Dalam sejarah penulisan kitab hadis ada beberapa konsep dan metode yang ditempuh para ulama. Para ulama menentukan metode pilihannya berdasarkan argumen dan latar belakang yang beragam. Kitab Al Mu’jam Al Kabir adalah karya besar seorang ulama ahli hadis di masa lampau. Nama kitab ini sudah tidak asing lagi bagi para penuntut ilmu agama. Kitab ini begitu identik dengan nama besar pemiliknya yang bernama Ath Thabarani.
Ath Thabarani rahimahullah lahir di Palestina tepatnya di sebuah desa yang bernama Akka dan ibunya berasal dari suku Akka. Tercatat dalam biografinya bahwa beliau terlahir pada bulan Shafar tahun 260 Hijriyah atau bertepatan dengan 821 Masehi. Nama beliau adalah Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub Al Lakhmi Asy Syami Ath Thabarani.
Sang ayahanda adalah seorang ulama dan perawi hadis di zamannya. Oleh karenanya dukungan moril pun muncul dari sang ayah untuk menuntut ilmu. Beliau tumbuh dan berkembang di tengah keluarga yang terhormat dan punya latar belakang agama. Tak heran jika beliau mulai belajar dan mengenal hadis pada usia tiga belas tahun. Bahkan beliau diajak ayahnya untuk berkelana ke berbagai negeri, karena sang ayahanda adalah memang seorang ahli hadis dari kawasan Duhaim.
PERJALANAN INTELEKTUALNYA
Awal pertama kali perjalanannya menuntut ilmu pada tahun 275 H. Beberapa kota pernah menjadi tempat persinggahannya seperti Syam, Hijaz, Baghdad, Kufah, Bashrah, dan selainnya. Demikian pula Qaisariyah untuk menghafal Al Quran dan memperdalam ilmu agama. Afghanistan termasuk negeri yang pernah dikunjungi olehnya dalam rangka menuntut ilmu. Mesir, Irak, Iran, dan semenanjung Arabia juga tidak luput dari perjalanan ilmiyahnya mencari hadis.
Tentang perjalanan intelektualnya ini, Adz Dzahabi rahimahullah mengatakan, “Ia sampai ke Irak setelah melakukan perjalanan ke negeri-negeri tersebut. Seandainya ia menuju Irak terlebih dahulu, niscaya ia akan mendapatkan sanad yang banyak di sana.” Karena banyaknya perjalanan yang pernah ditempuh hingga di antara predikat ulama yang berikan kepada beliau adalah Ar Rahhal (orang yang banyak melakukan perjalanan) dan Jawwal (Petualang berkeliling ke berbagai negeri).
Petualangannya dalam belajar ilmu hadis berlangsung selama 16 tahun dan selama itu pula beliau bersua dengan sekian banyak perawi hadis. Bahkan salah satu referensi menyebutkan bahwa Thabarani pernah meriwayatkan hadis lebih dari seribu guru. Pada tahun 290 H beliau berkunjung ke Asfahan dan di sinilah akhirnya beliau menetap berdakwah dan menyusun karya tulis sampai akhir hayatnya. Demikianlah safar untuk menuntut hadis dan ilmu agama menjadi kebiasaan ulama terdahulu. Mereka rela mengorbankan waktu, tenaga, harta, dan jiwa raga untuk meriwayatkan hadis.
GURU DAN MURIDNYA
Setelah bertahun-tahun melakukan perjalanan ilmiyah, beliau pun bertemu dengan para ulama ahli hadis. Di antara mereka adalah Abu Zur’ah Abdurrahman bin Amr Ad Dimasyqi, Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, An-Nasai, Hasyim bin Martsad Ath-Thabarani, Ishaq Ad-Duburi, Idris Al Aththar, Bisyr bin Musa, Hafs bin Umar, Ali bin Abdul Aziz, dan selainnya.
Sebagaimana Ath Thabarani juga pernah bertemu dengan murid-murid ulama terkemuka seperti Yazid bin Harun, Ruh bin Ubadah, Abu Ashim, Hajjaj bin Muhammad, dan Abdurrazzaq Ash Shan’ani. Kerja keras dan kesabarannya selama bertahun-tahun sungguh berbuah manis. Ath Thabarani menjadi ulama yang sangat menonjol terutama dalam bidang ilmu hadis. Ia pun menjadi perhatian ulama-ulama dan perawi hadis di masanya. Sejarah mencatat para pakar hadis dari berbagai belahan negeri sangat antusias meriwayatkan hadis darinya.
Abul Abbas bin Mansyur As Syirazi menyatakan bahwa dirinya telah menulis tiga ratus hadis dari Ath Thabarani. Sementara itu ulama-ulama lain yang pernah menjadi muridnya adalah Ibnu Mandah, Muhammad bin Ahmad al Jarudi, Ibnu Mardawaih, Abu Nuaim Al Ashbahani, dan selainnya. Tiada henti-hentinya beliau menjadi tujuan para perawi hadis.
Ath Thabarani adalah figur ulama yang berbekal hafalan kuat dan intelektual tinggi. Ulama-ulama di zamannya atau setelahnya memberikan penilaian dan apresiasi yang sangat baik. Adz Dzahabi rahimahullah dalam biografinya menyatakan bahwa Ath Thabarani adalah seorang Imam, hafizh (penghafal yang handal), dan ahli hadis. Ad Dawudi menegaskan bahwa Ath Thabarani adalah seorang imam yang menjadi hujjah dan tumpuan para hafizh.” Abu Bakar bin Abi Ali Al Muaddil mengatakan, “Ath Thabarani lebih populer dari berbagai kelebihannya yang diperbincangkan oleh manusia. Ia adalah manusia yang luas ilmunya dan banyak karya tulisnya.”
