Cari Blog Ini

Taisirul 'Allam - Hadits ke-66

الۡحَدِيثُ السَّادِسُ وَالسِّتُّونَ

٦٦ – عَنۡ عَبۡدِ اللهِ بۡنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُمَا قَالَ: بَيۡنَمَا النَّاسُ بِقُبَاءَ[1] فِي صَلَاةِ الصُّبۡحِ إِذۡ جَاءَهُمۡ آتٍ فَقَالَ: إِنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَدۡ أُنۡزِلَ عَلَيۡهِ اللَّيۡلَةَ قُرۡآنٌ، وَقَدۡ أُمِرَ أَنۡ يَسۡتَقۡبِلَ الۡكَعۡبَةَ. فَاسۡتَقۡبِلُوهَا وَكَانَتۡ وُجُوهُهُمۡ إِلَى الشَّامِ فَاسۡتَدَارُوا إِلَى الۡكَعۡبَةِ[2].
66. Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata: Ketika kaum muslimin sedang shalat subuh di Quba`, tiba-tiba seseorang datang kepada mereka seraya berkata: Sesungguhnya ayat Al-Qur`an telah turun kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tadi malam, dan beliau diperintahkan untuk shalat menghadap Ka’bah. Oleh karena itu, menghadaplah kalian ke Ka’bah. Ketika itu mereka menghadap ke Syam, lalu mereka berputar menghadap ke Ka’bah. 

الۡمَعۡنَى الۡإِجۡمَالِي:

تَقَدَّمَ أَنَّهُ لَمَّا هَاجَرَ النَّبِيُّ ﷺ إِلَى الۡمَدِينَةِ وَفِيهَا كَثِيرٌ مِنَ الۡيَهُودِ، اقۡتَضَتِ الۡحِكۡمَةُ الرَّشِيدَةُ أَنۡ تَكُونَ قِبۡلَةُ النَّبِيِّ وَالۡمُسۡلِمِينَ قِبۡلَةَ الۡأَنۡبِيَاءِ السَّابِقِينَ (بَيۡتَ الۡمَقۡدِسِ) فَصَلُّوا إِلَى تِلۡكَ الۡقِبۡلَةِ سِتَّةَ عَشَرَ شَهۡرًا أَوۡ سَبۡعَةَ عَشَرَ شَهۡرًا.[3]
وَكَانَ النَّبِيُّ ﷺ يَتَشَوَّقُ إِلَى صَرۡفِهِ إِلَى اسۡتِقۡبَالِ الۡكَعۡبَةِ الۡمُشۡرِفَةِ. فَأَنۡزَلَ اللهُ تَعَالَى: ﴿قَدۡ نَرَىٰ تَقَلُّبَ وَجۡهِكَ فِى ٱلسَّمَآءِ ۖ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبۡلَةً تَرۡضَىٰهَا ۚ فَوَلِّ وَجۡهَكَ شَطۡرَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِ﴾ [البقرة: ١٤٤].
فَخَرَجَ أَحَدُ الصَّحَابَةِ إِلَى مَسۡجِدِ (قُبَاءَ) بِظَاهِرِ الۡمَدِينَةِ فَوَجَدَ أَهۡلَهُ لَمۡ يَبۡلُغۡهُمۡ نَسۡخُ الۡقِبۡلَةِ. وَيُصَلُّونَ إِلَى الۡقِبۡلَةِ الۡأُولَى، فَأَخۡبَرَهُمۡ بِصَرۡفِ الۡقِبۡلَةِ إِلَى الۡكَعۡبَةِ وَأَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَدۡ أُنۡزِلَ إِلَيۡهِ قُرۡآنٌ فِي ذٰلِكَ. يُشِيرُ إِلَى الۡآيَةِ السَّابِقَةِ وَأَنَّهُ ﷺ اسۡتَقۡبَلَ الۡكَعۡبَةَ فِي الصَّلَاةِ.
فَمۡنِ فِقۡهِهِمۡ وَسُرۡعَةِ فَهۡمِهِمۡ وَصِحَّتِهِ اسۡتَدَارُوا عَنۡ جِهَّةِ بَيۡتِ الۡمَقۡدِسِ – قِبۡلَتُهُمُ الۡأُولَى – إِلَى قِبۡلَتِهِمۡ الثَّانِيَةِ، الۡكَعۡبَةِ الۡمُشۡرِفَةِ.

