Cari Blog Ini

Syarh Sittah Mawadhi' min As-Sirah - Peristiwa Kelima

Syekh Muhammad bin 'Abdul Wahhab rahimahullah di dalam kitab Sittah Mawadhi' min As-Sirah berkata:

الۡمَوۡضِعُ الۡخَامِسُ: قِصَّةُ الۡهِجۡرَةِ، وَفِيهَا مِنَ الۡفَوَائِدِ وَالۡعِبَرِ مَا لَا يَعۡرِفُهُ أَكۡثَرُ مَنۡ قَرَأَهَا. 

Peristiwa kelima: Kisah hijrah. Dalam kisah ini ada faedah-faedah dan pelajaran-pelajaran yang tidak diketahui oleh sebagian besar orang yang membacanya.[1]

وَلَكِنۡ مُرَادُنَا الۡآنَ مَسۡأَلَةٌ مِنۡ مَسَائِلِهَا، وَهِيَ أَنَّ مِنۡ أَصۡحَابِ رَسُولِ اللهِ ﷺ مَنۡ لَمۡ يُهَاجِرۡ مِنۡ غَيۡرِ شَكٍّ فِي الدِّينِ وَتَزۡيِينِ دِينِ الۡمُشۡرِكِينَ، وَلَكِنۡ مَحَبَّةً لِلۡأَهۡلِ وَالۡمَالِ وَالۡوَطَنِ، فَلَمَّا خَرَجُوا إِلَى بَدۡرٍ خَرَجُوا مَعَ الۡمُشۡرِكِينَ كَارِهِينَ، فَقُتِلَ بَعۡضُهُمۡ بِالرَّمۡيِ، وَالرَّامِي لَا يَعۡرِفُهُ. 

Akan tetapi yang kita inginkan sekarang adalah sebuah permasalahan di antara berbagai permasalahan dalam kejadian tersebut. Yaitu bahwa sebagian sahabat Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—ada yang tidak berhijrah. Alasannya bukan karena ragu dengan agama Islam dan bukan untuk mendukung agama orang-orang musyrik. Akan tetapi alasannya adalah kecintaan terhadap keluarga, harta, dan tanah air. Ketika mereka keluar menuju medan perang Badr, mereka keluar bersama barisan kaum musyrikin dalam keadaan tidak suka. Sebagian mereka terbunuh karena lemparan senjata, sementara si pelempar tidak mengenalinya. 

فَلَمَّا سَمِعَ الصَّحَابَةُ أَنَّ مِنَ الۡقَتۡلَى فُلَانًا وَفُلَانًا شَقَّ عَلَيۡهِمۡ وَقَالُوا: قَتَلۡنَا إِخۡوَانَنَا. فَأَنۡزَلَ اللهُ تَعَالَى: ﴿إِنَّ ٱلَّذِينَ تَوَفَّىٰهُمُ ٱلۡمَلَـٰٓئِكَةُ ظَالِمِىٓ أَنفُسِهِمۡ﴾ ... إِلَى قَوۡلِهِ: ﴿وَكَانَ ٱللَّـهُ غَفُورًا رَّحِيمًا﴾ [النساء: ٩٧-١٠٠]. 

Ketika para sahabat mendengar bahwa di antara korban perang ada si Polan dan si Polan, mereka merasa berat dan berkata, “Kita telah membunuh saudara-saudara kita.” Lalu Allah taala menurunkan ayat, “Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan oleh malaikat dalam keadaan menzalimi diri-diri mereka…” hingga firman-Nya, “Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa`: 97-100). 

فَمَنۡ تَأَمَّلَ قِصَّتَهُمۡ وَتَأَمَّلَ قَوۡلَ الصَّحَابَةِ: قَتَلۡنَا إِخۡوَانَنَا، عَلِمَ أَنَّهُ لَوۡ بَلَغَهُمۡ عَنۡهُمۡ كَلَامٌ فِي الدِّينِ أَوۡ كَلَامٌ فِي تَزۡيِينِ دِينِ الۡمُشۡرِكِينَ لَمۡ يَقُولُوا: قَتَلۡنَا إِخۡوَانَنَا. 

Maka, siapa saja yang merenungkan kisah mereka dan merenungkan perkataan sahabat, “Kita telah membunuh saudara-saudara kita,” maka dia mengetahui bahwa andai ada ucapan (keraguan) terhadap agama Islam atau ucapan yang mendukung agama kaum musyrikin dari kaum muslimin yang tidak ikut hijrah didengar oleh para sahabat, niscaya para sahabat tidak akan berkata, “Kita telah membunuh saudara-saudara kita.”[2]

فَإِنَّ اللهَ تَعَالَى قَدۡ بَيَّنَ لَهُمۡ وَهُمۡ بِمَكَّةَ قَبۡلَ الۡهِجۡرَةِ أَنَّ ذٰلِكَ كُفۡرٌ بَعۡدَ الۡإِيمَانِ بِقَوۡلِهِ تَعَالَى: ﴿مَن كَفَرَ بِٱللَّـهِ مِنۢ بَعۡدِ إِيمَـٰنِهِۦٓ إِلَّا مَنۡ أُكۡرِهَ وَقَلۡبُهُۥ مُطۡمَئِنٌّۢ بِٱلۡإِيمَـٰنِ﴾ [النحل: ١٠٦]. وَأَبۡلَغُ مِنۡ هَٰذَا مَا تَقَدَّمَ مِنۡ كَلَامِ اللهِ تَعَالَى فِيهِمۡ، فَإِنَّ الۡمَلَائِكَةَ تَقُولُ: ﴿فِيمَ كُنتُمۡ﴾ وَلَمۡ يَقُولُوا: كَيۡفَ تَصۡدِيقُكُمۡ؟ ﴿قَالُوا۟ كُنَّا مُسۡتَضۡعَفِينَ فِى ٱلۡأَرۡضِ ۚ﴾ [النساء: ٩٧]. 

