Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah (wafat 620 H) berkata di
dalam kitab Lum'atul I'tiqad:
٢٨ – وَمِنَ السُّنَّةِ هِجۡرَانُ أَهۡلِ الۡبِدَعِ وَمُبَايَنَتُهُمۡ وَتَرۡكُ الۡجِدَالِ وَالۡخُصُومَاتِ فىِ الدِّينِ، وَتَرۡكُ النَّظَرِ فِى كُتُبِ الۡمُبۡتَدِعَةِ، وَالۡإِصۡغَاءِ إِلَى كَلَامِهِمۡ.
28. Termasuk sunah adalah menjauhi dan meninggalkan mereka; meninggalkan perdebatan dan perbantahan dalam agama; tidak melihat kepada kitab-kitab ahli bidah dan tidak mendengarkan ucapan-ucapan mereka.[1]
Syekh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin rahimahullah di dalam
Syarh Lum'atil I'tiqad berkata:
[1]
هِجۡرَانُ أَهۡلِ الۡبِدَعِ:
Pengucilan ahli bidah:
الۡهِجۡرَانُ مَصۡدَرُ هَجَرَ وَهُوَ لُغَةً: التَّرۡكُ.
وَالۡمُرَادُ بِهِجۡرَانِ أَهۡلِ الۡبِدَعِ: الۡاِبۡتِعَادُ عَنۡهُمۡ وَتَرۡكُ
مَحَبَّتِهِمۡ وَمُوَالَاتِهِمۡ وَالسَّلَامِ عَلَيۡهِمۡ وَزِيَارَتِهِمۡ
وَعِيَادَتِهِمۡ وَنَحۡوُ ذٰلِكَ.
Al-hijran adalah masdar dari kata hajara yang secara bahasanya artinya
perbuatan meninggalkan. Yang dimaukan dengan hijran ahli bidah adalah menjauhi
mereka, meninggalkan perasaan mencintai mereka, setia kepada mereka, menyalami
mereka, mengunjungi mereka, menjenguk mereka, dan semacam itu.
وَهِجۡرَانُ أَهۡلِ الۡبِدَعِ وَاجِبٌ لِقَوۡلِهِ تَعَالَى: ﴿ٱدۡعُ إِلَىٰ
سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلۡحِكۡمَةِ وَٱلۡمَوۡعِظَةِ ٱلۡحَسَنَةِ ۖ وَجَٰدِلۡهُم
بِٱلَّتِى هِىَ أَحۡسَنُ ۚ﴾ [النحل: ١٢٥] وَلِأَنَّ النَّبِيَّ ﷺ هَجَرَ كَعۡبَ
بۡنَ مَالِكٍ وَصَاحِبَيۡهِ حِينَ تَخَلَّفُوا عَنۡ غَزۡوَةِ تَبُوكَ.
Hukum mengucilkan ahli bidah adalah wajib berdasarkan firman Allah taala,
“Ajaklah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah, nasehat yang baik, dan debatlah
mereka dengan cara yang baik.” (QS. An-Nahl: 125).
Juga karena Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—telah mengucilkan Ka’b bin
Malik dan dua sahabatnya ketika mereka absen dari perang Tabuk.
لَكِنۡ إِنۡ كَانَ فِى مُجَالَسَتِهِمۡ مَصۡلَحَةٌ لِتَبۡيِينِ الۡحَقِّ
لَهُمۡ وَتَحۡذِيرِهِمۡ مِنَ الۡبِدۡعَةِ فَلَا بَأۡسَ بِذٰلِكَ وَرُبَّمَا
يَكُونُ ذٰلِكَ مَطۡلُوبًا لِقَوۡلِهِ تَعَالَى: ﴿ٱدۡعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ
بِٱلۡحِكۡمَةِ وَٱلۡمَوۡعِظَةِ ٱلۡحَسَنَةِ ۖ وَجَٰدِلۡهُم بِٱلَّتِى هِىَ
أَحۡسَنُ ۚ﴾ [النحل: ١٢٥] وَهَٰذَا قَدۡ يَكُونُ بِالۡمُجَالَسَةِ
وَالۡمُشَافَهَةِ وَقَدۡ يَكُونُ بِالۡمُرَاسَلَةِ وَالۡمُكَاتَبَةِ.
