NASAB DAN KELAHIRAN DZAHABI
Beliau adalah seorang Imam, Hafiz, Pakar sejarah Islam Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Utsman At-Turkumani As-Syafi’i Ad-Dimasyqi yang sangat populer dengan sebutan Adz-Dzahabi. Beliau dilahirkan pada tahun 673 H di sebuah desa yang bernama Kafarbatna di Damaskus. Dzahabi tumbuh di tengah sebuah keluarga yang mencintai ilmu agama. Sejak usia muda ia memang terkenal mempunyai kejeniusan dan kekuatan hafalan yang luar biasa. Hal tersebut didukung oleh semangat membaja dan pantang menyerah dalam menuntut ilmu agama. Dzahabi mulai menekuni dan mempelajari ilmu agama tatkala berusia delapan belas tahun. Saat itu perhatiannya terfokus pada dua bidang ilmu agama yaitu qiraah dan ilmu hadits. Ia langsung menimba ilmu secara langsung dari para syaikh di negeri Syam.
PERJALANANNYA MENUNTUT ILMU
Pada tahun 691 H Adz Dzahabi bersama rekan-rekannya belajar kepada seorang syaikh ahli qiraah yang bernama Jamaluddin Abu Ishaq bin Daud di Damaskus. Kemampuannya dalam ilmu qiraah terus berkembang dan bahkan mendapatkan ijazah periwayatan dari sebagian syaikhnya. Adz Dzahabi sendiri sempat menulis sebuah kitab yang berjudul ‘Al-Muqaddimah fit Tajwid’. Adz Dzahabi meraih perdikat yang sangat memuaskan dalam ilmu qiraah. Bahkan kecemerlangannya dalam bidang ilmu ini membuat guru qiraahnya yang bernama Syamsudin Abu Abdillah Ad-Dimyathi mengundurkan diri dari forum mengajarnya di Jami’ Umawy pada tahun 692 H. Saat itu sang guru terserang penyakit yang membuatnya meninggal dunia namun Adz Dzahabi telah menyelesaikan pelajaran qiraahnya bersamanya. Beliaulah yang ditunjuk menggantikan posisi guru beliau tersebut. Dengan demikian inilah tugas ilmiah yang pertama kali diemban oleh Adz Dzahabi sepanjang hidupnya. Sungguh Adz Dzahabi dalam waktu yang singkat telah menjelma sebagai seorang syaikh dan imam dalam bidang ilmu qira’ah.
Di sisi lain, ternyata Dzahabi juga mencurahkan perhatiannya untuk ilmu hadits saat usianya baru menginjak delapan belas tahun. Bahkan akhirnya ia mencurahkan segenap tenaga dan pikirannya untuk mendalami ilmu hadits. Tak mengherankan jika ia telah mendengar dan meriwayatkan sekian banyak kitab hadis yang tak terhitung jumlahnya. Ia telah bertemu dengan sekian banyak syaikh ahli hadits di masanya. Hal ini karena antusias dan semangatnya sangat luar biasa untuk mendengar dan meriwayatkan hadits. Suatu saat muncullah keinginan kuat untuk berkelana dan belajar ke berbagai penjuru negeri. Targetnya adalah mendapatkan sanad yang tinggi dan mengambil faidah secara langsung dari ulama hadits. Namun ternyata ayahnya berkehendak lain, ia ingin putranya tidak melakukan rihlah dan tetap tinggal di negerinya. Akhirnya Adz Dzahabi mengurungkan niatannya untuk rihlah dan safar menuntut ilmu. Rihlah ini baru bisa terwujud pada tahun 693 H saat ia berusia duapuluh tahun. Tercatat beberapa negeri pernah ia singgahi seperti Syam, Halab, Palestina, Mesir dan yang lainnya. Namun perjalanan safar Adz Dzahabi tidak berlangsung lama karena ia telah berjanji kepada ayahnya tidak akan menetap lebih dari empat bulan. Sehingga sebelum berakhirnya waktu tersebut ia harus segera kembali ke rumah untuk memenuhi janjinya. Karena kapasitas keilmuannya yang sangat diperhitungkan oleh kaum muslimin bahkan para ulama saat itu, Adz Dzahabi pun pernah diberi amanah untuk menduduki beberapa jabatan ilmiah. Seperti misalnya mengajar di Darul Hadits Azh-Zhahiriyah, Darul Hadits di Turbah Ummu Ash-Shalih, Darul Hadits Al-Fadhiliyah dan yang lainnya. Hebatnya, kesibukan dan aktivitas mengajarnya tidak menghalangi Adz Dzahabi untuk menciptakan berbagai karya tulis. Di antara kitab-kitabnya yang sangat tersohor adalah Tarikh Islam, Siyar A’lamin Nubala, Mizanul I’tidal, Al-Mughni fid Dhu’afa, Al-Kasyif, Tadzkiratul Huffadz dan masih banyak yang lainnya. Sepanjang hidupnya Adz Dzahabi telah menorehkan dua ratus lebih karya tulis dalam berbagai cabang ilmu agama.