Karena sungguh Allah taala telah menjelaskan kepada mereka ketika mereka berada di Makkah sebelum hijrah bahwa ucapan-ucapan itu adalah kekufuran sesudah keimanan dengan dasar firman-Nya taala, “Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa).” (QS. An-Nahl: 106). 

Yang lebih gamblang daripada ayat ini adalah firman Allah taala yang telah disebutkan tentang mereka. Yaitu, bahwa malaikat bertanya, “Bagaimana keadaan kalian ketika itu?” 

Para malaikat tidak menanyakan, “Bagaimana pembenaran kalian?” 

Mereka menjawab, “Dahulu kami adalah orang-orang yang tertindas di negeri (Makkah).” (QS. An-Nisa`: 97).[3]

وَلَمۡ يَقُولُوا: كَذَبۡتُمۡ. مِثۡلَ مَا يَقُولُ اللهُ وَالۡمَلَائِكَةُ لِلۡمُجَاهِدِ الَّذِي يَقُولُ: جَاهَدۡتُ فِي سَبِيلِكَ حَتَّى قُتِلۡتُ، فَيَقُولُ اللهُ: كَذَبۡتَ، وَتَقُولُ الۡمَلَائِكَةُ: كَذَبۡتَ، بَلۡ قَاتَلۡتَ لِيُقَالَ: جَرِيءٌ، وَكَذٰلِكَ يَقُولُونَ لِلۡعَالِمِ وَالۡمُتَصَدِّقِ: كَذَبۡتَ، بَلۡ تَعَلَّمۡتَ لِيُقَالَ: عَالِمٌ، وَتَصَدَّقۡتَ لِيُقَالَ: جَوَّادٌ. 

Para malaikat tidak berkata, “Kalian telah berdusta.” 

Seperti yang dikatakan oleh Allah dan malaikat kepada mujahid yang berkata, “Aku berjihad di jalan-Mu sampai aku terbunuh.” 

Lalu Allah berkata, “Engkau dusta.” 

Malaikat juga berkata, “Engkau dusta. Engkau berperang hanya agar engkau disebut sebagai pemberani.” 

Demikian pula yang mereka katakan kepada orang yang alim dan orang yang bersedekah, “Engkau dusta. Engkau belajar agar engkau disebut sebagai orang yang alim dan engkau bersedekah agar disebut sebagai orang yang dermawan.” (HR. Muslim nomor 1905, At-Tirmidzi nomor 2382, dan An-Nasa`i nomor 3137).[4]

وَأَمَّا هَٰؤُلَاءِ فَلَمۡ يُكۡذِبُوهُمۡ بَلۡ أَجَابُوهُمۡ بِقَوۡلِهِمۡ: ﴿قَالُوٓا۟ أَلَمۡ تَكُنۡ أَرۡضُ ٱللَّهِ وَٰسِعَةً فَتُهَاجِرُوا۟ فِيهَا ۚ﴾ وَيَزِيدُ ذٰلِكَ إِيضَاحًا لِلۡعَارِفِ وَالۡجَاهِلِ الۡآيَةُ الَّتِي بَعۡدَهَا، وَهِيَ قَوۡلُهُ تَعَالَى: ﴿إِلَّا ٱلۡمُسۡتَضۡعَفِينَ مِنَ ٱلرِّجَالِ وَٱلنِّسَآءِ وَٱلۡوِلۡدَٰنِ لَا يَسۡتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلَا يَهۡتَدُونَ سَبِيلًا﴾ [النساء: ٩٨]. 

Adapun mereka yang tidak ikut hijrah ini, maka malaikat tidak menyatakan bahwa mereka berdusta, bahkan menanggapi mereka dengan ucapan mereka. “Para malaikat berkata: Bukankah bumi Allah luas sehingga kalian dapat berhijrah di bumi itu?” 

Ayat setelahnya akan menambah jelas hal itu, baik bagi orang yang pandai maupun yang jahil. Yaitu firman Allah taala, “Kecuali orang-orang yang tertindas dari kalangan pria, wanita, dan anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah).” (QS. An-Nisa`: 98).[5]

فَهَٰذَا أَوۡضَحُ جِدًّا أَنَّ هَٰؤُلَاءِ خَرَجُوا مِنَ الۡوَعِيدِ، فَلَمۡ يَبۡقَ شُبۡهَةً، لَكِنۡ لِمَنۡ طَلَبَ الۡعِلۡمَ، بِخِلَافِ مَنۡ لَمۡ يَطۡلُبۡهُ، بَلۡ قَالَ اللهُ فِيهِمۡ: ﴿صُمٌّۢ بُكۡمٌ عُمۡىٌ فَهُمۡ لَا يَرۡجِعُونَ﴾ [البقرة: ١٨]. 

