Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah di dalam kitab Lum'atul I'tiqad berkata,
فَصۡلٌ فِي التَّرۡغِيبِ فِي السُّنَّةِ وَالتَّحۡذِيرِ مِنَ الۡبِدۡعَةِ
Pasal tentang Motivasi untuk Mengamalkan Sunah dan Peringatan untuk Menjauhi Bidah
٩ - وَقَدۡ أُمِرۡنَا بِاقۡتِفَاءِ آثَارِهِمۡ وَالۡاِهۡتِدَاءِ
بِمَنَارِهِمۡ، وَحُذِّرۡنَا الۡمُحۡدَثَاتِ، وَأُخۡبِرۡنَا أَنَّهَا مِنَ
الضَّلَالَاتِ، فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: (عَلَيۡكُمۡ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ
الۡخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الۡمَهۡدِيِّينَ مِنۡ بَعۡدِي عَضُّوا عَلَيۡهَا
بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمۡ وَمُحۡدَثَاتِ الۡأُمُورِ، فَإِنَّ كُلَّ
مُحۡدَثَةٍ بِدۡعَةٌ، وَكُلَّ بِدۡعَةٍ ضَلَالَةٌ).
Kita diperintahkan untuk mengikuti jejak mereka dan mengambil petunjuk dengan
bimbingan mereka. Kita diperingatkan dari perbuatan yang diada-adakan dan kita
dikabari bahwa hal tersebut termasuk kesesatan. Nabi—shallallahu ‘alaihi wa
sallam—bersabda, “Kalian wajib berpegang dengan sunahku dan sunah
khulafaurasyidin yang diberi petunjuk sepeninggalku. Gigitlah ia dengan
gigi-gigi geraham! Waspadalah kalian dari perbuatan yang diada-adakan! Karena
setiap perbuatan yang diada-adakan adalah bidah dan setiap bidah adalah
kesesatan.”[1]
وَقَالَ عَبۡدُ اللهِ بۡنُ مَسۡعُودٍ - رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ -: (اتَّبِعُوا
وَلَا تَبۡتَدِعُوا فَقَدۡ كُفِيتُمۡ).
‘Abdullah bin Mas’ud—radhiyallahu ‘anhu—berkata, “Ikutilah (sunah) dan jangan
berbuat bidah! Sungguh, kalian telah tercukupi.”
وَقَالَ عُمَرُ بۡنُ عَبۡدِ الۡعَزِيزِ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ كَلَامًا
مَعۡنَاهُ: قِفۡ حَيۡثُ وَقَفَ الۡقَوۡمُ، فَإِنَّهُمۡ عَنۡ عِلۡمٍ وَقَفُوا،
وَبِبَصَرٍ نَافِذٍ كَفُّوا، وَلَهُمۡ عَلَى كَشۡفِهَا كَانُوا أَقۡوَى،
وَبِالۡفَضۡلِ لَوۡ كَانَ فِيهَا أَحۡرَى، فَلَئِنۡ قُلۡتُمۡ حَدَثَ
بَعۡدَهُمۡ، فَمَا أَحۡدَثَهُ إِلَّا مَنۡ خَالَفَ هَدۡيَهُمۡ، وَرَغِبَ عَنۡ
سُنَّتِهِمۡ، وَلَقَدۡ وَصَفُوا مِنۡهُ مَا يَشۡفِي، وَتَكَلَّمُوا مِنۡهُ
بِمَا يَكۡفِي، فَمَا فَوۡقَهُمۡ مُحَسِّرٌ، وَمَا دُونَهُمۡ مُقَصِّرٌ، لَقَدۡ
قَصَّرَ عَنۡهُمۡ قَوۡمٌ فَجَفَوۡا، وَتَجَاوَزَهُمۡ آخَرُونَ فَغَلَوۡا،
وَإِنَّهُمۡ فِيمَا بَيۡنَ ذٰلِكَ لَعَلَى هُدًى مُسۡتَقِيمٍ.
‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz—radhiyallahu ‘anhu—mengucapkan perkataan yang maknanya,
Berhentilah mendalami suatu permasalahan di tempat para salaf berhenti! Karena mereka berhenti karena ilmu dan mereka menahan diri karena pandangan yang jauh ke depan. Mereka lebih mampu untuk menyingkap permasalahan tersebut dan mereka lebih bersemangat jika dalam mendalami permasalahan tersebut ada keutamaan.Jika kalian mengatakan: orang yang setelah mereka telah membicarakannya; tidaklah yang membicarakannya kecuali orang yang menyelisihi petunjuk mereka dan membenci sunah mereka. Padahal para salaf sudah memberi gambaran yang memuaskan dan mengucapkan perkataan yang mencukupi.Orang yang di atas mereka adalah orang yang akan menyesal, sedangkan yang di bawah mereka adalah orang yang kurang usahanya. Sungguh ada orang-orang yang kurang usaha dari mengikuti para sahabat, sehingga mereka bersikap kasar, sedangkan yang lain melebihi mereka sehingga mereka justru melampaui batas. Adapun orang yang berada di antara itulah yang pasti di atas petunjuk yang lurus.
وَقَالَ الۡإِمَامُ أَبُو عَمۡرٍو الۡأَوۡزَاعِيُّ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ:
عَلَيۡكَ بِآثَارِ مَنۡ سَلَفَ وَإِنۡ رَفَضَكَ النَّاسُ، وَإِيَّاكَ وَآرَاءَ
الرِّجَالِ وَإِنۡ زَخۡرَفُوهُ لَكَ بِالۡقَوۡلِ.
Imam Abu ‘Amr Al-Auza’i semoga Allah meridainya, “Engkau wajib berpegang
dengan ajaran para salaf walaupun orang-orang menentangmu. Waspadalah engkau
dari pemikiran-pemikiran manusia walaupun mereka menghiasinya dengan berbagai
ucapan!”[2]
وَقَالَ مُحَمَّدُ بۡنُ عَبۡدِ الرَّحۡمٰنِ الۡأَدۡرَمِيُّ لِرَجُلٍ تَكَلَّمَ
بِبِدۡعَةٍ وَدَعَا النَّاسَ إِلَيۡهَا: هَلۡ عَلِمَهَا رَسُولُ اللهِ ﷺ
وَأَبُو بَكۡرٍ وَعُمَرُ وَعُثۡمَانُ وَعَلِيٌّ أَوۡ لَمۡ يَعۡلَمُوهَا؟ قَالَ:
لَمۡ يَعۡلَمُوهَا، قَالَ: فَشَيۡءٌ لَمۡ يَعۡلَمۡهُ هَؤُلَاءِ عَلِمۡتَهُ؟
قَالَ الرَّجُلُ: فَإِنِّي أَقُولُ قَدۡ عَلِمُوهَا، قَالَ: أَفَوَسِعَهُمۡ
أَنۡ لَا يَتَكَلَّمُوا بِهِ وَلَا يَدۡعُوا النَّاسَ إِلَيۡهِ، أَمۡ لَمۡ
يَسَعۡهُمۡ؟ قَالَ: بَلَى وَسِعَهُمۡ، قَالَ: فَشَيۡءٌ وَسَعَ رَسُولَ اللهِ ﷺ
وَخُلَفَاؤُهُ، لَا يَسَعُكَ أَنۡتَ؟ فَانۡقَطَعَ الرَّجُلُ، فَقَالَ
الۡخَلِيفَةُ، وَكَانَ حَاضِرًا: لَا وَسَّعَ اللهُ عَلَى مَنۡ لَمۡ يَسَعۡهُ
مَا وَسِعَهُمۡ.
Muhammad bin ‘Abdurrahman Al-Adrami bertanya kepada seseorang yang berpendapat
dengan suatu kebidahan dan mengajak manusia kepadanya, “Apakah
Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—, Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali
mengetahuinya atau tidak?”
Dia menjawab, “Mereka tidak mengetahuinya.”
Al-Adrami berkata, “Sesuatu yang tidak diketahui oleh mereka tetapi kamu
mengetahuinya?”
Dia menjawab, “Sekarang aku ralat. Mereka mengetahuinya.”
Al-Adrami berkata, “Apakah mereka sengaja tidak membicarakannya dan tidak
mengajak manusia kepadanya ataukah sebaliknya?”
Dia menjawab, “Ya. Mereka sengaja tidak melakukannya.”
Al-Adrami berkata, “Lalu mengapa engkau malah sengaja melakukan hal yang tidak
dilakukan oleh Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—, tidak pula oleh para
khalifah beliau?”
