Cari Blog Ini

Abdurahman bin Auf

Banyaknya harta tidak membuat terlena. Berbagai kemudahan duniawi tidaklah menjadikan lupa diri. Hidup dalam penghambaan kepada Allah subhanahu wa ta’ala itulah tujuan hakiki. Gelimang emas perak hanya di tangan, tidak merasuk masuk dalam hati. Bagaimana meraih keridhaan Allah, itulah tekadnya. Akhirat adalah tujuannya, bukan tumpukan harta dan status dunia.

Hiruk pikuk, kerlap kerlip dunia, baginya hanyalah senda gurau dan permainan belaka. Waktunya sementara dan begitu cepat berlalu. Sungguh celaka orang yang tergoda dengan bujuk rayu dunia. Betapa menderita orang yang tertipu dengannya. Namun tidak bagi tokoh kita kali ini. Dunia ia letakkan di bawah telapak kakinya.

Pernah dihidangkan makanan kepada beliau. Ia pun mengatakan, “Mush’ab bin Umair telah terbunuh, dan ia lebih baik dariku. Namun, ia hanya dikafani dengan selembar kain yang sempit. Apabila ditarik untuk menutupi kepalanya maka kakinya akan terlihat. Dan apabila ditarik ke arah kaki, kepalanya tidak tertutup. Demikian pula Hamzah, ia juga terbunuh. Padahal ia lebih baik dariku. Saat ia meninggal, tidak ada kain yang menjadi kafannya selain satu lembar burdah yang sempit. Aku khawatir, balasan amal kebaikanku telah diberikan kepadaku di dunia ini.” Lalu ia pergi sambil menangis. [Fadhailush Shahabah, Imam Ahmad]

Siapakah yang tidak kenal shahabat yang mulia ini? Salah satu Al Asyrah Al Mubasyarun bil Jannah, shahabat yang diberikan kabar gembira secara langsung oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang jaminan masuk surga. Bahkan salah satu dari delapan orang pertama yang masuk Islam. Yaitu dua hari setelah Abu Bakar. Salah seorang dari sepuluh shahabat yang istimewa, karena kedekatan mereka dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketulusan cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, hingga amalan nyata yang menunjukkan jujurnya keimanan mereka. Hingga Umar bin Al Khaththab pun memasukkan dalam enam orang ahli syura, untuk memilih khalifah sepeninggalan beliau.

Beliaulah shahabat yang mulia, Abdurrahman bin Auf. Seorang shahabat yang ikut hijrah ke Habasyah dua kali sebelum hijrah ke Madinah. Hijrah adalah sebuah keutamaan besar. Bagaimana tidak, seorang yang berhijrah, ia meninggalkan harta benda, tempat tinggal, kampung halaman, bahkan sanak keluarga. Demi mendahulukan keselamatan agama, agar bisa melaksanakan hak Allah subhanahu wa ta’ala, beribadah kepada-Nya dengan tenang. Kaum Muhajirin telah mengumpulkan berbagai keutamaan selain bershahabat dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Perjuangan, pengorbanan, dan kesabaran yang panjang.

Di medan laga, beliau adalah petarung yang hebat. Bagaimana tidak, iman dalam dada adalah kekuatan yang besar. Allah subhanahu wa ta’ala pun menegakkan tubuh yang rapuh dengan keimanan pula. Itulah para shahabat secara umum yang lebih mencintai kematian di medan tempur daripada berlama-lama hidup di dunia. Tidak heran apabila Abdurrahman bin Auf ikut serta dalam perang Badar, Uhud, dan peperangan lainnya. Khawatir tertinggal dari keutamaan jihad bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Tentang kedermawanan, beliau adalah teladan yang sulit dicari padanannya di zaman setelahnya. Atau kemungkinan memang tidak ada orang berjiwa derma yang sebanding dengan beliau, setelah beliau wafat. Tercatat sekali waktu beliau pernah menginfakkan sejumlah 40 ribu dinar. Atau setara dengan 40.000 × 4,25 = 170.000 gram emas. Seandainya harga per gramnya 500 ribu rupiah, maka sebagai perkiraan akan ketemu angka Rp. 85 Milyar. Masya Allah, ini salah satu infak beliau saja, belum sedekah-sedekah lainnya. Seorang shahabat kaya raya yang suka berderma. [Ash Shahabah].