Ini sangat jelas bahwa mereka (yang tidak hijrah karena uzur) tidak termasuk ke dalam ancaman (yang disebutkan di akhir surah An-Nisa` ayat 97). Maka, sudah tidak tersisa syubhat lagi. Namun, hilangnya syubhat ini hanya bisa dicapai oleh orang yang menuntut ilmu. Beda halnya dengan orang yang tidak mau menuntut ilmu. Bahkan Allah berfirman tentang mereka, “Mereka tuli, bisu, dan buta, sehingga mereka tidak bisa kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Al-Baqarah: 18).[6]

وَمَنۡ فَهِمَ هَٰذَا الۡمَوۡضِعَ وَالَّذِي قَبۡلَهُ فَهِمَ كَلَامَ الۡحَسَنِ الۡبَصۡرِيِّ، قَالَ: لَيۡسَ الۡإِيمَانُ بِالتَّحَلِّي وَلَا بِالتَّمَنِّي وَلَٰكِنۡ مَا وَقَرَ فِي الۡقُلُوبِ وَصَدَقَتۡهُ الۡأَعۡمَالُ. 

Barang siapa yang memahami peristiwa ini dan sebelumnya, maka dia akan paham ucapan Al-Hasan Al-Bashri. Beliau menuturkan, “Keimanan bukan sekadar dengan hiasan lahiriah dan angan-angan, akan tetapi keimanan adalah keyakinan yang kukuh di dalam kalbu dan dibuktikan oleh amalan-amalan.”[7]

وَذٰلِكَ أَنَّ اللهَ تَعَالَى يَقُولُ: ﴿إِلَيۡهِ يَصۡعَدُ ٱلۡكَلِمُ ٱلطَّيِّبُ وَٱلۡعَمَلُ ٱلصَّـٰلِحُ يَرۡفَعُهُۥ ۚ﴾ [فاطر: ١٠]. 

Tentang itu pula Allah taala berfirman, “Kepada-Nya-lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya.” (QS. Fathir: 10).[8]


Syekh Shalih bin Fauzan bin 'Abdullah Al-Fauzan hafizhahullah di dalam Syarh Sittah Mawadhi' min As-Sirah berkata:

[1] الۡهِجۡرَةُ فِي اللُّغَةِ: مَأۡخُوذَةٌ مِنَ الۡهَجۡرِ وَهُوَ التَّرۡكُ، قَالَ تَعَالَى: ﴿وَٱلرُّجۡزَ فَٱهۡجُرۡ﴾ [المدثر: ٥]. 

أَيۡ: اتۡرُكۡهُ، فَالۡهَجۡرُ هُوَ التَّرۡكُ، وَمِنۡهُ هَجۡرُ أَهۡلِ الۡمَعَاصِي، وَهَجۡرُ الۡمُشۡرِكِينَ -يَعۡنِي: تَرَكَهُمۡ وَعَدَمُ مَحَبَّتِهِمۡ- قَالَ ﷺ: (الۡمُهَاجِرُ مَنۡ هَجَرَ مَا نَهَى اللهُ عَنۡهُ) أَيۡ: تَرَكَ مَا نَهَى اللهُ عَنۡهُ. 

Hijrah secara bahasa diambil dari kata al-hajr yaitu meninggalkan. Allah taala berfirman, “War-rujza fahjur.” (QS. Al-Muddatstsir: 5). Artinya: Tinggalkan berhala!” Jadi al-hajr adalah meninggalkan. Dari pengertian ini ada ungkapan “hajr ahlil ma’ashi (meninggalkan pelaku maksiat)” dan “hajr al-musyrikin (meninggalkan orang-orang musyrik)”, yakni meninggalkan mereka dan tidak mencintai mereka. Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—bersabda, “Orang yang berhijrah adalah orang yang berhijrah dari apa saja yang dilarang oleh Allah.” (HR. Abu Dawud nomor 2481 dan An-Nasa`i nomor 4996). Artinya meninggalkan apa saja yang dilarang oleh Allah. 

أَمَّا الۡهِجۡرَةُ فِي الشَّرۡعِ: فَهِيَ الۡاِنۡتِقَالُ مِنۡ بَلَدِ الشِّرۡكِ إِلَى بَلَدِ الۡإِسۡلَامِ لِأَجۡلِ الدِّينِ، هَٰذِهِ هِيَ الۡهِجۡرَةُ الشَّرۡعِيَّةُ، وَالۡهِجۡرَةُ فِيهَا فَضۡلٌ عَظِيمٌ، وَهِيَ عَدِيلَةُ الۡإِيمَانِ وَالۡجِهَادِ فِي سَبِيلِ اللهِ، ﴿ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَهَاجَرُوا۟ وَجَـٰهَدُوا۟﴾ [الأنفال: ۷۲] فَهَٰذَا مِمَّا يَدُلُّ عَلَی عِظَمِ الۡهِجۡرَةِ. 

Adapun hijrah dalam istilah syariat adalah pindah dari daerah kesyirikan ke daerah Islam karena kepentingan agama. Ini hijrah secara syariat. Hijrah memiliki keutamaan yang sangat agung. Amalan hijrah setara dengan keimanan dan jihad di jalan Allah. “Orang-orang yang beriman, berhijrah, dan berjihad.” (QS. Al-Anfal: 72). Ini di antara yang menunjukkan keagungan amalan hijrah. 

