Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah (wafat 260 H) di dalam kitab
Lum'atul I'tiqad berkata:
٢٧ – وَمِنَ السُّنَّةِ السَّمۡعُ وَالطَّاعَةُ لِأَئِمَّةِ الۡمُسۡلِمِينَ وَأُمَرَاءِ الۡمُؤۡمِنِينَ، بَرِّهِمۡ وَفَاجِرِهِمۡ، مَا لَمۡ يَأۡمُرُوا بِمَعۡصِيَةِ اللهِ، فَإِنَّهُ لَا طَاعَةَ لِأَحَدٍ فِي مَعۡصِيَةِ اللهِ.
وَمَنۡ وَلِّيَ الۡخِلَافَةَ، وَاجۡتَمَعَ عَلَيۡهِ النَّاسُ، وَرَضُوا بِهِ، أَوۡ غَلَبَهُمۡ بِسَيۡفِهِ حَتَّى صَارَ خَلِيفَةً، وَسُمِّيَ أَمِيرَ الۡمُؤۡمِنِينَ، وَجَبَتۡ طَاعَتُهُ، وَحَرُمَتۡ مُخَالَفَتُهُ، وَالۡخُرُوجُ عَلَيۡهِ، وَشَقُّ عَصَا الۡمُسۡلِمِينَ.
Termasuk sunah adalah mendengar dan taat kepada para pemimpin kaum muslimin dan umara kaum mukminin, yang baik maupun yang jahat, selama mereka tidak memerintahkan kemaksiatan kepada Allah, karena tidak ada ketaatan kepada seorangpun dalam bermaksiat kepada Allah. Barang siapa mendapat tugas kekhalifahan dan orang-orang bersepakat atasnya dan rida dengannya; atau ada seseorang yang menguasai mereka menggunakan persenjataannya sehingga dia menjadi khalifah dan dinamakan amirulmukminin; maka wajib menaatinya, haram menyelisihinya, haram memberontak kepadanya, dan haram memecah belah persatuan kaum muslimin.[1]
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin (wafat 1421 H)
rahimahullah di dalam kitab Syarh Lum'atil I'tiqad berkata:
[1]
الۡخِلَافَةُ:
الۡخِلَافَةُ مَنۡصَبٌ كَبِيرٌ وَمَسۡئُولِيَّةٌ عَظِيمَةٌ وَهِيَ تَوَلِّى
تَدۡبِيرِ أُمُورِ الۡمُسۡلِمِينَ بِحَيۡثُ يَكُونُ هُوَ الۡمَسۡئُولُ
الۡأَوَّلُ فِي ذٰلِكَ. وَهِيَ فَرۡضٌ كِفَايَةٌ لِأَنَّ أُمُورَ النَّاسِ لَا
تَقُومُ إِلَّا بِهَا.
Khilafah/kekhalifahan adalah kedudukan yang agung dan tanggung jawab yang
besar. Kekhalifahan adalah tugas pengurusan urusan kaum muslimin sehingga
orang yang mendapat tugas ini menjadi penanggung jawab pertama dalam urusan
tersebut. Tugas ini hukumnya adalah fardu kifayah karena urusan kaum muslimin
tidak bisa terlaksana kecuali dengannya.
وَتَحۡصُلُ الۡخِلَافَةُ بِوَاحِدٍ مِنۡ أُمُورٍ ثَلَاثَةٍ:
Kekhalifahan ini terwujud dengan salah satu dari tiga cara:
الۡأَوَّلُ: النَّصُّ عَلَيۡهِ مِنَ الۡخَلِيفَةِ السَّابِقِ كَمَا فِي
خِلَافَةِ عُمَرَ بۡنِ الۡخَطَّابِ فَإِنَّهَا بِنَصٍّ مِنۡ أَبِي بَكۡرٍ
رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ.
Pertama: penunjukan langsung dari khalifah sebelumnya sebagaimana pada
kekhalifahan ‘Umar bin Al-Khaththab yang ditentukan langsung oleh Abu
Bakr—radhiyallahu ‘anhu.
