah sebutkan di dalam surah Al-Kahf.
هَٰذَا أَصۡلُ الۡقِصَّةِ، فَالۡخَضِرُ مَا هُوَ مِنۡ أُمَّةِ مُوسَى؛ لِأَنَّ
مُوسَى لَمۡ يُبۡعَثۡ إِلَى النَّاسِ كَافَّةً، فَلِذٰلِكَ وَسَعَهُ
الۡخُرُوجُ، أَمَّا مُحَمَّدٌ ﷺ فَإِنَّهُ مَبۡعُوثٌ إِلَى النَّاسِ كَافَّةً،
فَلَا يَسَعُ أَحَدًا الۡخُرُوجُ عَنۡ شَرِيعَتِهِ، وَهَٰذَا فِيهِ رَدٌّ عَلَى
الصُّوفِيَّةِ الَّذِينَ يَزۡعُمُونَ أَنَّهُمۡ يَصِلُونَ إِلَى حَالَةٍ
لَيۡسُوا بِحَاجَةٍ إِلَى اتِّبَاعِ الرُّسُلِ، وَأَنَّهُمۡ يَأۡخُذُونَ عَنِ
اللهِ مُبَاشَرَةً، وَلَا يَأۡخُذُونَ عَنِ الرَّسُولِ.
Inilah asal kisah tersebut. Jadi Al-Khadhir bukan dari umatnya Nabi Musa
karena Nabi Musa tidak diutus kepada manusia secara menyeluruh. Karena itu,
Al-Khadhir dibebaskan untuk tidak mengikuti syariat Nabi Musa.
Adapun Nabi Muhammad—shallallahu ‘alaihi wa sallam—diutus kepada manusia
secara keseluruhan. Jadi tidak boleh ada seorangpun yang boleh lepas dari
syariatnya.
Dalam pembahasan ini ada bantahan terhadap kelompok sufi yang mengklaim bahwa
mereka bisa sampai pada suatu keadaan yang mereka tidak lagi butuh untuk
mengikuti para rasul. Mereka mengklaim bahwa mereka mengambil syariat dari
Allah secara langsung dan mereka tidak mengambilnya melalui Rasulullah.
وَيَقُولُونَ: إِنَّ الرُّسُلَ إِنَّمَا هُمۡ لِلۡعَوَامِّ، أَمَّا
الۡخَوَّاصُ فَلَا يَحۡتَاجُّونَ إِلَى الرُّسُلِ؛ لِأَنَّهُمۡ يَعۡرِفُونَ
اللهَ وَيَصِلُونَ إِلَى اللهِ، وَيَأۡخُذُونَ عَنِ اللهِ مُبَاشَرَةً، هَٰذَا
مَا عَلَيۡهِ غُلَاةُ الصُّوفِيَّةِ، أَنَّهُمۡ يَصِلُونَ إِلَى حَالَةٍ
يَسۡتَغۡنُونَ عَنِ الرَّسُولِ ﷺ، وَيَخۡرُجُونَ عَنۡ شَرِیعَتِهِ، وَلِذٰلِكَ
لَا يُصَلُّونَ وَلَا يَصُومُونَ وَلَا يَحُجُّونَ، وَلَا يَعۡمَلُونَ بِمَا
جَاءَ بِهِ الرَّسُولُ؛ لِأَنَّهُمۡ خَوَاصٌّ يَقُولُونَ: مَا نَحۡنُ بِحَاجَةٍ
إِلَى الرَّسُولِ، نَحۡنُ وَصَلۡنَا إِلَى اللهِ... نَسۡأَلُ اللهَ
الۡعَافِيَةَ، هَٰذَا قَصۡدُ الشَّيۡخِ مِنۡ ذِكۡرِ هَٰذِهِ الۡمَسۡأَلَةِ،
هَٰذَا رَدٌّ عَلَى الصُّوفِيَّةِ الَّذِينَ يَزۡعُمُونَ أَنَّهُمۡ يَسَعُهُمُ
الۡخُرُوجُ عَنۡ شَرِيعَةِ مُحَمَّدٍ ﷺ؛ لِأَنَّهُمۡ لَيۡسُوا بِحَاجَةٍ
إِلَيۡهِ.
Mereka mengatakan bahwa para rasul hanya untuk orang awam. Adapun orang-orang
khusus tidak butuh kepada para rasul karena mereka mengenal Allah, bisa
berhubungan dengan Allah, dan mereka mengambil syariat dari Allah secara
langsung. Ini adalah keyakinan kelompok sufi yang ekstrem. Mereka sampai pada
suatu keadaan sehingga mereka tidak butuh dengan Rasulullah—shallallahu
‘alaihi wa sallam—dan mereka lepas dari syariatnya. Karena itulah, mereka
tidak salat, tidak saum, tidak haji, dan tidak mengamalkan ajaran yang dibawa
oleh Rasulullah. Alasannya adalah karena mereka adalah orang-orang khusus.
Mereka berkata, “Kami tidak butuh kepada Rasulullah. Kami sudah sampai kepada
Allah.” Kita meminta keselamatan kepada Allah dari kesesatan.
Inilah maksud Syekh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab ketika menyebutkan masalah ini.
Ini adalah bantahan terhadap kelompok sufi yang mengklaim bahwa mereka bisa
lepas bebas dari syariat Nabi Muhammad—shallallahu ‘alaihi wa sallam—dengan
alasan mereka tidak butuh kepada beliau.