Makna secara umum:

Telah berlalu penyebutan bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah yang saat itu ada banyak orang Yahudi, hikmah yang lurus ini menetapkan bahwa kiblat Nabi dan kaum muslimin pada saat itu adalah sama seperti kiblat para Nabi sebelumnya yaitu Baitul Maqdis. Sehingga, mereka shalat menghadap kiblat itu selama enam belas atau tujuh belas bulan.
Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat ingin untuk memindahkan kiblat menghadap Ka’bah yang mulia. Sampai Allah ta’ala menurunkan ayat yang artinya, “Sungguh Kami (sering) melihat wajahmu menengadah ke langit. Maka, sungguh akan Kami palingkan engkau ke kiblat yang engkau sukai. Hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram.” (QS. Al-Baqarah: 144).
Lalu, salah seorang shahabat keluar ke Masjid Quba` di pinggir Madinah. Ia mendapati jama’ah masjid Quba` belum sampai kabar pengalihan kiblat. Mereka masih shalat menghadap kiblat pertama. Lalu, ia memberitahu mereka tentang pengalihan kiblat ke Ka’bah dan bahwa telah turun ayat Al-Qur`an kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai itu. Beliau mengisyaratkan pada ayat di atas dan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah shalat menghadap ke Ka’bah.
Sehingga, termasuk kuatnya fiqih mereka, cepat dan sahihnya pemahaman mereka, serta merta mereka berputar dari arah Baitul Maqdis –kiblat pertama mereka- ke kiblat kedua yaitu Ka’bah yang mulia.

أَحۡكَامُ الۡحَدِيثِ:

١ – الۡقِبۡلَةُ أَوَّلُ الۡهِجۡرَةِ كَانَتۡ إِلَى بَيۡتِ الۡمَقۡدِسِ، ثُمَّ صُرِفَتۡ إِلَى الۡكَعۡبَةِ.
٢ – أَنَّ قِبۡلَةَ الۡمُسۡلِمِينَ، اسۡتَقَرَّتۡ عَلَى الۡكَعۡبَةِ الۡمُشۡرِفَةِ. فَالۡوَاجِبُ اسۡتِقۡبَالُ عَيۡنِهَا عِنۡدَ مُشَاهَدَتِهَا واسۡتِقۡبَالُ جِهَّتِهَا عِنۡدَ الۡبُعۡدِ عَنۡهَا.
٣ – أَنَّ أَفۡضَلَ الۡبِقَاعِ، هُوَ بَيۡتُ اللهِ، لِأَنَّ الۡقِبۡلَةَ أُقِرَّتۡ عَلَيۡهِ، وَلَا يُقَرُّ هَٰذَا النَّبِيُّ الۡعَظِيمُ وَهَٰذِهِ الۡأُمَّةُ الۡمُخۡتَارَةُ إِلَّا عَلَى أَفۡضَلِ الۡأَشۡيَاءِ.
٤ – جَوَازُ النَّسۡخِ فِي الشَّرِيعَةِ، خِلَافًا لِلۡيَهُودِ، وَمَنۡ شَايَعَهُمۡ مِنۡ مُنۡكِرِي النَّسۡخِ.
٥ – أَنَّ مَنۡ اسۡتَقۡبَلَ جِهَّةً فِي الصَّلَاةِ، ثُمَّ تَبَيَّنَ لَهُ الۡخَطَأُ أَثۡنَاءَ الصَّلَاةِ، اسۡتَدَارَ وَلَمۡ يَقۡطَعۡهَا وَمَا مَضَى مِنۡ صَلَاتِهِ صَحِيحٌ.
٦ – أَنَّ الۡحُكۡمَ لَا يَلۡزَمُ الۡمُكَلَّفَ إِلَّا بَعۡدَ بُلُوغِهِ أَنَّ الۡقِبۡلَةَ حُوِّلَتۡ، فَبَعۡدَ التَّحۡوِيلِ وَقَبۡلَ أَنۡ يَبۡلُغَ أَهۡلُ (قُبَاءَ) الۡخَبَرَ، صَلُّوا إِلَى بَيۡتِ الۡمَقۡدِسِ، فَلَمۡ يُعِيدُوا صَلَاتَهُمۡ.
٧ – أَنَّ خَبَرَ الۡوَاحِدِ الثِّقَةَ – إِذَا حَفَّتۡ بِهِ قَرَائِنُ الۡقَبُولِ – يُصَدَّقُ وَيَعۡمَلُ بِهِ، وَإِنۡ أَبۡطَلَ مَا هُوَ مُتَقَرَّرٌ بِطَرِيقِ الۡعِلۡمِ.
٨ – وَفِيهِ أَنَّ الۡعَمَلَ وَلَوۡ كَثِيرًا فِي الصَّلَاةِ، إِذَا كَانَ لِمَصۡلَحَتِهَا، مَشۡرُوعٌ.
٩ – وَفِيهِ دَلِيلٌ عَلَى قَبُولِ خَبَرِ (الۡهَاتِفِ) وَ(اللَّاسِلۡكِى) فِي دُخُولِ شَهۡرِ رَمَضَانَ أَوۡ خُرُوجِهِ، وَغَيۡرِ ذٰلِكَ مِنَ الۡأَخۡبَارِ الۡمُتَعَلِّقَةِ بِالۡأَحۡكَامِ الشَّرۡعِيَّةِ، لِأَنَّهُ وَإِنۡ كَانَ نَقۡلُ الۡخَبَرِ مِنۡ فَرۡدٍ إِلَى فَرۡدٍ، إِلَّا أَنَّهُ قَدۡ حَفَّ بِهِ مِنۡ قَرَائِنِ الصِّدۡقِ، مَا يَجۡعَلُ النَّفۡسَ تَطۡمَئِنُّ وَلَا تَرۡتَابُ فِي صِدۡقِ الۡخَبَرِ، وَالتَّجَرِبَةُ الۡمُتَكَرَّرَةُ أَيَّدَتۡ ذٰلِكَ.
١٠ – قَالَ الطَّحَاوِيُّ: فِي الۡحَدِيثِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ مَنۡ لَمۡ يَعۡلَمۡ بِفَرۡضِ اللهِ تَعَالَى وَلَمۡ تَبۡلُغۡهُ الدَّعۡوَةُ، فَالۡفَرۡضُ غَيۡرُ لَازِمٍ لَهُ: وَالۡحُجَّةُ غَيۡرُ قَائِمَةٍ عَلَيۡهِ اهـ. وَزَادَ الۡأُصُولِيُّونَ أَنَّ الۡفَهۡمَ شَرۡطُ التَّكۡلِيفِ وَعَنِ ابۡنِ تَيۡمِيَّةَ فِي مِثۡلِ هَٰذَا قَوۡلَانِ: أَحَدُهُمَا مُوَافِقٌ لِمَا ذُكِرَ.