الثَّانِي: اجۡتِمَاعُ أَهۡلِ الۡحَلِّ وَالۡعَقۡدِ سَوَاءً كَانُوا
مُعَيَّنِينَ مِنَ الۡخَلِيفَةِ السَّابِقِ كَمَا فِي خِلَافَةِ عُثۡمَانَ
رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ، فَإِنَّهَا بِاجۡتِمَاعٍ مِنۡ أَهۡلِ الۡحَلِّ
وَالۡعَقۡدِ الۡمُعَيَّنِينَ مِنۡ قِبَلِ عُمَرَ بۡنِ الۡخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ
عَنۡهُ، أَمۡ غَيۡرَ مُعَيَّنِينَ كَمَا فِي خِلَافَةِ أَبِي بَكۡرٍ رَضِيَ
اللهُ عَنۡهُ عَلَى أَحَدِ الۡأَقۡوَالِ، وَكَمَا فِي خِلَافَةِ عَلِيٍّ رَضِيَ
اللهُ عَنۡهُ.
Kedua: Kesepakatan ahl al-hall wal-‘aqd (para ulama dan umara yang berkompeten
dalam bidang pemerintahan). Sama saja apakah mereka ditunjuk oleh khalifah
sebelumnya sebagaimana pada penentuan kekhalifahan ‘Utsman—radhiyallahu
‘anhu—yang terwujud dengan kesepakatan dari ahl al-hall wal-‘aqd yang
ditentukan oleh ‘Umar bin Al-Khaththab—radhiyallahu ‘anhu—. Atau tidak
ditentukan sebelumnya, sebagaimana pada penentuan kekhalifahan Abu
Bakr—radhiyallahu ‘anhu—menurut salah satu pendapat dan sebagaimana pada
penentuan kekhalifahan ‘Ali—radhiyallahu ‘anhu—.
الثَّالِثُ: الۡقَهۡرُ وَالۡغَلَبَةُ كَمَا فِي خِلَافَةِ عَبۡدِ الۡمَلِكِ
بۡنِ مَرۡوَانَ حِينَ قَتَلَ ابۡنَ الزُّبَيۡرِ وَتَمَّتِ الۡخِلَافَةُ
لَهُ.
Ketiga: Penggulingan kekuasaan dan penaklukan sebagaimana pada terwujudnya
kekhalifahan ‘Abdul Malik bin Marwan setelah dia membunuh Ibnu Az-Zubair dan
tamatlah kekhalifahannya.
حُكۡمُ طَاعَةِ الۡخَلِيفَةِ:
Hukum menaati khalifah:
طَاعَةُ الۡخَلِيفَةِ وَغَيۡرِهِ مِنۡ وُلَاةِ الۡأُمُورِ وَاجِبَةٌ فِي
غَيۡرِ مَعۡصِيَةِ اللهِ.
لِقَوۡلِهِ تَعَالَى: ﴿يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟
ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡ﴾ [النساء:
٥٩].
Hukum menaati khalifah dan yang selainnya dari kalangan pemimpin negara adalah
wajib dalam perkara yang bukan kemaksiatan kepada Allah. Ini berdasarkan
firman Allah taala, “Wahai sekalian orang-orang yang beriman, taatilah Allah,
taatilah Rasul, dan ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kalian.” (QS.
An-Nisa`: 59).
وَلِقَوۡلِهِ ﷺ: (السَّمۡعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الۡمُسۡلِمِ فِيمَا أَحَبَّ
وَكَرِهَ مَا لَمۡ يُؤۡمَرۡ بِمَعۡصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعۡصِيَةٍ فَلَا
سَمۡعَ وَلَا طَاعَةَ). متفق عليه.
Juga berdasarkan sabda Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—, “Wajib bagi
seorang muslim untuk mendengar dan taat dalam perkara yang dia suka atau dia
benci selama dia tidak diperintah untuk berbuat kemaksiatan. Apabila dia
disuruh untuk berbuat maksiat maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh
taat.” (Muttafaqun ‘alaih, HR.
Al-Bukhari nomor 7144
dan
Muslim nomor 1839).