Akan tetapi jika dalam bermajelis dengan ahli bidah ada suatu maslahat untuk
menjelaskan kebenaran kepada mereka dan memperingatkan mereka dari kebidahan,
ini tidak mengapa. Bahkan perbuatan ini justru yang diharapkan berdasarkan
firman Allah taala, “Ajaklah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah, nasehat yang
baik, dan debatlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. An-Nahl: 125).
Perbuatan ini terkadang bisa terwujud dengan cara bermajelis tatap muka dan
bisa dengan cara surat-menyurat.
وَمِنۡ هَجۡرِ أَهۡلِ الۡبِدَعِ: تَرۡكُ النَّظَرِ فِى كُتُبِهِمۡ خَوۡفًا
مِنَ الۡفِتۡنَةِ بِهَا أَوۡ تَرۡوِيجِهَا بَيۡنَ النَّاسِ فَالۡاِبۡتِعَادُ
عَنۡ مَوَاطِنِ الضَّلَالِ وَاجِبٌ لِقَوۡلِهِ ﷺ فِى الدَّجَّالِ: (مَنۡ سَمِعَ
بِهِ فَلۡيَنۡأَ عَنۡهُ، فَوَاللهِ إِنَّ الرَّجُلَ لَيَأۡتِيهِ وَهُوَ
يَحۡسَبُ أَنَّهُ مُؤۡمِنٌ فَيَتۡبَعُهُ مِمَّا يُبۡعَثُ بِهِ مِنَ
الشُّبُهَاتِ). رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ. قَالَ الۡأَلۡبَانِىُّ: وَإِسۡنَادُهُ
صَحِيحٌ.
Termasuk pengucilan ahli bidah adalah tidak membaca buku-buku karya mereka
karena khawatir akan terseret fitnah atau khawatir buku-buku itu akan tersebar
di tengah-tengah manusia. Jadi hukum menjauhi tempat munculnya kesesatan
adalah wajib berdasarkan sabda Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—tentang
Dajjal, “Siapa saja yang mendengar tentang kemunculan Dajjal, menjauhlah
darinya. Demi Allah, sungguh ada seseorang yang mendatangi Dajjal dalam
keadaan dia mengira dirinya mukmin, setelah itu dia malah mengikuti Dajjal
karena termakan syubhat yang dibawanya.” (HR. Abu Dawud). Al-Albani berkata:
Sanadnya sahih.
لَكِنۡ إِنۡ كَانَ الۡغَرَضُ مِنَ النَّظَرِ فِى كُتُبِهِمۡ مَعۡرِفَةُ
بِدۡعَتِهِمۡ لِلرَّدِّ عَلَيۡهَا فَلَا بَأۡسَ بِذٰلِكَ، لِمَنۡ كَانَ
عِنۡدَهُ مِنَ الۡعَقِيدَةِ الصَّحِيحَةِ مَا يَتَحَصَّنُ بِهِ وَكَانَ
قَادِرًا عَلَى الرَّدِّ عَلَيۡهِمۡ، بَلۡ رُبَّمَا وَاجِبًا؛ لِأَنَّ رَدَّ
الۡبِدۡعَةِ وَاجِبٌ وَمَا لَا يَتِمُّ الۡوَاجِبُ إِلَّا بِهِ فَهُوَ
وَاجِبٌ.
Akan tetapi jika tujuan membaca kitab-kitab ahli bidah untuk mengetahui
kebidahan mereka lalu membantahnya, ini tidak mengapa bagi orang yang memiliki
akidah yang sahih yang dapat membentenginya dan dia mampu untuk membantah
mereka. Bahkan bisa jadi hukumnya wajib, karena membantah bidah adalah
kewajiban dan perkara apa saja yang suatu kewajiban tidak bisa sempurna
kecuali dengannya, berarti hukum perkara tersebut juga wajib.