Orang itu terdiam. Khalifah yang saat itu hadir berkata, “Semoga Allah tidak
memberi kelapangan hati kepada orang yang tidak merasa lapang terhadap perkara
yang melapangkan hati para salaf.”
وَهَكَذَا مَنۡ لَمۡ يَسَعۡهُ مَا وَسِعَ رَسُولَ اللهِ ﷺ وَأَصۡحَابَهُ
وَالتَّابِعِينَ لَهُمۡ بِإِحۡسَانٍ، وَالۡأَئِمَّةَ مِنۡ بَعۡدِهِمۡ،
وَالرَّاسِخِينَ فِي الۡعِلۡمِ، مِنۡ تِلَاوَةِ آيَاتِ الصِّفَاتِ وَقِرَاءَةِ
أَخۡبَارِهَا، وَإِمۡرَارِهَا كَمَا جَاءَتۡ، فَلَا وَسَّعَ اللهُ
عَلَيۡهِ.
Demikian pula, orang yang tidak merasa lapang dengan perkara yang melapangkan
hati Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—, para sahabat, orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik, para imam setelah mereka, dan orang-orang yang
mendalam ilmunya berupa membaca ayat sifat Allah, membaca riwayat tentangnya,
dan membiarkannya sebagaimana datangnya, maka semoga Allah tidak melapangkan
hatinya.[3]
Syekh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin rahimahullah di dalam syarahnya
berkata,
[1]
السُّنَّةُ وَالۡبِدۡعَةُ وَحُكۡمُ كُلٍّ مِنۡهُمَا:
Sunah, Bidah, dan Masing-masing Hukumnya
(السُّنَّةُ) لُغَةً: الطَّرِيقَةُ.
وَاصۡطِلَاحًا: مَا كَانَ عَلَيۡهِ النَّبِيُّ ﷺ وَأَصۡحَابُهُ مِنۡ عَقِيدَةٍ
أَوۡ عَمَلٍ.
وَاتِّبَاعُ السُّنَّةِ وَاجِبٌ لِقَوۡلِهِ تَعَالَى: ﴿لَّقَدۡ كَانَ لَكُمۡ
فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرۡجُوا۟ ٱللَّهَ
وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡـَٔاخِرَ﴾ [الۡأحزاب: ٢١]، وَقَوۡلِهِ ﷺ: (عَلَيۡكُمۡ
بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الۡخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الۡمَهۡدِيِّينَ مِنۡ بَعۡدِي
عَضُّوا عَلَيۡهَا بِالنَّوَاجِذِ).
Sunah dalam bahasa Arab artinya adalah jalan. Secara istilah artinya aturan
agama yang dijalani oleh Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—dan para sahabat
beliau berupa akidah atau amalan.
Mengikuti sunah merupakan kewajiban berdasarkan firman Allah taala, “Sungguh
pada diri Rasulullah ada teladan yang baik bagi siapa saja yang mengharapkan
Allah dan hari akhir.” (QS. Al-Ahzab: 21).
Juga sabda Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—, “Kalian wajib berpegang dengan
sunahku dan sunah khulafaurasyidin yang diberi petunjuk sepeninggalku.
Gigitlah ia dengan gigi geraham!”
وَ (الۡبِدۡعَةُ) لُغَةً: الشَّيۡءُ الۡمُسۡتَحۡدَثُ.
وَاصۡطِلَاحًا: مَا أُحۡدِثَ فِي الدِّينِ عَلَى خِلَافِ مَا كَانَ عَلَيۡهِ
النَّبِيُّ ﷺ وَأَصۡحَابُهُ مِنۡ عَقِيدَةٍ أَوۡ عَمَلٍ.
Bidah dalam bahasa Arab artinya sesuatu yang diadakan. Secara istilah artinya
segala yang diada-adakan dalam agama yang menyelisihi akidah atau amalan yang
dahulu diyakini dan dilakukan oleh Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—dan para
sahabatnya.
وَهِيَ حَرَامٌ لِقَوۡلِهِ تَعَالَى: ﴿وَمَن يُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعۡدِ
مَا تَبَيَّنَ لَهُ ٱلۡهُدَىٰ وَيَتَّبِعۡ غَيۡرَ سَبِيلِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ
نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصۡلِهِۦ جَهَنَّمَ ۖ وَسَآءَتۡ مَصِيرًا﴾
[النساء: ١١٥]، وَقَوۡلِهِ ﷺ: (وَإِيَّاكُمۡ وَمُحۡدَثَاتِ الۡأُمُورِ، فَإِنَّ
كُلَّ مُحۡدَثَةٍ بِدۡعَةٌ، وَكُلَّ بِدۡعَةٍ ضَلَالَةٌ).
