Syekh Muhammad bin 'Abdul Wahhab--rahimahullah--di dalam
Tafsir Kalimat Tauhid berkata:
فَاعۡلَمۡ أَنَّ هَٰذِهِ الۡكَلِمَةَ نَفۡيٌ وَإِثۡبَاتٌ. نَفۡيُ
الۡإِلَٰهِيَةِ عَمَّا سِوَى اللهِ سُبۡحَانَهُ وَتَعَالَى مِنَ الۡمُرۡسَلِينَ
حَتَّى مُحَمَّدٍ ﷺ، وَمِنَ الۡمَلَائكَةِ حَتَّى جِبۡرِيلَ، فَضۡلًا عَنۡ
غَيۡرِهِمۡ مِنَ الۡأَنۡبِيَاءِ وَ الصَّالِحِينَ، وَ إِثۡبَاتُهَا لِلهِ عَزَّ
وَجَلَّ.
Ketahuilah bahwa kalimat ini ada nafi dan isbat.[1]
- Nafi/peniadaan ketuhanan dari semua yang selain Allah—subhanahu wa ta’ala—, baik dari kalangan para rasul, sampai Nabi Muhammad—shallallahu ‘alaihi wa sallam—sekalipun, dan dari kalangan malaikat, sampai Jibril sekalipun. Apalagi dari selain mereka dari kalangan para nabi dan orang-orang saleh.
- Isbat/penetapan ketuhanan untuk Allah—‘azza wa jalla.[2]
إِذَا فَهِمۡتَ ذٰلِكَ فَتَأَمَّلَ الۡأُلُوهِيِّةَ الَّتِي أَثۡبَتَهَا اللهُ
تَعَالَى لِنَفۡسِهِ، وَ نَفَاهَا عَنۡ مُحَمَّدٍ ﷺ وَجِبۡرِيلَ وَغَيۡرِهِمَا
أَنۡ يَكُونَ لَهُمۡ مِنۡ مِثۡقَالِ حَبَّةٍ مِنۡ خَرۡدَلٍ.
Jika engkau sudah memahami itu, maka renungkanlah tentang ketuhanan yang Allah
taala tetapkan untuk diri-Nya dan Dia nafikan dari Nabi Muhammad—shallallahu
‘alaihi wa sallam—dan Jibril, serta selain keduanya. Allah menafikan bahwa
mereka memiliki sifat ketuhanan seberat biji sawi (artinya: mereka sama sekali
tidak memiliki hak untuk disembah).[3]
Syekh Shalih bin Fauzan bin 'Abdullah Al-Fauzan--hafizhahullah--di
dalam syarahnya berkata:
[1]
هَٰذِهِ الۡكَلِمَةُ لَهَا رُكۡنَانِ: هُمَا نَفۡيٌ وَإِثۡبَاتٌ، فَلَا يَكۡفِي
النَّفۡيُ، وَلَا يَكۡفِي الۡإِثۡبَاتُ، بَلۡ لَابُدَّ مِنَ الۡاِثۡنَيۡنِ
مُقۡتَرِنَیۡنِ.
كَمَا قَالَ تَعَالَى: ﴿فَمَن يَكۡفُرۡ بِٱلطَّـٰغُوتِ وَيُؤۡمِنۢ بِٱللَّهِ﴾
[البقرة: ٢٥٦].
مَا قَالَ: (يَكۡفُرۡ بِالطَّاغُوتِ) فَقَطۡ، بَلۡ قَالَ: (وَيُؤۡمِنۡ
بِاللهِ)، وَلَا
قَالَ: مَنۡ (يُؤۡمِنۡ بِاللهِ) وَلَمۡ يَذۡكُرِ الۡكُفۡرَ بِالطَّاغُوتِ،
لَابُدَّ مِنَ الۡاِثۡنَيۡنِ.
Kalimat ini memiliki dua rukun, yaitu: nafi/peniadaan dan isbat/penetapan.