وَالۡهِجۡرَةُ بَاقِيَةٌ إِلَى أَنۡ تَقُومَ السَّاعَةُ، فَالَّذِي لَا يَقۡدَرُ عَلَى إِظۡهَارِ دِينِهِ فِي بِلَادِ الۡمُشۡرِكِينَ يَجِبُ عَلَيۡهِ أَنۡ يُهَاجِرَ إِلَى بَلَدٍ يَقۡدَرُ فِيهِ عَلَى إِظۡهَارِهِ، فَإِنۡ لَمۡ يُهَاجِرۡ وَهُوَ يَقۡدَرُ عَلَى الۡهِجۡرَةِ، فَإِنَّ اللهَ سُبۡحَانَهُ وَتَعالَى أَنۡزَلَ فِيهِ الۡقُرۡآنَ: ﴿إِنَّ ٱلَّذِينَ تَوَفَّىٰهُمُ ٱلۡمَلَـٰٓئِكَةُ ظَالِمِىٓ أَنفُسِهِمۡ قَالُوا۟ فِيمَ كُنتُمۡ ۖ قَالُوا۟ كُنَّا مُسۡتَضۡعَفِينَ فِى ٱلۡأَرۡضِ ۚ قَالُوٓا۟ أَلَمۡ تَكُنۡ أَرۡضُ ٱللَّهِ وَ‌ٰسِعَةً فَتُهَاجِرُوا۟ فِيهَا ۚ فَأُو۟لَـٰٓئِكَ مَأۡوَىٰهُمۡ جَهَنَّمُ ۖ وَسَآءَتۡ مَصِيرًا﴾ [النساء: ٩٧]. 

Syariat hijrah tetap ada hingga hari kiamat terjadi. Jadi orang yang tidak mampu menampakkan agamanya di negeri-negeri musyrikin, maka dia wajib hijrah ke suatu negeri yang dia mampu untuk menampakkan agamanya. Jika dia tidak berhijrah dalam keadaan mampu berhijrah, maka sungguh Allah—subhanahu wa ta’ala—menurunkan di dalam Alquran, “Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan oleh para malaikat dalam keadaan menzalimi dirinya, para malaikat bertanya, ‘Di mana kalian waktu itu?’ Orang-orang tadi menjawab, ‘Kami dahulu dalam keadaan tertindas di muka bumi.’ Para malaikat berkata, ‘Bukankah bumi Allah luas sehingga kalian bisa berhijrah di bumi itu?’ Orang-orang itu tempatnya neraka Jahanam dan itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa`: 97). 

هَٰذَا وَعِيدٌ شَدِيدٌ مَعَ أَنَّهُمۡ مُسۡلِمُونَ، لَكِنۡ لَمَّا تَرَكُوا الۡهِجۡرَةَ بِعُذۡرِ مَحَبَّةِ الۡأَمۡوَالِ وَالۡأَوۡلَادِ وَالۡوَطَنِ، وَقَدَّمُوا مَحَبَّةَ هَٰذِهِ الۡأَشۡيَاءِ عَلَى الۡهِجۡرَةِ فَاللهُ -جَلَّ وَعَلَا- تَوَعَّدَهُمۡ بِهَٰذَا الۡوَعِيدِ. 

Ini adalah ancaman keras padahal mereka adalah muslimin. Tetapi ketika mereka meninggalkan hijrah dengan alasan cinta harta, anak, dan negara; dan mereka mendahulukan cinta kepada hal-hal tersebut daripada hijrah, maka Allah—jalla wa ‘ala—mengancam mereka dengan ancaman ini. 

وَسَبَبُ نُزُولِ الۡآيَةِ أَنَّهُ لَمَّا كَانَتۡ غَزۡوَةُ بَدۡرٍ كَانَ مَعَ الۡمُشۡرِكِينَ أُنَاسٌ مِنَ الۡمُسۡلِمِينَ بَقَوۡا فِي مَكَّةَ وَلَمۡ يُهَاجِرُوا شُحًّا بِوَطَنِهِمۡ وَبِلَادِهِمۡ وَأَمۡوَالِهِمۡ وَأَوۡلَادِهِمۡ، وَهُمۡ يَقۡدَرُونَ عَلَى الۡهِجۡرَةِ، فَلَمَّا خَرَجَ الۡمُشۡرِكُونَ إِلَى بَدۡرٍ خَرَجُوا بِهِمۡ مَعَهُمۡ بِغَيۡرِ اخۡتِيَارِهِمۡ، وَأَلۡزَمُوهُمۡ بِالۡخُرُوجِ مَعَهُمۡ، ثُمَّ لَمَّا دَارَتِ الۡمَعۡرَكَةُ قُتِلَ أُنَاسٌ مِنۡهُمۡ وَهُمۡ فِي صَفِّ الۡكُفَّارِ، وَلَمۡ يَعۡلَمِ الۡمُسۡلِمُونَ بِهِمۡ، فَلَمَّا عَلِمَ الۡمُسۡلِمُونَ بِهِمۡ نَدِمُوا وَقَالُوا : قَتَلۡنَا إِخۡوَانَنَا. 

Sebab turunnya ayat ini adalah ketika perang Badr, ada orang-orang muslim yang berada di pasukan orang-orang musyrik. Mereka tinggal di Makkah dan tidak berhijrah karena mengutamakan tanah air, negeri, harta, dan anak-anak mereka, padahal mereka mampu hijrah. Maka, ketika orang-orang musyrik keluar berperang ke Badr, orang-orang muslim yang tidak hijrah itu ikut bersama mereka karena tidak ada pilihan lain. Orang-orang musyrik memaksa mereka untuk ikut. Kemudian ketika perang berkecamuk, sebagian orang-orang muslim yang tidak hijrah itu terbunuh dalam keadaan berada di barisan orang-orang kafir dan pasukan muslimin tidak mengetahui mereka. Ketika pasukan muslimin mengetahuinya, maka mereka menyesal dan berkata, “Kita telah membunuh saudara-saudara kita.” 