Hukum bidah adalah haram berdasarkan firman Allah taala, “Barang siapa yang
menyelisihi Rasul setelah petunjuk jelas baginya dan mengikuti selain jalan
orang-orang yang beriman, Kami biarkan dia larut dalam kesesatannya dan Kami
masukkan dia ke neraka Jahanam. Neraka Jahanam adalah seburuk-buruk tempat
kembali.” (QS. An-Nisa`: 115).
Dan sabda Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—, “Waspadalah kalian dari perkara
agama yang diada-adakan! Karena setiap perkara agama yang diada-adakan adalah
bidah dan setiap bidan adalah kesesatan.”
[2]
الۡآثَارُ الۡوَارِدَةُ فِي التَّرۡغِيبِ بِالسُّنَّةِ وَالتَّحۡذِيرِ مِنَ
الۡبِدۡعَةِ:
Riwayat-riwayat yang disebutkan tentang motivasi berpegang dengan sunah dan
waspada dari bidah
١ - مِنۡ أَقۡوَالِ الصَّحَابَةِ:
قَالَ ابۡنُ مَسۡعُودٍ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ الصَّحَابِيُّ الۡجَلِيلُ
الۡمُتَوَفَّى سَنَةَ ٣٢هـ عَنۡ بِضۡعٍ وَسِتِّينَ سَنَةً:
(اتَّبِعُوا): أَيۡ الۡتَزِمُوا آثَارَ النَّبِيِّ ﷺ مِنۡ غَيۡرِ زِيَادَةٍ
وَلَا نَقۡصٍ.
(وَلَا تَبۡتَدِعُوا): لَا تَحَدَّثُوا بِدۡعَةً فِي الدِّينِ.
(فَقَدۡ كُفِيتُمۡ): أَيۡ كَفَاكُمُ السَّابِقُونَ مُهِمَّةَ الدِّينِ، حَيۡثُ
أَكۡمَلَ اللهُ تَعَالَى الدِّينَ لِنَبِيِّهِ ﷺ وَأَنۡزَلَ قَوۡلَهُ:
﴿ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ﴾ [المائدة: ٣] فَلَا يَحۡتَاجُ
الدِّينُ إِلَى تَكۡمِيلٍ.
1. Dari ucapan sahabat Nabi:
Ibnu Mas’ud—radhiyallahu ‘anhu—sahabat yang mulia (wafat tahun 32 H, umur enam
puluh sekian tahun) berkata:
“Ikutilah”, maksudnya: peganglah selalu ajaran Nabi—shallallahu ‘alaihi wa
sallam—tanpa ditambahi dan dikurangi.
“Janganlah berbuat bidah”: jangan kalian membuat bidah dalam agama.
“Sungguh kalian telah tercukupi”, maksudnya: Para pendahulu sudah mencukupi
kalian dalam perkara agama yang penting. Yaitu, Allah taala telah
menyempurnakan agama ini bagi Nabi-Nya—shallallahu ‘alaihi wa sallam—dan
menurunkan firman-Nya, “Pada hari ini, Aku telah sempurnakan agama kalian bagi
kalian.” (QS. Al-Ma`idah: 3). Sehingga agama ini tidak membutuhkan
penyempurnaan.
٢ - مِنۡ أَقۡوَالِ التَّابِعِينَ:
قَالَ أَمِيرُ الۡمُؤۡمِنِينَ عُمَرُ بۡنُ عَبۡدِ الۡعَزِيزِ، الۡمَوۡلُودُ
سَنَةَ ٦٣ الۡمُتَوَفَّى سَنَةَ ١٠١هـ، قَوۡلًا يَتَضَمَّنُ مَا يَأۡتِي:
أ - وُجُوبُ الۡوُقُوفِ حَيۡثُ وَقَفَ الۡقَوۡمُ - يَعۡنِي بِهِمۡ -
النَّبِيَّ ﷺ وَأَصۡحَابَهُ فِيمَا كَانُوا عَلَيۡهِ مِنَ الدِّينِ عَقِيدَةً
وَعَمَلًا لِأَنَّهُمۡ وَقَفُوا عَنۡ عِلۡمٍ وَبَصِيرَةٍ، وَلَوۡ كَانَ فِيمَا
حَدَثَ بَعۡدَهُمۡ خَيۡرٌ لَكَانُوا بِهِ أَحۡرَى.
