Cari Blog Ini

Baqi bin Makhlad rahimahullah

Pernahkah terpikirkan oleh Anda, bahwa zaman dahulu, ulama rela melakukan perjalanan antar benua demi menuntut ilmu agama?

Memang, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di zaman ini, perjalanan seperti itu menjadi suatu hal yang biasa dan mudah. Pesawat terbang, kapal, kereta, dan berbagai sarana transportasi modern lainnya begitu mudah dijumpai di zaman ini. Sehingga perjalanan satu bulan yang ditempuh dengan berjalan kaki atau naik kuda, sekarang bisa dengan hitungan jam atau bahkan menit. Alhamdulillah, ini semua adalah kemudahan dari Allah subhanahu wa ta’ala kepada umat manusia.

Perjalanan sejauh itu, keadaannya sangat berbeda dengan di zaman dulu, ketika belum ada alat transportasi secanggih saat ini. Tidak perlu ditanyakan lagi pengorbanan apa saja yang dilakukan untuk sampai tempat tujuan. Baik pengorbanan harta, waktu, dan tenaga. Belum lagi rintangan-rintangan yang dihadapi.

Namun, hal itu bukanlah suatu hal yang mencengangkan bagi para pendahulu kita, dari kalangan shahabat dan para ulama generasi setelahnya. Baqi bin Makhlad adalah satu bukti nyata yang menggambarkan semangat para ulama yang menggelora dalam menuntut ilmu agama. Beliau yang berasal dari benua Eropa karena tinggal di Spanyol, rela melakukan safar yang sangat jauh menuju Timur Tengah.

Beliau menempuh perjalanan sejauh itu, tentunya memakan waktu berbulan-bulan lamanya. Apalagi, menurut penuturan Al Qurthubi, Baqi bin Makhlad menembusnya hanya dengan jalan kaki. Beliau tidak pernah menaiki kendaraan seperti unta, kuda, atau yang semisalnya. Semua itu beliau lakukan demi satu tujuan yang mulia, yaitu menutut ilmu agama.

Kuniyah beliau adalah Abu Abdirrahman. Nama lengkapnya adalah Baqi bin Makhlad bin Yazid Al-Andalusi. Beliau tinggal di sebuah perkampungan yang bernama Qurthubah. Secara geografis, daerah ini masuk wilayah negara Spanyol di benua Eropa.

Saat itu, usia Baqi bin Makhlad masih sangat muda. Yaitu dua puluh tahun. Beliau memiliki fisik yang kuat dan perawakan yang tinggi. Hal ini ditunjang semangat beliau yang sangat tinggi untuk bertemu dengan Imam Ahmad di kota Baghdad.

Memang, di zaman beliau, popularitas sang imam begitu menggelegar di seantero negeri kaum muslimin. Tak terkecuali para ulama yang tinggal di negeri Maghrib (Maroko dan sekitarnya). Oleh karena itu, Baqi bin Makhlad sangat ingin bertemu dengan Imam Ahmad, kemudian belajar dan meriwayatkan hadits darinya.

Akhirnya, Beliau pun pergi meninggalkan kampung halaman. Untuk bertemu dengan Imam Ahmad yang tinggal nan jauh di sana. Bulan demi bulan beliau lalui. Sepanjang perjalanan, berbagai rintangan dihadapi dengan penuh ketabahan dan kesabaran.

Akan tetapi alangkah terkejutnya Baqi bin Makhlad, tatkala dalam perjalanan mendengar berita tentang cobaan yang menimpa Imam Ahmad. Yaitu fitnah Khalqul Qur’an, hingga beliau dicekal oleh penguasa Irak, dan dilarang untuk keluar rumah atau mengajar kaum muslimin. Penguasa Irak terpengaruh oleh pemikiran sesat, bahwa Al Quran adalah makhluk, bukan Kalamullah. Bahkan dengan kekuasaannya, raja memaksa siapa saja untuk meyakini akidah kekafiran ini.

Baqi bin Makhlad sangat sedih mendengar berita itu. Namun, hal itu sama sekali tidak menyurutkan semangatnya untuk menuntaskan perjalanannya sampai ke Baghdad.

Setibanya di Baghdad, pertama kali yang ia prioritaskan adalah mencari tempat tinggal yang layak untuk ditempati. Ia pun memutuskan untuk menyewa sebuah kamar sebagai tempat tinggal dan penyimpanan barang-barang bawaan.