Betapa sering Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji shahabat yang pernah mengimami salat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini semakin menunjukkan keutamaan Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu. Bahkan suatu saat ada seseorang yang membaca Al Quran di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan suara yang lembut. Sehingga seluruh hadirin berlinangan air mata, selain Abdurrahman bin Auf. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Walaupun mata Abdurrahman bin Auf tidak berlinang, namun sungguh hatinya telah menangis.” [Diriwayatkan oleh Abu Nuaim dan yang lainnya].

Kisah berikut ini diriwayatkan oleh para imam, di antaranya Al Baihaqi dan Al Hakim. Bahkan Al Hakim mengatakan bahwa hadis ini sahih sesuai syarat Al Bukhari dan Muslim, namun beliau berdua tidak mengeluarkan hadis ini dalam kitab Shahih keduanya. Adz Dzahabi pun menyetujui penilaian Al Hakim ini. Sebuah kisah yang menunjukkan karamah Shahabat Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu.

Kisah ini diceritakan oleh istri Abdurrahman bin Auf sendiri, namanya Ummu Kultsum bintu Uqbah radhiyallahu ‘anha. Beliau termasuk kaum Muhajirin yang hijrah pada masa-masa awal. Ummu Kultsum mengisahkan bahwa Abdurrahman bin Auf pernah pingsan, sampai orang-orang di sekitar beliau menyangka beliau akan meninggal. Maka Ummu Kultsum keluar menuju masjid. Beliau memohon pertolongan kepada Allah melalui amal saleh yang beliau diperintahkan untuk melakukannya. Yaitu pada firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَٱسۡتَعِينُوا۟ بِٱلصَّبۡرِ وَٱلصَّلَو‌ٰةِ ۚ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى ٱلۡخَـٰشِعِينَ
Jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’.” [Q.S. Al Baqarah:45].

Maka ketika Abdurrahman bin Auf siuman, ia mengatakan, “Apakah tadi saya pingsan?” “Ya.” Jawab orang di sekitar beliau. Abdurrahman bin Auf mengatakan, “Kalian benar. Belum lama datang dua malaikat kepadaku. Mereka mengatakan, ‘Mari pergi bersama kami! Kami akan menghakimimu kepada Allah Yang Mahaperkasa lagi Mahaterpercaya.’ Namun tiba-tiba ada malaikat lain mengatakan, ‘Kembalikan ruh orang ini! Karena orang ini termasuk orang yang telah ditakdirkan bahagia semenjak berada dalam perut ibunya. Kembalikan ia, agar anak-anaknya masih bisa bersamanya sampai batas waktu yang Allah kehendaki.” Maka setelah peristiwa itu, Abdurrahman bin Auf masih bertahan hidup selama sebulan. Kemudian beliau wafat.

Abu Usamah, salah seorang periwayat kisah ini menyebutkan faedah lain tentang malaikat, ia mengatakan, “Dua malaikat yang menemui Abdurrahman bin Auf, datang dalam wujud laki-laki. Karena utusan dari kalangan malaikat akan datang dalam bentuk laki-laki. Berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَلَوۡ جَعَلۡنَـٰهُ مَلَكًا لَّجَعَلۡنَـٰهُ رَجُلًا
Dan kalau Kami jadikan Rasul itu malaikat, tentulah Kami jadikan dia seorang laki-laki.” [Q.S. Al An’am:9]. Maksudnya dalam bentuk laki-laki.

Subhanallah, keimanan yang jujur benar-benar akan menjadi kekuatan yang besar. Kokoh, bahkan saat menghadapi ajal. Kisah ini pun sebagai bukti terhadap janji kabar gembira yang Allah subhanahu wa ta’ala sampaikan melalui para malaikat kepada mereka yang jujur keimanannya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
إِنَّ ٱلَّذِينَ قَالُوا۟ رَبُّنَا ٱللَّهُ ثُمَّ ٱسۡتَقَـٰمُوا۟ تَتَنَزَّلُ عَلَيۡهِمُ ٱلۡمَلَـٰٓئِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا۟ وَلَا تَحۡزَنُوا۟ وَأَبۡشِرُوا۟ بِٱلۡجَنَّةِ ٱلَّتِى كُنتُمۡ تُوعَدُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, ‘Rabb kami ialah Allah’, kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan, ‘Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu.” [Q.S. Fushshilat:30]. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala mengaruniakan kepada kita keimanan yang jujur tanpa dusta, kokoh tidak melemah. Amin. Allahu A’lam.


Sumber: Majalah Qudwah edisi 66 vol.06 1440 H rubrik Karamah. Pemateri: Al Ustadz Abu Muhammad Farhan.