ب - إِنَّ مَا أَحۡدَثَ بَعۡدَهُمۡ فَلَيۡسَ فِيهِ إِلَّا مُخَالَفَةُ
هَدۡيِهِمۡ وَالزُّهۡدُ فِي سُنَّتِهِمۡ، وَإِلَّا فَقَدۡ وَصَفُوا مِنَ
الدِّينِ مَا يَشۡفِي وَتَكَلَّمُوا فِيهِ بِمَا يَكۡفِي.
جـ - إِنَّ مِنَ النَّاسِ مَنۡ قَصَّرَ فِي اتِّبَاعِهِمۡ فَكَانَ جَافِيًا
وَمِنَ النَّاسِ مَنۡ تَجَاوَزَهُمۡ فَكَانَ غَالِيًا، وَالصِّرَاطُ
الۡمُسۡتَقِيمُ مَا بَيۡنَ الۡغُلُوِّ وَالتَّقۡصِيرِ.
2. Dari ucapan tabiin:
Amirulmukminin ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz (lahir tahun 63 H, wafat tahun 101 H)
mengucapkan ucapan yang mengandung makna berikut:
a. Wajib berhenti mendalami suatu permasalahan yang mereka pun berhenti
darinya. Yang beliau maksudkan dengan mereka adalah Nabi—shallallahu ‘alaihi
wa sallam—dan para sahabatnya. Yaitu dalam perkara agama yang dahulu mereka
jalani baik dalam masalah akidah atau amalan. Alasannya adalah karena mereka
berhenti atas dasar ilmu. Andai pada pemikiran baru orang setelah mereka ada
kebaikan, tentu mereka lebih pantas memeloporinya.
b. Sesungguhnya pada pemikiran orang setelah mereka tidaklah mengandung
kecuali penyelisihan terhadap bimbingan mereka dan perasaan tidak butuh dari
sunah mereka. Padahal mereka sebenarnya telah memberikan gambaran agama ini
dengan gambaran yang memuaskan dan berbicara dengan ucapan yang mencukupi.
c. Sesungguhnya di antara manusia ada yang kurang berupaya mengikuti mereka,
sehingga dia menjadi kasar. Di antara manusia ada yang melebihi mereka,
sehingga dia melebihi batas. Jalan yang lurus adalah jalan di antara sikap
melampaui batas dan kurang berupaya.
٣ - مِنۡ أَقۡوَالِ تَابِعِي التَّابِعِينَ:
3. Dari ucapan tabi’ut tabi’in (pengikut tabiin):
قَالَ الۡأَوۡزَاعِيُّ، عَبۡدُ الرَّحۡمٰنِ بۡنُ عَمۡرٍو الۡمُتَوَفَّى سَنَةَ
١٥٧:
(عَلَيۡكَ بِآثَارِ مَنۡ سَلَفَ): الۡزَمۡ طَرِيقَةَ الصَّحَابَةِ
وَالتَّابِعِينَ لَهُمۡ بِإِحۡسَانٍ لِأَنَّهَا مَبۡنِيَّةٌ عَلَى الۡكِتَابِ
وَالسُّنَّةِ.
(وَإِنۡ رَفَضَكَ النَّاسُ): أَبۡعَدُوكَ وَاجۡتَنَبُوكَ.
(وَإِيَّاكَ وَآرَاءَ الرِّجَالَ): احۡذَرۡ آرَاءَ الرِّجَالِ وَهِيَ مَا
قِيلَ بَمُجَرَّدِ الرَّأۡيِ مِنۡ غَيۡرِ اسۡتِنَادٍ إِلَى كِتَابِ اللهِ
وَسُنَّةِ رَسُولِهِ ﷺ.
(وَإِنۡ زَخۡرَفُوهُ): جَمَّلُوا اللَّفۡظَ وَحَسَّنُوهُ فَإِنَّ الۡبَاطِلَ
لَا يَعُودُ حَقًّا بِزَخۡرَفَتِهِ وَتَحۡسِينِهِ.
