Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah (wafat 620 H) di dalam kitab
Lum'atul I'tiqad berkata,
وَمِنۡ ذٰلِكَ:
قَوۡلُهُ تَعَالَى: ﴿ٱلرَّحۡمَـٰنُ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ ٱسۡتَوَىٰ﴾ [طه: ٥].
Di antaranya adalah firman Allah taala, “Allah yang Maha Penyayang tinggi di atas arasy.” (QS. Thaha: 5).[1]
وَقَوۡلُهُ: ﴿ءَأَمِنتُم مَّن فِى ٱلسَّمَآءِ﴾ [تبارك: ١٦].
Firman Allah, “Apakah kalian merasa aman terhadap Allah yang ada di atas langit?” (QS. Al-Mulk: 16).
وَقَوۡلُ النَّبِيِّ ﷺ: (رَبُّنَا اللهُ الَّذِي فِي السَّمَاءِ تَقَدَّسَ
اسۡمُكَ).
Sabda Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—, “Rabb kami adalah Allah yang di atas langit, Maha Suci nama-Mu.” (HR. Abu Dawud nomor 3892).
وَقَالَ لِلۡجَارِيَةِ: (أَيۡنَ اللهُ؟) قَالَتۡ: فِي السَّمَاءِ، قَالَ:
(أَعۡتِقۡهَا فَإِنَّهَا مُؤۡمِنَةٌ). رَوَاهُ مَالِكُ بۡنُ أَنَسٍ وَمُسۡلِمٌ
وَغَيۡرُهُمَا مِنَ الۡأَئِمَّةِ.
Nabi bertanya kepada seorang budak wanita, “Di mana Allah?”Dia menjawab, “Di atas langit.”Nabi bersabda, “Merdekakan dia, karena dia seorang mukminah.”Diriwayatkan oleh Malik bin Anas, Muslim (nomor 537), dan para imam selain mereka berdua.
وَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ لِحُصَيۡنٍ: (كَمۡ إِلَٰهًا تَعۡبُدُ)؟ قَالَ: سَبۡعَةً:
سِتَّةً فِي الۡأَرۡضِ وَوَاحِدًا فِي السَّمَاءِ، قَالَ: (مَنۡ لِرَغۡبَتِكَ
وَرَهۡبَتِكَ؟) قَالَ: الَّذِي فِي السَّمَاءِ، قَالَ: (فَاتۡرُكِ السِّتَّةَ
وَاعۡبُدِ الَّذِي فِي السَّمَاءِ وَأَنَا أُعَلِّمُكَ دَعۡوَتَيۡنِ)
فَأَسۡلَمَ وَعَلَّمَهُ النَّبِيُّ ﷺ أَنۡ يَقُولَ: (اللّٰهُمَّ أَلۡهِمۡنِي
رُشۡدِي وَقِنِي شَرَّ نَفۡسِي).
Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—bertanya kepada Hushain, “Berapa ilah yang engkau sembah?”Hushain menjawab, “Tujuh: enam di bumi dan satu di atas langit.”Nabi bertanya, “Siapa yang engkau tujukan perasaan harap dan cemasmu?”Hushain menjawab, “Ilah yang di atas langit.”Nabi bersabda, “Maka, tinggalkan yang enam dan sembahlah ilah yang di atas langit. Aku akan mengajarimu dua doa.”Hushain pun masuk Islam dan Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—mengajarinya untuk berdoa, “Ya Allah, berilah ilham yang membimbingku dan jagalah aku dari kejahatan jiwaku.” (HR. At-Tirmidzi nomor 3483).
وَفِيمَا نُقِلَ مِنۡ عَلَامَاتِ النَّبِيِّ ﷺ وَأَصۡحَابِهِ فِي الۡكُتُبِ
الۡمُتَقَدِّمَةِ أَنَّهُمۡ يَسۡجُدُونَ بِالۡأَرۡضِ، وَيَزۡعُمُونَ أَنَّ
إِلَٰهَهُمۡ فِي السَّمَاءِ.
Juga apa yang dinukilkan berupa ciri-ciri Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—dan para sahabatnya di dalam kitab-kitab terdahulu bahwa mereka sujud di muka bumi dan menganggap bahwa ilah mereka di atas langit.