GURU-GURUNYA
Guru-guru Adz Dzahabi sangat banyak dan tersebar di berbagai negeri. Namun di antara sekian banyak gurunya ada tiga nama yang ia pandang sebagai guru besar dan paling berpengaruh dalam perjalanannya menuntut ilmu. Mereka adalah Jamaludin Abul Hajjaj Yusuf bin Abdurrahman Al-Mizzi, Taqiyyuddin Abul Abbas Ahmad Ibnu Taimiyah dan ‘Alamuddin Abu Muhammad Al-Qosim bin Muhammad Al-Barzali. Adz Dzahabi adalah yang paling muda di antara mereka sementara Abul Hajjaj Al-Mizzi adalah yang paling tua di antara mereka. Mereka saling membaca dan meriwayatkan hadits satu sama lain. Karena status mereka adalah sebagai guru dan murid sekaligus qorin (teman) yang saling mengambil faidah satu sama lain. Hubungan mereka juga terjalin dengan sangat baik karena terbukti mereka saling menyebutkan kebaikan satu sama lain. Adz Dzahabi berkisah bahwa Al-Barzali adalah orang yang sangat berjasa dalam menanamkan kecintaannya terhadap ilmu hadits. Adz Dzahabi mengatakan, “Al-Barzali adalah seorang Imam Mutqin, Jujur, Hujjah, pemberi faidah, pengajar sekaligus shahabat kami. Dialah Pakar hadits dari Syam dan Ahli Sejarah di zaman ini.” Ia juga menyatakan dalam kesempatan lain, “Dia lah yang membuatku suka kepada ilmu hadits. Suatu saat dia pernah melihat tulisanku lalu menyatakan bahwa tulisanku mirip tulisan para Ahli Hadits. Sejak saat itulah ucapannya membekas dan selalu terngiang-ngiang dalam benakku.”
AKHLAKNYA
Kesaksian dan pujian para ulama terhadap Adz Dzahabi menjadi fakta yang menunjukkan kebaikan akhlak dan agamanya. Hal ini tidak hanya disampaikan oleh murid-muridnya namun juga para ulama yang sezaman dengannya. Adz Dzahabi dikenal sebagai ulama yang zuhud, wara’ dan komitmennya terhadap agama yang kuat. Berikut ini beberapa rekomendasi para ulama terhadapnya, salah seorang muridnya yang bernama Taqiyuddin Ibnu Rafi’ As-Sulami mengatakan, “Adz Dzahabi adalah seorang yang baik lagi shalih, tawadhu dan berakhlak baik.” Az-Zarkasyi menyatakan, “Ia mempunyai sifat zuhud yang sempurna, sifat Itsar yang menyeluruh, dan antusiasnya untuk berlomba-lomba dalam kebaikan.” Cukuplah menjadi bukti dari semua pujian tersebut realita yang menunjukkan bahwa Adz Dzahabi telah menghabiskan kehidupannya untuk mempelajari serta mengajarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Kitab-kitab karya Adz Dzahabi telah tersebar di zamannya dan pada periode setelahnya hingga saat ini. Bahkan sebagian karya tulisnya terhitung sebagai rujukan dan referensi para ulama setelahnya. Salah seorang muridnya yang bernama Shalahuddin Ash-Shafdi mengatakan, “Syaikhul Islam, ‘Allamah, seorang yang sangat kuat hafalan hadits, para perawinya dan keadaan mereka. Ibnul Hajar pernah mengatakan, “Aku pernah minum Air Zam-Zam dengan tujuan supaya mempunyai hafalan seperti Adz-Dzahabi.”
AKHIR HAYATNYA
Kedua penglihatan Adz Dzahabi mengalami gangguan di akhir hidupnya kurang lebih empat tahun sebelum kematiannya. Kemampuan pandangan matanya berangsur-angsur melemah hingga akhirnya tidak bisa melihat dengan sempurna. Beliau meninggal di Turbah Ummu Shalih pada malam Senin tangga 3 Dzulqa’dah tahun 748 H. Jenazahnya dikuburkan di Pemakaman Babus Shaghir dan sebelumnya terlihat ada beberapa ulama yang menshalati jenazahnya. Di antaranya Tajuddin As-Subki, Shalah Ash-Shafdi dan murid-muridnya yang lain. Adz Dzahabi meninggalkan tiga orang anak yang semuanya dikenal sebagai orang-orang yang berilmu. Di antaranya adalah putrinya yang bernama Amatul ‘Azizah. Ada beberapa ulama yang telah memberikan ijazah kepadanya atas permintaan ayahnya. Di antara ulama tersebut adalah Syaikh Mustanshiriyah Muhammad bin Abdullah Al-Baghdadi. Sang putri menikah tatkala ayahanda masih hidup dan mempunyai seorang anak yang bernama Abdul Qadir. Adz Dzahabi memberinya ijazah untuk meriwayatkan kitabnya yang berjudul Tarikhul Islam. Kemudian dua putranya, yaitu Abul Darda’ Abdullah dan Syihabuddin Abu Hurairah Abdurrahman. Nama yang terakhir ini pernah meriwayatkan hadits dari sejumlah ulama seperti ‘Isa Al-Muth’im Ad-Dallal dan yang lainnya. Semoga Allah mencurahkan rahmat dan ampunan-Nya kepadanya dan kita semua. Aamiin Ya Rabbal ‘Alamin.
Sumber: Majalah Qudwah edisi 20 vol.02 1435 H/ 2014 M rubrik Biografi. Pemateri: Ustadz Abu Hafy Abdullah.