Cari Blog Ini

Juru Dakwah Kaum Muslimin

Wanita dalam medan dakwah? Mungkin tidak asing lagi terdengar. Terlebih setelah kenyataan yang terhampar di hadapan mata kita menyadarkan kita betapa banyaknya anak-anak putri kaum muslimin yang membutuhkan pendidikan terhadap agamanya. Hal tersebut seakan menuntut para wanita yang dianggap memiliki beberapa kemampuan mau tidak mau harus diikutkan dan diharapkan peranannya dalam medan dakwah. Memang, mendakwahkan ilmu yang dimiliki bukanlah semata kewajiban kaum lelaki. Bahkan hal tersebut merupakan kewajiban bagi setiap individu muslim sesuai dengan kemampuan masing-masing. Begitu pula seorang wanita, juga memiliki kewajiban dalam mendakwahkan ilmu yang telah dia ketahui. Bukankah setiap diri kita tidak ingin merugi dalam kehidupannya? Maka mendakwahkan ilmu yang telah dimiliki merupakan salah satu perkara yang harus dimiliki seseorang ketika tidak ingin berada dalam kerugian. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam Al Quran Surat Al Ashr : 1-3
وَٱلْعَصْرِ ۝١ إِنَّ ٱلْإِنسَـٰنَ لَفِى خُسْرٍ ۝٢ إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلْحَقِّ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلصَّبْرِ ۝٣
“Demi masa. Sesungguhnya manusia sungguh dalam keadaan merugi. Kecuali orang-orang yang beriman, dan beramal saleh, dan saling menasehati dalam kebenaran (berdakwah), dan saling menasehati dalam kesabaran (bersabar)”.

Akan tetapi, sungguh sangat disayangkan, ketika ada sebagian wanita yang diberi peran dalam kancah dakwah kemudian bersikap melampaui batasannya. Ada yang menggunakan cara-cara baru dalam gerak dakwah yang dia jalankan, di luar dari apa yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Ada yang berjalan sendiri seakan tak memerlukan bimbingan siapapun dalam melaksanakan kegiatan yang dia lakukan. Inginnya berbuat kemaslahatan, tapi tak jarang justru berbagai kemudaratan yang ditimbulkan akibat ulahnya. Allahul Musta’an.

Jikalau saja kita mau menengok jauh ke belakang, ke zamannya Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, niscaya kita juga mendapati ada sebagian di antara para shahabiyah yang memiliki peran serta di dalam dakwah. Akan tetapi kita akan melihat betapa sikap yang ditunjukkan oleh para wanita di zaman Rasulullah sangat jauh berbeda dengan apa yang keumuman kita lihat pada para dai wanita di zaman ini. Maka suatu perkara yang sepantasnya kita contoh dan kita ambil pelajaran dari kiprahnya di dalam dakwah adalah sosok seorang shahabiyah mulia, dia adalah Asma’ binti Yazid bin As Sakan Al Anshariyah Al Ausiyah radhiyallahu ‘anha, salah seorang dai dan khatib wanita di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Asma’ binti Yazid radhiyallahu ‘anha adalah seorang wanita penduduk Madinah dari suku Aus yang datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama keluarganya pada tahun pertama hijriyah dan berbai’at kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka berislam dengan keislaman yang baik. Ayahnya Yazid bin As Sakan dan juga saudaranya Amir bin Yazid terbunuh syahid –insya Allah- di dalam Perang Uhud. Asma’ binti Yazid dikenal di kalangan kaumnya sebagai seorang wanita yang berakal, pandai, dan mempunyai kefasihan di dalam berbicara. Tak heran ia dijuluki sebagai khatib (juru dakwah) di kalangan kaum wanita karena kemampuannya berkhutbah dan menasehati para wanita. Ia seorang wanita yang memiliki keberanian, kokoh dalam pendirian, dan didengar perkataannya oleh para wanita di kaumnya. Subhanallah.