وَرَوَى أَبُو دَاوُدَ فِي (سُنَنِهِ) أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ: (إِنَّ مَا
بَيۡنَ سَمَاءٍ إِلَى سَمَاءٍ مَسِيرَةُ كَذَا وَكَذَا – وَذَكَرَ الۡخَبَرَ
إِلَى قَوۡلِهِ: وَفَوۡقَ ذٰلِكَ الۡعَرۡشُ وَاللهُ سُبۡحَانَهُ فَوۡقَ
ذٰلِكَ).
Abu Dawud meriwayatkan di dalam Sunan-nya bahwa Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—bersabda, “Sesungguhnya jarak antara satu langit dengan langit lainnya adalah sejauh perjalanan begini dan begini.” Beliau menyebutkan kabar ini hingga sabda beliau, “Dan di atas langit itu adalah arasy. Dan Allah—Maha Suci Dia—di atas arasy itu.”
فَهَٰذَا وَمَا أَشۡبَهَهُ مِمَّا أَجۡمَعَ السَّلَفُ رَحِمَهُمُ اللهُ عَلَى
نَقۡلِهِ وَقَبُولِهِ، وَلَمۡ يُتَعَرَّضۡ لِرَدِّهِ وَلَا تَأۡوِيلِهِ وَلَا
تَشۡبِيهِهِ وَلَا تَمۡثِيلِهِ.
Inilah sifat tinggi dan sifat yang semisalnya adalah termasuk hal yang disepakati oleh para ulama salaf—rahimahumullah—akan penukilan dan penerimaannya. Tidak boleh disimpangkan untuk menolaknya, menakwilnya, dan menyerupakannya. [2]
سُئِلَ مَالِكُ بۡنُ أَنَسٍ الۡإِمَامُ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ فَقِيلَ: يَا
أَبَا عَبۡدِ اللهِ ﴿ٱلرَّحۡمَـٰنُ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ ٱسۡتَوَىٰ﴾ [طه: ٥] كَيۡفَ
اسۡتَوَى؟ فَقَالَ: الۡاِسۡتِوَاءُ غَيۡرُ مَجۡهُولٍ، وَالۡكَيۡفُ غَيۡرُ
مَعۡقُولٍ، وَالۡإِيمَانُ بِهِ وَاجِبٌ، وَالسُّؤَالُ عَنۡهُ بِدۡعَةٌ، ثُمَّ
أَمَرَ بِالرَّجُلِ فَأُخۡرِجَ.
Imam Malik bin Anas—rahimahullah—pernah ditanya, “Wahai Abu ‘Abdullah, ayat: Yang Maha Pengasih bersemayam di atas arasy. (QS. Thaha: 5). Bagaimana Allah bersemayam?”Beliau berkata, “Bersemayam sudah diketahui. Kaifiatnya tidak bisa dijangkau oleh akal. Beriman dengannya wajib. Bertanya tentangnya adalah bidah.” Lalu beliau menyuruh agar orang itu dikeluarkan.[3]
Syekh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin (wafat 1421 H) rahimahullah berkata
di dalam syarahnya,
[1]
الصِّفَةُ الثَّالِثَةُ عَشۡرَةَ: الۡاِسۡتِوَاءُ عَلَى الۡعَرۡشِ:
Sifat ketiga belas: Bersemayam di atas arasy.
اسۡتِوَاءُ اللهِ عَلَى الۡعَرۡشِ مِنۡ صِفَاتِهِ الثَّابِتَةِ لَهُ
بِالۡكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَإِجۡمَاعِ السَّلَفِ.
قَالَ اللهُ تَعَالَى: ﴿ٱلرَّحۡمَـٰنُ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ ٱسۡتَوَىٰ﴾[طه: ٥]
وَذَكَرَ اسۡتِوَاءَهُ عَلَى عَرۡشِهِ فِي سَبۡعَةِ مَوَاضِعَ مِنَ
الۡقُرۡآنِ.
وَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: (إِنَّ اللهَ لَمَّا قَضَى الۡخَلۡقَ كَتَبَ عِنۡدَهُ
فَوۡقَ عَرۡشِهِ: إِنَّ رَحۡمَتِي سَبَقَتۡ غَضَبِي). رواه البخاري.
Bersemayamnya Allah di atas arasy termasuk sifat-Nya yang pasti bagi-Nya
berdasarkan Alquran, sunah, dan kesepakatan ulama salaf.
