Cari Blog Ini

Tauhid Al-Asma` wa Ash-Shifat

Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah di dalam kitab Lum'atul I'tiqad berkata,

فَصۡلٌ فِي تَوۡحِيدِ الۡأَسۡمَاءِ وَالصِّفَاتِ
Pasal tentang Tauhid Al-Asma` wash-Shifat

٣ - وَكُلُّ مَا جَاءَ فِي الۡقُرۡآنِ أَوۡ صَحَّ عَنِ الۡمُصۡطَفَى عَلَيۡهِ السَّلَامُ مِنۡ صِفَاتِ الرَّحۡمٰنِ وَجَبَ الۡإِيمَانُ بِهِ وَتَلَقِّيهِ بِالتَّسۡلِيمِ وَالۡقَبُولِ، وَتَرۡكِ التَّعَرُّضِ لَهُ بِالرَّدِّ وَالتَّأۡوِيلِ، وَالتَّشۡبِيهِ وَالتَّمۡثِيلِ.

3. Seluruh yang datang dalam Alquran atau yang sahih dari Al-Mushthafa Nabi Muhammad—shallallahu ‘alaihi wa sallam—yang menyebutkan sifat-sifat Ar-Rahman wajib diimani dan disambut dengan sikap pasrah dan terima. Tidak boleh menentangnya dengan membantah, menakwil, menyerupakan, dan memperumpamakan.

٤ - وَمَا أَشۡكَلَ مِنۡ ذٰلِكَ وَجَبَ إِثۡبَاتُهُ لَفۡظًا، وَتَرۡكُ التَّعَرُّضِ لِمَعۡنَاهُ، وَنَرُدُّ عِلۡمَهُ إِلَى قَائِلِهِ، وَنَجۡعَلُ عُهۡدَتَهُ عَلَى نَاقِلِهِ، اتِّبَاعًا لِطَرِيقِ الرَّاسِخِينَ فِي الۡعِلۡمِ، الَّذِينَ أَثۡنَى اللهُ عَلَيۡهِمۡ فِي كِتَابِهِ الۡمُبِينِ بِقَوۡلِهِ سُبۡحَانَهُ وَتَعَالَى: ﴿وَٱلرَّٰسِخُونَ فِى ٱلۡعِلۡمِ يَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِۦ كُلٌّ مِّنۡ عِندِ رَبِّنَا﴾ [آل عمران: ٧].

4. Sifat-sifat yang dia anggap sulit dimengerti, wajib ditetapkan lafaznya dan tidak boleh menentang maknanya. Kita kembalikan ilmunya kepada yang mengucapkannya dan kita jadikan pertanggungjawabannya kepada penukilnya dalam rangka mengikuti jalannya orang-orang yang mendalam ilmunya yang telah disanjung oleh Allah dalam Alquran yang jelas dengan firman-Nya—subhanahu wa ta’ala—, “Orang-orang yang mendalam ilmunya mengatakan: Kami mengimaninya. Semuanya dari sisi Tuhan kami.” (QS. Ali ‘Imran: 7).

٥ - وَقَالَ فِي ذَمِّ مُبۡتَغِي التَّأۡوِيلِ لِمُتَشَابِهِ تَنۡزِيلِهِ: ﴿فَأَمَّا ٱلَّذِينَ فِى قُلُوبِهِمۡ زَيۡغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَٰبَهَ مِنۡهُ ٱبۡتِغَآءَ ٱلۡفِتۡنَةِ وَٱبۡتِغَآءَ تَأۡوِيلِهِۦ ۗ وَمَا يَعۡلَمُ تَأۡوِيلَهُۥٓ إِلَّا ٱللَّهُ﴾ [آل عمران: ٧] فَجَعَلَ ابۡتِغَاءَ التَّأۡوِيلِ عَلَامَةً عَلَى الزَّيۡغِ وَقَرَنَهُ بِابۡتِغَاءِ الۡفِتۡنَةِ فِي الذَّمِّ، ثُمَّ حَجَبَهُمۡ عَمَّا أَمَّلُوهُ، وَقَطَعَ أَطۡمَاعَهُمۡ عَمَّا قَصَدُوهُ، بِقَوۡلِهِ سُبۡحَانَهُ: ﴿وَمَا يَعۡلَمُ تَأۡوِيلَهُۥٓ إِلَّا ٱللَّهُ﴾ [آل عمران: ٧].

