Cari Blog Ini

Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah

Sosok langka yang pernah terlahir di muka bumi. Seorang imam yang berhasil meraih kemuliaan di banyak sisi dan sangat menonjol di berbagai bidang ilmu, Ahmad bin Hanbal. Biografi yang begitu indah. Akankah kita mendapatkan percikan dari keteladanan beliau?

Bagi ahli hadits, Ahmad bin Hambal adalah imamnya. Di sisi ahli fikih, beliau adalah sayid. Di kalangan para huffazh, maka beliau adalah amir. Tokoh yang amat pemberani dan kokoh mempertahankan akidah meski didera berbagai ujian yang berat dan bertubi.

Sejarah mencatat bahwa beliau hidup di masa Daulah Abbasiyyah. Daulah yang tentu tidak lepas dari kekurangan. Al Makmun, salah satu penguasa yang berdaulat saat itu condong kepada budaya Persia. Sedangkan Al Mu’tashim condong kepada Turki.

Di masa itu marak pula penerjemahan buku-buku filsafat baik Yunani, Romawi, Persia, maupun India ke dalam bahasa Arab dengan dukungan penuh penguasa. Akibatnya, tumbuhlah dengan subur berbagai penyimpangan (baca: bid’ah) baik dalam akidah dan ibadah di kalangan masyarakat muslim. Syiah Rafidhah tersebar. Aliran Mu’tazilah juga mulai tersiar. Para pengasungnya bagai mendapat angin karena mereka berhasil beroleh topangan dari penguasa yang berdaulat. Mereka berhasil menjadikan keyakinan kufur tentang “Al Quran bukan ucapan Allah. Melainkan makhluk yang dicipta” sebagai doktrin wajib yang harus diyakini seluruh rakyat.

Lebih dari itu, Al Imam Al Maqrizi menjelaskan bahwa penerjemahan buku-buku filsafat yang digalakkan oleh Al Makmun menjadi titik tolak berjamurnya kesesatan di tubuh umat Islam. Aliran Qodariyah (pengingkar takdir), Jahmiyah (peningkar seluruh sifat Allah), Qaramithah, Bathiniyah, dan aliran-aliran sesat lain semakin melanda permukaan bumi. Sehingga mengakibatkan terseretnya umat ini kepada malapetaka dan kemalangan yang tak terperi pada agama mereka.

Di saat-saat genting inilah, Allah munculkan Imam Ahmad, untuk membela agama-Nya. Mengembalikan kembali kemuliaan para pengikut Sunnah Nabi. Benarlah apa yang disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ اللهَ يَبۡعَثُ لِهٰذِهِ الۡأُمَّةِ عَلَى رَأۡسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنۡ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا
“Sesungguhnya Allah akan munculkan bagi umat ini pada setiap 100 tahun seorang tokoh yang akan memperbarui (mengembalikan kemurnian) agama ini.” [H.R. Abu Dawud dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Ash Shahihah].

Nama beliau adalah Ahmad. Ayah beliau bernama Muhammad bin Hambal Adz Dzuhli Asy Syaibani. Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Nizar bin Ma’ad bin ‘Adnan. Terlahir di Baghdad pada bulan Rabi’ul Awwal tahun 164 H. Ayah ibu beliau adalah imigran dari Marwazi. 3 tahun setelah kelahirannya, ayahanda beliau wafat. Sejak itu beliau hidup sebagai yatim dalam asuhan ibundanya.

Baghdad adalah tempat beliau dibesarkan. Sejak umur 16 tahun beliau mulai menekuni ilmu hadits, menimbanya dari 280 ulama lebih. Di antara guru-guru beliau yang utama adalah Al Imam Asy Syafi’i, Sufyan bin ‘Uyainah, Waki’ bin Al Jarrah, Yahya Al Qaththan, Yazid bin Harun, Isma’il bin ‘Ulayyah, Husyaim bin Busyair, dan Abdurrazzaq bin Hammam Ash Shan’ani. Banyak negeri beliau kunjungi untuk mencari hadits dan fiqih. Beliau rihlah menuju Kufah, Bashrah, Makkah, Madinah, Yaman, Syam, dan Jazirah dengan perbekalan seadanya.