Allah taala berfirman, “Tuhan Yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas
arasy.” (QS. Thaha: 5). Allah menyebutkan bersemayam-Nya di atas arasy-Nya di
tujuh tempat dalam Alquran.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah ketika telah
menyelesaikan penciptaan, Dia menulis di sisi-Nya di atas arasy-Nya, bahwa
rahmat-Ku mendahului kemurkaan-Ku.” (HR.
Al-Bukhari nomor 3194,
7404,
7422,
7453,
7553, 7554).
وَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ فِيمَا رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ فِي سُنَنِهِ: (إِنَّ
بُعۡدَ مَا بَيۡنَ سَمَاءٍ إِلَى سَمَاءٍ إِمَّا وَاحِدَةٌ أَوِ اثۡنَتَانِ
أَوۡ ثَلَاثٌ وَسَبۡعُونَ سَنَةً...) إِلَى أَنۡ قَالَ فِي الۡعَرۡشِ: (بَيۡنَ
أَسۡفَلِهِ وَأَعۡلَاهُ مِثۡلُ مَا بَيۡنَ سَمَاءٍ إِلَى سَمَاءٍ، ثُمَّ اللهُ
تَعَالَى فَوۡقَ ذٰلِكَ). وَأَخۡرَجَهُ أَيۡضًا التِّرۡمِذِيُّ وَابۡنُ مَاجَهۡ
وَفِيهِ عِلَّةٌ أَجَابَ عَنۡهَا ابۡنُ الۡقَيِّمِ - رَحِمَهُ اللهُ - فِي
تَهۡذِيبِ سُنَنِ أَبِي دَاوُدَ (٧/٩٢-٩٣).
Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—berkata di dalam hadis riwayat
Abu Dawud (nomor 4723)
di dalam Sunan-nya, “Sesungguhnya jarak antara satu langit dengan langit yang
lainnya adalah tujuh puluh satu, atau tujuh puluh dua, atau tujuh puluh tiga
tahun…” hingga beliau bersabda tentang arasy, “Jarak antara bagian bawahnya
hingga bagian atasnya semisal jarak antara satu langit dengan langit lainnya.
Kemudian Allah taala di atas itu.”
At-Tirmidzi (nomor 3320)
dan
Ibnu Majah (nomor 193)
juga meriwayatkannya. Di dalamnya ada sebuah ilat yang telah dijawab oleh Ibnu
Al-Qayyim—rahimahullah—di dalam Tahdzib Sunan Abu Dawud (7/92-93).
وَأَجۡمَعَ السَّلَفُ عَلَى إِثۡبَاتِ اسۡتِوَاءِ اللهِ عَلَى عَرۡشِهِ.
فَيَجِبُ إِثۡبَاتُهُ مِنۡ غَيۡرِ تَحۡرِيفٍ وَلَا تَعۡطِيلٍ وَلَا تَكۡيِيفٍ
وَلَا تَمۡثِيلٍ.
وَهُوَ اسۡتِوَاءٌ حَقِيقِيٌّ مَعۡنَاهُ الۡعُلُوُّ وَالۡاِسۡتِقۡرَارُ عَلَى
وَجۡهٍ يَلِيقُ بِاللهِ تَعَالَى.
Ulama salaf telah bersepakat menetapkan bersemayamnya Allah di atas arasy-Nya.
Maka, wajib menetapkan sifat tersebut dengan tanpa tahrif (menyelewengkan
makna), ta’thil (menolaknya), takyif (menentukan kaifiatnya), dan
tamtsil (menyerupakannya). Ini adalah bersemayam hakiki yang bermakna tinggi
dan menetap sesuai sifat yang layak bagi Allah taala.
وَقَدۡ فَسَّرَهُ أَهۡلُ التَّعۡطِيلِ بِالۡاِسۡتِيلَاءِ، وَنَرُدُّ
عَلَيۡهِمۡ بِمَا سَبَقَ فِي الۡقَاعِدَةِ الرَّابِعَةِ، وَنَزِيدُ وَجۡهًا
رَابِعًا: أَنَّهُ لَا يُعۡرَفُ فِي اللُّغَةِ الۡعَرَبِيَّةِ بِهَٰذَا
الۡمَعۡنَى، وَوَجۡهًا خَامِسًا: أَنَّهُ يُلۡزِمُ عَلَيۡهِ لَوَازِمَ
بَاطِلَةً مِثۡلَ أَنَّ الۡعَرۡشَ لَمۡ يَكُنۡ مِلۡكًا لِلهِ ثُمَّ اسۡتَوۡلَى
عَلَيۡهِ بَعۡدُ.
