Cari Blog Ini

Kekeliruan dalam Memaknai Ilah

Syekh Muhammad bin 'Abdul Wahhab--rahimahullah--di dalam Tafsir Kalimat Tauhid berkata:

فَاعۡلَمۡ أَنَّ هَٰذِهِ الۡأُلُوهِيِّةَ هِيَ الَّتِي تُسَمِّيهَا الۡعَامَّةُ فِي زَمَانِنَا: السِّرَّ وَالۡوِلَايَةَ. 

Ketahuilah bahwa sifat ketuhanan inilah yang dinamakan oleh kebanyakan orang di zaman kita ini dengan as-sirr (ilmu sir/gaib) dan al-wilayah (kedudukan kewalian).[1]

وَالۡإِلَهُ مَعۡنَاهُ الۡوَلِيُّ الَّذِي فِيهِ السِّرُّ، وَهُوَ الَّذِي يُسَمُّونَهُ الۡفَقِيرَ وَالشَّيۡخَ. 

Sedangkan al-ilah, maknanya menurut mereka adalah wali yang padanya ada as-sirr, yaitu yang mereka namakan dengan al-faqir dan asy-syaikh.[2]

وَتُسَمِّيهِ الۡعَامَّةُ: السَّيِّدَ وَأَشۡبَاهَ هَٰذَا. 

Kebanyakan orang menamakannya as-sayyid dan yang semisal ini.[3]

وَذٰلِكَ أَنَّهُمۡ يَظُنُّونَ أَنَّ اللهَ جَعَلَ لِخَوَاصِ الۡخَلۡقِ عِنۡدَهُ مَنۡزِلَةً يَرۡضَى أَنۡ يَلۡتَجِئَ الۡإِنۡسَانُ إِلَيۡهِمۡ، وَيَرۡجُوَهُمۡ وَيَسۡتَغِيثَ بِهِمۡ، وَيَجۡعَلَهُمۡ وَاسِطَةً بَيۡنَهُ وَبَيۡنَ اللهِ. 

Hal itu karena mereka menyangka bahwa Allah telah menjadikan makhluk-makhluk pilihan itu memiliki kedudukan di sisi-Nya yang Dia ridai agar orang-orang mencari perlindungan kepada mereka, berharap kepada mereka, beristigasah dengan mereka, dan menjadikan mereka sebagai perantara antara dia dengan Allah.[4]

فَالَّذِي يَزۡعَمُ أَهۡلُ الشِّرۡكِ فِي زَمَانِنَا أَنَّهُمۡ وَسَائِطُهُمۡ هُمُ الَّذِينَ يُسَمِّيهِمُ الۡأَوَّلُونَ الۡآلِهَةَ، وَالوَاسِطَةُ هُوَ الۡإِلَهُ. فَقَوۡلُ الرَّجُلِ: (لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ) إِبۡطَالٌ لِلۡوَسَائِطِ. 

Yang disangkakan oleh orang-orang musyrik di zaman kita bahwa mereka adalah perantara-perantara, itu adalah yang dinamakan oleh orang-orang dahulu sebagai ilah-ilah. Jadi perantara itu adalah ilah.[5] Makanya, ucapan seseorang, “Laa ilaaha illallaah,” merupakan pernyataan yang menunjukkan batilnya perantara-perantara itu.[6]


Syekh Shalih bin Fauzan bin 'Abdullah Al-Fauzan--hafizhahullah--di dalam Syarh Tafsir Kalimat Tauhid berkata:

[1] أَيۡ: يَعۡتَقِدُونَهَا فِي الۡأَوۡلِيَاءِ، وَيَقُولُونَ: إِنَّ هَٰذَا الۡوَلِيَّ فِيهِ سِرٌّ وَفِيهِ وِلَايَةٌ، فَيَتَقَرَّبُونَ إِلَيۡهِ بِالذَّبۡحِ وَالنَّذۡرِ، وَالدُّعَاءِ وَالۡاِسۡتِغَاثَةِ؛ لِأَنَّهُ فِيهِ سِرٌّ وَفِيهِ وِلَايَةٌ. 

Yakni mereka meyakininya sebagai wali-wali dan mereka berpendapat bahwa pada wali ini ada ilmu sir/gaib dan kewalian. Mereka mendekatkan diri kepadanya dengan penyembelihan, nazar, doa, dan istigasah karena padanya ada ilmu sir dan kewalian. 


