Cari Blog Ini

Latar Belakang Peperangan yang Dilakukan oleh Rasulullah

Syekh Muhammad bin 'Abdul Wahhab--rahimahullah--di dalam Tafsir Kalimat Tauhid berkata:

وَإِذَا أَرَدۡتَ أَنۡ تَعۡرِفَ هَٰذَا مَعۡرِفَةً تَامَّةً فَذٰلِكَ بِأَمۡرَيۡنِ: 

Apabila engkau ingin untuk mengetahui hal ini dengan pengetahuan yang sempurna, maka bisa dicapai dengan dua perkara: 

الۡأَوَّلُ: أَنۡ تَعۡرِفَ أَنَّ الۡكُفَّارَ الَّذِينَ قَاتَلَهُمۡ رَسُولُ اللهِ ﷺ وَقَتَلَهُمۡ وَأَبَاحَ أَمۡوَالَهُمۡ وَاسۡتَحَلَّ نِسَاءَهُمۡ كَانُوا مُقِرِّينَ لِلهِ سُبۡحَانَهُ بِتَوۡحِيدِ الرُّبُوبِيَّةِ، وَهُوَ أَنَّهُ لَا يَخۡلُقُ وَلَا يَرۡزُقُ وَلَا يُحۡيِي وَلَا يُمِيتُ وَلَا يُدَبِّرُ الۡأُمُورَ إِلَّا اللهُ وَحۡدَهُ، 

Pertama: Engkau seharusnya mengetahui bahwa orang-orang kafir yang Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—perangi, beliau bunuh, beliau halalkan harta-harta mereka, beliau halalkan wanita-wanita mereka; mereka itu dahulunya adalah orang-orang yang menetapkan tauhid rububiyyah untuk Allah—subhanahu wa ta’ala—. Yaitu bahwa tidak ada yang menciptakan, memberi rezeki, menghidupkan, mematikan, mengatur segala urusan, kecuali Allah semata. 

كَمَا قَالَ تَعَالَى: ﴿قُلۡ مَن يَرۡزُقُكُم مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلۡأَرۡضِ أَمَّن يَمۡلِكُ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡأَبۡصَـٰرَ وَمَن يُخۡرِجُ ٱلۡحَىَّ مِنَ ٱلۡمَيِّتِ وَيُخۡرِجُ ٱلۡمَيِّتَ مِنَ ٱلۡحَىِّ وَمَن يُدَبِّرُ ٱلۡأَمۡرَ ۚ فَسَيَقُولُونَ ٱللَّهُ ۚ فَقُلۡ أَفَلَا تَتَّقُونَ﴾ [يونس: ٣١]. 

Sebagaimana Allah taala berfirman, “Katakanlah: Siapakah yang memberi rezeki kepada kalian dari langit dan bumi? Siapakah yang menguasai pendengaran dan penglihatan? Siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup? Dan siapa yang mengatur segala urusan? Niscaya mereka akan menjawab: Allah. Lalu mengapa kalian tidak bertakwa?” (QS. Yunus: 31).[1]

وَهَٰذِهِ مَسۡأَلَةٌ عَظِيمَةٌ جَلِيلَةٌ مُهِمَّةٌ، وَهِيَ أَنۡ تَعۡرِفَ أَنَّ الۡكُفَّارَ الَّذِينَ قَاتَلَهُمۡ رَسُولُ اللهِ ﷺ شَاهِدُونَ بِهَٰذَا كُلِّهِ وَمُقِرُّونَ بِهِ، وَمَعَ هَٰذَا لَمۡ يُدۡخِلۡهُمۡ ذٰلِكَ فِي الۡإِسۡلَامِ، وَلَمۡ يُحَرِّمۡ دِمَاءَهُمۡ وَلَا أَمۡوَالَهُمۡ، وَكَانُوا أَيۡضًا يَتَصَدَّقُونَ وَيَحُجُّونَ وَيَعۡتَمِرُونَ وَيَتَعَبَّدُونَ وَيَتۡرُكُونَ أَشۡيَاءَ مِنَ الۡمُحَرَّمَاتِ خَوۡفًا مِنَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ. 