Para penolak sifat menafsirkannya dengan penguasaan. Kita bantah mereka dengan
kaidah keempat yang telah lalu. Kita tambahkan dengan sisi keempat: Bahwa
penafsiran dengan makna tersebut tidak dikenal dalam bahasa Arab. Dan sisi
kelima: Penafsiran tersebut memberi konsekuensi-konsekuensi batil, seperti
bahwa arasy tadinya belum menjadi milik Allah kemudian baru Allah kuasai
setelahnya.
وَالۡعَرۡشُ لُغَةً: السَّرِيرُ الۡخَاصُّ بِالۡمَلِكِ.
وَفِي الشَّرۡعِ: الۡعَرۡشُ الۡعَظِيمُ الَّذِي اسۡتَوَى عَلَيۡهِ
الرَّحۡمَٰنُ جَلَّ جَلَالُهُ، وَهُوَ أَعۡلَى الۡمَخۡلُوقَاتِ وَأَكۡبَرُهَا،
وَصَفَهُ اللهُ بِأَنَّهُ عَظِيمٌ وَبِأَنَّهُ كَرِيمٌ وَبِأَنَّهُ
مَجِيدٌ.
Arasy secara bahasa adalah singgasana khusus untuk raja. Secara istilah
syariat, arasy adalah arasy yang sangat besar. Allah Yang Maha Pemurah jalla
jalaluh bersemayam di atasnya. Arasy adalah makhluk yang paling tinggi dan
paling besar. Allah menyifati arasy dengan sifat besar dan mulia.
وَالۡكُرۡسِيُّ غَيۡرُ الۡعَرۡشِ؛ لِأَنَّ الۡعَرۡشَ هُوَ مَا اسۡتَوَى
عَلَيۡهِ اللهُ تَعَالَى، وَالۡكُرۡسِيَّ مَوۡضِعُ قَدَمَيۡهِ لِقَوۡلِ ابۡنِ
عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُمَا: الۡكُرۡسِيُّ مَوۡضِعُ الۡقَدَمَيۡنِ
وَالۡعَرۡشُ لَا يُقَدِّرُ أَحَدٌ قَدۡرَهُ. رَوَاهُ الۡحَاكِمُ فِي
مُسۡتَدۡرَكِهِ وَقَالَ: صَحِيحٌ عَلَى شَرۡطِ الشَّيۡخَيۡنِ وَلَمۡ
يُخۡرِجَاهُ.
Al-Kursi berbeda dengan arasy. Arasy adalah yang disemayami Allah taala,
sedangkan al-kursi adalah tempat dua telapak kaki-Nya. Hal ini berdasarkan
ucapan Ibnu ‘Abbas—radhiyallahu ‘anhuma—, “Al-Kursi adalah tempat dua telapak
kaki. Arasy tidak ada seorang pun yang bisa memperkirakan ukurannya.”
Diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Mustadrak-nya. Beliau berkata: Hadis ini
sahih sesuai syarat Al-Bukhari dan Muslim, namun keduanya tidak
meriwayatkannya.
[2]
الصِّفَةُ الرَّابِعَةُ عَشۡرَةَ: الۡعُلُوُّ:
Sifat keempat belas: Tinggi.
الۡعُلُوُّ مِنۡ صِفَاتِ اللهِ الثَّابِتَةِ لَهُ بِالۡكِتَابِ وَالسُّنَّةِ
وَإِجۡمَاعِ السَّلَفِ.
Tinggi termasuk sifat Allah yang pasti bagi-Nya berdasarkan Alquran, sunah,
dan ijmak ulama salaf.
قَالَ اللهُ تَعَالَى: ﴿وَهُوَ ٱلۡعَلِىُّ ٱلۡعَظِيمُ﴾ [البقرة: ٢٥٥].
Allah taala berfirman, “Dia Maha Tinggi lagi Maha Agung.” (QS. Al-Baqarah:
255).