فَأَنۡزَلَ اللهُ هَٰذِهِ الۡآيَةَ: ﴿إِنَّ ٱلَّذِينَ تَوَفَّىٰهُمُ ٱلۡمَلَـٰٓئِكَةُ ظَالِمِىٓ أَنفُسِهِمۡ قَالُوا۟ فِيمَ كُنتُمۡ﴾. 

يَعۡنِي: مَا الۡوَطَنُ الَّذِي أَنۡتُمۡ فِيهِ، أَيۡ وَطَنٍ؟ 

مَا قَالُوا: كَيۡفَ حَالُكُمۡ فِي الۡإِيمَانِ؟ أَوۡ مَا يَقِينُكُمۡ؟ مَا سَأَلُوهُمۡ عَنۡ هَٰذَا، وَإِنَّمَا سَأَلُوهُمۡ عَنِ الۡمَكَانِ، ﴿فِيمَ كُنتُمۡ﴾ ﴿قَالُوا۟ كُنَّا مُسۡتَضۡعَفِينَ فِى ٱلۡأَرۡضِ ۚ﴾ [النساء: ٩٧]. 

Lalu Allah menurunkan ayat, “Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan oleh malaikat dalam keadaan menzalimi diri mereka, malaikat bertanya, ‘Di mana kalian waktu itu?’” 

Yakni, negeri mana tempat kalian tinggal? 

Para malaikat tidak bertanya, “Bagaimana keadaan iman kalian?” atau “Apa keyakinan kalian?” Para malaikat tidak menanyakan ini. Para malaikat hanya menanyai mereka tentang tempat. “Di mana kalian waktu itu?” 

“Orang-orang itu menjawab, ‘Kami dahulu dalam keadaan tertindas di muka bumi.’” (QS. An-Nisa`: 97). 

يَعۡنِي: أَجۡبَرُونَا عَلَى الۡخُرُوجِ بِسَبَبِ ضَعۡفِنَا وَلَا نَقۡدَرُ أَنۡ نَمۡتَنِعَ ﴿قَالُوٓا۟ أَلَمۡ تَكُنۡ أَرۡضُ ٱللَّهِ وَٰسِعَةً فَتُهَاجِرُوا۟ فِيهَا ۚ﴾ كَانَ لَكُمۡ مَنۡدُوحَةٌ عَنۡ هَٰذَا، لَوۡ هَاجَرۡتُمۡ مِثۡلَمَا هَاجَرَ إِخۡوَانُكُمۡ لَسَلِمۡتُمۡ مِنۡ هَٰذِهِ الۡوَاقِعَةِ ﴿فَأُو۟لَـٰٓئِكَ مَأۡوَىٰهُمۡ جَهَنَّمُ ۖ﴾ هَٰذَا وَعِيدٌ ﴿وَسَآءَتۡ مَصِيرًا ۝٩٧ إِلَّا ٱلۡمُسۡتَضۡعَفِينَ﴾ [النساء: ۹۷-۹۸] الَّذِينَ لَا يَقۡدَرُونَ عَلَى الۡهِجۡرَةِ، وَبَقَوۡا فِي بِلَادِ الشِّرۡكِ لِأَنَّهُمۡ مَا يَقۡدَرُونَ عَلَى الۡهِجۡرَةِ ﴿إِلَّا ٱلۡمُسۡتَضۡعَفِينَ مِنَ ٱلرِّجَالِ وَٱلنِّسَآءِ وَٱلۡوِلۡدَ‌ٰنِ لَا يَسۡتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلَا يَهۡتَدُونَ سَبِيلًا ۝٩٨ فَأُو۟لَـٰٓئِكَ عَسَى ٱللَّهُ أَن يَعۡفُوَ عَنۡهُمۡ ۚ وَكَانَ ٱللَّهُ عَفُوًّا غَفُورًا ۝٩٩ وَمَن يُهَاجِرۡ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ يَجِدۡ فِى ٱلۡأَرۡضِ مُرَ‌ٰغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةً ۚ وَمَن يَخۡرُجۡ مِنۢ بَيۡتِهِۦ مُهَاجِرًا إِلَى ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ ثُمَّ يُدۡرِكۡهُ ٱلۡمَوۡتُ فَقَدۡ وَقَعَ أَجۡرُهُۥ عَلَى ٱللَّهِ ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا﴾ [النساء: ٩٧-١٠٠]. 

Yakni orang-orang musyrik memaksa kami untuk keluar berperang disebabkan kelemahan kami dan kami tidak mampu untuk menolaknya. 

“Para malaikat berkata, ‘Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kalian bisa berhijrah di bumi itu?” 

Bumi itu diluaskan untuk kalian berhijrah. Andai kalian berhijrah semisal saudara-saudara kalian yang telah berhijrah, niscaya kalian selamat dari kejadian ini. 

“Orang-orang itu tempatnya neraka jahanam.” Ini adalah ancaman. “Dan neraka jahanam adalah seburuk-buruk tempat kembali. Kecuali orang-orang yang tertindas.” (QS. An-Nisa`: 97-98). Yaitu orang-orang yang tidak mampu berhijrah dan tetap berada di negeri-negeri kesyirikan karena mereka tidak mampu hijrah. 

“Kecuali orang-orang yang tertindas dari kalangan pria, wanita, dan anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah). Mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkan mereka dan Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. Siapa saja yang berhijrah di jalan Allah, niscaya dia akan mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Siapa saja yang keluar dari rumahnya untuk berhijrah menuju Allah dan Rasul-Nya kemudian ajal menjemputnya, maka pahalanya telah tetap di sisi Allah dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa`: 97-100). 

