وَأَمَّا كَوۡنُهُ يَجُوزُ النَّظَرُ إِلَى الۡمَخۡطُوبَةِ، فَلِحَدِيثِ الۡمُغِيرَةِ عِنۡدَ أَحۡمَدَ وَالنَّسَائِيِّ، وَابۡنِ مَاجَهۡ، وَالتِّرۡمِذِيِّ، وَالدَّارِمِيِّ، وَابۡنِ حِبَّانَ وَصَحَّحَهُ أَنَّهُ خَطَبَ امۡرَأَةً مِنَ الۡأَنۡصَارِ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: (انۡظُرۡ إِلَيۡهَا فَإِنَّهُ أَحۡرَى أَنۡ يُؤۡدَمَ بَيۡنَكُمَا) الۡحَدِيث. وَأَخۡرَجَ مُسۡلِمٌ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى مِنۡ حَدِيثِ أَبِي هُرَيۡرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ قَالَ: كُنۡتُ عِنۡدَ النَّبِيِّ ﷺ وَأَتَاهُ رَجُلٌ فَأَخۡبَرَهُ أَنَّهُ تَزَوَّجَ امۡرَأَةً مِنَ الۡأَنۡصَارِ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: (أَنَظَرۡتَ إِلَيۡهَا؟ قَالَ: لَا، قَالَ: فَاذۡهَبۡ فَانۡظُرۡ إِلَيۡهَا، فَإِنَّ فِي أَعۡيُنِ الۡأَنۡصَارِ شَيۡئًا). وَفِي الۡبَابِ أَحَادِيثُ.
Adapun perihal bolehnya memandang wanita yang dilamar adalah berdasar hadis Al-Mughirah riwayat Ahmad, An-Nasa`i, Ibnu Majah, At-Tirmidzi, Ad-Darimi, dan Ibnu Hibban[1] –beliau menilainya sahih-, bahwa Al-Mughirah telah melamar seorang wanita dari kalangan Ansar, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lihatlah dia, karena hal itu lebih pantas untuk kelanggengan antara kalian berdua.” Muslim[2] rahimahullahu ta’ala mengeluarkan riwayat dari hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau bersabda: Aku pernah di dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau didatangi oleh seorang pria. Lalu pria itu mengabarkan kepada beliau bahwa dia akan menikahi seorang wanita dari kalangan Ansar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah engkau sudah melihatnya?” Pria itu menjawab, “Belum.” Nabi bersabda, “Pergi dan lihatlah dia karena di mata-mata wanita Ansar ada sesuatu.” Di dalam bab ini ada beberapa hadis.
وَأَمَّا كَوۡنُهُ لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ، فَلِحَدِيثِ أَبِي مُوسَى، عِنۡدَ أَحۡمَدَ، وَأَبِي دَاوُدَ، وَابۡنِ مَاجَهۡ، وَالتِّرۡمِذِيِّ، وَابۡنِ حِبَّانَ، وَالۡحَاكِمِ وَصَحَّحَهُ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: (لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ). وَحَدِيثِ عَائِشَةَ عِنۡدَ أَحۡمَدَ، وَأَبِي دَاوُدَ، وَابۡنِ مَاجَهۡ، وَالتِّرۡمِذِيِّ وَحَسَّنَهُ، وَابۡنُ حِبَّانَ، وَالۡحَاكِمِ وَأَبِي عَوَانَةَ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ: (أَيُّمَا امۡرَأَةٍ نَكَحَتۡ بِغَيۡرِ إِذۡنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَإِنۡ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا الۡمَهۡرُ بِمَا اسۡتَحَلَّ مِنۡ فَرۡجِهَا، فَإِنِ اشۡتَجَرُوا فَالسُّلۡطَانُ وَلِيُّ مَنۡ لَا وَلِيَّ لَهُ). وَفِي الۡبَابِ أَحَادِيثُ. قَالَ الۡحَاكِمُ: وَقَدۡ صَحَّتِ الرِّوَايَةُ فِيهِ عَنۡ أَزۡوَاجِ النَّبِيِّ ﷺ عَائِشَةَ، وَأُمِّ سَلَمَةَ، وَزَيۡنَبَ بِنۡتِ جَحۡشٍ، ثُمَّ سَرَدَ تَمَامَ ثَلَاثِينَ صَحَابِيًّا. وَالۡوَلِيُّ عِنۡدَ الۡجُمۡهُورِ هُوَ الۡأَقۡرَبُ مِنَ الۡعَصَبَةِ. وَرُوِيَ عَنۡ أَبِي حَنِيفَةَ أَنَّ ذَوِي الۡأَرۡحَامِ مِنَ الۡأَوۡلِيَاءِ.
