Cari Blog Ini

PELITA DARI MAURITANIA

“Syaikh Muhammad Al Amin rahimahullah memiliki kepribadian yang sangat istimewa dan spesial. Siapa pun yang pernah bertemu dengan beliau, menghadiri majelisnya, mendengarkan pelajarannya atau membaca kitabnya akan mengetahui hal tersebut.” Demikian pengakuan salah seorang murid beliau yaitu Syaikh Athiyah Muhammad Salim yang pernah menjabat sebagai hakim Mahkamah Syar’iyah di kota Madinah. Jika Anda pernah mendengar nama sebuah kitab tafsir monumental abad ini yang bernama Adhwaul Bayan maka beliaulah penulisnya. Seorang guru besar ilmu tafsir dan ulama Rabbani yang membimbing umat ini dengan penuh kesabaran.

NASAB DAN PERKEMBANGAN ILMIAHNYA


Nama panjang beliau adalah Muhammad Al Amin bin Muhammad Al Mukhtar bin Abdul Qadir Al Jakni Asy Syinqithi rahimahullah. Nama ayah beliau adalah Muhammad Al Mukhtar bin Abdul Qadir dan jika ditelusuri maka nasab kabilah beliau ini akan berakhir kepada sebuah daerah di Himyar. Syaikh terlahir di sebuah kota yang bernama Syinqith tepatnya di Desa Tanbah dan sekarang tempat tersebut lebih populer dengan nama Mauritania. Yaitu sebuah negara yang terletak di bagian barat laut Afrika dengan pesisirnya yang menghadap ke Samudra Atlantik di antara Sahara Barat di sebelah utara dan Senegal di selatan.

Syaikh tumbuh besar di lingkungan yang kondusif untuk mempelajari ilmu agama sehingga beliau pun terdidik hingga besar di tengah komunitas yang cinta ilmu agama. Terlebih sanak kerabat Syaikh yang sangat familiar dan hidup dalam nuansa ilmu agama yang sangat kental. Ayah Syaikh meninggal ketika beliau masih kecil. Namun demikian beliau mampu menyelesaikan Al Quran pada usia 10 tahun melalui bimbingan pamannya yang bernama Abdullah bin Muhammad Al Mukhtar.

Putra paman beliau yang lain, bernama Muhammad bin Ahmad Al Mukhtar mempunyai andil kepada beliau dalam mempelajari khat Mushaf Utsmani (Mushaf Induk). Selain itu beliau juga belajar ilmu tajwid dengan bacaan Nafi’ yang meriwayatkan dari Warsy, bahkan mengambil sanad qiraah hingga sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam padahal usia beliau saat itu masih 16 tahun. Di samping itu, beliau juga belajar kitab-kitab fikih praktis Imam Malik semisal Rajaz Syaikh Ibnu A’syir dan belajar sastra dari istri pamannya. Syaikh juga meluangkan waktu untuk belajar dasar-dasar ilmu nahwu dan sejarah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ketinggalan beliau juga semangat belajar tentang ilmu nasab bangsa Arab bahkan Nazham Ghazwat (peperangan) karya Ahmad Al Badawi beliau hafal, padahal jumlahnya lebih dari 500 bait.

Dalam usia yang relatif masih sangat muda, Syaikh mampu menimba mendalam berbagai cabang disiplin ilmu agama. Antusias menuntut ilmu agama yang tinggi ditunjang kecerdasan dan kekuatan hafalan yang mantap membuat beliau tidak kesulitan menjalaninya. Seperti itulah deskripsi ringkas pertumbuhan awal belajar Syaikh dan rumah paman beliau bisa dikatakan sebagai madrasah pertama dalam menuntut ilmu agama.

GURU-GURU BELIAU


Selain berbagai cabang ilmu di atas, beliau juga belajar fikih Madzhab Maliki dan Alfiyah Ibnu Malik dari Syaikh Muhammad bin Shalih yang terkenal dengan sebutan Al Afram bin Muhammad Al Mukhtar. Beliau juga mengambil disiplin ilmu yang lain seperti Nahwu, Sharaf, Ushul, Balaghah, tafsir, dan hadis dari beberapa syaikh yang berasal dari kabilah Jakniyyun. Cukup banyak nama-nama ulama terkenal dari kabilah tersebut yang pernah jadi guru beliau seperti Syaikh Al Allamah Ahmad bin Umar, Syaikh Muhammad bin An Ni’mah bin Zaidan, dan Syaikh Ahmad Mud dua ulama ahli fikih besar di masanya, kemudian belajar juga kepada syaikh Ahmad Faal bin Aaduh, dan selain mereka.