Karena sejak awal maksud perantauannya adalah menuntut ilmu syar’i, maka beliau pun tidak ragu untuk bergegas mendatangi majelis-majelis ilmu di masjid Jami’ Baghdad. Di masjid tersebut, untuk kali pertamanya ia bergabung dengan sebuah majlis yang membahas tentang keadaan dan status para perawi (ilmu Jarh wa Ta’dil). Ada seorang ulama yang berbicara tentang keadaan para perawi. Apakah seorang perawi itu tsiqah (terpercaya keagamaan dan hafalannya), sehingga bisa diriwayatkan haditsnya. Atau sebaliknya, ia adalah seorang perawi yang dhaif (lemah), sehingga haditsnya tertolak. Itulah majelisnya Yahya bin Ma’in, seorang ulama jarh wa ta’dil yang sangat terkenal saat itu.

Baqi bin Makhlad rahimahullah pun memanfaatkan kesempatan tersebut sebaik mungkin. Beliau bertanya perihal orang-orang yang pernah dijumpai. Tak terkecuali, ia bertanya kepadanya tentang Imam Ahmad. Yahya bin Ma’in menjawab, “Itulah dia imamnya kaum muslimin, orang terbaik dan paling mulia di antara mereka.”

Setelah peristiwa itu, Baqi bin Makhlad keluar dari masjid dan mencari rumah Imam Ahmad. Atas takdir Allah subhanahu wa ta’ala, ada seseorang yang berbaik hati untuk menunjukkan rumah sang imam. Setibanya di depan rumah, ia pun mengetuk pintu. Tidak lama, keluarlah seorang laki-laki menyambutnya. Baqi bin Makhlad mengatakan, “Wahai Abu Abdillah, aku adalah orang asing yang rumahnya sangat jauh. Ini adalah kali pertama aku masuk ke negeri ini. Aku adalah seorang pencari hadits dan pengikut sunnah. Tidaklah aku melakukan perjalanan jauh ini, melainkan untuk bertemu denganmu.”

Imam Ahmad rahimahullah mempersilahkannya untuk masuk. Beliau lantas bertanya, “Dari mana asalmu?” Ia menjawab, “Dari daerah maghrib yang jauh.” Sang Imam kembali bertanya, “Dari Afrika?” Ia menjawab, “Bukan. Lebih jauh lagi, negeri setelah Afrika. Aku harus menyeberangi lautan untuk sampai di Afrika. Aku tinggal di Andalus.” Setelah mengetahui tempat tinggalnya yang sangat jauh, sang imam berkata, “Sungguh tempatmu sangat jauh. Tidak ada yang lebih aku sukai daripada memberikan bantuan yang baik kepada orang sepertimu. Hanya saja aku sekarang sedang diuji, dengan sesuatu yang mungkin telah sampai beritanya kepadamu.”

Baqi bin Makhlad rahimahullah berkata, “Ya. Sungguh beritanya telah sampai kepadaku. Ini adalah kali pertama aku masuk ke dalam negeri ini. Sehingga aku tidak dikenal di sini. Jika anda mengizinkanku, aku akan datang setiap hari menemuimu dengan penampilan seorang peminta-minta. Aku akan mengatakan di depan pintu rumah anda, sebagaimana yang dikatakan oleh pengemis. Lalu anda keluar. Andaikan anda tidak menyampaikan kepadaku setiap harinya kecuali hanya satu hadits saja, maka itu sudah cukup bagiku.”

Imam Ahmad rahimahullah menjawab, “Baiklah. Tapi dengan syarat engkau tidak boleh menampakkan diri di dalam forum-forum majelis ilmu, dan tidak pula di kalangan para ahli hadits.” Ia pun menerima persyaratan tersebut.

Keesokan harinya, Baqi bin Makhlad mengambil sebatang ranting pohon dan melilitkan kain pada kepalanya. Adapun kertas dan tinta disembunyikan di balik lengan bajunya. Tatkala sampai di pintu rumah Imam Ahmad, Baqi bin Makhlad berkata dengan suara yang lantang, “Bersedekahlah, semoga Allah merahmatimu!” Maka Imam Ahmad keluar menemuinya kemudian menutup pintu. Beliau menyampaikan dua hadits, tiga, atau bahkan lebih.