هَٰذَا فِي شَأۡنِ هَٰؤُلَاءِ، وَهَٰذِهِ قِصَّةٌ عَجِيبَةٌ وَعَظِيمَةٌ: أَنَّ هَٰؤُلَاءِ مَعَ إِسۡلَامِهِمۡ وَصِدۡقِهِمۡ فِي الۡإِسۡلَامِ، لَمَّا تَرَكُوا الۡهِجۡرَةَ مِنۡ غَيۡرِ عُذۡرٍ حَصَلَ عَلَيۡهِمۡ هَٰذَا الۡوَعِيدُ وَهَٰذَا التَّوۡبِيخُ مِنَ الۡمَلَائِكَةِ لَمَّا جَاءَتۡ تَقۡبِضُ أَرۡوَاحَهُمۡ، فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ لَا يَجُوزُ لِلۡمُوَحِّدِ الۡمُسۡلِمِ أَنۡ يَتَسَاهَلَ بِهَٰذَا الۡأَمۡرِ وَأَنۡ يَكُونَ مَعَ الۡمُشۡرِكِينَ وَلَوۡ مِنۡ غَيۡرِ مَحَبَّةٍ لَهُمۡ، لَكِنۡ مَحَبَّةً لِمَالِهِ أَوۡ وَلَدِهِ أَوۡ بَيۡتِهِ أَوۡ غَيۡرِ ذٰلِكَ 

Ini tentang keadaan kaum muslimin yang tidak hijrah padahal mampu. Ini merupakan kisah yang menakjubkan dan agung. Yaitu bahwa mereka ini, meski mereka muslim dan jujur dalam keislaman, namun ketika mereka meninggalkan hijrah tanpa uzur, maka ancaman ini tertuju kepada mereka. Begitu pula cercaan dari para malaikat ketika datang mencabut ruh-ruh mereka. Jadi, ini menunjukkan bahwa seorang muwahid muslim tidak boleh bermudah-mudahan dalam urusan ini dan tidak boleh bersama orang-orang musyrik walaupun bukan karena mencintai mereka, namun karena cinta harta, anak, rumahnya, atau selain itu. 

﴿قُلۡ إِن كَانَ ءَابَآؤُكُمۡ وَأَبۡنَآؤُكُمۡ وَإِخۡوَٰنُكُمۡ وَأَزۡوَٰجُكُمۡ وَعَشِيرَتُكُمۡ وَأَمۡوَٰلٌ ٱقۡتَرَفۡتُمُوهَا وَتِجَـٰرَةٌ تَخۡشَوۡنَ كَسَادَهَا وَمَسَـٰكِنُ تَرۡضَوۡنَهَآ أَحَبَّ إِلَيۡكُم مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَجِهَادٍ فِى سَبِيلِهِۦ فَتَرَبَّصُوا۟﴾ [التوبة: ٢٤] يَعۡنِي: انۡتَظِرُوا ﴿حَتَّىٰ يَأۡتِىَ ٱللَّهُ بِأَمۡرِهِۦ ۗ﴾ هَٰذَا وَعِيدٌ شَدِيدٌ ﴿وَٱللَّهُ لَا يَهۡدِى ٱلۡقَوۡمَ ٱلۡفَـٰسِقِينَ﴾ [التوبة: ٢٤] 

“Katakanlah: Jika ayah-ayah kalian, anak-anak kalian, saudara-saudara kalian, istri-istri kalian, keluarga kalian, harta yang kalian usahakan, perdagangan yang kalian khawatirkan kerugiannya, dan tempat-tempat tinggal yang kalian sukai, lebih kalian cintai daripada Allah, Rasul-Nya, dan jihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Ini adalah ancaman keras. “Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At-Taubah: 24). 

فَلَا يَجُوزُ تَقۡدِيمُ مَحَبَّةِ الۡأَمۡوَالِ وَالۡأَوۡلَادِ عَلَى طَاعَةِ اللهِ سُبۡحَانَهُ وَتَعَالَى، وَعَلَى الۡهِجۡرَةِ وَالۡجِهَادِ فِي سَبِيلِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَالۡكَثِيرُ مِنَ النَّاسِ يَقۡرَءُونَ هَٰذِهِ الۡآيَةَ وَلَا يَتَدَبَّرُونَهَا. 

Jadi, tidak boleh mendahulukan kecintaan terhadap harta dan anak daripada ketaatan kepada Allah—subhanahu wa ta’ala—, daripada hijrah dan jihad di jalan Allah—‘azza wa jalla—. Kebanyakan orang membaca ayat ini namun mereka tidak menadaburinya. 


[2] فَالصَّحَابَةُ مَا قَالُوا: (إِخۡوَانَنَا) إِلَّا لِأَنَّهُمۡ مُسۡتَقِيمُونَ عَلَى الدِّينِ، مَا ذُكِرَ عَنۡهُمۡ أَنَّهُمۡ مَالُوا مَعَ الۡمُشۡرِكِينَ أَوۡ مَدَحُوا الۡمُشۡرِكِينَ، بَلۡ يَبۡغُضُونَ دِينَ الۡمُشۡرِکِینَ وَكَانُوا عَلَى التَّوۡحِيدِ، وَكَانُوا مُخۡلِصِينَ لِلهِ وَلَيۡسَ فِيهِمۡ نِفَاقٌ، لَكِنۡ تَرَكُوا شَيۡئًا وَاحِدً وَهُوَ الۡهِجۡرَةُ مِنۡ غَيۡرِ عُذۡرٍ. فَلَامَهُمُ اللهُ عَلَى ذٰلِكَ. 