Salah seorang muridnya, yaitu Ibnu Mandah menuturkan bahwa Ath Thabarani rahimahullah memiliki penampilan yang bagus dan kemampuan yang baik dalam menyampaikan ilmu. Bahkan ia juga mempunyai kemampuan yang sangat baik dan jeli dalam beradu argumen. Ini menggambarkan kapasitas keilmuannya yang sangat mumpuni dalam ilmu hadis.
Ibnu Al Amid pernah menuturkan, “Aku tidak menyangka bahwa di dunia ini ada sesuatu yang lebih nikmat daripada kepemimpinan dan kementrian yang aku jabat selama ini. Hingga suatu ketika aku menyaksikan perdebatan antara Abul Qasim Ath Thabarani dengan Abu Ja’far Al Ji’abi. Ath Thabarani mengalahkan Al Jiba’i dengan hafalannya yang banyak. Sedangkan Al-Jiba’i mengungguli Ath Thabarani dengan kecerdasannya. Masing-masing dari keduanya mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki oleh selainnya. Akhirnya suasana menjadi panas dan suara keduanya meninggi. Al Ji’abi mengatakan, “Aku memiliki sebuah hadis yang tidak ada di dunia ini kecuali hanya pada diriku.” “Datangkan hadis yang engkau miliki itu.” kata Ath Thabarani. Al Ji’abi mengatakan, “Telah meriwayatkan hadis kepada kami Abu Khalifah Al Jumahi, telah meriwayatkan hadis kepada kami Sulaiman bin Ayyub.” Lantas ia menyebutkan matan hadis tersebut. Maka Ath Thabarani rahimahullah berkata, “Telah memberitakan hadis itu kepada kami Sulaiman bin Ayyub dan dariku Abu Khalifah mendengar hadis itu. Maka dengarkanlah hadis itu dariku sehingga sanadmu menjadi tinggi.” Sontak Al Ji’abi kaget dan sangat malu mendengar jawaban tersebut.
Ibnu Al Amid melanjutkan kisahnya, “Setelah berakhirnya perdebatan itu, aku berangan-angan seandainya kementerian itu tidak ada dan aku adalah Ath Thabarani sehingga akupun merasa senang sebagaimana kesenangan yang dirasakan olehnya.”
KARYA TULISNYA
Perhatian Ath Thabarani rahimahullah terhadap hadis mendorongnya untuk menyusun banyak karya tulis. Cukup banyak kitab-kitab yang dihasilkan sepanjang perjalanan hidupnya. Di antara kitabnya yang terkenal adalah Dalail An Nubuwah, ‘Isyrah An Nisa, Fadhl Ramadhan, Musnad Abu Hurairah, Musnad Abu Bakr wa Umar, Musnad Abu Dzar, Tafsir Ath Thabarani, Kitab Asyribah, Kitab Ad Du’a, Kitab Al Ilm, dan masih banyak yang lainnya. Karyanya yang paling fenomenal adalah ketiga kitab mu’jamnya yaitu Al Mu’jam Al Kabir, Al Mu’jam Al Ausath, dan Al Mu’jam Ash Shaghir.
Penulis mempunyai metode tersendiri dalam penyusunan kitab mu’jam yang pertama. Kitab ini disusun berdasarkan musnad para shahabat sesuai dengan urutan huruf hijaiyah. Kecuali musnad Abu Hurairah yang disusun dalam kitab tersendiri. Kitab ini mampu memuat 60 ribu hadis sehingga disebut-sebut sebagai kitab mu’jam terbesar di dunia. Terbingkai dalam 12 jilid menjadikan kitab ini sebagai rujukan yang sangat lengkap. Apabila dikatakan kitab Al Mu’jam secara umum maka yang dimaksud adalah kitab Al Mu’jam Al Kabir karya Ath Thabarani. Adapun Al Mu’jam Al Ausath, maka disusun berdasarkan nama guru-guru Ath Thabarani. Dengan dua jilid yang besar, kitab ini mampu menampung 30 ribu hadis. Sedangkan Al Mu’jam Ash Shaghir adalah hasil karyanya yang paling kecil dibandingkan dua mu’jam yang lainnya. Sesuai dengan namanya yaitu ash-Shaghir yang artinya kecil. Dalam kitab ini Ath Thabarani rahimahullah menyebutkan hadis-hadis yang diriwayatkan dari gurunya. Terlepas dari keistimewaan Al Mu’jam karya Ath Thabarani, kitab ini menghimpun hadis yang shahih, hasan, atau lemah.
AKHIR HAYATNYA
Di akhir hayatnya, kedua mata Ath Thabarani mengalami kebutaan sehingga tidak mampu melihat. Menurut penuturan Ath Thabarani, kebutaan tersebut disebabkan karena pengaruh sihir yang dilakukan oleh orang-orang zindiq.
Suatu ketika muridnya yang bernama Hasan Al Aththar hendak menguji penglihatannya. Ia mengajukan sebuah pertanyaan kepada gurunya, “Berapa jumlah pasak yang berada di atas atap rumah itu?” “Aku tidak tahu,” jawab Ath Thabarani.
Ia hidup selama seratus tahun lebih sepuluh bulan sebagaimana penuturan Adz Dzahabi dan meninggal pada tanggal 29 Dzulqa’dah tahun 360 H di Asfahan. Sementara putranya yang bernama Abu Dzar meninggal pada tahun 399 H dengan usia lebih dari enam puluh tahun. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan memberikan balasan yang terbaik kepadanya. Aamiin Ya Rabbal ‘Alamin.
Sumber: Majalah Qudwah edisi 63 vol.06 1440 H rubrik Biografi. Pemateri: Al Ustadz Abu Hafy Abdullah.