Al-Auza’i ‘Abdurrahman bin ‘Amr (wafat tahun 157 H) berkata, “Engkau wajib
mengikuti ajaran salaf.” Artinya: Teruslah ikuti jalan sahabat dan yang
mengikuti mereka dengan baik karena jalan tersebut terbangun di atas Alquran
dan sunah.
“Walaupun manusia menentangmu,” maksudnya walau mereka mengucilkanmu dan
menjauhimu.
“Hati-hatilah engkau dari pemikiran orang-orang!” maksudnya: waspadailah
pemikiran orang-orang yang dilontarkan hanya berdasar pikiran tanpa
disandarkan kepada Alquran dan sunah Rasul-Nya—shallallahu ‘alaihi wa sallam—.
“Walaupun mereka menghiasinya” maksudnya mereka memperindah dan memperhalus
bahasanya, karena kebatilan tidaklah lantas berubah menjadi kebenaran dengan
sebab keindahan dan kehalusan bahasanya.
[3]
مُنَاظَرَةٌ جَرَّتۡ عِنۡدَ خَلِيفَةٍ بَيۡنَ الۡأَدۡرَمِيِّ وَصَاحِبِ
بِدۡعَةٍ:
Perdebatan ini terjadi di hadapan khalifah antara Al-Adrami dengan pengusung
bidah:
لَمۡ أَطَّلِعۡ عَلَى تَرۡجَمَةٍ لِلۡأَدۡرَمِيِّ وَمَنۡ مَعَهُ وَلَا
أَعۡلَمُ نَوۡعَ الۡبِدۡعَةِ الۡمَذۡكُورَةِ، وَالۡمُهِمُّ أَنۡ نَعۡرِفَ
مَرَاحِلَ هٰذِهِ الۡمُنَاظَرَةِ لِنَكۡتَسِبَ مِنۡهَا طَرِيقًا لِكَيۡفِيَةِ
الۡمُنَاظَرَةِ بَيۡنَ الۡخَصُومِ، وَقَدۡ بَنَى الۡأَدۡرَمِيُّ - رَحِمَهُ
اللهُ - مُنَاظَرَتَهُ هٰذِهِ عَلَى مَرَاحِلَ لِيَعۡبُرَ مِنۡ كُلِّ
مَرۡحَلَةٍ إِلَى الَّتِي تَلِيهَا حَتَّى يُفۡحِمَ خَصۡمَهُ.
Saya belum melihat biografi Al-Adrami dan orang yang bersamanya. Saya juga
tidak mengetahui jenis bidah yang disebutkan. Yang penting kita mengetahui
tahapan-tahapan perdebatan ini agar kita mendapatkan gambaran tata cara
berdebat dengan lawan debat.
Al-Adrami—rahimahullah—telah mendasari debatnya di atas beberapa tahapan agar
beliau bisa beralih dari satu tahap ke tahap berikutnya hingga beliau
membungkam lawan debatnya.
الۡمَرۡحَلَةُ الۡأُولَى: الۡعِلۡمُ فَقَدۡ سَأَلَهُ الۡأَدۡرَمِيُّ هَلۡ
عَلِمَ هٰذِهِ الۡبِدۡعَةَ النَّبِيُّ ﷺ وَخُلَفَاؤُهُ؟ قَالَ الۡبِدۡعِيُّ:
لَمۡ يَعۡلَمُوهَا.
وَهٰذَا النَّفۡيُ يَتَضَمَّنُ انۡتِقَاصَ النَّبِيِّ ﷺ وَخُلَفَائِهِ حَيۡثُ
كَانُوا جَاهِلِينَ بِمَا هُوَ مِنۡ أَهَمِّ أُمُورِ الدِّينِ وَمَعَ ذٰلِكَ
فَهُوَ حُجَّةٌ عَلَى الۡبِدۡعِيِّ إِذَا كَانُوا لَا يَعۡلَمُونَهُ.
وَلِذٰلِكَ انۡتَقَلَ بِهِ الۡأَدۡرَمِيُّ إِلَى:
Tahapan pertama: ilmu. Al-Adrami menanyainya, “Apakah bidah ini diketahui oleh
Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—dan para khalifahnya?”
Pengusung bidah itu menjawab, “Mereka tidak mengetahuinya.”