Para sahabat tidaklah mengatakan, “Saudara-saudara kami,” kecuali karena (kaum muslimin yang ikut berperang di barisan orang kafir dan tidak hijrah itu) masih istikamah di atas agama Islam. Tidak disebutkan kabar dari mereka bahwa mereka sudah berpihak bersama orang-orang musyrik atau memuji orang-orang musyrik. Bahkan mereka membenci agama orang-orang musyrik dan mereka tetap di atas tauhid. Mereka adalah orang-orang yang ikhlas untuk Allah dan tidak ada kenifakan pada diri mereka. Hanya saja mereka meninggalkan satu amalan, yaitu hijrah, tanpa ada uzur. Maka Allah pun mencela mereka akan hal itu. 


[3] فَالۡمَلَائِكَةُ مَا سَأَلُوهُمۡ عَنۡ إِيمَانِهِمۡ وَعَقِيدَتِهِمۡ؛ لِأَنَّهُمۡ يَعۡرِفُونَ أَنَّهُمۡ عَلَى عَقِيدَةٍ صَحِيحَةٍ وَعَلَى إِيمَانٍ صَادِقٍ، لَكِنۡ سَأَلُوهُمۡ عَنِ الۡمَكَانِ الَّذِي هُمۡ فِيهِ، حَيۡثُ لَا يَجُوزُ لَهُمۡ أَنۡ يَبۡقَوۡا فِيهِ وَهُمۡ يَقۡدَرُونَ عَلَى الۡهِجۡرَةِ مِنۡهُ. 

Malaikat tidak menanyai mereka tentang keimanan dan akidah mereka, karena malaikat mengetahui bahwa mereka di atas akidah yang benar dan di atas keimanan yang jujur. Tetapi, malaikat menanyai mereka tentang tempat mereka berada, karena mereka tidak boleh tetap tinggal di tempat itu dalam keadaan mereka mampu berhijrah darinya. 


[4] الۡمَلَائِكَةُ لَمۡ تَقُلۡ: كَذَبۡتُمۡ لَسۡتُمۡ مُسۡلِمِينَ وَلَسۡتُمۡ مُؤۡمِنِینَ، بَلۡ قَالُوا: فِيمَ کُنۡتُمۡ؟ سَأَلُوهُمۡ عَنِ الۡمَكَانِ الَّذِي هُمۡ مَوۡجُودُونَ فِيهِ، مَوۡجُودُونَ حَيۡثُ خَرَجُوا مَعَ الۡمُشۡرِكِينَ وَلَوۡ كَانُوا مُكۡرَهِينَ؛ لِأَنَّهُمۡ هُمُ السَّبَبُ فِي تَسَلُّطِ الۡكُفَّارِ عَلَيۡهِمۡ، وَلَا يَجُوزُ مُرَافَقَتُهُمۡ وَالۡخُرُوجُ مَعَهُمۡ حُبًّا لِلۡمَالِ وَلِلۡأَهۡلِ، وَمُدَارَاةً لِكَيۡ يُبۡقَوۡا عَلَى أَمۡوَالِهِمۡ. 

Malaikat tidak mengatakan, “Kalian dusta. Kalian bukan muslim dan kalian bukan mukmin.” Namun malaikat bertanya, “Di mana kalian berada?” Malaikat bertanya kepada mereka tentang tempat keberadaan mereka. Mereka ditemukan berada di tempat mereka keluar bersama orang-orang musyrik walaupun dalam keadaan dipaksa. Hal itu karena mereka sendiri yang menjadi sebab dikuasai oleh orang-orang kafir. Tidak boleh bersanding dengan orang-orang kafir dan keluar berperang bersama mereka karena cinta harta, cinta keluarga, dan basa-basi agar dibiarkan tetap bersama harta-hartanya. 


[5] يَعۡنِي: لَا يُعۡذَرُ إِلَّا مَنۡ تَرَكَ الۡهِجۡرَةَ عَاجِزًا عَنۡهَا، فَإِنَّهُ مَعۡذُورٌ، قَالَ تَعَالَى: ﴿إِلَّا ٱلۡمُسۡتَضۡعَفِينَ مِنَ ٱلرِّجَالِ وَٱلنِّسَآءِ وَٱلۡوِلۡدَٰنِ لَا يَسۡتَطِيعُونَ حِيلَةً﴾ لِلۡخُرُوجِ ﴿وَلَا يَهۡتَدُونَ سَبِيلًا﴾ إِلَيۡهِ ﴿فَأُو۟لَـٰٓئِكَ عَسَى ٱللَّهُ أَن يَعۡفُوَ عَنۡهُمۡ ۚ﴾ [النساء: ۹۸-۹۹] هَٰذَا وَعۡدٌ مِنَ اللهِ بِالۡعَفۡوِ عَنۡهُمۡ. 

Yakni: Tidak diberi uzur kecuali siapa saja yang meninggalkan hijrah karena ketidakmampuannya. Orang yang demikian diberi uzur. 

Allah taala berfirman, “Kecuali orang-orang yang lemah dari kalangan pria, wanita, dan anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya,” untuk keluar, “dan tidak memiliki penunjuk jalan,” ke sana. “Mereka inilah yang semoga dimaafkan oleh Allah.” (QS. An-Nisa`: 98-99). 

Ini adalah janji pemaafan dari Allah untuk mereka. 