KEHEBATAN HAFALAN


Hafalan beliau luar biasa. Banyak yang dihafal. Banyak yang beliau baca dan kaji dari kitab-kitab hadits. Kehebatan hafalan beliau dipersaksikan oleh para imam dan ahli hadits di zamannya.

Abu Zur’ah berkata, “Ketika Ahmad bin Hambal wafat, aku kumpulkan karya-karyanya, ternyata mencapai lebih dari 12 pikul. Tidak ada riwayat atsar dan hadits yang tertulis dengan tinta baik di sampul kitab atau di dalam isinya, kecuali semua telah dihafal oleh Ahmad lengkap dengan jalur perawinya.”

Abu Zur’ah juga pernah berkata kepada Abdullah bin Ahmad bin Hambal, “Ayahmu menghafal sejuta hadits.”

Abdullah berkata, “Dari mana engkau tahu wahai Abu Zur’ah?”

“Aku pernah bermajelis dengan ayahmu. Beliau sebutkan hadits-hadits itu dari hafalannya. Aku kumpulkan menjadi sekian banyak bab.”

Adz Dzahabi memberikan catatan kaki bahwa yang dihafal oleh Ahmad hingga mencapai sejuta itu bukan hanya hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tapi termasuk atsar shahabat, fatwa tabi’in, tafsir mereka, dan ucapan-ucapan yang semisal dari para salaf. Adapun matan (naskah asli) dari hadits yang diriwayatkan sampai Nabi (tanpa menghitung yang terulang) sekitar 10.000 hadits.

Ali bin Al Madini menyaksikan bahwa di zaman beliau tidak ada yang lebih hebat hafalannya dari pada Ahmad bin Hambal. Walaupun begitu, ketika beliau menyampaikan hadits, kitab yang berisi riwayat-riwayat hadits itu selalu ada di hadapannya. Sungguh hal ini menunjukkan kehati-hatian yang sangat tinggi dari seorang imam yang kuat hafalannya. Ambillah sikap beliau ini teladan bagi kita dalam menyampaikan ilmu. Jangan bersikap ceroboh. Sampaikanlah ilmu dengan cermat dan hati-hati.

Pembaca, ketinggian derajat yang telah dicapai oleh Imam Ahmad dalam ilmu adalah hasil dari tekad baja dan keteguhan jiwa dalam menuntutnya. Jiwa raga ini, jika dicurahkan untuk menggali ilmu maka mutiara-mutiara yang terpendam akan terkuak. Imam Ahmad bin Hambal begitu serius dalam menuntut ilmu. Waktu yang panjang dilalui. Perjalanan yang jauh ditempuhnya. Kefakiran ia jalani dengan penuh kesabaran. Tak rela disibukkan dengan urusan mencari nafkah. Ia pun tunda menikah untuk menggali dan mendulang mutiara-mutiara yang lebih berharga.

Coba kita perhatikan bagaimana kesungguhan sang imam dalam menuntut ilmu. Al Khallal bercerita bahwa Waki’ bila hari telah gulita, ia berlalu dari majelis hadits dan saling mengingatkan bersama Ahmad. Keduanya berdiri di dekat pintu lalu masing-masing bergantian membacakan hadits demi hadits lengkap dengan perawinya.

Waki’ terlebih dahulu membacakan hadits, “Ahmad! Aku akan bacakan untukmu sebuah hadits yang aku dengar dari Sufyan.”

“Baik. Bacakanlah.”

“Apakah engkau hafal hadits Sufyan dari gurunya, Salamah bin Kuhail, yang lafazhnya demikian dan demikian?”

“Ya aku hafal hadits ini. Namun aku mendengarnya dari Yahya dari gurunya, Salamah bin Kuhail, juga dari Abdurrahman dari gurunya, Salamah bin Kuhail. Lalu sekarang aku mendengarnya darimu dari Sufyan dari Salamah.”