Adapun perihal tidak ada nikah kecuali dengan wali adalah berdasar hadis Abu Musa riwayat Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, At-Tirmidzi, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim[3] –beliau menilainya sahih- dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Tidak ada nikah kecuali dengan wali.” Dan berdasar hadis ‘Aisyah riwayat Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, At-Tirmidzi[4] –beliau menilainya hasan-, Ibnu Hibban, Al-Hakim, dan Abu ‘Awanah[5], bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa pun wanita yang menikah tanpa seizin walinya, maka nikahnya batil, nikahnya batil, nikahnya batil. Jika si pria menggaulinya, maka si wanita berhak mendapatkan mahar dengan sebab menghalalkan kemaluannya. Jika mereka berselisih, maka penguasa adalah wali bagi siapa saja yang tidak memiliki wali.” Di dalam bab ini ada beberapa hadis. Al-Hakim berkata: Riwayat tentang ini telah sahih dari para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu ‘Aisyah, Ummu Salamah, dan Zainab binti Jahsy; kemudian beliau melanjutkan hingga genap tiga puluh sahabat. Dan wali nikah menurut mayoritas ulama adalah orang yang paling dekat dari kalangan ‘ashabah (ahli waris dari kalangan laki-laki). Diriwayatkan dari Abu Hanifah bahwa orang-orang yang memiliki hubungan rahim termasuk para wali nikah.
وَأَمَّا اعۡتِبَارُ الشَّاهِدَيۡنِ، فَلِحَدِيثِ عِمۡرَانَ بۡنِ حُصَيۡنٍ عِنۡدَ الدَّارُقُطۡنِيِّ وَالۡبَيۡهَقِيِّ فِي الۡعِلَلِ، وَأَحۡمَدَ فِي رِوَايَةِ ابۡنِهِ عَبۡدِ اللهِ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: (لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيۡ عَدۡلٍ). وَفِي إِسۡنَادِهِ عَبۡدُ اللهِ بۡنُ مُحۡرِزٍ هُوَ مَتۡرُوكٌ. وَأَخۡرَجَ الدَّارُقُطۡنِيُّ وَالۡبَيۡهَقِيُّ مِنۡ حَدِيثِ عَائِشَةَ قَالَتۡ: قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: (لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيۡ عَدۡلٍ؛ فَإِنۡ تَشَاجَرُوا فَالسُّلۡطَانُ وَلِيُّ مَنۡ لَا وَلِيَّ لَهُ). وَإِسۡنَادُهُ ضَعِيفٌ وَأَخۡرَجَ التِّرۡمِذِيُّ مِنۡ حَدِيثِ ابۡنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ: (الۡبَغَايَا اللَّاتِي يَنۡكِحۡنَ أَنۡفُسَهُنَّ بِغَيۡرِ بَيِّنَةٍ). وَصَحَّحَ التِّرۡمِذِيُّ وَقۡفَهُ. وَهَٰذِهِ الۡأَحَادِيثُ وَمَا وَرَدَ فِي مَعۡنَاهَا يُقَوِّي بَعۡضُهَا بَعۡضًا، وَقَدۡ ذَهَبَ إِلَى ذٰلِكَ الۡجُمۡهُورُ.
Adapun pengetahuan dua saksi adalah berdasar hadis ‘Imran bin Hushain riwayat Ad-Daruquthni, Al-Baihaqi di dalam Al-‘Ilal, dan Ahmad dalam riwayat putranya, yaitu ‘Abdullah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil.” Di dalam sanadnya ada ‘Abdullah bin Muhriz dan dia orang yang (hadisnya) ditinggalkan. Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi juga meriwayatkan dari hadis ‘Aisyah, beliau mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil. Jika mereka saling berselisih, maka penguasa adalah wali bagi siapa saja yang tidak memiliki wali.” Sanadnya daif. At-Tirmidzi[6] juga mengeluarkan riwayat dari hadis Ibnu ‘Abbas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perempuan-perempuan jalang adalah wanita yang menikahkan diri-diri mereka tanpa bukti.” At-Tirmidzi menilai sahih mauquf. Hadis-hadis ini dan riwayat yang semakna dengannya saling menguatkan. Mayoritas ulama berpendapat dengan hal itu.
وَأَمَّا اسۡتِثۡنَاءُ الۡوَلِيِّ الۡعَاضِلِ وَغَيۡرِ مُسۡلِمٍ؛ فَلِقَوۡلِهِ تَعَالَى: ﴿فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ﴾ [البقرة: ٢٣٢] وَلِتَزَوُّجِهِ ﷺ أُمَّ حَبِيبَةَ بِنۡتَ أَبِي سُفۡيَانَ مِنۡ غَيۡرِ وَلِيِّهَا لِمَا كَانَ كَافِرًا حَالَ الۡعَقۡدِ.
Adapun pengecualian wali nikah yang menghalang-halangi dan selain muslim adalah berdasar firman Allah taala, “Janganlah kalian (para wali) menghalangi mereka (wanita yang di bawah perwalian kalian) menikah lagi dengan (mantan) suami-suami mereka.” (QS. Al-Baqarah: 232). Juga berdasar pernikahan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Ummu Habibah bintu Abu Sufyan dengan tanpa walinya karena Abu Sufyan masih kafir ketika akad nikah.