[6] نَعَمۡ، اخۡتِلَاطُ الۡمُسۡلِمِينَ مَعَ الۡكُفَّارِ مِنۡ غَيۡرِ عُذۡرٍ أَمۡرٌ لَا يَجُوزُ، بَلۡ لَابُدَّ أَنۡ تَتَمَيَّزَ بِلَادُ الۡمُسۡلِمِينَ عَنۡ بِلَادِ الۡكُفَّارِ، وَلَا يُخَالِطُ الۡمُسۡلِمُ الۡمُشۡرِكَ، بَلۡ قَالَ ﷺ: (لَا تَتَرَاءَى نَارَاهُمَا) أَيۡ: يَبۡعُدُ عَنۡهُ مَهۡمَا أَمۡكَنَهُ ذٰلِكَ. 

Ya. Percampuran antara kaum muslimin dengan orang-orang kafir tanpa uzur adalah perkara yang tidak boleh. Bahkan harus terpisahkan antara negeri kaum muslimin dengan negeri orang kafir. Seorang muslim jangan bercampur dengan orang musyrik. Bahkan Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—bersabda, “Agar tidak saling melihat api keduanya.” (HR. Abu Dawud nomor 2645 dan At-Tirmidzi nomor 1604). Maksudnya adalah menjauh dari orang kafir selama hal itu memungkinkan. 


[7] فَالۡإِيمَانُ هُوَ مَا (صَدَقَتۡهُ الۡأَعۡمَالُ) وَمِنۡهَا الۡهِجۡرَةُ؛ لِأَنَّهَا مِنَ الۡأَعۡمَالِ، وَهَٰذَا فِيهِ رَدٌّ عَلَى الۡمُرۡجِئَةِ الَّذِينَ يَقُولُونَ: إِنَّهُ يَكۡفِي الۡإِيمَانُ بِالۡقَلۡبِ، أَوۡ بِالۡقَلۡبِ وَاللِّسَانِ. فَلَا يَكۡفِي الۡاِعۡتِقَادُ وَالنُّطۡقُ بَلۡ لَا بُدَّ مِنَ الۡعَمَلِ. 

Jadi iman adalah sesuatu yang dibuktikan dengan amalan. Di antaranya adalah hijrah, karena hijrah termasuk amalan. Dalam ucapan Al-Hasan ini ada bantahan terhadap Murji`ah yang mengatakan, “Bahwa iman itu cukup dengan kalbu; atau cukup dengan hati dan ucapan.” Jadi keyakinan dan ucapan saja tidak cukup, namun harus ada amalan. 


[8] قَوۡلُهُ ﴿إِلَيۡهِ﴾ أَيۡ: إِلَى اللهِ سُبۡحَانَهُ وَتَعَالَى، ﴿يَصۡعَدُ ٱلۡكَلِمُ ٱلطَّيِّبُ﴾ مِنَ الذِّكۡرِ وَقِرَاءَةِ الۡقُرۡآنِ وَالتَّسۡبِيحِ وَالتَّهۡلِيلِ، وَكُلِّ كَلَامٍ طَيِّبٍ فَإِنَّهُ يَصۡعَدُ إِلَى اللهِ -جَلَّ وَعَلَا-، وَالۡأَمۡرِ بِالۡمَعۡرُوفِ، وَالنَّهۡيِ عَنِ الۡمُنۡكَرِ، وَتَعۡلِيمِ الۡعِلۡمِ النَّافِعِ، كُلُّ هَٰذَا مِنَ الۡكَلِمِ الطَّيِّبِ، وَالۡكَلَامُ الطَّيِّبُ مَعَ النَّاسِ وَمَعَ الۡأَقَارِبِ ﴿وَقُولُوا۟ لِلنَّاسِ حُسۡنًا﴾ [البقرة: ٨٣] ﴿وَقُل لَّهُمَا قَوۡلًا كَرِيمًا﴾ [الإسراء: ۲۳]. 

Firman Allah, “Kepada-Nya,” yaitu kepada Allah—subhanahu wa ta’ala—. “Perkataan-perkataan yang baik itu naik” berupa zikir, bacaan Alquran, tasbih, tahlil, dan segala ucapan yang baik. Itu semua naik kepada Allah—jalla wa ‘ala—. Termasuk pula amar makruf nahi mungkar, pengajaran ilmu yang bermanfaat. Ini semua termasuk perkataan yang baik. Demikian pula ucapan yang baik kepada orang-orang dan karib kerabat. “Ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia!” (QS. Al-Baqarah: 83). “Ucapkan perkataan yang mulia kepada mereka berdua!” (QS. Al-Isra`: 23). 

كُلُّ هَٰذَا مِنَ الۡكَلِمِ الطَّيِّبِ، يَصۡعَدُ إِلَى اللهِ، لَٰكِنۡ لَا يَصۡعَدُ بِنَفۡسِهِ، بَلۡ لَابُدَّ مِنَ الۡعَمَلِ ﴿وَٱلۡعَمَلُ ٱلصَّـٰلِحُ يَرۡفَعُهُۥ ۚ﴾ [فاطر: ۱۰] وَفِي هَٰذَا رَدٌّ عَلَى الۡمُرۡجِئَةِ أَيۡضًا. 

Semua ini termasuk perkataan yang baik yang akan naik kepada Allah. Akan tetapi dia tidak bisa naik dengan sendirinya, akan tetapi harus disertai amalan. “Dan amalan saleh menaikkannya.” (QS. Fathir: 10). Dalam ayat ini ada bantahan terhadap pemahaman Murji`ah.