5. Allah berkata ketika mencela orang yang mencari takwil ayat Alquran yang mutasyabihat, “Adapun orang-orang yang ada penyakit di hati mereka, lalu mengikuti ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah atau mencari-cari takwilnya. Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah.” (QS. Ali ‘Imran: 7). Allah menjadikan tujuan mencari-cari takwil sebagai tanda penyakit hati. Allah menyandingkannya dengan tujuan menimbulkan fitnah dalam konteks celaan kemudian Allah menghalangi mereka dari yang mereka angankan dan Allah memutus keinginan mereka dari tercapainya tujuan mereka dengan firman Allah—subhanahu—, “Tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah.” (QS. Ali ‘Imran: 7).[1]


Syekh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin rahimahullah di dalam syarahnya berkata,

[1] تَقۡسِيمُ نُصُوصِ الصِّفَاتِ وَطَرِيقَةُ النَّاسِ فِيهَا:

Pembagian nas-nas sifat Allah dan cara manusia menyikapinya:

تَنۡقَسِمُ نُصُوصُ الۡكِتَابِ وَالسُّنَّةِ الۡوَارِدَةُ فِي الصِّفَاتِ إِلَى قِسۡمَيۡنِ: وَاضِحٌ جَلِيٌّ، وَمُشۡكِلٌ خَفِيٌّ.

فَالۡوَاضِحُ: مَا اتَّضَحَ لَفۡظُهُ وَمَعۡنَاهُ فَيَجِبُ الۡإِيمَانُ بِهِ لَفۡظًا وَإِثۡبَاتُ مَعۡنَاهُ حَقًّا بِلَا رَدٍّ وَلَا تَأۡوِيلٍ، وَلَا تَشۡبِيهٍ وَلَا تَمۡثِيلٍ؛ لِأَنَّ الشَّرۡعَ وَرَدَ بِهِ فَوَجَبَ الۡإِيمَانُ بِهِ وَتَلَقِّيهِ بِالۡقَبُولِ وَالتَّسۡلِيمِ.

Nas-nas Alquran dan sunah yang menyebutkan sifat Allah terbagi menjadi dua bagian: jelas gamblang dan sulit samar. Sifat Allah yang jelas adalah yang jelas lafaz dan maknanya. Wajib mengimaninya secara lafaz dan menetapkan maknanya secara hakiki tanpa dibantah, ditakwil, diserupakan, atau dipermisalkan karena syariat telah menyebutkannya, jadi wajib mengimaninya dan menyambutnya dengan sikap penerimaan dan pasrah.

وَأَمَّا الۡمُشۡكِلُ: فَهُوَ مَا لَمۡ يَتَّضِحۡ مَعۡنَاهُ لِإِجۡمَالٍ فِي دَلَالَتِهِ أَوۡ قَصۡرٍ فِي فَهۡمِ قَارِئِهِ فَيَجِبُ إِثۡبَاتُ لَفۡظِهِ لِوُرُودِ الشَّرۡعِ بِهِ وَالتَّوَقُّفُ فِي مَعۡنَاهُ وَتَرۡكُ التَّعَرُّضِ لَهُ؛ لِأَنَّهُ مُشۡكِلٌ لَا يُمۡكِنُ الۡحُكۡمُ عَلَيۡهِ فَنَرُدُّ عِلۡمَهُ إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ.