Hukum-hukum hadits:

  1. Kiblat awal hijrah ke Baitul Maqdis, kemudian dialihkan ke Ka’bah.
  2. Bahwa kiblat kaum muslimin akan terus tetap ke Ka’bah yang mulia. Jadi wajib menghadap bangunan Ka’bah ketika melihat langsung dan menghadap ke arahnya ketika jauh darinya.
  3. Bahwa tempat yang paling utama adalah Baitullah. Karena kbilat ditetapkan ke arahnya. Dan tidaklah ditetapkan untuk Nabi yang agung dan umat yang terpilih ini kecuali perkara yang paling mulia.
  4. Bolehnya penghapusan hukum syariat. Berbeda dengan Yahudi dan orang-orang yang mengikuti mereka dari kalangan para pengingkar naskh.
  5. Bahwa siapa saja yang menghadap suatu arah ketika shalat, kemudian di tengah-tengah shalat ia tahu kalau salah, maka ia berputar ke arah yang benar. Hal ini tidak memutus shalat dan shalat yang sudah ia lalui tetap sah.
  6. Bahwa suatu hukum tidak membebani seorang mukallaf kecuali setelah sampai kepadanya, yaitu bahwa kiblat telah dialihkan. Maka, setelah pengalihan dan sebelum sampai kabar kepada jama’ah masjid Quba`, mereka masih shalat menghadap Baitul Maqdis dan mereka tidak mengulangi shalat mereka.
  7. Bahwa kabar ahad yang tsiqah (terpercaya) apabila terkumpul indikasi-indikasi bisa diterimanya kabar itu, maka dibenarkan dan bisa diamalkan, meskipun kabar itu membatalkan hukum yang telah ditetapkan secara ilmiah.
  8. Dalam hadits ini ada faidah bahwa gerakan ketika shalat, meski banyak, apabila untuk kemaslahatan shalat, adalah disyariatkan.
  9. Dalam hadits ini ada dalil diterimanya kabar melalui telpon atau radio dalam mulai masuknya bulan Ramadhan atau selesainya, dan kabar-kabar selain itu yang berhubungan dengan hukum-hukum syariat. Karena meskipun penukilan kabar itu dari satu orang ke seorang yang lain, hanya saja indikasi-indikasi kebenaran kabar itu menyertainya yang mana dapat membuat jiwa ini tenang dan tidak ragu akan kebenaran kabar. Dan pengalaman yang berulang-ulang akan memperkuat kabar itu.
  10. Ath-Thahawi berkata: Di dalam hadits ini ada dalil bahwa siapa saja yang belum mengetahui kewajiban dari Allah ta’ala dan dakwah belum sampai padanya, maka kewajiban itu tidak diberlakukan padanya dan hujjah belum ditegakkan padanya. Selesai ucapan beliau. Ulama ahli ushul menambahkan bahwa pemahaman adalah syarat pembebanan syariat. Dan dari Ibnu Taimiyyah pada permasalahan semisal ini ada dua pendapat: salah satunya mencocoki apa yang telah disebutkan.

[1] قُبَاء: يَجُوزُ فِيهِ الۡمَدُّ وَالۡقَصۡرُ. وَقَصۡرُهُ أَشۡهَرُ. 
[2] رَوَاهُ الۡبُخَارِيُّ (٤٤٩١) فِي التَّفۡسِيرِ، وَمُسۡلِمٌ (٥٢٦) فِي الۡمَسَاجِدِ، وَرَوَاهُ أَيۡضًا أَحۡمَدُ فِي (الۡمُسۡنَدِ) (٢/١١٣) وَالنَّسَائِيُّ (١/٢٤٤، ٢٤٥) فِي الصَّلَاةِ، وَمَالِكٌ فِي (الۡمُوَطَّأِ) (١/١٩٥) فِي الۡقِبۡلَةِ. 
[3] فِيهِ أَقۡوَالٌ آخَرُ غَيۡرُ هَٰذَيۡنِ الۡقَوۡلَيۡنِ، وَلَكِنَّهُمَا أَصَحُّ تِلۡكَ الۡأَقۡوَالِ، لِأَنَّهُمَا فِي صَحِيحِ الۡبُخَارِيِّ مِنۡ حَدِيثِ الۡبَرَاءِ بۡنِ عَازِبٍ.