وَكَانَ النَّبِيُّ ﷺ يَقُولُ فِي صَلَاتِهِ فِي السُّجُودِ: (سُبۡحَانَ
رَبِّيَ الۡأَعۡلَى) رَوَاهُ مُسۡلِمٍ مِنۡ حَدِيثِ حُذَيۡفَةَ.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu berdoa ketika sujud, “Maha Suci
Rabb-ku yang Maha Tinggi.” Diriwayatkan oleh
Muslim nomor 772
dari hadis Hudzaifah.
وَأَجۡمَعَ السَّلَفُ عَلَى إِثۡبَاتِ الۡعُلُوِّ لِلهِ.
فَيَجِبُ إِثۡبَاتُهُ لَهُ مِنۡ غَيۡرِ تَحۡرِيفٍ وَلَا تَعۡطِيلٍ وَلَا
تَكۡيِيفٍ وَلَا تَمۡثِيلٍ.
وَهُوَ عُلُوٌّ حَقِيقِيٌّ يَلِيقُ بِاللهِ.
Ulama salaf bersepakat akan kepastian sifat tinggi bagi Allah. Sehingga wajib
menetapkan sifat tersebut untuk-Nya dengan tanpa tahrif (menyelewengkan
maknanya, ta’thil (menolaknya), takyif (menentukan kaifiatnya), dan
tamtsil (menyerupakannya). Itu adalah sifat tinggi yang hakiki yang layak bagi
Allah.
وَيَنۡقَسِمُ إِلَى قِسۡمَيۡنِ:
Sifat tinggi ini terbagi menjadi dua bagian:
عُلُوُّ صِفَةٍ: بِمَعۡنَى أَنَّ صِفَاتَهُ تَعَالَى عُلۡيًا لَيۡسَ فِيهَا
نَقۡصٌ بِوَجۡهٍ مِنَ الۡوُجُوهِ وَدَلِيلُهُ مَا سَبَقَ.
Ketinggian sifat-Nya, bermakna bahwa sifat Allah taala luhur tidak ada satu
cacat pun padanya dari segala sisinya. Dalilnya telah disebutkan.
وَعُلُوُّ ذَاتٍ: بِمَعۡنَى أَنَّ ذَاتَهُ تَعَالَى فَوۡقَ جَمِيعِ
مَخۡلُوقَاتِهِ وَدَلِيلُهُ مَعَ مَا سَبَقَ:
Ketinggian zat-Nya, bermakna bahwa Zat Allah taala di atas semua makhluk-Nya.
Dalil selain dari yang telah disebutkan adalah:
قَوۡلُهُ تَعَالَى: ﴿ءَأَمِنتُم مَّن فِى ٱلسَّمَآءِ﴾ [الملك: ١٦].
Firman Allah taala, “Apakah kalian merasa aman dari yang ada di atas langit?”
(QS. Al-Mulk: 16).
وَقَوۡلُ النَّبِيِّ ﷺ: (رَبُّنَا اللهُ الَّذِي فِي السَّمَاءِ تَقَدَّسَ
اسۡمُكَ...) الحديث. رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَفِيهِ زِيَادَةُ بۡنُ مُحَمَّدٍ،
قَالَ الۡبُخَارِيُّ: مُنۡكَرُ الۡحَدِيثِ.
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tuhan kita adalah Allah yang ada di
atas langit. Maha Suci nama-Mu...” HR.
Abu Dawud nomor 3892. Dalam sanadnya ada perawi Ziyadah bin Muhammad. Al-Bukhari berkata: Dia
munkarul hadits.
وَقَوۡلُهُ ﷺ لِلۡجَارِيَةِ: (أين الله؟) قَالَتۡ: فِي السَمَاءِ، قَالَ:
(أَعۡتِقۡهَا فَإِنَّهَا مُؤۡمِنَةٌ) رَوَاهُ مُسۡلِمٌ فِي قِصَّةِ مُعَاوِيَةَ
بۡنِ الۡحَكَمِ.
Sabda beliau—shallallahu ‘alaihi wa sallam—kepada seorang budak wanita, “Di
mana Allah?”
Dia menjawab, “Di atas langit.”
Beliau bersabda, “Merdekakan dia karena dia seorang mukminah.”