Keutamaan-keutamaan yang Allah karuniakan kepada dirinya tidaklah membuat dirinya menjadi besar kepala. Bahkan sejak dia mengenal Islam, ia berusaha menjadikan setiap langkah yang ditempuhnya sesuai dengan apa yang diinginkan oleh syariat Islam. Ia berusaha menjadikan segala kemampuannya tidak menghalangi dirinya untuk tunduk dan taat kepada perintah Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Simaklah bagaimana sikapnya ketika di awal berbai’at kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ternyata Rasulullah memerintahkan kepadanya untuk melemparkan perhiasannya berupa 2 gelang besar yang melingkar di kedua tangannya (yang artinya), “Lemparkanlah gelang-gelang itu wahai Asma’, Apakah engkau tidak takut untuk Allah pakaikan kepadamu gelang-gelang dari api neraka?”. Maka bersegera dia melepas dan menyerahkannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa keraguan sedikitpun. Tidak dihiraukannya kerugian dunia akibat kehilangan benda berharga tersebut, selama dalam rangka menaati dan mengikuti perintah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. SubhanAllah.

Tidak cukup sampai di situ, ia pun berusaha menjadikan kelebihan yang dia miliki untuk membimbing saudarinya sesama muslimah untuk juga tunduk kepada perintah Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau paham benar bahwa ilmu adalah obat dari kebodohan, dan berilmu adalah cara agar seseorang terhindar dari ketergelinciran dan kesalahan.

Dan ilmu, sepantasnya diambil dari orang yang memilikinya. Oleh karenanya Asma binti Yazid radhiyallahu ‘anha bersemangat untuk mencari ilmu agama dengan cara mendengarkan perkataan-perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tak jarang Asma datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bertanya kepada beliau tentang perkara-perkara agama terutama yang menyangkut perkara kaum wanita. Ia tidak pernah malu untuk mendapatkan kebenaran. Tak heran jika cukup banyak hadis diriwayatkan oleh beliau. Ia menyampaikan ilmu yang ia dapatkan kepada saudari-saudarinya muslimah, kemudian jika mereka menemui suatu permasalahan dan pertanyaan, maka ia akan mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menanyakan perkara tersebut.

Salah satu contoh sikapnya dalam berupaya mencari bimbingan syariat bagi dirinya dan para wanita yang ada di belakangnya adalah sebuah hadis yang dinukilkan Al Imam Ibnu Abdil Baar rahimahullah dalam Al Isti’ab, suatu ketika Asma binti Yazid radhiyallahu ‘anha datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia membawa pertanyaan sekelompok wanita yang ada di belakangnya. Mereka merasa bahwa para laki-laki telah mendahului mereka dalam amalan-amalan kebaikan. Seperti pahala salat berjamaah bagi kaum laki-laki, mengurusi jenazah dari mulai memandikan hingga memasukkannya ke liang lahat, begitu pula amalan jihad di jalan Allah, yang amalan-amalan tersebut memang terkhusus bagi kaum laki-laki. Mereka memandang amalan para laki-laki begitu besarnya, sedangkan amalan mereka kaum wanita yang mayoritasnya adalah mengurusi kehidupan rumah tangga adalah amalan yang kurang utama. Maka Asma’ binti Yazid sebagai utusan dari sekelompok wanita tersebut menanyakan, “Apakah kami dapat menyamai mereka dalam hal pahala wahai Rasulullah?”.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Pergilah wahai Asma’ dan sampaikan kepada para wanita di belakangmu, bahwa baiknya pelayanan salah seorang dari kalian kepada suaminya dan usahanya untuk mendapatkan keridaan suaminya (karena Allah), dan taatnya seorang istri kepada suaminya (dalam perkara yang makruf) akan sebanding dengan semua perkara yang engkau sebutkan bagi kaum laki-laki”. SubhanAllah. Maka berlalulah Asma’ binti Yazid dengan segenap rasa syukur, bertahlil, dan bertakbir, memuji Allah subhanahu wa ta’ala dan menyampaikan apa yang dia dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kaumnya.