Periwayatan hadits seperti ini terus berlangsung hingga berakhirlah cobaan yang menimpa Imam Ahmad rahimahullah. Sehingga, sang imam diberi kesempatan lagi untuk menyampaikan hadits dan pengajaran kepada kaum muslimin di berbagai halaqah. Baqi bin Makhlad pun tiada pernah ketinggalan menghadiri halaqah-halaqah tersebut. Wajar jika sang Imam sangat memperhatikan dan memuliakannya. Seringkali nama Baqi bin Makhlad disebut-sebut dalam majelis. Bahkan beliau mendapat predikat dari sang Imam sebagai pencari ilmu yang sesungguhnya.

Selama menimba ilmu dari Imam Ahmad, tidak selamanya Baqi bin Makhlad bisa menjalaninya tanpa ada halangan suatu apa. Pernah suatu ketika ia jatuh sakit selama beberapa hari. Akibatnya, ia tidak bisa menghadiri majelis-majelis periwayatan hadits.

Imam Ahmad merasa sangat kehilangan. Sehingga bertanya kepada sebagian hadirin tentang kabarnya. Tatkala ada yang mengatakan bahwa ia sedang sakit, dengan disertai sekian banyak orang, sang Imam bergegas menuju penginapannya. Saat itu keadaan Baqi bin Makhlad cukup menyedihkan. Karena ia berada seorang diri di sebuah kamar sewaan. Dalam keadaan tertidur beralaskan tikar dan hanya ditemani buku-bukunya yang berantakan.

Tiba-tiba, datanglah pemilik penginapan untuk memberitahukan tentang kedatangan Imam Ahmad beserta rombongan. Setibanya di sana, Imam Ahmad berusaha untuk menghibur dan membesarkan harapan Baqi bin Makhlad. Beliau rahimahullah mengatakan, “Wahai Abu Abdirrahman (Baqi bin Makhlad), berbahagialah dengan meraih pahala Allah. Sungguh engkau telah menjalani hari-hari sehatmu dengan baik. Sekarang tibalah hari-hari sakitmu. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memuliakanmu dengan keselamatan dan mengusapkan kesembuhan kepadamu dengan tangan kanan-Nya.”

Baqi bin Makhlad rahimahullah berkisah, “Sungguh, Allah subhanahu wa ta’ala telah mengabulkan doa Imam Ahmad. Setelah beliau keluar, maka orang-orang berduyun-duyun mengunjungiku. Mereka membawa berbagai bentuk bantuan. Seperti kasur, makanan, minuman, perawatan, dan yang lainnya. Sungguh luar biasa perhatian mereka. Bahkan, melebihi perhatian kedua orang tuaku.”

Demikianlah sepenggal kisah keteladanan perjuangan salaf kita dalam menuntut ilmu. Semoga bisa menjadi pelajaran dan renungan bagi kita semua. Lihatlah berbagai pengorbanan Baqi bin Makhlad, ‘hanya’ dalam rangka mencari hadits dan menuntut ilmu. Mulai dari perjalanan fantastis antara benua yang beliau lakukan, lalu penyamaran beliau sebagai pengemis agar bisa mendapatkan hadits. Sampai ujian sakit yang beliau alami selama menuntut ilmu di negeri orang, tanpa kehadiran satu pun anggota keluarga untuk merawatnya. Semuanya dijalani dan dihadapi dengan penuh kesabaran.

Lalu bagaimana dengan kita? Apa yang telah kita korbankan untuk menuntut ilmu agama atau mendakwahkannya?! Perjuangan apa yang telah kita lakukan?! Ingatlah, bahwa ilmu ini tidak akan bisa diraih dengan jasad yang santai dan bermalas-malasan. Sejauh mana pengorbanan dan upaya yang dilakukan oleh seorang hamba dalam menuntut ilmu, maka sejauh itu pula Allah subhanahu wa ta’ala akan memberikan balasan baik di akhirat nanti.

Sungguh, apa yang selama ini kita lakukan belum ada apa-apanya dibandingkan dengan pengorbanan beliau. Itulah Al-Imam Baqi bin Makhlad semoga Allah subhanahu wa ta’ala merahmati beliau. Allahu a’lam.

Sumber: Majalah Qudwah edisi 7 vol.1 1434H/2013M, rubrik Ulama. Pemateri: Ustadz Abu Hafiy Abdullah.