HR. Muslim nomor 537
tentang kisah Mu’awiyah bin Al-Hakam.
وَقَوۡلُهُ ﷺ لِحُصَيۡنِ بۡنِ عُبَيۡدٍ الۡخُزَاعِيِّ وَالِدِ عِمۡرَانَ بۡنِ
حُصَيۡنٍ: (اتۡرُكِ السِّتَّةَ وَاعۡبُدِ الَّذِي فِي السَّمَاءِ)، هَٰذَا هُوَ
اللَّفۡظُ الَّذِي ذَكَرَهُ الۡمُؤَلِّفُ وَذَكَرَهُ فِي الۡإِصَابَةِ مِنۡ
رِوَايَةِ ابۡنِ خُزَيۡمَةَ فِي قِصَّةِ إِسۡلَامِهِ بِلَفۡظِ غَيۡرِ هَٰذَا،
وَفِيهِ إِقۡرَارُ النَّبِيِّ ﷺ لِحُصَيۡنٍ حِينَ قَالَ: سِتَّةٌ فِي الۡأَرۡضِ
وَوَاحِدًا فِي السَّمَاءِ.
Sabda Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—kepada Hushain bin ‘Ubaid Al-Khuza’i,
ayah dari ‘Imran bin Hushain, “Tinggalkan yang enam dan sembahlah Tuhan yang
di atas langit.”
Ini adalah kalimat yang disebutkan oleh mualif. Beliau menyebutkan di dalam
Al-Ishabah dari riwayat Ibnu Khuzaimah di dalam kisah keislamannya dengan
redaksi yang berbeda dari yang tadi. Padanya ada penetapan Nabi—shallallahu
‘alaihi wa sallam—kepada Hushain ketika berkata, “Enam di bumi dan satu di
atas langit.”
وَأَجۡمَعَ السَّلَفُ عَلَى ثُبُوتِ عُلُوِّ الذَّاتِ لِلهِ وَكَوۡنِهِ فِي
السَّمَاءِ.
فَيَجِبُ إِثۡبَاتُهُ لَهُ مِنۡ غَيۡرِ تَحۡرِيفٍ وَلَا تَعۡطِيلٍ وَلَا
تَكۡيِيفٍ وَلَا تَمۡثِيلٍ.
Ulama salaf telah bersepakat akan kepastian ketinggian Zat bagi Allah dan
bahwa Dia berada di atas langit. Maka, wajib menetapkannya dengan tanpa tahrif
(menyelewengkan maknanya), ta’thil (menolaknya), takyif (menentukan
kaifiatnya), dan tamtsil (menyerupakannya).
وَقَدۡ أَنۡكَرَ أَهۡلُ التَّعۡطِيلِ كَوۡنَ اللهِ بِذَاتِهِ فِي السَّمَاءِ
وَفَسَّرُوا مَعۡنَاهَا أَنَّ فِي السَّمَاءِ مُلۡكَهُ وَسُلۡطَانَهُ
وَنَحۡوَهُ وَنَرُدُّ عَلَيۡهِمۡ بِمَا سَبَقَ فِي الۡقَاعِدَةِ الرَّابِعَةِ،
وَبِوَجۡهٍ رَابِعٍ: أَنَّ مُلۡكَ اللهِ وَسُلۡطَانَهُ فِي السَّمَاءِ وَفِي
الۡأَرۡضِ أَيۡضًا، وَبِوَجۡهٍ خَامِسٍ: وَهُوَ دَلَالَةُ الۡعَقۡلِ عَلَيۡهِ
لِأَنَّهُ صِفَةُ كَمَالٍ، وَبِوَجۡهٍ سَادِسٍ: وَهُوَ دَلَالَةُ الۡفِطۡرَةِ
عَلَيۡهِ لِأَنَّ الۡخَلۡقَ مَفۡطُورُونَ عَلَى أَنَّ اللهَ فِي
السَّمَاءِ.
Para penolak sifat mengingkari keberadaan Zat Allah di atas langit. Mereka
menafsirkan bahwa maknanya yang di langit adalah kerajaan-Nya, kekuasaan-Nya,
dan yang semisalnya. Kita bantah mereka dengan kaidah keempat yang telah
berlalu.