Adapun sifat Allah yang sulit dipahami adalah yang maknanya belum jelas karena dalilnya masih terlalu umum atau pendeknya pemahaman orang yang membacanya, maka wajib menetapkan lafaznya karena telah disebutkan dalam syariat, bersikap diam tentang maknanya, dan tidak mempertentangkannya. Alasannya adalah karena sifat tersebut sulit dimengerti sehingga tidak mungkin mengambil hukum darinya. Jadi kita kembalikan ilmunya kepada Allah dan Rasul-Nya.

وَقَدِ انۡقَسَمَتۡ طُرُقُ النَّاسِ فِي هٰذَا الۡمُشۡكِلِ إِلَى طَرِيقَيۡنِ:

Cara manusia dalam menyikapi sifat Allah yang sulit dimengerti ini terbagi menjadi dua macam:

الطَّرِيقَةُ الۡأُولَى: طَرِيقَةُ الرَّاسِخِينَ فِي الۡعِلۡمِ الَّذِينَ آمَنُوا بِالۡمُحۡكَمِ وَالۡمُتَشَابِهِ وَقَالُوا كُلٌّ مِنۡ عِنۡدِ رَبِّنَا وَتَرَكُوا التَّعَرُّضَ لِمَا لَا يُمۡكِنُهُمُ الۡوُصُولَ إِلَى مَعۡرِفَتِهِ وَالۡإِحَاطَةَ بِهِ، تَعۡظِيمًا لِلهِ وَرَسُولِهِ وَتَأَدُّبًا مَعَ النُّصُوصِ الشَّرۡعِيَّةِ، وَهُمُ الَّذِينَ أَثۡنَى اللهُ عَلَيۡهِمۡ بِقَوۡلِهِ: ﴿وَٱلرَّٰسِخُونَ فِى ٱلۡعِلۡمِ يَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِۦ كُلٌّ مِّنۡ عِندِ رَبِّنَا﴾ [آل عمران: ٧].

Cara pertama adalah cara orang-orang yang mendalam ilmunya yang mereka beriman kepada ayat yang muhkamat dan mutasyabihat. Mereka mengatakan, “Semuanya dari sisi Tuhan kami.”

Mereka tidak menentangnya karena mereka tidak mungkin sampai pada tingkat mengerti dan menjangkau sifat tersebut dalam rangka mengagungkan Allah dan Rasul-Nya dan beradab terhadap nas-nas syariat.

Merekalah yang dipuji oleh Allah dengan firman-Nya, “Orang-orang yang mendalam ilmunya mengatakan: Kami mengimaninya. Semuanya dari sisi Tuhan kami.” (QS. Ali ‘Imran: 7).

الطَّرِيقَةُ الثَّانِيَةُ: طَرِيقَةُ الزَّائِغِينَ الَّذِينَ اتَّبَعُوا الۡمُتَشَابِهَ طَلَبًا لِلۡفِتۡنَةِ وَصُدًّا لِلنَّاسِ عَنۡ دِينِهِمۡ وَعَنۡ طَرِيقَةِ السَّلَفِ الصَّالِحِ، فَحَاوَلُوا تَأۡوِيلَ هٰذَا الۡمُتَشَابِهِ إِلَى مَا يُرِيدُونَ لَا إِلَى مَا يُرِيدُهُ اللهُ وَرَسُولُهُ، وَضَرَّبُوا نُصُوصَ الۡكِتَابِ وَالسُّنَّةِ بَعۡضَهَا بِبَعۡضٍ، وَحَاوَلُوا الطَّعۡنَ فِي دَلَالَتِهَا بِالۡمُعَارَضَةِ وَالنَّقۡصِ لِيُشَكِّكُوا الۡمُسۡلِمِينَ فِي دَلَالَتِهَا وَيُعۡمُوهُمۡ عَنۡ هِدَايَتِهَا، وَهٰؤُلَاءِ هُمُ الَّذِينَ ذَمَّهُمُ اللهُ بِقَوۡلِهِ: ﴿فَأَمَّا ٱلَّذِينَ فِى قُلُوبِهِمۡ زَيۡغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَٰبَهَ مِنۡهُ ٱبۡتِغَآءَ ٱلۡفِتۡنَةِ وَٱبۡتِغَآءَ تَأۡوِيلِهِۦ ۗ وَمَا يَعۡلَمُ تَأۡوِيلَهُۥٓ إِلَّا ٱللَّهُ﴾ [آل عمران: ٧].