Tatkala Ibunda syaikh dan paman-pamannya melihat talenta besar pada diri beliau karena bisa mengungguli teman-teman selevelnya, maka mereka pun memberikan perhatian dan bimbingan ekstra kepada syaikh agar lebih fokus dalam menuntut ilmu. Dalam sebuah penuturannya syaikh menjelaskan bahwa semua disiplin ilmu telah dipelajari dari guru-guru beliau tersebut. Hanya saja ilmu mantiq dan adab-adab pengkajian dan diskusi beliau pelajari sendiri secara otodidak.

Waktu demi waktu beliau lalui dengan penuh perjuangan dan kesabaran dalam memperbanyak perbendaharaan ilmu. Hingga akhirnya ilmu beliau semakin luas dan matang dalam berbagai bidang ilmu agama. Tibalah saatnya beliau sibuk dengan segala aktivitasnya sebagai ulama seperti belajar, mengajar, berfatwa, membimbing, dan mengarahkan para penuntut ilmu. Hanya saja beliau lebih terkenal dengan keluasan ilmunya dalam memutuskan hukum. Sehingga meskipun ketika itu di negeri beliau ada seorang hakim Perancis, namun Syaikh lebih dipercaya oleh orang-orang pribumi untuk menyelesaikan konflik dan sengketa yang mereka hadapi. Utusan-utusan tak jarang datang dari tempat yang jauh untuk berkonsultasi dan meminta solusi kepada beliau.

KEPINDAHAN SYAIKH KE MADINAH


Bermula dari niatan beliau untuk melaksanakan ibadah haji di Mekah, beliau pun melakukan safar ke Baitullah. Singkat cerita beliau bertemu dengan Amir bin Khalid As Sudairi yang sedang mencari majelis yang mengajarkan ilmu sastra. Gayung pun bersambut, sehingga akhirnya mereka berdua terlibat dalam tanya jawab yang panjang. Setelah Amir mengetahui siapakah sejatinya Syaikh Muhammad Amin, maka ia mengarahkan syaikh agar di Madinah nanti menemui dua ulama yaitu Syaikh Abdullah bin Zahim dan Syaikh Abdul Aziz bin Shalih.

Setibanya di Madinah beliau pun tidak mengalami hambatan berarti untuk bisa bersua dengan kedua syaikh tersebut. Namun beliau lebih banyak melakukan diskusi dan pembahasan dengan Syaikh Abdul Aziz bin Shalih. Akhirnya Syaikh diberi hadiah oleh Syaikh Abdul Aziz berupa kitab Al Mughni karya Ibnu Qudamah dan beberapa karya tulis Ibnu Taimiyah dalam bidang akidah. Tekad beliau untuk tinggal di Madinah semakin kuat setelah banyak menelaah kitab-kitab karya Imam Ahmad bin Hanbal dan kitab Ahlus Sunnah. Terlebih lagi setelah menemukan suasana dan lingkungan yang sangat kondusif untuk belajar serta mengajarkan ilmu agama.

Sebelum kedatangan Syaikh Muhammad Amin ke Madinah telah ada Syaikh Ath Thayyib yang telah banyak mengajar dan memberikan banyak manfaat kepada kaum muslimin di Madinah. Tatkala Syaikh Thayyib meninggal pada tahun 1363, maka posisi beliau digantikan oleh para muridnya. Syaikh Muhammad Amin juga diberi kesempatan untuk mengajar tafsir di Masjid Nabawi dan beliau mampu menyelesaikannya sebanyak dua kali. Seiring dengan berjalannya waktu, Syaikh Muhammad Amin mulai dikenal oleh penduduk Madinah, dan bahkan nama beliau disebut-sebut di berbagai penjuru negeri. Pada awalnya beliau membuka majelis di Masjid Nabawi dengan mengajar Ushul Fiqh untuk murid-murid senior tingkat atas. Namun majelis beliau ramai dikunjungi para penuntut ilmu, termasuk orang-orang awam yang ingin mengambil faedah ilmiyah darinya. Sampai-sampai ada yang datang dari ujung Kota Riyadh, semata-mata untuk menghadiri majelis beliau di Masjid Nabawi. Beliau pun membuka pelajaran khusus di rumahnya setelah Ashar atas permintaan dari murid-murid seniornya. Hingga ulama sekaliber Syaikh Abdul Aziz bin Baz tetap menghadiri pelajaran tafsir beliau di Masjid Nabawi.