Juga dengan sisi keempat bahwa kerajaan dan kekuasaan Allah ada di langit dan
ada di bumi pula. Dengan sisi kelima: Akal juga menunjukkan kebenaran hal itu
karena tinggi adalah sifat kesempurnaan. Dengan sisi keenam: Fitrah
menunjukkan kebenaran hal itu karena makhluk secara fitrahnya mengetahui bahwa
Allah di atas langit.
مَعۡنَى كَوۡنِ اللهِ فِي السَّمَاءِ:
Makna keberadaan Allah di langit:
الۡمَعۡنَى الصَّحِيحُ لِكَوۡنِ اللهِ فِي السَّمَاءِ أَنَّ اللهَ تَعَالَى
عَلَى السَّمَاءِ فَفِي بِمَعۡنَى عَلَى وَلَيۡسَتۡ لِلظَّرۡفِيَّهِ؛ لِأَنَّ
السَّمَاءَ لَا تُحِيطُ بِاللهِ، أَوۡ أَنَّهُ فِي الۡعُلُوِّ فَالسَّمَاءُ
بِمَعۡنَى الۡعُلُوِّ وَلَيۡسَ الۡمُرَادُ بِهَا السَّمَاءَ
الۡمَبۡنِيَّةَ.
Makna yang benar dari keberadaan Allah di langit adalah bahwa Allah taala di
atas langit. Karena fī di sini bermakna di atas dan bukan bermakna
bertempat/di dalam. Karena langit tidak bisa meliputi Allah. Atau maknanya
bahwa Allah berada di tempat yang tinggi. Jadi as-samā` artinya ketinggian.
Jadi yang dimaukan bukanlah langit yang diciptakan Allah.
تَنۡبِيهٌ:
ذَكَرَ الۡمُؤَلِّفُ - رَحِمَهُ اللهُ - أَنَّهُ نَقَلَ عَنۡ بَعۡضِ الۡكُتُبِ
الۡمُتَقَدِّمَةِ أَنَّ مِنۡ عَلَامَاتِ النَّبِيِّ ﷺ وَأَصۡحَابِهِ أَنَّهُمۡ
يَسۡجُدُونَ بِالۡأَرۡضِ وَيَزۡعُمُونَ أَنَّ إِلَٰهَهُمۡ فِي السَّمَاءِ،
وَهَٰذَا النَّقۡلُ غَيۡرُ صَحِيحٍ لِأَنَّهُ لَا سَنَدَ لَهُ، وَلِأَنَّ
الۡإِيمَانَ بِعُلُوِّ اللهِ وَالسُّجُودَ لَهُ لَا يَخۡتَصَّانِ بِهَٰذِهِ
الۡأُمَّةِ وَمَا لَا يَخۡتَصُّ لَا يَصِحُّ أَنۡ يَكُونَ عَلَامَةً، وَلِأَنَّ
التَّعۡبِيرَ بِالزَّعۡمِ فِي هَٰذَا الۡأَمۡرِ لَيۡسَ بِمَدۡحٍ لِأَنَّ
أَكۡثَرَ مَا يَأۡتِي الزَّعۡمُ فِيمَا يُشَكُّ فِيهِ.
Peringatan: Mualif—rahimahullah—menyebutkan bahwa beliau menukil dari sebagian
kitab terdahulu bahwa termasuk tanda-tanda Nabi—shallallahu ‘alaihi wa
sallam—dan para sahabatnya bahwa mereka sujud di muka bumi dan menganggap
bahwa tuhan mereka di atas langit. Penukilan ini tidak sahih karena tidak
memiliki sanad dan karena keimanan terhadap ketinggian Allah dan sujud
kepada-Nya tidak dikhususkan untuk umat ini. Semua yang bukan kekhususan
berarti tidak benar untuk menjadi sebuah tanda. Juga penggunaan ungkapan
dengan kata za’ama dalam perkara ini tidak tepat karena seringnya za’ama
digunakan untuk perkara yang masih diragukan.
[3]
جَوَابُ الۡإِمَامِ مَالِكِ بۡنِ أَنَسِ بۡنِ مَالِكٍ:
وَلَيۡسَ أَبُوهُ أَنَسَ بۡنَ مَالِكٍ الصَّحَابِيَّ بَلۡ غَيۡرَهُ وَكَانَ
جَدُّ مَالِكٍ مِنۡ كِبَارِ التَّابِعِينَ، وَأَبُو جَدِّهِ مِنَ الصَّحَابَةِ.