Nafi saja tidak cukup, begitu pun isbat saja tidak cukup, jadi kedua rukun ini
harus digabungkan. Sebagaimana firman Allah taala, “Maka, siapa saja yang
kufur kepada tagut-tagut itu dan beriman kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah:
256).
Allah tidak berfirman “kufur kepada tagut-tagut itu” saja, tetapi Allah
melanjutkan “dan beriman kepada Allah”. Allah juga tidak berfirman “beriman
kepada Allah” dengan tidak menyebutkan perintah untuk kufur kepada
tagut-tagut. Jadi kedua rukun itu merupakan keharusan.
[2]
(نَفۡيُ الۡإِلَهِيَّةِ عَنۡ كُلِّ مَا يُعۡبَدُ مِنۡ دُونِ اللهِ) مِنَ
الۡمَخۡلُوقَاتِ، وَلَوۡ كَانَ مِنۡ أَصۡلَحِ الصَّالِحِينَ، فَأَصۡلَحُ
الۡبَشَرِ هُوَ مُحَمَّدٌ ﷺ، وَأَصۡلَحُ الۡمَلَائِكَةِ هُوَ جِبۡرِيلُ، وَمَعَ
هَٰذَا لَوۡ أَنَّ أَحَدًا يَعۡبُدُ جِبۡرِيلَ أَوۡ يَعۡبُدُ مُحَمَّدًا،
فَإِنَّهُ يَكُونُ مُشۡرِكًا خَالِدًا فِي النَّارِ؛
Peniadaan sifat keilahan dari segala yang disembah selain Allah, dari semua
makhluk, walaupun dia termasuk makhluk yang paling saleh. Manusia yang paling
saleh adalah Muhammad—shallallahu ‘alaihi wa sallam—dan malaikat yang paling
saleh adalah Jibril. Bersamaan dengan ini, andai ada seseorang yang menyembah
Jibril atau menyembah Muhammad, maka orang tersebut menjadi musyrik yang kelak
akan kekal di neraka.
لِأَنَّ اللهَ لَا يَرۡضَى أَنۡ يُشۡرَكَ مَعَهُ أَحَدٌ، لَا مِنَ
الۡمَلَائِكَةِ، وَلَا مِنَ الۡأَنۡبِيَاءِ، وَلَا مِنَ الصَّالِحِينَ، وَلَا
مِنَ الۡأَشۡجَارِ وَالۡأَحۡجَارِ، وَلِهَٰذَا يَقُولُ: ﴿وَلَا يُشۡرِكۡ
بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدًۢا﴾ [الكهف: ۱١۰] (أَحَدًا) هَٰذَا
عَامٌ،
Karena Allah tidak rida ada sesuatu yang dipersekutukan dengan-Nya, baik dari
kalangan malaikat, nabi, orang saleh, atau dari pepohonan dan bebatuan. Karena
ini, Allah berfirman, “Dan dia tidak menyekutukan sesuatu pun dalam
peribadahan kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi: 110).
أَحَدًا (sesuatu pun) di sini bermakna umum.
﴿وَٱعۡبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَلَا تُشۡرِكُوا۟ بِهِۦ شَيۡءًا ۖ﴾ [النساء : ٣٦].
(شَيۡئًا) أَيَّ شَيۡءٍ، هَٰذَا نَفۡيٌ عَامٌّ، وَالۡمَنۡفِيُّ نَكِرَةٌ،
وَالنَّكِرَةُ فِي سِيَاقِ النَّفۡيِ تَعُمُّ كُلَّ شَيۡءٍ.
“Beribadahlah kepada Allah dan jangan kalian sekutukan sesuatu pun
dengan-Nya!” (QS. An-Nisa`: 36).
شَيۡئًا (sesuatu pun) yakni segala sesuatu. Ini adalah penafian yang umum.
