Cari Blog Ini

Muslim yang Ke Tiga Puluh Tujuh

Saat langit Mekah berselimut malam, Shuhaib berjalan dengan sangat hati-hati bahkan sesekali menoleh ke kanan dan kiri seakan ada hal yang dia khawatirkan. Namun ia terus melangkah sampai terhenti di pintu rumah Al Arqam. Tiba-tiba ia dikagetkan oleh sosok yang tidak asing baginya yaitu Ammar bin Yasir yang juga sedang mendekati rumah tersebut. Terjadilah percakapan antara keduanya sebelum mereka mengetuk pintu rumah itu. 

Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhu mengisahkan peristiwa itu, “Aku bertemu Shuhaib bin Sinan di depan rumah Al Arqam sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalamnya. Aku berkata kepadanya, “Aku ingin bertemu Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mendengarkan ucapannya.” Shuhaib berkata, “Sungguh itu pulalah yang aku inginkan.” Kemudian kami masuk bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau menawarkan kepada kami Islam, dan kami pun masuk Islam.” 

Gayung bersambut, pucuk dicinta ulam pun tiba, ajakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka sambut dengan segenap ketulusan dan kecintaan. Maka mereka tinggal di rumah tersebut di siang harinya dan keluar di sore harinya. Mereka berjalan dengan hati-hati karena khawatir keislaman mereka diketahui kuffar Quraisy. Keislaman Shuhaib dan Ammar merupakan keislaman orang yang ke 37 atau 38. 

Shuhaib bin Sinan bin Malik Ar Rumi Abu Yahya radhiyallahu ‘anhu termasuk shahabat As Sabiqunal Awwalun, yang paling pandai memanah, dermawan, dan selalu mengikuti peperangan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada diri beliau terkumpul pula keutamaan-keutamaan lain yang melimpah. 

Sejatinya beliau bukan orang Romawi bahkan dari bangsa Arab. Akan tetapi karena tinggal lama bersama bangsa Romawi, dialek bahasanya, ditambah kulitnya yang merah semakin menguatkan sangkaan bahwa beliau adalah orang Romawi. 

BEKAS BUDAK NAN BERHARTA 


Shuhaib lahir di lingkungan keluarga terhormat. Ayah dan pamannya merupakan pejabat Kerajaan Kisra. Ayahnya adalah hakim di negeri Ubulah pesisir Bashrah dekat dengan sungai Eufrat. Kebahagiaan selalu menaungi mereka hingga saat yang memilukan itu datang. Agresi militer Tentara Romawi berhasil menguasai Ubulah sehingga orang-orang terhormat di sana menjadi budak yang hina. Tidak terkecuali Shuhaib kecil dan keluarganya. 

Seiring waktu berjalan Shuhaib kecil pun terpisah dengan keluarga diiringi masa-masa pahit menjadi barang dagangan bangsa Romawi. Suatu waktu salah seorang dari Bani Kalb membelinya kemudian menjual lagi kepada saudagar kaya di Mekah Abdullah bin Jadz’an. Inilah awal kesedihan Shuhaib berakhir. Abdullah bin Jadz’an sangat menyayanginya karena melihat kecerdasan dan etos kerjanya yang tinggi. Hingga kemudian sang tuan pun menganggap bahwa Shuhaib tidak layak menjadi budak, maka dia pun membebaskannya. 

Tidak berapa lama dari saat merdekanya, Shuhaib merintis bisnis perdagangan dan menjelma menjadi seorang tajir sukses di Jaziratul Arab. Dulu tidak ada orang yang mengenalnya, kini tidak ada satu orang pun di Mekah kecuali mengenalnya. 

KEKOKOHANNYA DI ATAS ISLAM 


Loyalitas Ar Rumi terhadap Islam tidak diragukan lagi. Shuhaib termasuk segelintir orang-orang yang berani menampakkan Islam di awal-awal dakwah berkembang. Bahkan ia adalah salah satu yang mendapat siksaan dari kuffar Quraisy namun tetap istiqamah di atas keimanan. 

Berkata Mujahid rahimahullah, “ Orang-orang yang pertama kali menampakkan keislamannya adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, Shuhaib, Ammar, Bilal, dan Khabbab. Adapun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah dilindungi pamannya, sedangkan Abu Bakar dilindungi kaumnya. Sementara yang lainnya tidak ada yang melindungi mereka sehingga kuffar Quraisy pun menyiksa mereka.”

MENYONGSONG KOTA NABI 


Shuhaib dan Ali merupakan shahabat yang terakhir hijrah ke Madinah. Mereka berhijrah di pertengahan Rabiul awwal. Ketika Shuhaib hendak hijrah menuju Madinah, ia pun mempersiapkan perbekalan dan senjata. Pedang dan busur panah tidak luput dibawanya pula. 

Namun di awal perjalanannya, beberapa tokoh Quraisy mengikuti dan menghadangnya. Mereka berkata, “Dulu engkau datang ke negeri kami dalam keadaan hina dan miskin. Sekarang setelah engkau sukses dan kaya raya, engkau pergi dengan kesuksesan dan hartamu dalam keadaan memusuhi kami dan nenek moyang kami. Sungguh kami tidak akan membiarkan hal ini.” 