Cara kedua adalah cara orang-orang yang hatinya berpenyakit yang mengikuti ayat mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan menghalangi kaum muslimin dari agama mereka dan dari jalan para salaf yang saleh lalu mereka memalingkan takwil ayat mutasyabihat ini kepada keinginan mereka. Bukan kepada yang diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Mereka membenturkan nas-nas Alquran dan sunah, satu dengan yang lain. Mereka membuat kritikan terhadap dalil-dalilnya dengan penentangan dan pencacatan untuk membuat kaum muslimin ragu dengan dalil-dalilnya dan membutakan mereka dari hidayahnya.

Mereka itu adalah orang-orang yang dicela oleh Allah dengan firman-Nya, “Adapun orang-orang yang ada penyakit di hati mereka, lalu mengikuti ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah atau mencari-cari takwilnya. Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah.” (QS. Ali ‘Imran: 7).

تَحۡرِيرُ الۡقَوۡلِ فِي النُّصُوصِ مِنۡ حَيۡثُ الۡوُضُوحِ وَالۡإِشۡكَالِ:

Koreksi pendapat tentang nas-nas dari sisi kejelasan dan kesulitan makna

إِنَّ الۡوُضُوحَ وَالۡإِشۡكَالَ فِي النُّصُوصِ الشَّرۡعِيَّةِ أَمۡرٌ نِسۡبِيٌّ يَخۡتَلِفُ بِهِ النَّاسُ بِحَسَبِ الۡعِلۡمِ وَالۡفَهۡمِ، فَقَدۡ يَكُونُ مُشۡكِلًا عِنۡدَ شَخۡصٍ مَا هُوَ وَاضِحٌ عِنۡدَ شَخۡصٍ آخَرَ، وَالۡوَاجِبُ عِنۡدَ الۡإِشۡكَالِ اتِّبَاعُ مَا سَبَقَ مِنۡ تَرۡكِ التَّعَرُّضِ لَهُ وَالتَّخَبُّطِ فِي مَعۡنَاهُ.

Jelas atau rumitnya nas-nas syariat merupakan perkara relatif. Tiap orang berbeda-beda sesuai tingkat ilmu dan pemahamannya. Terkadang bagi seseorang suatu nas sulit dipahami, sedangkan menurut orang lain nas tersebut sudah jelas. Hal yang wajib ketika sulit memahami adalah mengikuti langkah-langkah yang telah disebutkan, yaitu tidak mempertentangkan dan membenturkan maknanya.

أَمَّا مِنۡ حَيۡثُ وَاقِعِ النُّصُوصِ الشَّرۡعِيَّةِ فَلَيۡسَ فِيهَا بِحَمۡدِ اللهِ مَا هُوَ مُشۡكِلٌ لَا يَعۡرِفُ أَحَدٌ مِنَ النَّاسِ مَعۡنَاهُ فِيمَا يُهِمُّهُمۡ مِنۡ أَمۡرِ دِينِهِمۡ وَدُنۡيَاهُمۡ؛ لِأَنَّ اللهَ وَصَفَ الۡقُرۡآنَ بِأَنَّهُ نُورٌ مُبِينٌ وَبَيَانٌ لِلنَّاسِ وَفُرۡقَانٌ، وَأَنَّهُ أَنۡزَلَهُ تِبۡيَانًا لِكُلِّ شَيۡءٍ وَهُدًى وَرَحۡمَةً، وَهٰذَا يَقۡتَضِي أَنۡ لَا يَكُونَ فِي النُّصُوصِ مَا هُوَ مُشۡكِلٌ بِحَسَبِ الۡوَاقِعِ بِحَيۡثُ لَا يُمۡكِنُ أَحَدٌ مِنَ الۡأُمَّةِ مَعۡرِفَةَ مَعۡنَاهُ.