Ini adalah masalah yang besar, agung, lagi penting. Yaitu engkau mengerti bahwa orang-orang kafir yang diperangi oleh Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—itu mempersaksikan ini semua dan mengakuinya. Namun bersamaan dengan sikap mereka ini, tidak lantas memasukkan mereka ke dalam agama Islam dan tidak pula menyebabkan darah dan harta mereka terjaga. Padahal mereka dahulu juga bersedekah, haji, umrah, beribadah, dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan karena takut dari Allah ‘azza wa jalla.[2]

وَلَكِنَّ الۡأَمۡرَ الثَّانِي هُوَ الَّذِي كَفَّرَهُمۡ وَأَحَلَّ دِمَاءَهُمۡ وَأَمَوَالَهُمۡ، وَهُوَ أَنَّهُمۡ لَمۡ يَشۡهَدُوا لِلهِ بِتَوۡحِيدِ الۡأُلُوهِيَّةِ، وَتَوۡحِيدِ الرُّبُوبِيَّةِ. 

Akan tetapi perkara kedua yang menyebabkan Nabi mengafirkan mereka, menghalalkan darah dan harta mereka, yaitu bahwa mereka tidak mempersaksikan tauhid uluhiyyah untuk Allah.[3]

وَهُوَ أَلَّا يُدۡعَى وَلَا يُرۡجَى إِلَّا اللهُ وَحۡدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ. 

Tauhid uluhiyyah adalah dengan tidak berdoa dan berharap kecuali kepada Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya.[4]

وَلَا يُسۡتَغَاثَ بِغَيۡرِهِ وَلَا يُذۡبَحَ لِغَيۡرِهِ، وَلَا يُنۡذَرَ لِغَيۡرِهِ، لَا لِمَلَكٍ مُقَرَّبٍ وَلَا نَبِيٍّ مُرۡسَلٍ، فَمَنِ اسۡتَغَاثَ بِغَيۡرِهِ فَقَدۡ كَفَرَ، وَمَنۡ ذَبَحَ لِغَيۡرِهِ فَقَدۡ كَفَرَ، وَمَنۡ نَذَرَ لِغَيۡرِهِ فَقَدۡ كَفَرَ، وَأَشۡبَاهُ ذٰلِكَ. 

Juga tidak boleh beristigasah kepada selain Allah. Tidak boleh menyembelih untuk selain-Nya. Tidak boleh bernazar untuk selain-Nya. Baik itu untuk malaikat yang didekatkan atau untuk nabi yang diutus. Jadi, siapa saja yang beristigasah kepada selain Allah, maka dia telah kafir. Siapa saja yang menyembelih untuk selain Allah, maka dia telah kafir. Siapa saja yang bernazar untuk selain Allah, maka dia telah kafir. Dan lain sebagainya.[5]

وَتَمَامُ هَٰذَا: أَنۡ تَعۡرِفَ أَنَّ الۡمُشۡرِكِينَ الَّذِينَ قَاتَلَهُمۡ رَسُولُ اللهِ ﷺ، كَانُوا يَدۡعُونَ الصَّالِحِينَ مِثۡلَ الۡمَلَائِكَةِ وَعِيسَى وَأُمِّهُ وَعُزَيۡرَ، وَغَيۡرَهُمۡ مِنَ الۡأَوۡلِيَاءِ، فَكَفَرُوا بِهَٰذَا مَعَ إِقۡرَارِهِمۡ بِأَنَّ اللهَ سُبۡحَانَهُ هُوَ الۡخَالِقُ الرَّازِقُ الۡمُدَبِّرُ.

Kesimpulannya, engkau harus mengetahui bahwa orang-orang musyrik yang dahulu diperangi oleh Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—, dahulunya mereka berdoa kepada makhluk-makhluk Allah yang saleh, seperti kepada malaikat, ‘Isa, ibunya, ‘Uzair, dan wali-wali selain mereka. Mereka kafir dengan sebab ini, padahal mereka mengakui bahwa Allah—subhanahu wa ta’ala—adalah yang menciptakan, memberi rezeki, dan mengatur alam semesta.[6]


Syekh Shalih bin Fauzan bin 'Abdullah Al-Fauzan--hafizhahullah--berkata di dalam Syarh Tafsir Kalimat Tauhid:

[1] عُبَّادُ الۡقُبُورِ الۡآنَ يَقُولُونَ: مَا دَامَ أَنَّهُ اعۡتَرَفَ أَنَّ اللهَ الۡخَالِقُ الرَّازِقُ الۡمُحۡيِي الۡمُمِيتُ الۡمُدَبِّرُ، فَإِنَّهُ مُسۡلِمٌ، إِذَنۡ مَا مَعۡنَى (لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ)؟! لَيۡسَ لَهَا مَعۡنًى عِنۡدَهُمۡ؛ لِأَنَّ الۡمُشۡرِكِينَ يَقُولُونَ هَٰذَا الَّذِي يَقُولُهُ هَٰؤُلَاءِ. 