Yang dinafikan di sini berbentuk nakirah. Nakirah dalam konteks penafian
bermakna umum meliputi segala sesuatu.
[3]
الۡأُلُوهِيَّةُ مَعۡنَاهَا الۡعِبَادَةُ، وَمِنۡ هُنَا غَلِطَ كَثِيرُونَ فِي
تَفۡسِيرِ (لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ) وَفَسَّرُوهَا بِغَيۡرِ تَفۡسِيرِهَا
وَمِنۡ ذٰلِكَ:
Uluhiyyah maknanya adalah ibadah. Dari sini, banyak yang keliru dalam
menafsirkan “laa ilaaha illallaah” dan menafsirkannya bukan dengan tafsiran
yang benar.
Di antara penafsiran “laa ilaaha illallaah” adalah:
١- تَفۡسِيرُ أَهۡلِ وِحۡدَةِ الۡوُجُودِ لِكَلِمَةِ
التَّوۡحِيدِ:
1. Tafsir penganut paham wahdatul wujud terhadap kalimat tauhid.
فَأَهۡلُ وِحۡدَةِ الۡوُجُودِ -ابۡنُ عَرَبِيٍّ وَأَتۡبَاعُهُ-، يَقُولُونَ:
(لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ) لَا مَعۡبُودَ إِلَّا اللهُ، أَوۡ لَا إِلَٰهٌ
مَوۡجُودٌ إِلَّا اللهُ، مَعۡنَى هَٰذَا أَنَّ كُلَّ الۡمَعۡبُودَاتِ كُلَّهَا
هِيَ اللهُ؛ لِأَنَّ عِنۡدَهُمۡ أَنَّ الۡوُجُودَ لَا يَنۡقَسِمُ بَيۡنَ
خَالِقٍ وَمَخۡلُوقٍ، هُوَ كُلُّهُ هُوَ اللهُ، هَٰذَا مَعۡنَى أَنَّهُمۡ
أَهۡلُ وِحۡدَةِ الۡوُجُودِ؛
Penganut paham wahdatul wujud, yaitu Ibnu ‘Arabi dan para pengikutnya,
mengatakan bahwa makna “laa ilaaha illallaah” adalah tidak ada yang disembah
kecuali Allah atau tidaklah sesembahan yang ada kecuali Allah.
Makna tafsiran ini adalah bahwa segala yang disembah ini, semuanya adalah
Allah, karena menurut mereka bahwa sifat wujud/keberadaan itu tidak terbagi
antara pencipta dengan makhluk. Jadi segala yang berwujud itu adalah Allah.
Inilah makna bahwa mereka dikatakan penganut pemikiran wahdatul wujud.
يَجۡعَلُونَ الۡوُجُودَ يَتَّحِدُ وَلَا يَنۡقَسِمُ، کُلُّهُ هُوَ اللهُ،
مَهۡمَا عَبَدَ الۡإِنۡسَانُ مِنۡ شَيۡءٍ فَإِنَّهُ قَدۡ عَبَدَ اللهَ، الَّذِي
عَبَدَ الۡبَقَرَ، وَالَّذِي عَبَدَ الصَّنَمَ، وَالَّذِي عَبَدَ الۡحَجَرَ،
وَالَّذِي عَبَدَ الۡبَشَرَ، وَالَّذِي عَبَدَ الۡمَلَائِكَةَ، كُلُّهُمۡ
يَعۡبُدُونَ اللهَ؛ لِأَنَّ اللهَ هُوَ الۡوُجُودُ الۡمُطۡلَقُ.
Mereka menjadikan wujud/keberadaan itu merupakan satu kesatuan yang tidak
terbagi-bagi. Semuanya adalah Allah. Jadi apapun yang disembah oleh seseorang,
maka orang itu sebenarnya menyembah Allah.
Orang yang menyembah sapi, menyembah patung, menyembah batu, menyembah orang,
menyembah malaikat; mereka itu semuanya menyembah Allah karena Allah adalah
wujud yang mutlak.