وَأَمَّا جَوَازُ التَّوۡكِيلِ لِعَقۡدِ النِّكَاحِ وَلَوۡ كَانَ الۡوَكِيلُ وَاحِدًا مِنَ الۡجِهَتَيۡنِ؛ فَلِحَدِيثِ عُقۡبَةَ بۡنِ عَامِرٍ عِنۡدَ أَبِي دَاوُدَ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ لِرَجُلٍ: أَتَرۡضَى أَنۡ أُزَوِّجَكَ فُلَانَةً؟ قَالَ: نَعَمۡ، وَقَالَ لِلۡمَرۡأَةِ: (أَتَرۡضَيۡنَ أَنۡ أُزَوِّجَكِ فُلَانًا؟ قَالَتۡ: نَعَمۡ، فَزَوَّجَ أَحَدَهُمَا صَاحِبَهُ) الۡحَدِيثَ وَقَدۡ ذَهَبَ إِلَى ذٰلِكَ جَمَاعَةٌ مِنۡ أَهۡلِ الۡعِلۡمِ الۡأَوۡزَعِيُّ، وَرَبِيعَةُ، وَالثَّوۡرِيُّ، وَمَالِكٌ، وَأَبُو حَنِيفَةَ، وَأَكۡثَرُ أَصۡحَابِهِ، وَاللَّيۡثُ، وَالۡهَادَوِيَّةُ، وَأَبُو ثَوۡرٍ، وَحَكَى فِي الۡبَحۡرِ عَنِ النَّاصِرِ وَالشَّافِعِيِّ وَزُفَرَ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ. قَالَ فِي الۡفَتۡحِ وَعَنۡ مَالِكٍ لَوۡ قَالَتِ الۡمَرۡأَةُ لِوَلِيِّهَا زَوِّجۡنِي بِمَنۡ رَأَيۡتَ فَزَوَّجَهَا نَفۡسَهُ، أَوۡ بِمَنِ اخۡتَارَ، لَزِمَهَا ذٰلِكَ، وَلَوۡ لَمۡ تَعۡلَمۡ عَيۡنَ الزَّوۡجِ. وَقَالَ الشَّافِعِيُّ: يُزَوِّجُهُ السُّلۡطَانُ أَوۡ وَلِيٌّ آخَرُ مِثۡلُهُ أَوۡ أَقۡعَدُ مِنۡهُ، وَوَافَقَهُ زُفَرُ.
Adapun bolehnya perwakilan untuk akad nikah walaupun wakilnya hanya satu orang untuk dua pihak adalah berdasarkan hadis ‘Uqbah bin ‘Amir riwayat Abu Dawud[7], bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada seorang pria, “Apakah engkau rida aku nikahkan engkau dengan Fulanah?” Pria itu menjawab, “Iya.” Nabi bertanya kepada si wanita, “Apakah engkau rida aku nikahkan engkau dengan Fulan?” Wanita itu menjawab, “Iya.” Nabi pun menikahkan keduanya. Sekelompok ulama berpendapat dengan hadis itu, yaitu: Al-Auza’i, Rabi’ah, Ats-Tsauri, Malik, Abu Hanifah dan sebagian besar sahabatnya, Al-Laits, Hadawiyyah, dan Abu Tsaur. Beliau mengisahkan di dalam Al-Bahr dari An-Nashir, Asy-Syafi’i, dan Zufar, bahwa hal itu tidak boleh. Beliau berkata di dalam Al-Fath: Dan dari Malik, seandainya si wanita berkata kepada walinya: Nikahkan aku dengan siapa saja yang engkau sukai. Lalu walinya menikahkan wanita itu dengan dirinya sendiri (yaitu jika wanita itu adalah budaknya) atau dengan siapa saja yang dia pilih, maka wanita itu harus menerimanya walaupun dia belum mengetahui sosok calon suaminya. Asy-Syafi’i berkata: (Majikan menikahi budaknya sendiri) yang menikahkannya haruslah penguasa atau wali lain yang setingkat dengannya atau lebih rendah (lebih jauh) darinya. Zufar sependapat dengan Asy-Syafi’i.
[1] HR. Ahmad (4/244), An-Nasa`i (6/69), Ibnu Majah nomor 1866, At-Tirmidzi nomor 1087, Ad-Darimi nomor 2172, dan Ibnu Hibban (6/139). Hadis ini sahih.
[3] HR. Ahmad (4/394, 413), Abu Dawud nomor 2085, Ibnu Majah nomor 1881, At-Tirmidzi nomor 1101, Ibnu Hibban (6/152), dan Al-Hakim (2/170).
[4] HR. Ahmad (6/47), Abu Dawud nomor 2083, Ibnu Majah nomor 1879, dan At-Tirmidzi nomor 1102.
[5] HR. Ibnu Hibban (6/151), Al-Hakim (2/168), dan Abu ‘Awanah dalam Mustakhraj-nya nomor 4037.
[7] Nomor 2117 dan hadis ini sahih.