Penafian ini mengandung perendahan terhadap Nabi—shallallahu ‘alaihi wa
sallam—dan para khalifahnya. Yaitu bahwa mereka tidak mengetahui ada perkara
agama yang penting. Bersamaan dengan itu, penafian tersebut justru menjadi
argumen terhadap pengusung bidah itu. Yaitu, ketika Nabi dan para khalifahnya
tidak mengetahuinya. Karena itu, Al-Adrami berpindah ke tahapan berikutnya.
الۡمَرۡحَلَةُ الثَّانِيَةُ: إِذَا كَانُوا لَا يَعۡلَمُونَهَا فَكَيۡفَ
تَعۡلَمُهَا أَنۡتَ؟ هَلۡ يُمۡكِنُ أَنۡ يَحۡجُبَ اللهُ عَنۡ رَسُولِهِ ﷺ
وَخُلَفَائِهِ الرَّاشِدِينَ عِلۡمَ شَيۡءٍ مِنَ الشَّرِيعَةِ وَيَفۡتَحَهُ
لَكَ؟ فَتَرَاجَعَ الۡبِدۡعِيُّ وَقَالَ: أَقُولُ قَدۡ عَلِمُوهَا.
فَانۡتَقَلَ بِهِ إِلَى:
Tahapan kedua: jika mereka tidak mengetahuinya lantas bagaimana engkau bisa
mengetahuinya? Apakah mungkin Allah menutupi sebagian ilmu syariat dari
Rasul-Nya—shallallahu ‘alaihi wa sallam—dan khulafaurasyidin, namun membukanya
untukmu? Pengusung bidah itu meralat jawabannya dan mengatakan bahwa mereka
mengetahuinya. Al-Adrami pindah ke tahapan berikutnya.
الۡمَرۡحَلَةُ الثَّالِثَةُ: إِذَا كَانُوا قَدۡ عَلِمُوهَا فَهَلۡ وَسِعَهُمۡ
أَيۡ: أَمۡكَنَهُمۡ أَنۡ لَا يَتَكَلَّمُوا بِذٰلِكَ وَلَا يَدۡعُوا النَّاسَ
إِلَيۡهِ أَمۡ لَمۡ يَسَعۡهُمۡ؟ فَأَجَابَ الۡبِدۡعِيُّ بِأَنَّهُمۡ وَسِعَهُمُ
السُّكُوتُ وَعَدَمُ الۡكَلَامِ. فَقَالَ لَهُ الۡأَدۡرَمِيُّ: فَشَيۡءٌ وَسِعَ
رَسُولَ اللهِ ﷺ وَخُلَفَاؤُهُ لَا يَسَعُكَ أَنۡتَ، فَانۡقَطَعَ الرَّجُلُ
وَامۡتَنَعَ عَنِ الۡجَوَابِ؛ لِأَنَّ الۡبَابَ انۡسَدَّ أَمَامَهُ.
Tahapan ketiga: Apabila para salaf telah mengetahuinya, apakah mungkin mereka
tidak berbicara tentang itu dan tidak mengajak orang-orang kepadanya ataukah
sebaliknya?
Pengusung bidah itu menjawab bahwa mereka memang sengaja diam dan tidak
bicara.
Al-Adrami berkata kepadanya, “Lalu mengapa engkau malah sengaja melakukan hal
yang tidak dilakukan oleh Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—, tidak
pula oleh para khalifah beliau?!”
Orang itu terdiam dan tidak bisa menjawab karena pintu di depannya sudah
tertutup.
فَصَوَّبَ الۡخَلِيفَةُ رَأۡيَ الۡأَدۡرَمِيِّ وَدَعَا بِالضِّيقِ عَلَى مَنۡ
لَمۡ يَسَعۡهُ مَا وَسِعَ النَّبِيُّ ﷺ وَخُلَفَاؤُهُ.
وَهَكَذَا كُلُّ صَاحِبِ بَاطِلٍ مِنۡ بِدۡعَةٍ أَوۡ غَيۡرِهَا فَلَا بُدَّ
أَنۡ يَكُونَ مَآلُهُ الۡاِنۡقِطَاعَ عَنِ الۡجَوَابِ.
Khalifah membenarkan pendapat Al-Adrami dan mendoakan kesempitan untuk orang
yang tidak merasa lapang dengan hal yang melapangkan hati Nabi—shallallahu
‘alaihi wa sallam—dan para khalifahnya.
Demikianlah seluruh pengusung kebatilan berupa bidah atau selainnya. Pasti
ujung-ujungnya tidak mampu menjawab.