وَالَّذِي يَقُولُ: إِنَّ الۡوُجُودَ يَنۡقَسِمُ إِلَى قِسۡمَيۡنِ إِلَى
خَالِقٍ وَمَخۡلُوقٍ، يَقُولُونَ عَنۡهُ: إِنَّ هَٰذَا مُشۡرِكٌ، فَلَا يَكُونُ
مُوَحِّدًا عِنۡدَهُمۡ إِلَّا مَنۡ قَالَ: إِنَّ الۡوُجُودَ شَيۡءٌ وَاحِدٌ
هُوَ اللهُ، فَمَهۡمَا عَبَدۡتَ مِنۡ هَٰذَا الۡكَوۡنِ مِنۡ أَشۡجَارٍ أَوۡ
أَحۡجَارٍ أَوۡ أَصۡنَامٍ أَوۡ طَوَاغِيتَ فَإِنَّكَ تَعۡبُدُ اللهَ؛ لِأَنَّ
هَٰذَا هُوَ اللهُ،
Kalau ada orang yang mengatakan bahwa sifat wujud itu terbagi menjadi dua
bagian, yaitu untuk pencipta dan makhluk; maka para penganut paham wahdatul
wujud akan mengatakan bahwa orang ini musyrik. Menurut mereka, seseorang tidak
bisa menjadi orang yang bertauhid kecuali dengan mengatakan bahwa wujud adalah
sesuatu yang satu, yaitu Allah. Jadi apapun yang engkau sembah dari alam
semesta ini, baik berupa pohon, batu, patung, atau tagut, maka sesungguhnya
engkau menyembah Allah karena semua itu adalah Allah.
وَبِهَٰذِهِ الۡمُنَاسَبَةِ فَإِنَّهُ يَغۡلَطُ بَعۡضُ الۡعَوَامِّ، يَقُولُ:
وَلَا مَعۡبُودَ سِوَاكَ، وَلَكِنۡ لَوۡ قَالَ: لَا مَعۡبُودَ بِحَقٍّ سِوَاكَ،
وَهَٰذَا يُوَافِقُ قَوۡلَ أَهۡلِ وِحۡدَةِ الۡوُجُودِ فَلَوۡ زَادَ كَلِمَةَ
(بِحَقٍّ) صَحَّ؛ لِأَنَّ مَا سِوَاهُ مَعۡبُودٌ بِالۡبَاطِلِ قَالَ تَعَالَى:
﴿ذَٰلِكَ بِأَنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلۡحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدۡعُونَ مِن دُونِهِۦ
هُوَ ٱلۡبَـٰطِلُ وَأَنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلۡعَلِىُّ ٱلۡكَبِيرُ﴾ [الحج :
٦٢].
Yang senada dengan kekeliruan ini adalah sebagian orang awam keliru karena
mengatakan, “Tidak ada sesembahan kecuali Engkau.” Seharusnya dia berkata,
“Tidak ada sesembahan yang benar kecuali Engkau.”
Perkataan yang pertama tadi mencocoki pendapat para penganut paham wahdatul
wujud, andai ditambahkan kata “yang benar”, maka menjadi benar, karena
sesembahan selain Allah itu disembah tapi batil.
Allah taala berfirman, “Yang demikian itu karena Allah itulah Tuhan yang benar
dan bahwa segala yang diseru selain Dia adalah batil. Dan sesungguhnya Allah
adalah yang Mahatinggi lagi Mahabesar.” (QS. Al-Hajj: 62).
٢- تَفۡسِيرُ عُلَمَاءِ الۡكَلَامِ لِكَلِمَةِ التَّوۡحِيدِ:
2. Tafsir ulama ahli kalam terhadap kalimat tauhid.
عُلَمَاءُ الۡكَلَامِ يَقُولُونَ: (لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ): لَا قَادِرَ
عَلَى الۡاِخۡتِرَاعِ
وَالۡخَلۡقِ وَالتَّدۡبِيرِ وَالۡإِيجَادِ إِلَّا اللهُ.