الۡجِدَالُ وَالۡخِصَامُ فِي الدِّينِ:
Perdebatan dalam agama:
الۡجِدَالُ: مَصۡدَرُ جَادَلَ، وَالۡجَدَلُ: مُنَازَعَةُ الۡخَصۡمِ
لِلتَّغَلُّبِ عَلَيۡهِ، وَفِى الۡقَامُوسِ: الۡجَدَلُ: اللَّدَدُ فِى
الۡخُصُومَةِ، وَالۡخِصَامُ: الۡمُجَادَلَةُ، فَهُمَا بِمَعۡنَى وَاحِدٍ.
Jidāl adalah masdar dari kata jādala. Jadal adalah mendebat lawan bicara untuk
mengalahkan pendapatnya. Dalam kamus, jadal artinya perdebatan dalam
permusuhan.
Khishām artinya mujādalah (perdebatan). Keduanya bermakna sama.
وَيَنۡقَسِمُ الۡخِصَامُ وَالۡجِدَالُ فِى الدِّينِ إِلَى قِسۡمَيۡنِ:
Perdebatan dalam agama terbagi menjadi dua bagian.
الۡأَوَّلُ: أَنۡ يَكُونَ الۡغَرَضُ مِنۡ ذٰلِكَ إِثۡبَاتَ الۡحَقِّ
وَإِبۡطَالِ الۡبَاطِلِ، وَهَٰذَا مَأۡمُورٌ بِهِ إِمَّا وُجُوبًا أَوِ
اسۡتِحۡبَابًا بِحَسَبِ الۡحَالِ لِقَوۡلِهِ تَعَالَى: ﴿ٱدۡعُ إِلَىٰ سَبِيلِ
رَبِّكَ بِٱلۡحِكۡمَةِ وَٱلۡمَوۡعِظَةِ ٱلۡحَسَنَةِ ۖ وَجَٰدِلۡهُم بِٱلَّتِى
هِىَ أَحۡسَنُ ۚ﴾ [النحل: ١٢٥].
Pertama: perdebatan yang bertujuan untuk menetapkan kebenaran dan menggugurkan
kebatilan. Perdebatan semacam ini diperintahkan. Hukumnya bisa wajib atau
sunah tergantung keadaan. Dasarnya adalah firman Allah taala, “Ajaklah kepada
jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasehat yang baik! Dan debatlah mereka dengan
cara yang baik!” (QS. An-Nahl: 125).
الثَّانِى: أَنۡ يَكُونَ الۡغَرَضُ مِنۡهُ التَّعۡنِيتَ أَوِ الۡاِنۡتِصَارَ
لِلنَّفۡسِ أَوۡ لِلۡبَاطِلِ فَهَٰذَا قَبِيحٌ مَنۡهِىٌّ عَنۡهُ لِقَوۡلِهِ
تَعَالَى: ﴿مَا يُجَٰدِلُ فِىٓ ءَايَٰتِ ٱللَّهِ إِلَّا ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟﴾
[غافر: ٤]، وَقَوۡلِهِ: ﴿وَجَٰدَلُوا۟ بِٱلۡبَٰطِلِ لِيُدۡحِضُوا۟ بِهِ
ٱلۡحَقَّ فَأَخَذۡتُهُمۡ ۖ فَكَيۡفَ كَانَ عِقَابِ﴾ [غافر: ٥].
Kedua: perdebatan yang bertujuan pemaksaan pendapat atau pembelaan diri atau
pembelaan kebatilan. Ini adalah perdebatan yang buruk dan dilarang,
berdasarkan firman Allah taala, “Tidak ada yang memperdebatkan ayat-ayat Allah
kecuali orang-orang yang kafir.” (QS. Ghafir: 4).
Dan firman-Nya, “Mereka berdebat dengan (alasan) yang batil agar bisa
mengalahkan kebenaran, maka Aku siksa mereka. Bagaimana azab-Ku (bisa
dijadikan pelajaran)?” (Ghafir: 5).