Demikianlah sikap Asma binti Yazid radhiyallahu ‘anha dalam upayanya memberikan manfaat dan ilmu bagi saudarinya sesama muslimah. Beliau senantiasa mencari bimbingan dan tidak berupaya untuk memecahkan permasalahan yang dijumpainya sendirian. Beliau sadar benar bagaimana keadaan dan posisi seorang wanita sebagai individu yang Allah ciptakan memiliki banyak kekurangan, baik kekurangan agama maupun akal. Sehingga dalam setiap langkahnya kita akan dapat melihat betapa beliau tetap berada di belakang barisan para laki-laki, membantu mereka dengan sepenuh kemampuannya.

Hal tersebut dapat kita lihat dalam sikapnya ketika beliau sangat menginginkan berjihad di jalan Allah bersama kaum laki-laki, turut terjun ke medan perang bersama mereka. Maka, ketika hal tersebut tidak memungkinkan, karena para wanita yang ikut berperang bersama kaum muslimin hanyalah berperan membantu yang terluka dan melayani kebutuhan kaum muslimin yang berperang, beliau radhiyallahu ‘anha menerima hal tersebut. Sampai akhirnya Allah kabulkan keinginannya ketika terjadinya perang Yarmuk sekitar tahun ke 13 Hijriyah.

Sebuah peperangan yang sangat dahsyat antara kaum muslimin dan tentara Romawi. Pada peperangan tersebut pasukan kaum muslimin terdesak hingga musuh dapat mencapai barisan belakang kaum muslimin yang di sana terdapat para wanita muslimah. Akhirnya para muslimah tersebut mau tidak mau harus pula bertempur dan mengadakan perlawanan. Mereka melawan pasukan musuh dan juga berusaha menghadang orang-orang yang mundur dari pasukan kaum muslimin. Dengan senjata seadanya mereka lemparkan dan pukulkan agar anggota pasukan yang lari tersebut kembali ke medan pertempuran. Asma’ binti Yazid radhiyallahu ‘anha tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Beliau mengambil sebuah tiang tenda atau kemah kemudian masuk ke dalam pasukan musuh. Ia berusaha memukulkan tiang tersebut ke kanan dan kirinya sehingga –dengan izin Allah- ia berhasil membunuh 9 orang dari pasukan Romawi. Setelah peperangan tersebut beliau masih berumur panjang, hingga 17 tahun kemudian beliau wafat. Subhanallah.

Itulah sosok muslimah yang sepantasnya kita jadikan teladan dalam upayanya membantu dakwah Islam di kalangan kaumnya. Semangatnya yang besar untuk memberikan faedah ilmu kepada sesama muslimah tidak menjadikannya bertindak serampangan dalam berkata dan bertindak. Akan tetapi senantiasa berusaha dikembalikan kepada orang yang berilmu untuk diminta bimbingannya dan nasihatnya. Sikapnya tersebut menunjukkan kecerdasan akal dan kebagusan agamanya. Oleh karenanya Al Imam Ibnu Abdil Barr dalam kitabnya Al Isti’ab berkomentar tentang sosok Asma’ binti Yazid radhiyallahu ‘anha, “Ia adalah salah seorang wanita yang memiliki akal dan agama”. Semoga Allah memudahkan kita semua mengikuti jejak para pendahulu kita yang saleh dan mendapatkan kemuliaan sebagaimana yang mereka dapatkan. Amin.

Referensi:
  • Nisa’ Haular Rasul, Musthafa Asy Sya’labi Mahmud Mahdi Al Istambuli
  • Al Bidayah wa Nihayah Ibnu Katsir
  • Al Isti’aab Ibnu Abdil Baar

Sumber: Majalah Qudwah edisi 41 vol.04 2016 rubrik Niswah. Pemateri: Al Ustadzah Ummu Abdillah Shafa.