وَهَٰذَا غَيۡرُ صَحِيحٍ، هَٰذَا يُوَافِقُ دِينَ الۡمُشۡرِكِينَ،
فَالۡمُشۡرِکُونَ يَقُولُونَ: لَا يَقۡدِرُ عَلَى الۡخَلۡقِ إِلَّا اللهُ، لَا
يُحۡيِي إِلَّا اللهُ، لَا يُمِيتُ إِلَّا اللهُ، لَا يَرۡزُقُ إِلَّا اللهُ،
وَهَٰذَا تَوۡحِيدُ الرُّبُوبِيَّةِ.
Ulama ahli kalam menafsirkan “laa ilaaha illallaah” adalah tidak ada yang
mampu membuat, menciptakan, mengatur, dan mengadakan kecuali Allah.
Tafsiran ini tidak sahih. Ini sama dengan agama orang-orang musyrik.
Orang-orang musyrik mengatakan bahwa tidak ada yang mampu untuk menciptakan
kecuali Allah, tidak ada yang menghidupkan kecuali Allah, tidak ada yang
mematikan kecuali Allah, tidak ada yang memberi rezeki kecuali Allah. Ini
adalah tauhid rububiyyah.
٣- تَفۡسِيرُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ عِنۡدَ الۡجَهۡمِيَّةِ
وَالۡمُعۡتَزِلَةِ، وَمَنۡ سَارَ عَلَى نَهۡجِهِمۡ هُوَ نَفۡيُ الۡأَسۡمَاءِ
وَالصِّفَاتِ؛ لِأَنَّ مَنۡ أَثۡبَتَ الۡأَسۡمَاءَ وَالصِّفَاتِ عِنۡدَهُمۡ
يَكُونُ مُشۡرِكًا، وَالتَّوۡحِيدُ عِنۡدَهُمۡ هُوَ نَفۡيُ الۡأَسۡمَاءِ
وَالصِّفَاتِ.
3. Tafsir “laa ilaaha illallaah” menurut kelompok Jahmiyyah dan Mu’tazilah,
serta yang mengikuti jalan mereka. Tafsirnya adalah penafian nama-nama dan
sifat-sifat Allah, karena menurut mereka, siapa saja yang menetapkan nama-nama
dan sifat-sifat, maka dia menjadi musyrik. Tauhid menurut mereka adalah
peniadaan nama-nama dan sifat-sifat Allah.
٤- تَفۡسِيرُ الۡحِزۡبِيِّينَ وَالۡإِخۡوَانِيِّينَ الۡيَوۡمَ:
4. Tafsir hizbiyyun (orang-orang yang fanatik terhadap kelompok tertentu tanpa
mengindahkan syariat) dan ikhwaniyyun (pengikut paham al-ikhwan al-muslimun)
pada hari-hari ini.
يَقُولُونَ: (لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ) أَيۡ: لَا حَاكِمِيَّةَ إِلَّا لِلهِ،
وَالۡحَاكِمِيَّةُ كَمَا يُسَمُّونَهَا جُزۡءٌ مِنۡ مَعۡنَى لَا إِلَٰهَ إِلَّا
اللهُ؛ لِأَنَّ مَعۡنَاهَا شَامِلٌ لِكُلِّ أَنۡوَاعِ
الۡعِبَادَاتِ.
فَنَقُولُ لَهُمۡ: وَأَيۡنَ بَقِيَّةُ الۡعِبَادَاتِ، أَيۡنَ الرُّكُوعُ
وَالسُّجُودُ وَالذَّبۡحُ وَالنَّذَرُ، وَبَقِيَّةُ
الۡعِبَادَاتِ؟!