Adapun dari sisi kenyataan nas-nas syariat, alhamdulillah tidak ada padanya sesuatu yang rumit yang tidak ada seorang pun mengerti maknanya dalam perkara agama dan dunia yang penting untuk mereka.

Alasannya karena Allah menyifati Alquran dengan cahaya yang terang, penjelasan untuk manusia, dan furqan. Juga bahwa Allah menurunkan Alquran untuk menjelaskan segala sesuatu, petunjuk, dan rahmat. Hal ini mengharuskan tidak adanya sesuatu yang rumit dalam nas-nas dari sisi kenyataan sehingga tidak mungkin tidak ada seseorang pun yang mengerti maknanya.

مَعۡنَى الرَّدِّ وَالتَّأۡوِيلِ وَالتَّشۡبِيهِ وَالتَّمۡثِيلِ وَحُكۡمُ كُلٍّ مِنۡهَا:

Makna menolak, menakwil, menyerupakan, dan mempermisalkan, serta hukum masing-masingnya.

(الرَّدُّ): التَّكۡذِيبُ وَالۡإِنۡكَارُ مِثۡلُ أَنۡ يَقُولَ قَائِلٌ لَيۡسَ لِلهِ يَدٌ لَا حَقِيقَةً وَلَا مَجَازًا وَهُوَ كُفۡرٌ لِأَنَّهُ تَكۡذِيبٌ لِلهِ وَرَسُولِهِ.

Radd (menolak) adalah mendustakan dan mengingkari. Contohnya adalah orang yang mengatakan bahwa Allah tidak memiliki tangan, baik secara hakikat atau majas. Ini merupakan kekufuran karena mendustakan Allah dan Rasul-Nya.

وَ (التَّأۡوِيلُ): التَّفۡسِيرُ وَالۡمُرَادُ بِهِ هُنَا تَفۡسِيرُ نُصُوصِ الصِّفَاتِ بِغَيۡرِ مَا أَرَادَ اللهُ بِهَا وَرَسُولُهُ وَبِخِلَافِ مَا فَسَّرَهَا بِهِ الصَّحَابَةُ وَالتَّابِعُونَ لَهُمۡ بِإِحۡسَانٍ.

Takwil artinya tafsir. Yang dimaukan di sini adalah menafsirkan nas-nas sifat Allah dengan penafsiran yang tidak dimaukan oleh Allah dan Rasul-Nya, serta berbeda dengan penafsiran para sahabat dan yang mengikuti mereka dengan baik.

وَحُكۡمُ التَّأۡوِيلِ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقۡسَامٍ:

Hukum takwil ada tiga macam.

الۡأَوَّلُ: أَنۡ يَكُونَ صَادِرًا عَنِ اجۡتِهَادٍ وَحُسۡنِ نِيَّةٍ بِحَيۡثُ إِذَا تَبَيَّنَ لَهُ الۡحَقُّ رَجَعَ عَنۡ تَأۡوِيلِهِ فَهٰذَا مَعۡفُوٌّ عَنۡهُ؛ لِأَنَّ هٰذَا مُنۡتَهَى وُسۡعِهِ وَقَدۡ قَالَ اللهُ تَعَالَى: ﴿لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَا﴾ [البقرة: ٢٨٦].

Pertama: Takwil yang muncul dari ijtihad dan niat yang baik. Apabila kebenaran telah jelas baginya, dia rujuk dari takwilnya. Takwil semacam ini dimaafkan karena ini batas kemampuannya, sementara Allah taala berfirman, “Allah tidak membebani suatu jiwa pun kecuali sebatas kemampuannya.” (QS. Al-Baqarah: 286).

الثَّانِي: أَنۡ يَكُونَ صَادِرًا عَنۡ هَوًى وَتَعَصُّبٍ، وَلَهُ وَجۡهٌ فِي اللُّغَةِ الۡعَرَبِيَّةِ، فَهُوَ فِسۡقٌ وَلَيۡسَ بِكُفۡرٍ، إِلَّا أَنۡ يَتَضَمَّنَ نَقۡصًا أَوۡ عَيۡبًا فِي حَقِّ اللهِ فَيَكُونُ كُفۡرًا.