Shuhaib pun turun dari untanya dan berkata, “Wahai sekalian kaum Quraisy, sungguh kalian telah mengetahui bahwa aku adalah orang yang paling pandai memanah di antara kalian. Demi Allah sebelum kalian menyentuhku, anak panah ini akan menyambut kalian satu per satu, karena kalian tahu kecepatan dan ketepatan memanahku. Setelah itu tinggal pedang ini menebas kalian, silahkan berbuat sesuka kalian! Namun jika kalian mau, aku akan tunjukkan kepada kalian harta dan bisnisku kemudian ambillah! Dengan syarat biarkan jalanku menuju Madinah.” Mereka menjawab, “Tentu kami mau.” Terjadilah kesepakatan di antara mereka dan Shuhaib telah menukar seluruh harta dan perdagangannya dengan perjalanan hijrahnya, sungguh keputusan berani dan menakjubkan. 

Setelah sampai di Madinah, Shuhaib pun bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui pengorbanan yang dipersembahkan Shuhaib, maka beliau berkata, “Sungguh jual beli yang menguntungkan, wahai Abu Yahya (beliau mengucapkannya tiga kali).” Abu Yahya merupakan kunyah yang diberikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Shuhaib. Kemudian turun ayat yang artinya, “Dan di antara manusia ada yang menjual dirinya untuk mendapatkan keridaan Allah, dan Allah adalah Dzat Yang Maha Penyantun terhadap hamba-hamba-Nya.” [Q.S. Al Baqarah: 207]. 

Sungguh jiwanya berbalut kebahagiaan yang berlipat setelah bisa melaksanakan ibadah agung yaitu hijrah, berjumpa dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan saudara-saudara seiman Muhajirin dan Anshar, ia pun mendapat pujian dari Allah, Rabb yang selama ini ia mengharapkan keridaan-Nya. 

Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu pun sangat mencintainya sehingga ketika Umar ditikam, beliau berwasiat agar Shuhaib menjadi imam salat selama tiga hari sampai para shahabat sepakat menunjuk pengganti.

KISAH BERSAMA UMAR DI SYAM 


Suwaid bin Ghafalah berkisah, “Ketika Umar datang ke Syam tiba-tiba datang seorang Yahudi dan berkata, “Wahai amirul mukminin, sungguh seseorang dari kaum muslimin telah berbuat kepadaku seperti yang engkau lihat (keadaannya banyak luka dan bekas pukulan)”. Maka Umar marah besar kemudian memerintahkan Shuhaib mencari muslim tersebut dan membawanya ke hadapan Umar. 

Shuhaib pun mencari namun ternyata dia adalah ‘Auf bin Malik Al Asyja’i seorang shahabat mulia. Maka Shuhaib berhusnuzzhan kepada shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan khawatir dengan kelicikan Yahudi. Dia berkata kepada Auf, “Sesungguhnya Amirul mukminin telah marah besar kepadamu, maka datanglah engkau kepada Mu’adz bin Jabal dan sampaikan kisah yang sebenarnya, aku khawatir Umar terburu-buru menghukummu.” 

Ketika Umar radhiyallahu ‘anhu selesai salat, beliau mencari Shuhaib, “Mana Shuhaib? Apakah engkau telah membawa orang itu?” Shuhaib berkata, “Ya. Auf telah mendatangi Mu’adz dan telah menceritakan kisah sebenarnya.” Maka Mu’adz berdiri berbicara dengan Umar dan berkata, “Wahai amirul mukminin sesungguhnya pelakunya adalah Auf bin Malik. Maka dengarkanlah penjelasannya dulu dan jangan terburu-buru.” Umar berkata kepada Mu’adz, “Apa urusanmu dengan ini (Auf bin Malik)?” Maka Auf pun angkat bicara, “Wahai Amirul Mukminin, aku melihat dia (Yahudi) mengintai seorang muslimah yang sedang menunggang keledai. Dia menikam keledai tersebut agar muslimah itu jatuh. Akan tetapi dia tidak jatuh. Lalu Yahudi itu mendorongnya sehingga terjatuh dan pingsan. Yahudi itu berbuat keji terhadap muslimah itu maka aku menolongnya dan memukul Yahudi itu.” 

Umar berkata, “Datangkan perempuan itu! Apakah dia membenarkan ucapanmu?!” Kemudian Auf mendatangkannya bersama Ayah dan suaminya dan mereka membenarkan ucapan Auf bin Malik. Kemudian Umar radhiyallahu ‘anhu memerintahkan untuk menangkap Yahudi itu dan menyalibnya. Kemudian Umar berkata, “Tidak untuk seperti ini kami membuat perjanjian dengan kalian, wahai manusia takutlah kalian kepada Allah dengan perjanjian (jaminan) Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, barangsiapa berbuat seperti orang ini, maka tidak ada jaminan baginya.” Berkata Suwaid, “Itulah Yahudi pertama kali aku lihat disalib dalam sejarah Islam.” 


Referensi 
  • Tarikh Dimasyq, Ibnu Asakir. 
  • Siyar Alamin Nubala’, Adz Dzahabi. 
  • Tafsir Ath Thabari, Imam Ath Thabari. 

Sumber: Majalah Qudwah edisi 67 vol.06 1440 H rubrik Khairul Ummah. Pemateri: Al Ustadz Abu Ma’mar Abbas bin Husein.