وُلِدَ مَالِكٌ سَنَةَ ٩٣هـ بِالۡمَدِينَةِ وَمَاتَ فِيهَا سَنَةَ ١٧٩هـ،
وَهُوَ فِي عَصۡرِ تَابِعِي التَّابِعِينَ.
Jawaban Imam Malik bin Anas bin Malik:
Ayahnya bukanlah sahabat Anas bin Malik. Kakek Malik termasuk tabiin senior
dan ayah dari kakeknya ini adalah termasuk sahabat. Malik dilahirkan pada
tahun 93 H di Madinah dan meninggal di situ pada tahun 179 H. Beliau di masa
tabi’ut tabi’in.
سُئِلَ مَالِكٌ فَقِيلَ: يَا أَبَا عَبۡدِ اللهِ ﴿ٱلرَّحۡمَـٰنُ عَلَى
ٱلۡعَرۡشِ ٱسۡتَوَىٰ﴾ [طه: ٥] كَيۡفَ اسۡتَوَى؟ فَقَالَ رَحِمَهُ اللهُ:
(الۡاِسۡتِوَاءُ غَيۡرُ مَجۡهُولٍ) أَيۡ: مَعۡلُومُ الۡمَعۡنَى وَهُوَ
الۡعُلُوُّ وَالۡاِسۡتِقۡرَارُ (وَالۡكَيۡفُ غَيۡرُ مَعۡقُولٍ) أَيۡ:
كَيۡفِيَةُ الۡاِسۡتِوَاءِ غَيۡرُ مُدۡرَكَةٍ بِالۡعَقۡلِ لِأَنَّ اللهَ
تَعَالَى أَعۡظَمُ وَأَجَلُّ مِنۡ أَنۡ تُدۡرَكَ الۡعُقُولُ كَيۡفِيَةَ
صِفَاتِهِ.
Malik ditanya, “Wahai Abu ‘Abdullah, ayat: Yang Maha Penyayang bersemayam di
atas arasy. (QS. Thaha: 5). Bagaimana Allah bersemayam?”
Beliau—rahimahullah—berkata, “Istiwa (bersemayam) bukan kata yang asing,”
maksudnya sudah diketahui maknanya. Yaitu tinggi dan menetap.
“Kaifiatnya tidak bisa dimengerti,” artinya bersemayamnya tidak bisa dijangkau
oleh akal karena kaifiat sifat Allah taala lebih agung dan lebih mulia
daripada yang bisa dijangkau oleh akal.
(وَالۡإِيمَانُ بِهِ) أَيۡ: الۡاِسۡتِوَاءِ (وَاجِبٌ) لِوُرُودِهِ فِي
الۡكِتَابِ وَالسُّنَّةِ (وَالسُّؤَالُ عَنۡهُ) أَيۡ: عَنِ الۡكَيۡفِ
(بِدۡعَةٌ) لِأَنَّ السُّؤَالَ عَنۡهُ لَمۡ يَكُنۡ فِي عَهۡدِ النَّبِيِّ ﷺ
وَأَصۡحَابِهِ.
“Mengimaninya,” artinya mengimani bersemayamnya Allah adalah wajib karena
adanya dalil di dalam Alquran dan Sunah.
“Bertanya tentangnya,” yakni tentang tatacaranya, “adalah bidah” karena
pertanyaan tentangnya tidak pernah ada di masa Nabi—shallallahu ‘alaihi wa
sallam—dan para sahabatnya.
ثُمَّ أَمَرَ بِالسَّائِلِ فَأُخۡرِجَ مِنَ الۡمَسۡجِدِ خَوۡفًا مِنۡ أَنۡ
يُفَتِّنَ النَّاسَ فِي عَقِيدَتِهِمۡ وَتَعۡزِيرًا لَهُ بِمَنۡعِهِ مِنۡ
مَجَالِسِ الۡعِلۡمِ.
Lalu beliau memerintahkan agar si penanya itu dikeluarkan dari masjid karena
khawatir akan menjadi cobaan kaum muslimin dalam akidah mereka dan sebagai
hukuman terhadapnya dengan menghalanginya dari majelis-majelis ilmu.