Para penyembah kubur di masa sekarang ini berpendapat bahwa selama dia mengakui bahwa Allah yang mencipta, memberi rezeki, menghidupkan, mematikan, dan mengatur segala urusan, berarti dia seorang muslim. 

Jika demikian, lantas apa makna “laa ilaaha illallaah”? Menurut mereka, kalimat ini tidak memiliki makna, karena orang-orang musyrik juga berpendapat seperti yang mereka sebutkan. 


[2] هِيَ مَسۡأَلَةٌ عَظِيمَةٌ وَمُهِمَّةٌ جِدًّا، وَقَلَّ مَنۡ يَعۡتَنِي بِهَا؛ لِأَنَّ هَٰؤُلَاءِ يَقُولُونَ: مَنۡ أَقَرَّ بِتَوۡحِيدِ الرُّبُوبِيَّةِ صَارَ مُسۡلِمًا. 

Ini masalah yang agung dan sangat penting. Orang yang memperhatikannya amat sedikit, karena mereka mengatakan bahwa orang yang sudah menetapkan tauhid rububiyyah, maka dia menjadi seorang muslim. 

وَكَانَ الۡمُشۡرِكُونَ فِي الۡجَاهِلِيَّةِ يُقِرُّونَ بِتَوۡحِيدِ الرُّبُوبِيَّةِ، وَعِنۡدَهُمۡ عِبَادَاتٌ كَالصَّدَقَةِ وَالۡحَجِّ، فَهُمۡ يَحُجُّونَ وَيَعۡتَمِرُونَ وَيَقُولُونَ: لَا يَخۡلُقُ وَلَا يَرۡزُقُ وَلَا يُحۡيِي وَلَا يُمِيتُ إِلَّا اللهُ، يَعۡتَرِفُونَ بِتَوۡحِيدِ الرُّبُوبِيَّةِ، وَيَتَعَبَّدُونَ بِبَعۡضِ الۡعِبَادَاتِ، وَلَكِنۡ لَمَّا كَانُوا لَا يُخۡلِصُونَ الۡعِبَادَةَ لِلهِ وَحۡدَهُ، بَلۡ يَعۡبُدُونَ اللهَ وَيَعۡبُدُونَ مَعَهُ غَيۡرَهُ صَارُوا مُشۡرِکِینَ. 

Orang-orang musyrik di zaman jahiliah dahulu menetapkan tauhid rububiyyah. Mereka juga melakukan ibadah-ibadah, seperti sedekah dan haji. Jadi mereka melakukan haji dan umrah, serta berpendapat bahwa tidak ada yang menciptakan, memberi rezeki, menghidupkan, dan mematikan kecuali Allah. Mereka mengakui tauhid rububiyyah dan melakukan sebagian ibadah. Akan tetapi ketika mereka tidak mengikhlaskan ibadah untuk Allah semata, bahkan mereka beribadah kepada Allah, bersamaan dengan itu mereka beribadah kepada selain Dia, maka mereka menjadi orang-orang musyrik. 


[3] لِأَنَّ هَٰذَا هُوۡ الۡمَطۡلُوبُ وَهُوَ تَوۡحِيدُ الۡأُلُوهِيَّةِ، أَيۡ : إِفۡرَادُ اللهِ بِالۡعِبَادَةِ، وَلَيۡسَ الۡمَطۡلُوبُ إِفۡرَادَ اللهِ بِتَوۡحِيدِ الرُّبُوبِيَّةِ فَقَطۡ، لَابُدَّ مِنَ الۡأَمۡرَيۡنِ، لَابُدَّ مِنۡ تَوۡحِيدِ الرُّبُوبِيَّةِ، وَهُوَ مُسۡتَلۡزِمٌ لِتَوۡحِيدِ الۡأُلُوهِيَّةِ، وَلَا بُدَّ مِنۡ تَوۡحِيدِ الۡأُلُوهِيَّةِ، وَهُوَ مُتَضَمِّنٌ لِتَوۡحِيدِ الرُّبُوبِيَّةِ، لَا يَنۡفَكُّ بَعۡضُهُمَا عَنۡ بَعۡضٍ. 