Mereka mengatakan makna “laa ilaaha illallaah” adalah tidak ada hakimiyyah
(hak untuk menghukumi) kecuali milik Allah. Hakimiyyah sebagaimana yang mereka
namakan adalah bagian dari makna laa ilaaha illallaah, karena maknanya
meliputi segala macam ibadah.
Kita katakan kepada mereka, “Lalu di mana ibadah-ibadah lainnya? Di mana
rukuk, sujud, penyembelihan, nazar, dan ibadah lainnya?”
هَلِ الۡعِبَادَةُ هِيَ الۡحَاكِمِيَّةُ فَقَطۡ إِذَا كَانَ مَعۡنَاهَا
عِنۡدَكُمُ الۡحَاكِمِيَّةُ فَقَطۡ؟
وَأَيۡنَ مَا تَنۡفِيهِ مِنۡ أَنۡوَاعِ الشِّرۡكِ؟ يَا سُبۡحَانَ اللهِ!
يَنۡبَغِي التَّنَبُّهُ لِهَٰذِهِ الۡأُمُورِ؛ لِأَنَّ هَٰذِهِ كَلِمَةٌ
عَظِيمَةٌ، هِيَ الۡمُنۡجِيَةُ مِنَ النَّارِ لِمَنۡ حَقَّقَهَا، وَكُلُّ
الدِّينِ يَنۡبَنِي عَلَيۡهَا مِنۡ أَوَّلِهِ إِلَى آخِرِهِ، وَدَعۡوَةُ
الرُّسُلِ وَالۡكُتُبِ الۡمُنَزَّلَةِ كُلُّهَا مَبۡنِيَّةٌ عَلَى هَٰذِهِ
الۡكَلِمَةِ.
Apakah ibadah itu hakimiyyah saja, jika menurut kalian maknanya adalah sekadar
hakimiyyah? Di mana sisi peniadaan dari berbagai bentuk kesyirikan? Mahasuci
Allah.
Wajib perhatian terhadap perkara ini karena ini adalah kalimat yang agung.
Kalimat ini adalah penyelamat dari neraka bagi orang yang merealisasikannya.
Agama ini, dari awal sampai akhir, seluruhnya dibangun di atas kalimat ini.
Dakwah para rasul dan kitab-kitab suci yang diturunkan, seluruhnya dibangun di
atas asas kalimat ini.
٥- تَفۡسِيرُ أَهۡلِ السُّنَّةِ وَالۡجَمَاعَةِ:
5. Tafsir ahli sunah waljamaah.
أَنَّ (لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ) مَعۡنَاهَا: لَا مَعۡبُودَ بِحَقٍّ إِلَّا
اللهُ، لِأَنَّ الۡمَعۡبُودَاتِ كَثِيرَةٌ. وَلَكِنَّ الۡمَعۡبُودَ بِحَقٍّ
هُوَ اللهُ وَحۡدَهُ، وَمَا سِوَاهُ فَعِبَادَتُهُ بَاطِلَةٌ كَمَا قَالَ اللهُ
تَعَالَى: ﴿ذَٰلِكَ بِأَنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلۡحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدۡعُونَ مِن
دُونِهِۦ هُوَ ٱلۡبَـٰطِلُ وَأَنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلۡعَلِىُّ ٱلۡكَبِيرُ﴾ [الحج:
٦٢].
Bahwa makna “laa ilaaha illallaah” adalah tidak ada yang disembah dengan benar
kecuali Allah. Karena sesembahan itu banyak, akan tetapi yang diibadahi dengan
benar adalah Allah semata. Adapun yang selain Dia, maka peribadahan kepadanya
adalah batil, sebagaimana firman Allah taala, “Yang demikian itu, karena Allah
adalah yang berhak diibadahi dan bahwa sesembahan yang diseru selain Dia
adalah batil, dan sesungguhnya Allah adalah yang Mahatinggi lagi Mahabesar.”
(QS. Al-Hajj: 62).