Cari Blog Ini

Wajah Allah

Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah di dalam Lum'atul I'tiqad berkata,

فَمِمَّا جَاءَ مِنۡ آيَاتِ الصِّفَاتِ قَوۡلُ اللهِ تَعَالَى: ﴿وَيَبۡقَىٰ وَجۡهُ رَبِّكَ﴾ [الرحمن: ٢٧].
Di antara ayat-ayat sifat adalah firman Allah taala yang artinya, “Dan wajah Rabb-mu tetap kekal.”(QS. Ar-Rahman 27).[1]


Syekh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin rahimahullah di dalam syarahnya berkata,

[1] الصِّفَاتُ الَّتِي ذَكَرَهَا الۡمُؤَلِّفُ مِنۡ صِفَاتِ اللهِ تَعَالَى 

ذَكَرَ الۡمُؤَلِّفُ رَحِمَهُ اللهُ مِنۡ صِفَاتِ اللهِ الصِّفَاتِ الۡآتِيَةَ، وَسَنَتَكَلَّمُ عَلَيۡهَا حَسۡبَ تَرۡتِيبِ الۡمُؤَلِّفِ. 

Sifat-sifat yang disebutkan oleh mualif dari sifat-sifat Allah taala. 

Mualif rahimahullah menyebutkan sebagian sifat Allah, sifat-sifat berikut ini dan kita akan membicarakannya sesuai dengan urutan mualif. 

الصِّفَةُ الۡأُولَى: الۡوَجۡهُ: 

الۡوَجۡهُ ثَابِتٌ لِلهِ تَعَالَى بِدَلَالَةِ الۡكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَإِجۡمَاعِ السَّلَفِ. 

Sifat pertama: Wajah. 

Wajah adalah sifat yang pasti Allah taala miliki berdasarkan dalil Alquran, sunah, dan ijmak ulama salaf. 

قَالَ اللهُ تَعَالَى: ﴿وَيَبۡقَىٰ وَجۡهُ رَبِّكَ ذُو ٱلۡجَلَـٰلِ وَٱلۡإِكۡرَامِ﴾ [الرحمن: ٢٧]. 

وَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ لِسَعۡدِ بۡنِ أَبِي وَقَّاصٍ: (إِنَّكَ لَنۡ تُنۡفِقَ نَفَقَةً تَبۡتَغِي بِهَا وَجۡهَ اللهِ إِلَّا أُجِرۡتَ عَلَيۡهَا). متفق عليه. 

وَأَجۡمَعَ السَّلَفُ عَلَى إِثۡبَاتِ الۡوَجۡهِ لِلهِ تَعَالَى. 

Allah taala berfirman yang artinya, “Dan tetap kekal wajah Rabb-mu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan.” (QS. Ar-Rahman: 27). 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Sa’d bin Abu Waqqash, “Sesungguhnya tidaklah engkau menginfakkan suatu nafkah yang engkau harapkan wajah Allah dengannya, kecuali engkau diberi pahala atasnya.” (Muttafaqun ‘alaihi; HR. Al-Bukhari nomor 6733 dan Muslim nomor 1628). 

Ulama salaf bersepakat akan penetapan wajah untuk Allah taala. 

فَيَجِبُ إِثۡبَاتُهُ لَهُ بِدُونِ تَحۡرِيفٍ وَلَا تَعۡطِيلٍ وَلَا تَكۡيِيفٍ وَلَا تَمۡثِيلٍ. 

وَهُوَ وَجۡهٌ حَقِيقِيٌّ يَلِيقُ بِاللهِ. 

وَقَدۡ فَسَّرَهُ أَهۡلُ التَّعۡطِيلِ بِالثَّوَابِ وَنَرُدُّ عَلَيۡهِمۡ بِمَا سَبَقَ فِي الۡقَاعِدَةِ الرَّابِعَةِ. 

Sehingga wajib menetapkannya untuk-Nya dengan tanpa tahrif (menyelewengkan makna), ta’thil (menolaknya), takyif (mempertanyakan bagaimananya), dan tamtsil (menyerupakannya). Itu adalah wajah yang hakiki yang layak bagi Allah. 

Para penolak sifat menafsirkannya dengan pahala dan kita bantah mereka dengan kaidah keempat yang telah lewat.