[2] الصُّوفِيَّةُ يُسَمُّونَ الۡعَابِدَ: الشَّيۡخَ، يَعۡنِي شَيۡخَ الطَّرِيقَةِ الَّذِي يَأۡخُذُونَ عَنۡهُ دِينَهُمۡ؛ وَالَّذِي يَأۡخُذُ عَنۡ شَيۡخِ الطَّرِيقَةِ، يُسَمُّونَهُ: الۡمُرِيدَ، وَيَكُونُ مَعَ شَيۡخِهِ كَالۡمَيِّتِ بَيۡنَ يَدَيِ الۡغَاسِلِ، لَيۡسَ لَهُ أَنۡ يَعۡتَرِضَ بِشَيۡءٍ. 

Kelompok sufi menamakan ahli ibadah dengan sebutan syekh, yakni syekh tarekat yang mereka ambil agama darinya. Sedangkan orang yang belajar dari syekh tarekat, mereka namakan dengan sebutan murid. Si murid ini di hadapan syekhnya seperti mayat di hadapan orang yang memandikannya. Dia tidak boleh berkeberatan sedikit pun.
[3] وَهُمۡ يُسَمُّونَ شَيۡخَهُمۡ: السَّيِّدَ، وَيُسَمُّونَهُ: الشَّيۡخَ، فَلَا بُدَّ أَنۡ تُبَايِعَهُ وَتُسَلِّمَ لَهُ أَمۡرَكَ، فَلَا تَعۡتَرِضُ وَلَا تُخَالِفُ فِي شَيۡءٍ، وَإِلَّا فَإِنَّكَ لَا تَكُونَ مُرِيدًا مَعَهُ. 

Mereka menamakan guru mereka dengan sayyid. Mereka juga menamakannya syekh. Engkau diharuskan untuk membaiatnya dan menyerahkan urusanmu kepadanya. Engkau tidak boleh menolak dan tidak boleh menyelisihi sedikit pun. Jika tidak demikian, maka engkau tidak bisa menjadi muridnya. 


[4] يَقُولُونَ: إِنَّ اللهَ جَعَلَ مِنَ الۡخَلۡقِ خَوَاصَّ يَجُوزُ الۡاِلۡتِجَاءُ إِلَيۡهِمۡ، وَدُعَاؤُهُمۡ وَالۡاِسۡتِغَاثَةُ بِهِمۡ عَلَى أَنَّهُمۡ شُفَعَاءُ عِنۡدَهُ وَيُقَرِّبُونَ إِلَيۡهِ، هَٰذَا الَّذِي هُمۡ عَلَيۡهِ، لَا يَقُولُونَ: إِنَّهُمۡ شُرَکَاءُ لِلهِ. 

Mereka mengatakan bahwasanya Allah menjadikan makhluk pilihan yang mereka boleh meminta perlindungan kepadanya, berdoa kepada mereka, dan beristigasah kepada mereka dengan alasan agar mereka memberikan syafaat di sisi Allah dan agar mendekatkan diri kepada-Nya. Ini adalah pendirian mereka. Mereka tidak mengatakan bahwa makhluk-makhluk pilihan itu sekutu-sekutu bagi Allah. 

بَلۡ يَقُولُونَ: شُفَعَاءُ عِنۡدَهُ وَيُقَرِّبُونَ إِلَيۡهِ؛ لِأَنَّ اللهَ اخۡتَارَهُمۡ لِصَلَاحِهِمۡ وَتَقۡوَاهُمۡ، فَصَارُوا وَسَائِطَ بَيۡنَ الۡعِبَادِ وَبَیۡنَ اللهِ –تَعَالَى اللهُ عَمَّا يَقُولُونَ- وَلِذٰلِكَ يَتَقَرَّبُونَ إِلَيۡهِمۡ بِالۡعِبَادَاتِ أَحۡيَاءً وَأَمۡوَاتًا. 

Akan tetapi mereka mengatakan bahwa makhluk-makhluk pilihan itu adalah pemberi syafaat di sisi-Nya dan dapat mendekatkan diri mereka kepada-Nya. Mereka berdalih bahwa Allah telah memilih mereka karena kesalehan dan ketakwaan mereka, sehingga mereka menjadi perantara antara hamba dengan Allah. Mahatinggi Allah dari ucapan mereka. Karena itulah mereka mendekatkan diri kepada perantara-perantara itu dengan berbagai ibadah, baik masih hidup ataupun sudah meninggal. 

وَيَقُولُونَ: إِنَّ الۡمُتَقَرِّبَ إِلَيۡهِمۡ مِثۡلُ الۡمُتَقَرِّبِ إِلَى اللهِ، مَنۡ يَتَقَرَّبُ لِلشَّيۡخِ يَتَقَرَّبُ لِلهِ ﴿وَيَعۡبُدُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمۡ وَلَا يَنفَعُهُمۡ وَيَقُولُونَ هَـٰٓؤُلَآءِ شُفَعَـٰٓؤُنَا عِندَ ٱللَّهِۚ﴾ [يونس : ۱۸] لَعِبَ الشَّيۡطَانُ بِهِمۡ إِلَى هَٰذَا الۡحَدِّ. 