KEPRIBADIANNYA


Syaikh adalah seorang ulama yang berakhlak baik dan budi pekerti luhur sebagaimana dipersaksikan oleh murid-muridnya. Salah satu akhlak beliau yang sangat menonjol adalah sifat zuhudnya terhadap dunia dan apa yang dimiliki oleh manusia. Sungguh dunia tidak berharga di mata syaikh sejak beliau menginjakkan kaki di Madinah. Bahkan ketika beliau banyak berinteraksi dengan pemerintah setempat. Hingga akhir hayatnya, beliau tidak pernah meminta pemberian, gaji, upah, hadiah, dan lain sebagainya. Namun beliau begitu mudah mendermakan apa yang beliau miliki kepada orang lain. Jika ada yang berinisiatif memberi, padahal beliau tidak memintanya, maka pemberian tersebut diterima. Namun selanjutnya beliau bagi-bagikan kepada orang-orang fakir yang membutuhkannya.

Syaikh Muhammad Amin wafat dalam keadaan tidak meninggalkan sekeping pun dirham atau dinar. Sungguh beliau hidup mulia dengan sifat ‘iffah (menjaga kehormatan diri) dan qanaahnya (merasa cukup). Beliau pernah mengatakan, “Sungguh aku datang dari negeriku dengan membawa perbendaharaan besar yang akan mencukupiku sepanjang hidup dan aku khawatir perbendaharaan itu akan hilang.” Beliau pun ditanya, “Apa perbendaharaan itu?” Beliau menjawab, “Qanaah.”

KARYA TULISNYA


Di sela-sela kesibukannya mengajar di berbagai majelis ilmu dan juga amanah yang beliau emban sebagai anggota Hai’ah Kibaril Ulama (Majelis Besar Ulama Senior Saudi Arabia) dan Rabithah Alam Islami (Persatuan Dunia Islam), beliau masih menyempatkan diri untuk aktif menghasilkan berbagai karya tulis. Di antara karya tulis beliau adalah Adhwa’ Al Bayan li Tafsir Al Qur’an bil Al Qur’an yang merupakan karya ilmiyah beliau yang paling terkenal. Kemudian Mudzakirah Al Ushul ‘ala Raudhah An Nadzir yang menghimpun berbagai ushul dari madzhab Hanbali, Maliki, dan Syafi’i. Juga Man’u Jawaz Al Majaz fi Al Munazzal li At Ta’abbud wal I’jaz, yaitu kitab yang menjelaskan tentang terlarangnya majaz pada nama-nama dan sifat-sifat Allah dalam Al Quran. Daf’u Ibham Al Idhthirab ‘an Ayi Al Kitab, yaitu sebuah karya tulis tentang ayat-ayat yang terkesan mempunyai makna saling bertentangan. Kemudian kitab beliau yang lainnya adalah Adab Al Bahts wa Al Munazharah tentang adab-adab membahas dan mendiskusikan suatu permasalahan. Syaikh Muhammad Amin juga mempunyai ceramah-ceramah ilmiyah yang kemudian dicetak dalam bentuk buku dan karya tulis.

Demikianlah Syaikh begitu semangat berperan memberikan sumbangsihnya kepada kaum muslimin dengan berbagai ceramah, karya tulis, dan fatwa-fatwanya. Beliau menghabiskan usianya untuk berdakwah dan menjadi suri teladan yang baik bagi para juru dakwah dan kaum muslimin secara umum. Akhirnya beliau meninggal dunia di Kota Madinah pada tanggal 17 Dzulhijjah 1393 H bertepatan dengan tahun 1972 M. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada beliau, dan membalas jasa-jasa beliau dengan balasan yang sebaik-baiknya. Allahu A’lam.


Sumber: Majalah Qudwah edisi 49 vol.05 1438 H rubrik Biografi. Pemateri: Al Ustadz Abu Hafiy Abdullah.