Setelah itu giliran Imam Ahmad, “Wahai guruku, apakah engkau pernah dengar hadits yang lafazhnya demikian yang juga datang dari Salamah bin Kuhail?”

“Tidak.”

Kemudian Imam Ahmad membacakan hadits tersebut lengkap dengan perawinya.

Demikianlah secara bergantian pengulangan hafalan ini berlalu tanpa peduli waktu. Dan baru berhenti ketika seorang pelayan mengingatkan kedua imam ini bahwa malam telah larut. Kegiatan ini bukanlah terjadi sekali dua kali namun sudah menjadi kebiasaan bagi Imam Ahmad dan gurunya. Tak heran jika Ahmad begitu hafal dengan hadits-hadits yang beliau dapatkan dari jalan gurunya, Waki’ bin Al Jarrah.

Di antara buktinya, beliau pernah meminta kepada anaknya, Abdullah untuk mengambil salah satu kitab hadits dari Waki’ bin Al Jarrah lalu menyuruhnya untuk membaca sembarang hadits yang ada dalam kitab tersebut.

“Bacalah lafazh hadits sekehendakmu! Aku akan sebutkan sanad haditsnya. Atau sebaliknya, sebutkan sanad perawinya, niscaya akan aku bacakan hadits yang diriwayatkan.”

PUJIAN PARA ULAMA BAGI SANG IMAM


Salah satu guru beliau dan imam dunia pada zamannya, Imam Asy Syafi’i, memuji beliau, “Aku pergi dari Baghdad. Tidak seorang pun yang aku tinggalkan dari penduduk negeri itu yang lebih bertakwa, wara’, dan berilmu dari pada Ahmad.” Subhanallah!

Guru beliau dari Shan’a, Abdurrazzaq bin Hammam berkata, “Tidak ada seorang pun dari para pencari hadits yang seperti Ahmad bin Hambal. Bahkan aku belum pernah melihat di zamanku sehebat dia.”

Demikianlah pujian Abdurrazzaq yang begitu tinggi bagi Imam Ahmad. Padahal, beliau sempat berjumpa dengan imam-imam besar di zamannya seperti Malik bin Anas, Ats Tsauri, Ibnu ‘Uyainah, Ibnu Ma’in, Ibnu Juraij, dan selain mereka.

Sebenarnya masih banyak sanjungan dari sejumlah ulama untuk Imam Ahmad. Namun, cukuplah kita nukil ucapan Adz Dzahabi merangkum pujian-pujian tersebut. Kata Adz Dzahabi, “Ahmad bin Hambal adalah seorang yang sangat dimuliakan, termasuk orang yang terdepan dalam hadits, fikih, dan teladan dalam ibadah. Musuh pun mengakui kemuliaan Ahmad bin Hambal.”

Ulama adalah pewaris para Nabi. Ilmu yang Allah subhanahu wa ta’ala kurniakan kepada mereka laksana mahkota yang akan selalu dijunjung tinggi. Karena itulah kedudukan para ulama demikian mulia dan terhormat. Betapa banyak ulama yang berasal dari garis keturunan rakyat jelata, namanya dikenang sepanjang masa. Betapa banyak manusia yang leluhurnya bernasab mulia, namun menjadi terhina karena kejahilan. Adapun Ahmad bin Hambal, maka ia adalah salah seorang ulama yang berasal dari garis nasab terhormat. Dengan ilmu dan nasab ini, beliau menjadi sosok yang disegani.

Ahmad bin Syaiban menuturkan, “Belum pernah aku melihat Yazid bin Harun memuliakan seseorang melebihi penghormatannya kepada Ahmad bin Hambal. Ia persilakan Ahmad untuk duduk bersanding dengannya ketika berada dalam majelis pembacaan hadits. Yazid tidak berani berkelakar dengan Ahmad atau mengajaknya bergurau.”

Suatu hari Yazid menyampaikan hadits. Ia sedikit berseloroh di hadapan murid-muridnya. Kelakar yang wajar namun secara spontan disambut oleh Imam Ahmad dengan suara deham. Satu peringatan yang begitu halus namun cukup mengena.