وَسَوَاءٌ كَانَ الۡإِمَامُ بَرًّا – وَهُوَ الۡقَائِمُ بِأَمۡرِ اللهِ
فِعۡلًا وَتَرۡكًا – أَوۡ فَاجِرًا – وَهُوَ الۡفَاسِقُ – لِقَوۡلِهِ ﷺ:
(إِلَّا مَنۡ وَلِىَ عَلَيۡهِ وَالٍ فَرَآهُ يَأۡتِى شَيۡئًا مِنۡ مَعۡصِيَةِ
اللهِ فَلۡيَكۡرَهُ مَا يَأۡتِى مِنۡ مَعۡصِيَةِ اللهِ وَلَا يَنۡزِعَنَّ يَدًا
مِنۡ طَاعَةٍ). رَوَاهُ مُسۡلِمٌ.
Sama saja apakah pemimpin itu baik—yaitu dia melaksanakan perintah Allah,
dengan mengerjakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya—atau pemimpin
itu jahat—yaitu fasik—, berdasarkan sabda Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—,
“Kecuali apabila ada yang menjadi pemimpinnya lalu dia melihatnya melakukan
sebagian kemaksiatan kepada Allah, maka hendaknya dia membenci kemaksiatan
yang dilakukan oleh pemimpinnya itu, namun jangan dia mencabut ketaatan
darinya.” (HR.
Muslim nomor 1855).
وَالۡحَجُّ وَالۡجِهَادُ مَعَ الۡأَئِمَّةِ مَاضِيَانِ نَافِذَانِ، وَصَلَاةُ
الۡجُمۡعَةِ خَلۡفَهُمۡ جَائِزَةٌ سَوَاءٌ كَانُوا أَبۡرَارًا أَوۡ فُجَّارًا؛
لِأَنَّ مُخَالَفَتَهُمۡ فِى ذٰلِكَ تُوجِبُ شَقَّ عَصَا الۡمُسۡلِمِينَ
وَالتَّمَرُّدَ عَلَيۡهِمۡ.
Haji dan jihad bersama pemimpin terus berlangsung. Hukum salat Jumat di
belakang mereka adalah boleh, sama saja apakah mereka baik atau jahat, karena
menyelisihi mereka dalam hal itu mengakibatkan pecahnya persatuan kaum
muslimin dan merupakan bentuk penentangan terhadap mereka.
وَالۡحَدِيثُ الَّذِى ذَكَرَهُ الۡمُؤَلِّفُ: (ثَلَاثٌ مِنۡ أَصۡلِ
الۡإِيمَانِ..) إلخ، ضَعِيفٌ كَمَا رَمَزَ لَهُ السُّيُوطِىُّ فِى الۡجَامِعِ
الصَّغِيرِ وَفِيهِ رَاوٍ، قَالَ الۡمِزِّىُّ: إِنَّهُ مَجۡهُولٌ وَقَالَ
الۡمُنۡذِرِىُّ فِى مُخۡتَصَرِ أَبِى دَاوُدَ: شِبۡهُ مَجۡهُولٍ.
Hadis yang disebutkan oleh mualif, “Tiga hal yang termasuk pokok keimanan…”
adalah hadis daif sebagaimana yang diisyaratkan oleh As-Suyuthi di dalam
Al-Jami’ Ash-Shaghir. Di dalam hadis ini ada seorang rawi yang dikatakan oleh
Al-Mizzi bahwa dia majhul (tidak diketahui). Juga dikatakan oleh Al-Mundziri
di dalam Mukhtashar Abi Dawud bahwa dia syibhu majhul (mirip orang yang
majhul).
وَالثَّلَاثُ الۡخِصَالُ الۡمَذۡكُورَةُ فِيهِ هِىَ: الۡكَفُّ عَمَّنۡ قَالَ:
لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ، وَالثَّانِيَةُ: الۡجِهَادُ مَاضٍ... إِلخ،
وَالثَّالِثَةُ: الۡإِيمَانُ بِالۡأَقۡدَارِ.
Tiga perkara yang disebutkan di dalam riwayat ini adalah:
- Menahan diri dari (membunuh) orang yang telah mengatakan: laa ilaaha illallaah (tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah).
- Jihad tetap berlangsung…
- Iman kepada takdir.
