Allah subhanahu wa ta’ala Yang Maha Mulia berfirman yang artinya, “Jikalau kalian tidak menolongnya (Muhammad), maka sesungguhnya Allah telah menolongnya, (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Makkah) mengeluarkannya (dari Makkah) sedang dia salah seorang dari dua orang. (Yaitu) ketika keduanya berada dalam gua, di waktu ia (Nabi Muhammad) berkata kepada sahabatnya, “Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita.” Maka Allah menurunkan ketenangan-Nya kepadanya (Abu Bakar) dan membantunya dengan tentara yang kalian tidak melihatnya, dan Allah menjadikan orang-orang kafir itulah yang rendah, dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” [Q.S. At Taubah: 40].
Ayat yang agung ini menunjukkan salah satu keutamaan terbesar dari sekian banyak keutamaan Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Allah subhanahu wa ta’ala sebutkan eratnya persahabatan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dalam sebuah ayat yang khusus, sebagai penegasan keutamaan beliau yang tidak dimiliki oleh shahabat yang lain. Seandainya beliau tidak memiliki keutamaan selain yang disebutkan dalam ayat ini, tentu cukup bagi beliau untuk menikmati kekalnya keindahan persahabatan dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di surga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Abu Bakar sahabatku, yang menenangkan jiwaku ketika di dalam gua (Tsur).” Masya Allah.
Nama dan nasab beliau secara lengkap adalah Abu Bakar Abdullah bin Abi Quhafah ‘Utsman bin Amir bin ‘Amr bin Kaab bin Sa’d bin Taim bin Murah bin Ka’b bin Luay Al-Qurasyi At-Tamimi. Terkenal dengan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Ibunda beliau adalah Ummu Al-Khair Salma binti Amir, yaitu sepupu ayahanda beliau. Nasab beliau bertemu dengan nasab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada kakek keenam.
Beliau dikenal juga dengan nama ‘Atiq yang artinya terbebaskan. Menurut sebagian riwayat, hal ini karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika melihat beliau, “Siapa yang ingin melihat orang yang terbebas dari neraka, lihatlah orang ini.” Sebagian ulama lain mengatakan bahwa sebutan ini dikarenakan ‘ataqah (keelokan) wajah beliau. Adapun gelar Ash-Shiddiq beliau sandang karena beliau selalu dan segera membenarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam seluruh apa yang datang dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa terkecuali. Saat kaum musyrikin Quraisy mengingkari kisah Isra`, beliau membenarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saat para shahabat lain pada awalnya kurang bisa menerima butir-butir perjanjian Hudaibiyah, Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu tetap kokoh bahwa apapun dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kebenaran. Ya, dikarenakan hal inilah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam marah ketika ada seorang shahabat yang terlibat sengketa dengan Abu Bakar. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah mengutusku sebagai Rasul kepada kalian. Kemudian kaliang mengatakan, ‘Engkau dusta’ sedangkan Abu Bakar mengatakan, ‘Engkau benar’, Abu Bakar telah membantuku dengan jiwa dan hartanya, apakah kalian akan meninggalkan shahabatku ini.” Subhanallah, Rasul pun membela dirinya.
Beliau terlahir ke alam dunia, medan tempaan dan ujian ini, dua tahun enam bulan setelah tahun gajah, dua tahun lebih muda daripada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada zaman jahiliah, beliau adalah pedagang kaya, dermawan lagi baik pada sesama, seorang yang dicintai kaumnya, memiliki kedudukan, dan termasuk jajaran pemuka Quraisy. Beliaulah yang dipercaya dalam hal diyat, yaitu pengurusan denda pada kasus pembunuhan atau melukai orang. Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu bersahabat dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sejak sebelum beliau diangkat menjadi Nabi. Maka beliau pun mendapatkan dahsyatnya berbagai intimidasi dari musyrikin Quraisy pada awal Islam. Asma` binti Abu Bakar radhiyallahu ‘anha, putrinya, berkisah bahwa ia pernah melihat siksaan musyrikin Quraisy terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sangat hebat. Maka datanglah Abu Bakar dan berkata, “Apakah kalian akan membunuh orang karena ia mengatakan, ‘Rabbku adalah Allah’ padahal telah datang bukti-bukti kebenarannya dari Rabb kalian?” Maka segera mereka berpaling dan memukuli Abu Bakar. Demikianlah keimanan yang telah terpatri kokoh dalam jiwa. Kemuliaan di mata manusia tak ia pedulikan, gemerlap kemewahan dunia tak ia hiraukan, keselamatan jiwa raga tak ia indahkan, demi mempertahankan hidayah yang tak terbeli, meraih keutamaan abadi, bersanding dengan Nabi di alam abadi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ya, aku mengharap engkau termasuk orang yang dipanggil dari seluruh pintu surga, wahai Abu Bakar.” Adakah harapan yang lebih terwujud dari harapan seorang Nabi? Apalagi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan, “Abu Bakar di surga.” Allahu Akbar.
Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu selalu mendampingi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam semasa hidup beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, berkhidmat dan berkorban dengan segala yang ada: harta, bahkan jiwa, untuk mendukung dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Acuh, tanpa peduli dengan dunia. Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu mempersaksikan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan kami untuk bersedekah. Pada saat itu kebetulan aku memiliki harta. Aku berkata pada diriku, ‘Apabila sehari saja aku bisa mengungguli Abu Bakar, maka itu adalah hari ini. Akupun membawa separuh hartaku. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Apa yang engkau sisakan untuk keluargamu?’ Sejumlah sama dengan yang aku sedekahkan ini, ya Rasulullah,’ jawabku. Tidak lama, datanglah Abu Bakar membawa seluruh hartanya. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Apa yang engkau tinggalkan untuk keluargamu?’ Abu Bakar menjawab, ‘Aku tinggalkan Allah dan Rasul-Nya untuk mereka.’ Akupun mengatakan, ‘Demi Allah, aku tidak akan mampu mengunggulinya selama-lamanya.’”
Kecintaan Abu Bakar kepada Allah dan Rasul-Nya melebih segala-galanya, telah mendarah daging, tak terpisahkan dengan jiwanya. Dalam medan perang beliau selalu melindungi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, menjadi tameng untuk kekasihnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Manusia yang paling berjasa dalam persahabatan dan bantuan hartanya adalah Abu Bakar. Seandainya aku menjadikan khalil (kekasih) selain Allah, pasti aku akan memilih Abu Bakar.” Masya Allah. Ya Allah kumpulkanlah kami bersama mereka di surga-Mu.
Kesabaran dan kearifan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu sangat nampak saat menghadapi musibah terbesar dalam hidup beliau, yaitu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, saat shahabat yang lain terguncang hebat, hingga sebagian tidak mampu menguasai diri. Dikisahkan saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, Abu Bakar memeluk beliau sambil menangis, kemudian keluar menemui kaum muslimin dan mengatakan, “Wahai sekalian manusia, siapa yang menyembah Muhammad, sesungguhnya Muhammad telah wafat. Tetapi siapa yang menyembah Allah, sungguh Allah Maha Hidup tidak akan mati.” Kemudian beliau membaca ayat:
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدۡ خَلَتۡ مِن قَبۡلِهِ ٱلرُّسُلُ ۚ أَفَإِي۟ن مَّاتَ أَوۡ قُتِلَ ٱنقَلَبۡتُمۡ عَلَىٰٓ أَعۡقَـٰبِكُمۡ
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika ia wafat atau terbunuh, kalian berbalik ke belakang (murtad)?” [Q.S. Ali Imran: 144]. Kaum muslimin yang terpukul akibat kematian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini tercenung, seolah-olah belum pernah mendengar ayat ini sebelumnya. Maka kemudian tidak seorang pun kecuali membaca ayat ini.
Karena kepribadian mulia yang tercermin dari penggalan-penggalan cerita di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memercayakan urusan agama ini kepadanya, seperti memimpin rombongan haji tahun 9 hijriah, mengimami shalat ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sakit, hingga ketika datang seorang perempuan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang beliau memerintahkan agar wanita tersebut kembali lagi menemui beliau. Wanita tersebut mengatakan, “Ya Rasulullah, bagaimana jika engkau tidak ada -seolah-olah wanita tersebut memaksudkan seandainya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat-?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila engkau tidak mendapatkanku, maka temuilah Abu Bakar.” Berdasarkan hadits inilah, Imam Asy Syafi’i rahimahullah mengatakan bahwa ini adalah dalil yang menunjukkan kekhalifahan setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu.
Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu mengemban kekhalifahan selama dua tahun lebih sekitar tiga bulan. Beliau melaksanakan amanah ini dengan sebaik-baiknya. Beliau radhiyallahu ‘anhu memerangi orang-orang murtad, beliau radhiyallahu ‘anhu pula yang memerangi orang-orang yang tidak mau membayar kewajiban zakat, hingga Allah subhanahu wa ta’ala menampakkan kemuliaan agama-Nya.
Di antara sekian banyak keutamaan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu yang lain adalah pengumpulan Al Quran yang pertama, sebelum dikumpulkan kembali oleh Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu. Masya Allah.
Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu Ash Shiddiq wafat pada usia yang ke 63, sama dengan kekasihnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saat beliau sakit menjelang wafat, dikatakan kepada beliau, “Apakah sudah ada dokter yang memeriksamu?” “Sudah,” jawab beliau. Kemudian beliau radhiyallahu ‘anhu ditanya, “Apa katanya?” Ia menjawab, “فَعَّالٌ لِمَا يُرِيدُ -Allah Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya.-” [Q.S. Al Buruuj: 16].
Demikian tawakkal penuh beliau kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Tawakkal yang muncul dari keimanan dan ketakwaan yang mencapai tingkatan tertinggi dari kalangan umat ini. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala meridhai beliau.
Saudaraku kaum muslimin, semoga Allah selalu menjaga kita semua, membaca dan merenungi keutamaan shahabat yang mulia ini tidak habis-habis dan tidak akan bosan. Namun, pada lembaran yang terbatas ini, semoga bisa menyampaikan ibrah keteladanan dari pribadi-pribadi para shahabat. Akhirnya, semoga Allah subhanahu wa ta’ala mengumpulkan kita dengan mereka di surga-Nya kelak. Amiin. Allahu a’lam. [farhan].
Referensi:
- Al Isti’ab Fi Ma’rifatil Ashhab, Imam Abu Umar ibnu Abdil Barr rahimahullah.
- Al Ishabah fi Tamyiz Ash Shahabah, Imam Ahmad bin Ali bin Hajar rahimahullah.
- Shahih Al-Bukhari, Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari rahimahullah.
Sumber: Majalah Tashfiyah edisi 11 vol.01 1433H-2011M, rubrik Figur.