Yazid menyesal atas kejadian ini dan berkata, “Kenapa kalian tidak memberitahukan kepadaku bahwa Ahmad ada bersama kalian. Dengan begitu aku akan serius dan meninggalkan canda?”

Semoga Allah subhanahu wa ta’ala merahmati Ahmad bin Hambal. Ia begitu serius dan bersemangat dalam menuntut ilmu, pelit terhadap waktu untuk perkara yang tiada berguna. Dengan keseriusan dan semangat membaja itulah, para ulama memuliakannya. Sehingga digelari dengan imam dan sayid baik oleh para murid, sesama pencari ilmu, bahkan guru-guru besarnya.

ZUHUD TERHADAP DUNIA


Adalah hal yang lumrah dan biasa, jika seseorang dinilai zuhud terhadap dunia di saat dunia jauh dari genggaman. Lain halnya jika seorang bersikap zuhud ketika dunia dengan gemerlapnya melambaikan tangan dan menghampiri, begitu dimudahkan tuk meraih dan mencicipi. Tentu hal ini merupakan perkara luar biasa.

Inilah zuhud yang hakiki. Tidak ada manusia yang bisa menjalaninya kecuali amat sedikit. Merekalah yang penyabar dan hanya mengharap apa yang ada di sisi Allah dan melihat dunia sebagai urusan remeh. Merekalah yang bercita-cita tinggal di kampung akhirat dan berpaling dari hikuk-pikuk dunia. Salah satu dari mereka adalah Ahmad bin Hambal.

Seperti yang dituturkan oleh Ibnu Nahhas, “Semoga Allah merahmati Ahmad. Betapa sabar terhadap dunia, betapa mirip dengan generasi terdahulu, betapa pantas digolongkan bersama shalihin. Dunia melambaikan tangan, namun ia enggan menghampiri. Bid’ah menyerangnya, maka ia menumpasnya.”

Begitulah keadaan para imam yang bertakwa, pemilik kesabaran prima dan keyakinan yang teguh menghunjam jiwa. Kesabaran adalah senjata ampuh untuk menampik syahwat. Sedangkan keyakinan adalah sumber kekuatan menepis syubhat.

Membicarakan kezuhudan Imam Ahmad bisa menghabiskan waktu panjang. Namun, cukuplah kiranya beberapa contoh yang dinukilkan tentang perangai ini. Shalih bin Ahmad berkata, “Tak jarang aku melihat ayahku memungut sisa-sisa potongan roti. Beliau bersihkan debu-debu yang melekat. Lalu diletakkannya di atas panci. Ia tuangkan ke dalam roti ini air lalu disantapnya dengan garam. Belum pernah sekali pun aku melihat ayahku mebeli delima, safarjal, atau buah-buahan lain. Yang sering aku lihat, ayah menyantap anggur, kurma, dan semangka yang dimakan bersama roti.

Ini adalah buah dari rasa takut yang sangat kepada Allah. Bila disebut-sebut kepadanya tentang kematian, maka lehernya tercekat akibat diliputi rasa takut.

Imam Ahmad bercerita kepada anaknya, “Wahai Shalih, dahulu ibumu memintal benang saat gelap menyelimuti. Setelah jadi, kain itu dijualnya dengan 2 dirham. Dan 2 dirham itu cukup untuk membeli makan keluarga (sehari). Kalau beli sesuatu, kita sembunyikan supaya orang tidak melihat lalu mengolok-oloknya. Terkadang kita membeli roti, lalu kita campur dengan biji adas, minyak samin, dan beberapa butir kurma kering dalam wadah. Ketika anak-anak datang dan merengek minta makan, kita sodorkan racikan makanan itu. Anak-anak hanya tertawa dan tidak mau menyantapnya.”

Imam Ahmad memiliki rumah kecil dan sempit. Jika musim panas datang, beliau tidur di atas tanah. Ia pernah ditegur oleh Ahmad bin ‘Isa Al Mishri yang datang bersama rombongan dari ulama tentang rumahnya yang jauh dari kelayakan.