وَالۡخُرُوجُ عَلَى الۡإِمَامِ مُحَرَّمٌ:
Memberontak kepada penguasa muslim diharamkan:
لِقَوۡلِ عُبَادَةَ بۡنِ الصَّامِتِ رَضِىَ اللهُ عَنۡهُ: (بَايَعۡنَا رَسُولَ
اللهِ ﷺ عَلَى السَّمۡعِ وَالطَّاعَةِ فِى مَنۡشَطِنَا وَمَكۡرَهِنَا،
وَعُسۡرِنَا وَيُسۡرِنَا، وَأَثَرَةٍ عَلَيۡنَا، وَأَنۡ لَا نُنَازِعَ
الۡأَمۡرَ أَهۡلَهُ إِلَّا أَنۡ تَرَوۡا كُفۡرًا بَوَاحًا عِنۡدَكُمۡ فِيهِ
مِنَ اللهِ بُرۡهَانٌ). مُتَّفَقٌ عَلَيۡهِ.
Berdasarkan ucapan ‘Ubadah bin Ash-Shamit—radhiyallahu ‘anhu—, “Kami membaiat
Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—untuk mendengar dan taat (kepada
beliau) ketika kami semangat atau tidak suka, ketika kami susah atau mudah,
dan mengutamakan beliau di atas diri kami, serta agar kami tidak merebut
kekuasaan dari pemiliknya kecuali apabila kalian melihat kekufuran yang jelas,
yang kalian memiliki bukti dari Allah akan hal itu.” (Muttafaqun ‘alaih, HR.
Al-Bukhari nomor 7199
dan
Muslim nomor 1709).
وَقَالَ ﷺ: (يَكُونُ عَلَيۡكُمۡ أُمَرَاءُ تَعۡرِفُونَ وَتُنۡكِرُونَ فَمَنۡ
أَنۡكَرَ فَقَدۡ بَرِىءَ، وَمَنۡ كَرِهَ فَقَدۡ سَلِمَ، وَلَكِنۡ مَنۡ رَضِىَ
وَتَابَعَ) قَالُوا: أَفَلَا نُقَاتِلُهُمۡ؟ قَالَ: (لَا مَا صَلَّوۡا لَا مَا
صَلَّوۡا). أَيۡ: مَنۡ كَرِهَ بِقَلۡبِهِ وَأَنۡكَرَ بِقَلۡبِهِ. رَوَاهُ
مُسۡلِمٌ.
Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—bersabda, “Akan ada umara yang memimpin
kalian dengan melakukan kebaikan dan kejelekan. Barang siapa yang mengingkari
(kejelekannya) maka dia telah melepaskan diri (dari dosa). Barang siapa yang
benci maka dia telah selamat. Akan tetapi barang siapa rida dan mengikutinya
(maka dia berdosa).”
Para sahabat bertanya, “Apakah kita tidak memeranginya?”
Nabi menjawab, “Jangan selama mereka masih salat! Jangan selama mereka masih
salat!”
Maksudnya adalah barang siapa yang membenci dengan hatinya dan mengingkari
dengan hatinya.
(HR.
Muslim nomor 1854).
وَمِنۡ فَوَائِدِ الۡحَدِيثَيۡنِ: أَنَّ تَرۡكَ الصَّلَاةِ كُفۡرٌ بَوَاحٌ؛
لِأَنَّ النَّبِيَّ ﷺ لَمۡ يُجِزِ الۡخُرُوجَ عَلَى الۡأَئِمَّةِ إِلَّا
بِكُفۡرٍ بَوَاحٍ، وَجَعَلَ الۡمَانِعَ مِنۡ قِتَالِهِمۡ فِعۡلَ الصَّلَاةِ
فَدَلَّ عَلَى أَنَّ تَرۡكَهَا مُبِيحٌ لِقِتَالِهِمۡ، وَقِتَالَهُمۡ لَا
يُبَاحُ إِلَّا بِكُفۡرٍ بَوَاحٍ كَمَا فِى حَدِيثِ عُبَادَةَ.
Di antara faedah dua hadis tersebut adalah bahwa meninggalkan salat merupakan
kekufuran yang jelas, karena Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—tidak
memperbolehkan memberontak kepada pemimpin kecuali dengan sebab kekufuran yang
jelas. Nabi menyatakan faktor yang menghalangi dari bolehnya memerangi mereka
adalah karena mereka masih mengerjakan salat. Ini menunjukkan bahwa perbuatan
meninggalkan salat merupakan alasan bolehnya memerangi mereka, sementara
memerangi mereka tidak dibolehkan kecuali dengan kekufuran yang jelas
sebagaimana dalam hadis ‘Ubadah.