Karena tauhid uluhiyyah inilah yang dituntut. Yaitu pengesaan Allah dalam ibadah. Yang dituntut bukan hanya mengesakan Allah dengan tauhid rububiyyah. Bahkan kedua jenis tauhid ini harus diwujudkan. Tauhid rububiyyah adalah keharusan dan tauhid ini menuntut adanya tauhid uluhiyyah. Tauhid uluhiyyah juga merupakan keharusan dan tauhid ini mengandung tauhid rububiyyah. Salah satunya tidak bisa lepas dari yang lainnya. 


[4] أَيۡ: وَتَوۡحِيدُ الۡأُلُوهِيَّةِ يَتَضَمَّنُ جَمِيعَ الۡعِبَادَاتِ، فَلَا يُصۡرَفُ لِغَيۡرِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنۡهَا شَيۡءٌ؛ لِأَنَّهُ هُوَ الۡمُسۡتَحِقُّ لَهَا، فَمَنۡ صَرَفَ مِنۡهَا شَيۡئًا لِغَيۡرِ اللهِ، فَإِنَّهُ مُشۡرِكٌ وَلَوۡ كَانَ يَقُولُ: لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ، بَلۡ لَوۡ كَانَ يَعۡبُدُ اللهَ بِأَنۡوَاعٍ مِنَ الۡعِبَادَاتِ، مَا دَامَ لَمۡ يُخۡلِصۡ لِلهِ فِيهَا كُلِّهَا، فَلَيۡسَ بِمُسۡلِمٍ. 

Artinya, tauhid uluhiyyah meliputi seluruh ibadah. Jadi satu ibadah saja tidak boleh dipalingkan kepada selain Allah—‘azza wa jalla—, karena Allah lah yang berhak atas ibadah itu. Sehingga, siapa saja yang memalingkan satu saja dari ibadah untuk selain Allah, maka dia adalah musyrik walaupun tadinya dia mengucapkan “laa ilaaha illallaah”. Bahkan, walau dia beribadah kepada Allah dengan segala macam ibadah, selama dia tidak mengikhlaskan seluruh ibadah itu untuk Allah, maka dia bukan muslim. 


[5] أَيۡ: مَنۡ فَعَلَ ذٰلِكَ فَإِنَّهُ يَكۡفُرُ وَلَوۡ كَانَ يَقُولُ: لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ؛ لِأَنَّهُ لَمۡ يُحَقِّقۡهَا فَهُوَ مُتَنَاقِضٌ، كَيۡفَ يَقُولُ: (لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ) وَيَذۡبَحُ لِغَيۡرِهِ؟! كَيۡفَ يَقُولُ: (لِا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ) وَيَسۡتَغِيثُ بِغيۡرِ اللهِ مِنَ الۡأَمۡوَاتِ وَالۡغَائِبِينَ وَالۡجِنِّ وَالشَّيَاطِينِ؟!! كَيۡفَ يَقُولُ: (لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ) وَيَنۡذُرُ لِغَيۡرِ اللهِ؟!! هَٰذَا تَنَاقُضٌ. 

Artinya, siapa saja yang melakukan itu, maka dia kafir walaupun dia tadinya mengucapkan “laa ilaaha illallaah”, karena hakikatnya dia tidak merealisasikan kandungan kalimat tersebut. Jadi dia tidak konsisten. Bagaimana dia mengucapkan “laa ilaaha illallaah”, sementara dia menyembelih untuk selain Allah?! Bagaimana dia mengatakan “laa ilaaha illallaah”, sedangkan dia beristigasah kepada selain Allah dari orang-orang yang sudah mati, yang tidak hadir, dari jin, dan dari setan?! Bagaimana dia mengatakan “laa ilaaha illallaah”, akan tetapi dia bernazar untuk selain Allah?! Ini bertolak belakang. 