“Wahai Abu Abdillah, kenapa engkau memilih hidup prihatin dan bersedih seperti ini? Bukankah Islam itu agama yang mudah dan longgar. Buatlah rumah yang luas!”

Imam Ahmad terpana mendapat kritikan pedas itu. Ia yang saat itu tengah berbaring mendadak duduk. Setelah tamu itu pergi, ia mengatakan, “Aku tidak senang orang-orang seperti mereka datang.”

Imam Ahmad juga menolak untuk mendekati istana para penguasa. Ia tolak hadiah dari mereka.

Ishaq bin Musa Al Anshari berkata, “Al Makmun menyerahkan harta kepadaku, lalu berpesan supaya aku membagikannya bagi para penuntut ilmu. Sebab kebanyakan mereka adalah orang-orang miskin dan lemah. Setelah aku bagi, tidak ada yang tersisa dari para penuntut ilmu kecuali telah mengambil bagiannya, kecuali Ahmad. Dia enggan mengambilnya.”

Bahkan Ahmad bin Hambal sangat marah jika anak-anaknya mendapat hadiah dari para gubernur.

Suatu ketika, Ahmad kehabisan makanan. Selama tiga hari ia tidak makan. Lalu mengutus kepada temannya untuk meminjam gandum. Tiba-tiba teman tersebut menghidangkan makanan dengan cepat.

Ahmad bertanya keheranan, “Kenapa kalian begitu cepat menghidangkan makanan untuk kami.”

Mereka berkata, “Tungku milik Shalih sedang nyala. Lalu kita buat roti di atasnya.”

Lalu Imam Ahmad berkata, “Angkatlah! Lalu tutup rapat pintu yang menuju kamar Shalih.” Ahmad bin Hambal tahu bahwa Shalih menerima hadiah dari Al Mutawakkil. Sehingga sebagai pelajaran untuk Shalih, ia diboikot.

Beliau bukan hanya sekali menolak pemberian penguasa. Baginya rezeki dari Allah subhanahu wa ta’ala lebih baik dan lebih kekal.

Lebih dari itu, Imam Ahmad juga sering menolak pemberian dari para gurunya walaupun dalam keadaan sangat membutuhkan.

Ishaq bin Rahuyah menceritakan, “Aku bersama Ahmad berada di sisi Abdurrazzaq Ash Shan’ani. Kita menyewa kamar. Kamarku di atas, sedang Ahmad berada di bawah. Seperti biasa, jika aku singgah di suatu negeri, aku membeli seorang budak. Suatu saat budak itu naik dan mengabarkan bahwa bekal Ahmad sudah habis. Aku tawarkan kepada Ahmad uang sebagai pinjaman atau pemberian cuma-Cuma. Namun ia tak tertarik. Ternyata aku melihat ia membuat tali (kolor) celana lalu dijualnya dan digunakan untuk menutupi kebutuhannya.

Imam Ahmad sendiri pernah bercerita kepada anaknya, “Aku ditawari harta lebih kurang 500 dirham oleh Yazid bin Harun. Aku menolak pemberian itu. Lalu ditawarkan kepada Yahya bin Ma’in dan Abu Muslim, maka keduanya menerima pemberian itu.”

Itulah sekelumit kepribadian Imam Ahmad bin Hambal. Semoga Allah merahmati Imam Ahmad. Ia hafal lautan ilmu, ia jaga kehormatan para ulama, sehingga ilmu tidak dijadikan bahan gurauan.

Semoga Allah merahmati Imam Ahmad, yang jika diingatkan dengan kematian, menjadi ringan semua problem dunia. Dunia bagi beliau tak bernilai. Kehidupan dunia, cukuplah makan ala kadarnya, cukuplah memakai baju sederhana. Sungguh kefakiran tidak perlu dirisaukan, sebab hidup di dunia hanya sekejap mata bila dibandingkan hidup nyata di alam baka.


Sumber: Majalah Qudwah edisi 4 vol.01 1434H/2013M rubrik Biografi. Pemateri: Ustadz Abu Hamid Fauzi bin Isnaini.