Kedua: Takwil yang muncul dari hawa nafsu dan fanatisme, namun memiliki sisi pendukung dalam bahasa Arab. Takwil ini adalah kefasikan dan bukan kekufuran kecuali jika takwil sifat yang mengandung cacat atau aib pada hak Allah. Takwil demikian merupakan kekufuran.

الۡقِسۡمُ الثَّالِثُ: أَنۡ يَكُونَ صَادِرًا عَنۡ هَوًى وَتَعَصُّبٍ وَلَيۡسَ لَهُ وَجۡهٌ فِي اللُّغَةِ الۡعَرَبِيَّةِ فَهٰذَا كُفۡرٌ لِأَنَّ حَقِيقَتَهُ التَّكۡذِيبُ حَيۡثُ لَا وَجۡهَ لَهُ.

Ketiga: Takwil yang muncul dari hawa nafsu dan fanatisme, serta tidak ada sisi pendukungnya dalam bahasa Arab. Ini adalah kekufuran karena hakikat takwil ini adalah pendustaan yang tidak ada sisi kebenarannya.

وَ (التَّشۡبِيهُ): إِثۡبَاتُ مُشَابِهٍ لِلهِ فِيمَا يَخۡتَصُّ بِهِ مِنۡ حُقُوقٍ أَوۡ صِفَاتٍ وَهُوَ كُفۡرٌ؛ لِأَنَّهُ مِنَ الشِّرۡكِ بِاللهِ، وَيَتَضَمَّنُ النَّقۡصَ فِي حَقِّ اللهِ حَيۡثُ شَبَّهَهُ بِالۡمَخۡلُوقِ النَّاقِصِ.

Tasybih adalah menetapkan penyerupaan untuk Allah dalam hak dan sifat yang khusus untuk-Nya. Ini adalah kekufuran karena termasuk dalam perbuatan syirik kepada Allah dan mengandung pencacatan terhadap hak Allah dari sisi diserupakannya Allah dengan makhluk yang memiliki kekurangan.

وَ (التَّمۡثِيلُ): إِثۡبَاتُ مُمَاثِلٍ لِلهِ فِيمَا يَخۡتَصُّ بِهِ مِنۡ حُقُوقٍ أَوۡ صِفَاتٍ وَهُوَ كُفۡرٌ لِأَنَّهُ مِنَ الشِّرۡكِ بِاللهِ وَتَكۡذِيبٌ لِقَوۡلِهِ تَعَالَى: ﴿لَيۡسَ كَمِثۡلِهِۦ شَىۡءٌ﴾ [الشورى: ١١] وَيَتَضَمَّنُ النَّقۡصَ فِي حَقِّ اللهِ حَيۡثُ مَثَّلَهُ بِالۡمَخۡلُوقِ النَّاقِصِ.

Tamtsil adalah menetapkan permisalan untuk Allah dalam hak atau sifat yang khusus bagi-Nya. Ini merupakan kekufuran karena termasuk dalam perbuatan syirik kepada Allah dan mendustakan firman Allah taala, “Tidak ada sesuatu pun yang semisal dengan-Nya.” (QS. Asy-Syura: 11).

Tamtsil mengandung pencacatan terhadap hak Allah dari sisi memisalkan Allah dengan makhluk yang memiliki kekurangan.

وَالۡفَرۡقُ بَيۡنَ التَّمۡثِيلِ وَالتَّشۡبِيهِ: أَنَّ التَّمۡثِيلَ يَقۡتَضِي الۡمُسَاوَاةَ مِنۡ كُلِّ وَجۡهٍ بِخِلَافِ التَّشۡبِيهِ.

Perbedaan antara tamtsil dengan tasybih adalah bahwa tamtsil mengharuskan penyamaan dari segala sisi. Lain halnya dengan tasybih.