Mereka mengatakan bahwa orang yang bertakarub kepada perantara-perantara tadi seperti orang yang bertakarub kepada Allah. Siapa saja yang mendekatkan diri kepada syekh, maka dia mendekatkan diri kepada Allah. 

“Mereka beribadah kepada sesembahan selain Allah yang tidak bisa memberi mudarat kepada mereka dan tidak memberi manfaat kepada mereka. Mereka mengatakan bahwa sesembahan ini pemberi syafaat untuk kami di sisi Allah.” (QS. Yunus: 18). Setan mempermainkan mereka sampai sedemikian rupa. 


[5] الۡمُشۡرِكُونَ الۡأَوَّلُونَ يَعۡبُدُونَهُمۡ وَيُسَمُّونَهُمۡ آلِهَةً، وَلِذٰلِكَ لَمَّا قَالَ لَهُمۡ رَسُولُ اللهِ ﷺ: (قُولُوا: لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ) قَالُوا: ﴿أَجَعَلَ ٱلۡءَالِهَةَ إِلَـٰهًا وَٰحِدًا ۖ ﴾ إِلَى قَوۡلِ: ﴿أَنِ ٱمۡشُوا۟ وَٱصۡبِرُوا۟ عَلَىٰٓ ءَالِهَتِكُمۡ ۖ ﴾ [ص : ٥-٦]، سَمَّوۡهَا آلِهَةً ﴿وَقَالُوا۟ لَا تَذَرُنَّ ءَالِهَتَكُمۡ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسۡرًا﴾ [نوح: ۲۳]. 

Orang-orang musyrik yang dahulu beribadah kepada perantara-perantara itu dan menamakannya sebagai ilah/tuhan/sesembahan. Oleh karena itu, ketika Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—berkata kepada mereka, “Ucapkan ‘laa ilaaha illallaah’!” Mereka berkata, “Apakah dia hendak menjadikan ilah-ilah ini menjadi satu ilah saja?” Sampai pada ucapan, “Pergilah kalian dan tetaplah (menyembah) ilah-ilah kalian!” (QS. Shad: 5-6). 

Mereka menamakannya ilah. 

“Mereka berkata, ‘Jangan sampai kalian meninggalkan ilah-ilah kalian! Jangan sampai kalian meninggalkan Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr!’” (QS. Nuh: 23). 

الۡأَوَّلُونَ سَمَّوۡهُمۡ آلِهَةً، وَالۡمُتَأَخِّرُونَ الَّذِينَ يَدَّعُونَ الۡإِسۡلَامَ سَمَّوۡهُمۡ وَسَائِطَ وَشُفَعَاءَ فَقَطۡ، وَلَمۡ يُسَمُّوهُمۡ آلِهَةً، وَالۡمَعۡنَى وَاحِدٌ وَإِنِ اخۡتَلَفَ اللَّفۡظُ؛ لِأَنَّ الۡعِبۡرَةَ بَالۡحَقَائِقِ، وَلَيۡسَتِ الۡعِبۡرَةُ بِالۡأَلۡفَاظِ وَالۡمُصۡطَلَحَاتِ. 

Orang-orang musyrik zaman dahulu menamakannya dengan ilah, sementara orang-orang belakangan yang mengaku Islam menamakannya dengan perantara dan pemberi syafaat saja. Mereka tidak menamakannya ilah, padahal maknanya sama meskipun lafaznya berbeda. Yang jadi patokan adalah hakikatnya. Patokannya bukan lafaz dan istilah. 


[6] (لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ) تُبۡطِلُ كُلَّ مَا يُعۡبَدُ مِنۡ دُونِ اللهِ سَوَاءً سُمِّيَ وَاسِطَةً أَوۡ شَفِيعًا، أَوۡ سُمِّيَ آلِهَةً، فَلَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ تُبۡطِلُ كُلَّ مَا يُعۡبَدُ مِنۡ دُونِ اللهِ بِأَيِّ اسۡمٍ سُمِّيَ. 

“Laa ilaaha illallaah” membatalkan segala yang disembah selain Allah. Sama saja, baik dinamai perantara, atau pemberi syafaat, atau dinamakan ilah. “Laa ilaaha illallaah” membatalkan segala yang diibadahi selain Allah, apapun namanya.