[6] الۡمُشۡرِكُونَ الۡأَوَّلُونَ لَيۡسُوا كُلُّهُمۡ يَعۡبُدُونَ الۡأَصۡنَامَ، فَهُمۡ مُتَفَرِّقُونَ فِي عِبَادَتِهِمۡ، فَمِنۡهُمۡ مَنۡ يَعۡبُدُ الۡأَصۡنَامَ، وَمِنۡهُمۡ مَنۡ يَعۡبُدُ الۡمَلَائِكَةَ، وَمِنۡهُمۡ مَنۡ يَعۡبُدُ الۡأَنۡبِيَاءَ، وَمِنۡهُمۡ مَنۡ يَعۡبُدُ الصَّالِحِينَ، وَالرَّسُولُ ﷺ قَاتَلَهُمۡ كُلَّهُمۡ وَلَمۡ يُفَرِّقۡ بَيۡنَهُمۡ، وَلَمۡ يَقُلۡ: مَا أُقَاتِلَ إِلَّا الَّذِي يَعۡبُدُ الۡأَصۡنَامَ، وَيَتۡرُكُ الَّذِينَ يَعۡبُدُونَ عُزَيۡرًا وَيَعۡبُدُونَ الۡمَسِيحَ، وَيَعۡبُدُونَ الصَّالِحِينَ، مَا فَرَّقَ بَيۡنَهُمُ الرَّسُولُ ﷺ. 

Orang-orang musyrik zaman dahulu, tidak semuanya menyembah berhala. Peribadahan mereka berbeda-beda. Di antara mereka ada yang menyembah berhala, sebagiannya menyembah malaikat, sebagian lainnya menyembah para nabi, dan ada pula yang menyembah orang-orang saleh. Ternyata, Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—memerangi mereka semua dan tidak membeda-bedakan mereka. Beliau tidak mengatakan: Aku tidak memerangi kecuali yang menyembah berhala dan membiarkan orang-orang yang menyembah ‘Uzair, yang menyembah ‘Isa Al-Masih, atau yang menyembah orang-orang saleh. Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—tidak membeda-bedakan mereka. 

وَهَٰؤُلَاءِ الۡقُبُورِيُّونَ الۡيَوۡمَ يَقُولُونَ: الشِّرۡكُ عِبَادَةُ الۡأَصۡنَامِ، وَعِبَادَةُ الۡأَوۡلِيَاءِ تَقَرُّبٌ إِلَى اللهِ وَتَوَسُّلٌ إِلَى اللهِ، لَيۡسَتۡ بِشِرۡكٍ؛ لِأَنَّ الشِّرۡكَ عِبَادَةُ الۡأَصۡنَامِ فَقَطۡ، يَا سُبۡحَانَ اللهِ! الرَّسُولُ قَاتَلَ الۡجَمِيعَ: الَّذِينَ يَعۡبُدُونَ الۡأَصۡنَامَ، وَالَّذِينَ يَعۡبُدُونَ الۡمَلَائِكَةَ، وَالَّذِينَ يَعۡبُدُونَ الۡمَسِيحَ، وَالَّذِينَ يَعۡبُدُونَ عُزَيۡرًا، وَالَّذِينَ يَعۡبُدُونَ الۡأَوۡلِيَاءَ وَالصَّالِحِينَ، لَمۡ يُفَرِّقۡ بَيۡنَهُمۡ؛ لِأَنَّهُ لَيۡسَ بَيۡنَهُمۡ فَرۡقٌ فِي الۡحَقِيقَةِ. 

Adapun para penyembah kubur di masa ini, mereka mengatakan bahwa kesyirikan adalah penyembahan kepada berhala. Sedangkan peribadahan kepada para wali merupakan takarub kepada Allah dan tawasul kepada-Nya. Ini bukan kesyirikan karena yang dinamakan kesyirikan hanyalah peribadahan kepada berhala. Mahasuci Allah. 

Rasulullah memerangi semua, orang-orang yang menyembah berhala, orang-orang yang menyembah malaikat, orang-orang yang menyembah ‘Isa Al-Masih, orang-orang yang menyembah ‘Uzair, orang-orang yang menyembah para wali dan orang saleh. Beliau tidak membeda-bedakan mereka, karena hakikatnya tidak ada perbedaan di antara mereka.